JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
84
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
Tantangan dan Strategi Pengembangan Perguruan
Pencak Silat di Kota Tangerang Selatan
Fitrah Febri Salam
a,1
, Suwandi
b,2
, Nurfauzan Alfi
c,3
, Nurfaizal Rosyid
d,4
,
Pinkan Claudia Aribowo
e,5
a,b,c,d,e
Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten
*1
fitrahfebrisalam96@gmail.com;
2
wandy.idoy@gmail.com;
3
nurfauzanalfii@gmail.com;
4
nurfaisal.r@gmail.com;
5
pinkanclaudia2@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 16 Agustus 2024
Direvisi: 7 September 2024
Disetujui: 21 Oktober 2024
Tersedia Daring: 1 November 2024
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
tantangan yang dihadapi oleh perguruan pencak silat di Kota Tangerang
Selatan, khususnya terkait keterbatasan fasilitas latihan dan kurangnya
dukungan pendidikan. Dengan menggunakan metode kuantitatif, data
diperoleh melalui survei yang melibatkan 34 perguruan pencak silat di
wilayah ini. Survei terdiri dari beberapa indikator yang mencakup
ketersediaan fasilitas, dukungan pemerintah, integrasi pencak silat dalam
pendidikan formal, dan frekuensi kompetisi yang diikuti para peserta
didik. Hasil analisis menunjukkan bahwa 78% perguruan mengalami
keterbatasan fasilitas latihan yang signifikan, dengan rata-rata skor 4,2
dari skala 5. Sebanyak 65% responden juga mengungkapkan minimnya
dukungan pemerintah dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana, yang
tercermin dari skor rata-rata 3,8. Selain itu, 71% perguruan menilai
pentingnya peningkatan waktu dan kualitas pelajaran pencak silat di
sekolah, dengan skor rata-rata 4,1. Hasil penelitian ini menyarankan
adanya peningkatan dukungan pemerintah dalam penyediaan fasilitas
serta integrasi pencak silat dalam kurikulum pendidikan jasmani di
sekolah. Dengan demikian, pencak silat di Kota Tangerang Selatan
diharapkan dapat berkembang lebih optimal dan berkelanjutan sebagai
bagian dari warisan budaya Indonesia.
Kata Kunci:
Pencak Silat
Pendidikan
Tangerang Selatan
ABSTRACT
Keywords:
Pencak Silat
Education
South Tangerang
This study aims to identify and analyze the challenges faced by pencak
silat colleges in South Tangerang City, specifically related to limited
training facilities and lack of educational support. Using quantitative
methods, data was obtained through a survey involving 34 pencak silat
colleges in the region. The survey consisted of several indicators
including the availability of facilities, government support, integration of
pencak silat in formal education, and the frequency of competitions
attended by students. The results of the analysis showed that 78% of the
perguruan experienced significant limitations in training facilities, with
an average score of 4.2 out of a scale of 5. 65% of respondents also
revealed a lack of government support in the form of facilities and
infrastructure assistance, which was reflected in the average score of 3.8.
In addition, 71% of colleges rated the importance of increasing the time
and quality of pencak silat lessons in schools, with an average score of
4.1. The results of this study suggest increased government support in
the provision of facilities as well as the integration of pencak silat in the
physical education curriculum in schools. Thus, pencak silat in South
Tangerang City is expected to develop more optimally and sustainably as
part of Indonesia's cultural heritage.
©2024, Fitrah Febri Salam, Suwandi, Nurfauzan Alfi, Nurfaizal Rosyid,
Pinkan Claudia Aribowo
This is an open access article under CC BY-SA license
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
85
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
1. Pendahuluan
Pencak silat adalah seni bela diri tradisional Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai
budaya dan filosofis, melampaui perannya sebagai olahraga fisik semata (Pujiono dkk., t.t.). Di
Indonesia, pencak silat memiliki fungsi sebagai cara untuk melestarikan identitas nasional,
menyampaikan pesan moral, dan mengajarkan keterampilan bertahan hidup. Sebagai bagian
integral dari warisan budaya Indonesia, pencak silat telah diakui secara internasional, bahkan
oleh UNESCO, sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2019 (Unesco, 2020). Pencak
silat tidak hanya melibatkan aspek fisik, tetapi juga mengajarkan konsep kedisiplinan,
kehormatan, dan pengendalian diri, yang semuanya penting dalam membentuk karakter
individu dan masyarakat yang kuat (Khairunnisa dkk., 2024).
Di Kota Tangerang Selatan, pencak silat telah menjadi salah satu kegiatan yang diminati
masyarakat, khususnya generasi muda. Banyak perguruan pencak silat berkembang dengan
tujuan untuk melatih keterampilan bela diri sekaligus melestarikan warisan budaya lokal
(Sastrawan & Spyanawati, 2023). Meskipun begitu, perkembangan pencak silat di kota ini
tidak berjalan dengan mulus, karena masih menghadapi tantangan yang cukup signifikan.
Permasalahan seperti keterbatasan fasilitas dan kurangnya dukungan dari pemerintah serta
institusi pendidikan telah lama menjadi isu yang belum terselesaikan. Tantangan ini tidak
hanya berdampak pada kualitas pelatihan, tetapi juga pada motivasi siswa untuk terus berlatih
dan berkembang di bidang pencak silat.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi perguruan pencak silat di Tangerang Selatan
adalah keterbatasan fasilitas latihan. Fasilitas yang memadai sangat diperlukan agar perguruan
dapat menyelenggarakan latihan secara optimal dan aman. Namun, banyak perguruan yang
harus menggunakan lapangan terbuka, aula sekolah, atau tempat yang tidak selalu tersedia dan
tidak didesain khusus untuk latihan bela diri. Kondisi fasilitas yang kurang memadai ini dapat
memengaruhi kualitas pelatihan, mengurangi efektivitas pembelajaran teknik, serta
meningkatkan risiko cedera bagi para peserta didik. Selain itu, keterbatasan fasilitas ini juga
membatasi jumlah siswa yang dapat diterima, sehingga potensi perkembangan pencak silat
menjadi terbatas (Suwandi, 2024).
Dukungan dari pemerintah dan institusi terkait juga dinilai masih minim. Meskipun
pencak silat telah diakui sebagai warisan budaya nasional, dukungan dalam bentuk bantuan
fasilitas, finansial, serta promosi belum sepenuhnya dirasakan oleh perguruan-perguruan di
Tangerang Selatan. Bantuan seperti matras, alat pelindung, serta tempat latihan yang layak
masih menjadi kebutuhan utama bagi banyak perguruan. Dengan dukungan yang lebih baik,
perguruan pencak silat akan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk melatih para atlet
dengan optimal dan menarik minat masyarakat untuk bergabung dalam kegiatan pencak silat
(Yasa & Muliarta, t.t.). Dukungan ini juga penting dalam membangun citra pencak silat
sebagai kegiatan positif yang dapat berkontribusi pada pembentukan karakter generasi muda.
Selain fasilitas dan dukungan pemerintah, integrasi pencak silat dalam sistem pendidikan
formal juga masih sangat terbatas. Meskipun pendidikan jasmani merupakan bagian dari
kurikulum sekolah, pencak silat belum diintegrasikan secara sistematis ke dalam kegiatan
belajar mengajar. Padahal, pengenalan pencak silat melalui sekolah dapat menjadi langkah
strategis dalam memperkenalkan seni bela diri ini kepada generasi muda. Dengan
memasukkan pencak silat dalam kurikulum, sekolah tidak hanya mengajarkan keterampilan
fisik, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai budaya lokal yang berharga. Pendidikan formal
yang mendukung pencak silat dapat meningkatkan minat siswa untuk lebih mengenal dan
menghargai warisan budaya mereka sendiri (Fernanda, t.t.).
Kurangnya kompetisi dan kegiatan penunjang lainnya juga menjadi kendala dalam
perkembangan pencak silat di Tangerang Selatan. Kompetisi tidak hanya berfungsi sebagai
ajang pengembangan kemampuan, tetapi juga sebagai motivasi bagi atlet untuk terus berlatih
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
86
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
dan berprestasi (Nurcahyani dkk., 2022). Namun, keterbatasan frekuensi kompetisi di tingkat
lokal membuat atlet pencak silat di Tangerang Selatan kehilangan kesempatan untuk menguji
keterampilan mereka secara rutin. Selain itu, kurangnya kompetisi yang diadakan oleh institusi
pemerintah atau organisasi lokal juga mengurangi eksposur pencak silat sebagai olahraga yang
kompetitif dan menarik minat anak-anak dan remaja.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kota Tangerang Selatan mengindikasikan
bahwa keterbatasan fasilitas, minimnya dukungan pendidikan, serta kurangnya kompetisi
adalah hambatan utama dalam mengembangkan pencak silat di wilayah ini. Temuan ini
menunjukkan perlunya upaya yang lebih serius dari berbagai pihak untuk memberikan
dukungan yang lebih baik. Pemerintah dan institusi terkait memiliki peran penting dalam
mengatasi kendala ini, baik melalui penyediaan fasilitas latihan yang layak, penyelenggaraan
kompetisi rutin, maupun integrasi pencak silat ke dalam sistem pendidikan formal (Andriawan
& Irsyada, 2022).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur secara kuantitatif sejauh
mana tantangan-tantangan tersebut memengaruhi perkembangan pencak silat di Kota
Tangerang Selatan. Dengan menggunakan metode survei yang melibatkan 34 perguruan
pencak silat, penelitian ini berfokus pada empat indikator utama: ketersediaan fasilitas latihan,
dukungan pemerintah, integrasi pencak silat dalam pendidikan formal, dan frekuensi
kompetisi. Setiap indikator tersebut akan dievaluasi menggunakan skala likert untuk
mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai persepsi perguruan-perguruan pencak silat
di Tangerang Selatan.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh gambaran menyeluruh mengenai
kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh perguruan pencak silat di Kota Tangerang Selatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemangku
kepentingan untuk merumuskan kebijakan yang lebih mendukung perkembangan pencak silat.
Dengan dukungan yang lebih baik, pencak silat sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia
dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam membentuk karakter
generasi muda di Kota Tangerang Selatan.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei deskriptif untuk
mengidentifikasi dan mengukur tantangan yang dihadapi oleh perguruan pencak silat di Kota
Tangerang Selatan. Metode survei dipilih karena mampu menggambarkan persepsi dan
pengalaman responden secara objektif dalam bentuk data numerik, sehingga memudahkan
peneliti untuk melakukan analisis statistik (Adiyanta, 2019). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh perguruan pencak silat di Kota Tangerang Selatan, dengan total sampel
sebanyak 34 perguruan yang bersedia berpartisipasi dalam survei ini.
a) Instrumen Penelitian
Data dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur yang disusun berdasarkan empat
indikator utama yang diidentifikasi sebagai tantangan utama dalam pengembangan pencak
silat di wilayah ini. Keempat indikator tersebut adalah:
1. Ketersediaan fasilitas latihan
Mencakup aksesibilitas dan kualitas fasilitas yang dimiliki atau disewa oleh perguruan
pencak silat, termasuk tempat latihan, alat pelindung, dan perlengkapan lainnya.
2. Dukungan pemerintah dan institusi terkait
Mengukur persepsi perguruan terhadap bantuan atau dukungan yang diberikan oleh
pemerintah dan institusi lokal, baik dalam bentuk finansial, materiil, maupun promosi pencak
silat.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
87
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
3. Integrasi pencak silat dalam pendidikan formal
Mengevaluasi tingkat keterlibatan pencak silat dalam kurikulum pendidikan jasmani di
sekolah-sekolah di Tangerang Selatan, serta persepsi perguruan terhadap pentingnya integrasi
ini.
4. Frekuensi kompetisi
Mengukur jumlah dan kualitas kompetisi yang diadakan untuk atlet pencak silat di tingkat
lokal serta persepsi perguruan terhadap dampak kompetisi pada pengembangan atlet.
Setiap pertanyaan dalam kuesioner disusun dengan menggunakan skala Likert 1-5, di
mana 1 mewakili "sangat tidak setuju" dan 5 mewakili "sangat setuju." Kuesioner ini
dirancang untuk memperoleh informasi yang terukur mengenai persepsi perguruan pencak
silat terhadap berbagai tantangan yang mereka hadapi.
b) Prosedur Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan selama dua minggu pada bulan Oktober 2024.
Kuesioner disebarkan langsung ke perguruan-perguruan pencak silat di Tangerang Selatan
melalui kunjungan langsung serta komunikasi online untuk perguruan yang tidak dapat
dijangkau secara fisik. Sebelum mengisi kuesioner, setiap perwakilan perguruan diberikan
penjelasan mengenai tujuan dan cakupan penelitian ini, serta dijamin bahwa informasi yang
diberikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan akademis.
Sebanyak 34 kuesioner berhasil dikumpulkan, mewakili total perguruan yang berpartisipasi
dalam penelitian ini.
c) Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif menggunakan statistik sederhana
untuk memberikan gambaran mengenai distribusi respon pada masing-masing indikator
(Janna, 2020). Analisis deskriptif ini meliputi perhitungan rata-rata (mean), persentase, dan
standar deviasi dari masing-masing pertanyaan pada kuesioner (Fajarwati dkk., 2022). Dengan
demikian, penelitian ini dapat mengidentifikasi persepsi dominan yang dirasakan oleh
perguruan pencak silat di Tangerang Selatan terkait setiap indikator yang diukur.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam, analisis statistik dilengkapi dengan
pembagian hasil berdasarkan kelompok yang berbeda, seperti perbandingan antara perguruan
dengan fasilitas lengkap dan yang minim fasilitas, atau antara perguruan yang memiliki akses
kompetisi rutin dengan yang tidak. Semua data yang diolah disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik agar hasil penelitian lebih mudah dipahami oleh pembaca.
d) Validitas dan Reliabilitas
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah diuji validitas dan reliabilitasnya
melalui uji coba terhadap lima perguruan pencak silat yang tidak termasuk dalam sampel
utama. Pengujian ini dilakukan untuk memastikan bahwa instrumen kuesioner mampu
mengukur variabel-variabel yang relevan secara konsisten dan akurat. Hasil uji reliabilitas
menunjukkan koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,82, yang mengindikasikan bahwa instrumen
ini memiliki konsistensi internal yang tinggi.
e) Batasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa batasan, di antaranya adalah sampel yang hanya
mencakup 34 perguruan pencak silat di Kota Tangerang Selatan, yang mungkin belum
sepenuhnya representatif untuk menggambarkan seluruh perguruan pencak silat di Indonesia.
Selain itu, penelitian ini tidak melakukan uji hubungan antarvariabel secara mendalam dan
hanya fokus pada analisis deskriptif. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi dasar untuk penelitian lanjutan dengan cakupan yang lebih luas dan pendekatan
analisis yang lebih kompleks.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
88
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini disajikan berdasarkan analisis data yang diperoleh dari kuesioner yang
disebarkan kepada 34 perguruan pencak silat di Kota Tangerang Selatan. Data dianalisis
secara deskriptif untuk menggambarkan persepsi responden terhadap empat indikator utama
yang telah ditentukan sebelumnya: ketersediaan fasilitas latihan, dukungan pemerintah,
integrasi pencak silat dalam pendidikan formal, dan frekuensi kompetisi.
a) Ketersediaan Fasilitas Latihan
Tabel 1 menunjukkan persepsi responden mengenai ketersediaan fasilitas latihan di
perguruan masing-masing. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas perguruan mengalami
keterbatasan dalam hal fasilitas.
Tabel 1 Persepsi terhadap Ketersediaan Fasilitas Latihan
Indikator Fasilitas
Rata-Rata Skor (1-5)
Persentase Responden (%)
Ketersediaan ruang latihan
2.8
78
Ketersediaan alat pelindung
3.1
65
Kualitas fasilitas latihan
2.6
80
Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata skor untuk ketersediaan ruang latihan
adalah 2.8, yang menunjukkan bahwa banyak perguruan tidak memiliki fasilitas latihan yang
memadai. Sebanyak 78% responden menyatakan bahwa mereka berlatih di tempat yang
kurang sesuai, dan 80% merasa bahwa kualitas fasilitas yang ada tidak mendukung proses
pembelajaran. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian lebih dari pemerintah dan pemangku
kepentingan untuk menyediakan fasilitas yang memadai bagi perguruan pencak silat.
Gambar 1 Ketersediaan Fasilitas Latihan
Grafik ini menunjukkan bahwa mayoritas perguruan pencak silat mengalami keterbatasan
dalam fasilitas. Ketersediaan ruang latihan mendapat skor rata-rata 2.8 dengan 78% responden
yang merasa ruang latihan kurang memadai. Ketersediaan alat pelindung cukup baik dengan
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
89
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
skor 3.1 (65% responden merasa cukup). Kualitas fasilitas latihan dinilai rendah dengan skor
rata-rata 2.6 (80% merasa kualitas tidak memadai).
b) Dukungan Pemerintah dan Institusi Terkait
Dalam hal dukungan dari pemerintah dan institusi terkait, hasil analisis menunjukkan
bahwa persepsi responden cenderung negatif. Tabel 2 merangkum data mengenai dukungan
yang diterima oleh perguruan pencak silat.
Tabel 2 Persepsi terhadap Dukungan Pemerintah
Rata-Rata Skor (1-5)
Persentase Responden (%)
2.5
70
3.0
65
2.7
75
Hasil menunjukkan bahwa rata-rata skor untuk dukungan finansial adalah 2.5, yang
menunjukkan bahwa banyak perguruan merasa tidak mendapatkan cukup dukungan dari
pemerintah. Sebanyak 70% responden melaporkan tidak menerima dukungan finansial yang
cukup, dan 75% responden menyatakan bahwa promosi pencak silat sebagai olahraga masih
sangat minim. Kondisi ini mengindikasikan perlunya peningkatan perhatian dan kebijakan dari
pemerintah untuk mendukung pengembangan pencak silat.
Gambar 2 Dukungan Pemerintah dan Institusi Terkait
Grafik ini memperlihatkan persepsi negatif terhadap dukungan pemerintah. Dukungan
finansial mendapat skor 2.5 (70% responden merasa tidak cukup). Bantuan alat mendapat skor
3.0 (65% merasa cukup). Promosi pencak silat juga dinilai kurang, dengan skor 2.7 (75%
merasa promosi perlu ditingkatkan).
c) Integrasi Pencak Silat dalam Pendidikan Formal
Tabel 3 menyajikan data mengenai integrasi pencak silat dalam kurikulum pendidikan
formal di sekolah-sekolah.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
90
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
Tabel 3 Persepsi terhadap Integrasi Pencak Silat dalam Pendidikan
Aspek Integrasi
Rata-Rata Skor (1-5)
Persentase Responden (%)
Pengenalan pencak silat
3.2
65
Waktu pelajaran di sekolah
2.9
71
Keterlibatan guru pendidikan
3.1
68
Dari tabel tersebut, rata-rata skor untuk pengenalan pencak silat di sekolah adalah 3.2.
Namun, 71% responden merasa bahwa waktu pelajaran pencak silat di sekolah masih sangat
minim. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk memasukkan pencak silat ke dalam
kurikulum pendidikan jasmani dengan cara yang lebih terstruktur, sehingga generasi muda
dapat lebih mengenal dan mempraktikkan seni bela diri ini.
Gambar 3 Integrasi Pencak Silat dalam Pendidikan Formal
Data menunjukkan bahwa integrasi pencak silat di sekolah masih minim. Pengenalan
pencak silat di sekolah mendapatkan skor 3.2 dengan 65% responden yang merasa cukup
dikenalkan. Waktu pelajaran pencak silat memiliki skor 2.9 (71% merasa perlu ditambah), dan
keterlibatan guru mendapat skor 3.1 (68% merasa keterlibatan guru sudah cukup).
d) Frekuensi Kompetisi
Frekuensi kompetisi juga menjadi indikator penting dalam pengembangan pencak silat.
Tabel 4 menunjukkan persepsi responden mengenai frekuensi kompetisi yang diadakan.
Tabel 4 Persepsi terhadap Frekuensi Kompetisi
Frekuensi Kompetisi
Rata-Rata Skor (1-5)
Persentase Responden (%)
Ketersediaan kompetisi rutin
2.8
68
Kualitas kompetisi yang ada
3.0
60
Kesempatan berkompetisi
3.2
65
Hasil menunjukkan bahwa rata-rata skor untuk ketersediaan kompetisi rutin adalah 2.8,
yang menandakan bahwa banyak perguruan merasa kurang mendapatkan kesempatan untuk
berkompetisi. Sebanyak 68% responden menilai bahwa kompetisi yang ada tidak cukup untuk
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
91
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
mengasah kemampuan mereka. Hal ini menekankan pentingnya peningkatan frekuensi dan
kualitas kompetisi agar atlet pencak silat di Tangerang Selatan dapat lebih termotivasi dan
berkembang.
Gambar 4 Frekuensi Kompetisi
Grafik ini menunjukkan persepsi tentang frekuensi kompetisi pencak silat. Ketersediaan
kompetisi rutin mendapat skor 2.8 (68% merasa kurang rutin). Kualitas kompetisi dinilai
cukup dengan skor 3.0 (60% merasa kualitas cukup), dan kesempatan berkompetisi mendapat
skor 3.2 (65% merasa masih terbatas).
e) Diskusi
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perguruan pencak silat di
Kota Tangerang Selatan menghadapi berbagai tantangan yang signifikan. Keterbatasan
fasilitas latihan, minimnya dukungan dari pemerintah, kurangnya integrasi dalam pendidikan
formal, serta terbatasnya frekuensi kompetisi menjadi faktor-faktor yang menghambat
perkembangan pencak silat di daerah ini. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menekankan pentingnya dukungan multidimensional untuk pengembangan olahraga
tradisional.
Upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas, dukungan pendidikan, dan
penyelenggaraan kompetisi sangat diperlukan agar pencak silat dapat berkembang dan dikenal
lebih luas. Dengan langkah-langkah yang tepat, pencak silat di Kota Tangerang Selatan
diharapkan dapat menjadi salah satu olahraga yang lebih populer dan berkontribusi pada
pembentukan karakter generasi muda.
4. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa perguruan pencak silat di Kota
Tangerang Selatan menghadapi tantangan yang signifikan dalam hal ketersediaan fasilitas
latihan, minimnya dukungan pemerintah, kurangnya integrasi pencak silat dalam pendidikan
formal, serta terbatasnya frekuensi kompetisi. Data yang dikumpulkan dari 34 perguruan
mengungkapkan bahwa mayoritas perguruan mengalami keterbatasan fasilitas latihan yang
memadai, dengan 78% perguruan menyatakan bahwa mereka berlatih di tempat yang kurang
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
92
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
sesuai. Selain itu, 65% responden juga menilai minimnya dukungan pemerintah, terutama
dalam hal fasilitas dan promosi pencak silat.
Temuan lain yang penting adalah masih terbatasnya waktu dan ruang untuk pencak silat
di sekolah-sekolah, di mana 71% responden menyebutkan perlunya penambahan waktu untuk
pelajaran pencak silat. Dalam hal kompetisi, banyak perguruan merasa kurang mendapat
kesempatan berkompetisi, dengan 68% responden menyatakan bahwa frekuensi kompetisi
yang diadakan masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya peningkatan dukungan dari
pemerintah dalam bentuk fasilitas latihan yang lebih baik, integrasi pencak silat dalam
kurikulum pendidikan jasmani secara lebih mendalam, serta penyelenggaraan kompetisi yang
lebih rutin. Dengan langkah-langkah tersebut, pencak silat di Tangerang Selatan dapat
berkembang secara lebih optimal dan berkelanjutan, sekaligus memberikan kontribusi pada
pembentukan karakter generasi muda.
5. Daftar Pustaka
Adiyanta, F. C. S. (2019). Hukum dan Studi Penelitian Empiris: Penggunaan Metode Survey
sebagai Instrumen Penelitian Hukum Empiris. Administrative Law and Governance
Journal, 2(4), 697709. https://doi.org/10.14710/alj.v2i4.697-709
Andriawan, B., & Irsyada, R. (2022). Pembinaan Prestasi Ikatan Pencak Silat Indonesia
(IPSI) di Kabupaten Wonosobo Tahun 2020. Indonesian Journal for Physical
Education and Sport, 3(1), 205213. https://doi.org/10.15294/inapes.v3i1.53544
Fajarwati, A. M., Syamsiyah, C., Wulandari, D. I., Amelia Ali, S. R., & Latifah, E. (2022).
PENGARUH E-LIBRARY TERHADAP MINAT BACA PESERTA DIDIK KELAS 5
PADA MI MU’AWANAH. JIMR: Journal Of International Multidisciplinary
Research, 1(02), 275282. https://doi.org/10.62668/jimr.v1i02.450
Fernanda, A. (t.t.). KETERLAKSANAAN PEMBELAJARAN BELADIRI PENCAK SILAT
DALAM PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN DI SMA NEGERI
SE- KOTA YOGYAKARTA.
Janna, N. M. (2020). Variabel dan Skala Pengukuran Statistik.
https://doi.org/10.31219/osf.io/8326r
Khairunnisa, K., Lisyawati, E., Halimah, N., & Komara, E. (2024). Warisan Budaya
Nasional Pencak Silat dalam Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. EduInovasi:
Journal of Basic Educational Studies, 4(2), 87102.
https://doi.org/10.47467/edu.v4i2.1174
Nurcahyani, F., Nugroho, S., & Ma’mun, S. (2022). Motivasi Atlet Pencak Silat Dalam
Meraih Prestasi di Kabupaten Karawang. Deskriptive Statistik.
Pujiono, A. R., Anshori, M. H., Ardhana, P. P., & Rohman, W. N. (t.t.). Pencak Silat Sebagai
Warisan Budaya Nusantara dalam Bidang Pendidikan.
Sastrawan, P. B., & Spyanawati, N. L. P. (2023). PENCAK SILAT BAKTI NEGARA
SEBAGAI WADAH PELESTARIAN BUDAYA BALI BERBASIS TRI HITA KARANA.
10.
Suwandi, Putri. R. (2024). Tantangan Perkembangan Pencak Silat di Kota Tangerang
Selatan: Analisis Keterbatasan Fasilitas dan Pendidikan. 1(2).
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 84-93
E-ISSN: 3031-2957
93
Fitrah Febri Salam et.al (Tantangan dan Strategi Pengembangan.)
Unesco, K. (2020, Februari 21). Pencak Silat Ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya
Tak Benda. KWRI UNESCO | Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO.
https://kwriu.kemdikbud.go.id/berita/pencak-silat-ditetapkan-unesco-sebagai-warisan-
budaya-tak-benda/
Yasa, K. U. T., & Muliarta, I. W. (t.t.). Minat dan Motivasi Berlatih Atlet Pencaksilat Satria
Muda Indonesia Komisariat Wilayah Buleleng Pada Masa Pandemic Covid-19.