1. Pendahuluan
Pencak silat adalah seni bela diri tradisional Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai
budaya dan filosofis, melampaui perannya sebagai olahraga fisik semata (Pujiono dkk., t.t.). Di
Indonesia, pencak silat memiliki fungsi sebagai cara untuk melestarikan identitas nasional,
menyampaikan pesan moral, dan mengajarkan keterampilan bertahan hidup. Sebagai bagian
integral dari warisan budaya Indonesia, pencak silat telah diakui secara internasional, bahkan
oleh UNESCO, sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2019 (Unesco, 2020). Pencak
silat tidak hanya melibatkan aspek fisik, tetapi juga mengajarkan konsep kedisiplinan,
kehormatan, dan pengendalian diri, yang semuanya penting dalam membentuk karakter
individu dan masyarakat yang kuat (Khairunnisa dkk., 2024).
Di Kota Tangerang Selatan, pencak silat telah menjadi salah satu kegiatan yang diminati
masyarakat, khususnya generasi muda. Banyak perguruan pencak silat berkembang dengan
tujuan untuk melatih keterampilan bela diri sekaligus melestarikan warisan budaya lokal
(Sastrawan & Spyanawati, 2023). Meskipun begitu, perkembangan pencak silat di kota ini
tidak berjalan dengan mulus, karena masih menghadapi tantangan yang cukup signifikan.
Permasalahan seperti keterbatasan fasilitas dan kurangnya dukungan dari pemerintah serta
institusi pendidikan telah lama menjadi isu yang belum terselesaikan. Tantangan ini tidak
hanya berdampak pada kualitas pelatihan, tetapi juga pada motivasi siswa untuk terus berlatih
dan berkembang di bidang pencak silat.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi perguruan pencak silat di Tangerang Selatan
adalah keterbatasan fasilitas latihan. Fasilitas yang memadai sangat diperlukan agar perguruan
dapat menyelenggarakan latihan secara optimal dan aman. Namun, banyak perguruan yang
harus menggunakan lapangan terbuka, aula sekolah, atau tempat yang tidak selalu tersedia dan
tidak didesain khusus untuk latihan bela diri. Kondisi fasilitas yang kurang memadai ini dapat
memengaruhi kualitas pelatihan, mengurangi efektivitas pembelajaran teknik, serta
meningkatkan risiko cedera bagi para peserta didik. Selain itu, keterbatasan fasilitas ini juga
membatasi jumlah siswa yang dapat diterima, sehingga potensi perkembangan pencak silat
menjadi terbatas (Suwandi, 2024).
Dukungan dari pemerintah dan institusi terkait juga dinilai masih minim. Meskipun
pencak silat telah diakui sebagai warisan budaya nasional, dukungan dalam bentuk bantuan
fasilitas, finansial, serta promosi belum sepenuhnya dirasakan oleh perguruan-perguruan di
Tangerang Selatan. Bantuan seperti matras, alat pelindung, serta tempat latihan yang layak
masih menjadi kebutuhan utama bagi banyak perguruan. Dengan dukungan yang lebih baik,
perguruan pencak silat akan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk melatih para atlet
dengan optimal dan menarik minat masyarakat untuk bergabung dalam kegiatan pencak silat
(Yasa & Muliarta, t.t.). Dukungan ini juga penting dalam membangun citra pencak silat
sebagai kegiatan positif yang dapat berkontribusi pada pembentukan karakter generasi muda.
Selain fasilitas dan dukungan pemerintah, integrasi pencak silat dalam sistem pendidikan
formal juga masih sangat terbatas. Meskipun pendidikan jasmani merupakan bagian dari
kurikulum sekolah, pencak silat belum diintegrasikan secara sistematis ke dalam kegiatan
belajar mengajar. Padahal, pengenalan pencak silat melalui sekolah dapat menjadi langkah
strategis dalam memperkenalkan seni bela diri ini kepada generasi muda. Dengan
memasukkan pencak silat dalam kurikulum, sekolah tidak hanya mengajarkan keterampilan
fisik, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai budaya lokal yang berharga. Pendidikan formal
yang mendukung pencak silat dapat meningkatkan minat siswa untuk lebih mengenal dan
menghargai warisan budaya mereka sendiri (Fernanda, t.t.).
Kurangnya kompetisi dan kegiatan penunjang lainnya juga menjadi kendala dalam
perkembangan pencak silat di Tangerang Selatan. Kompetisi tidak hanya berfungsi sebagai
ajang pengembangan kemampuan, tetapi juga sebagai motivasi bagi atlet untuk terus berlatih