JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
125
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
Tradisi Arak Manten Kucing Di Desa Sumberejo
Kabupaten Malang
Frandhica Wahyu Ardhianto
a,1
, Wahono Widodo
b,2
, Nurul Istiq'faroh
c,3
a,b,c
Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Indonesia
1
24010855041@mhs.unesa.ac.id;
2
wahonowidodo@unesa.ac.id;
3
urulistiqfaroh@unesa.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 28 September 2024
Direvisi: 19 Oktober 2024
Disetujui: 25 November 2024
Tersedia Daring: 1 Desember 2024
Tradisi Arak Manten Kucing adalah salah satu ritual kuno yang masih
dipertahankan di masyarakat agraris Indonesia. Tradisi ini bertujuan
untuk memohon hujan saat musim kemarau dengan cara mengarak
sepasang kucing yang didandani layaknya pengantin, disertai doa dan
siraman air sebagai simbol permohonan. Upacara Adat Arak Manten
Kucing merupakan Upacara Adat yang bertujuan untuk meminta
kepada Sang Pencipta agar diturunkan hujan pada saat terjadinya
musim kemarau panjang. Upacara Adat Arak Manten Kucing memiliki
makna bahwa kita sebagai manusia diwajibkan untuk selalu menjaga
keseimbangan alam, artinya dengan tetap menjaga nilai-nilai kearifan
budaya lokal setempat, saling menghormati terlebih pada leluhur kita
dan ketika kita meminta sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Esa jangan
lupa untuk senantiasa selalu mengucap syukur atas apa yang sudah
diberikan. Oleh karena itu, guna menjaga kelestarian Kebudayaan lokal
ini haruslah terdapat upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu
Pemerintah Kabupaten Malang dan Pemerintah Desa Sumberejo guna
menjaga kelestarian Upacara Adat ini. Upaya Pelestarian Kebudayaan
Lokal ini dilakukan dengan tujuan untuk menguri-nguri kebudayaan
dan mengenang sejarah, selain itu Upacara Adat Arak Manten Kucing
juga menjadi salah satu icon kebudayaan lokal yang tidak dimiliki oleh
desa lain khususnya di Kabupaten Malang sehingga perlu dilakukan
upaya untuk melestarikan Upacara Adat Arak Manten Kucing.
Kata Kunci:
Tradisi
Kebudayaan Lokal
Arak Manten Kucing
ABSTRACT
Keywords:
Tradition
Local Culture
Arak Manten Kucing
Through ethopedagogy, education is designed to value and integrate
local knowledge, traditions, and ways of learning that are unique to the
community. This research aims to explore the potential of Dermo Temple
as a vehicle for ethnoscience learning at the elementary school level.
Through a qualitative approach with a development research design, this
study analyzes the potential of Dermo Temple in integrating science
knowledge with local cultural values. Data were collected through
interviews, observations, and questionnaires. The results showed that
Dermo Temple has enormous potential as a learning resource rich in
historical, cultural, and scientific values. The impact of this research is
that there are two kalamakala statues and winged human statues found
and are currently in the Trowulan museum. Candi Dermo-based learning
can increase students' learning motivation, develop critical thinking
skills, creativity, and problem-solving abilities, and foster a sense of love
for the nation's culture and heritage. In addition, this research also
highlights the importance of cooperation between schools, museums, and
communities in developing sustainable learning programs. The
conclusion of this research is that Dermo Temple is not only a historical
site, but also a learning center that inspires the younger generation to
appreciate and preserve the nation's cultural heritage.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
126
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
©2024, Frandhica Wahyu Ardhianto, Wahono Widodo, Nurul Istiq'faroh
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga
sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh leluhur
(Noventue, Ginanjar, & Astutik, 2024). Dalam konteks masyarakat tradisional, pendidikan
berbasis budaya lokal sangat penting untuk menjaga identitas dan karakter masyarakat. Nilai-
nilai budaya yang ditanamkan melalui pendidikan etnopedagogik ini mencakup sikap
kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian terhadap lingkungan, yang relevan untuk
menghadapi tantangan modern (Rosala, 2016). Budaya-budaya yang ada tersebut merupakan
aset bangsa yang harus dilestarikan serta dikembangkan demi meningkatkan citra dan identitas
bangsa Indonesia (Wijaya, 2020).
Indonesia memiliki sumber daya alam dan budaya yang melimpah dengan berbagai
karakteristik, termasuk Jawa Timur yang dikenal dengan kearifan lokalnya yang kaya
(Suryanti, Mariana, Yermiandhoko, & Widodo, 2020). Di Desa Sumberejo, Kecamatan
Gedangan, Kabupaten Malang terdapat sebuah tradisi unik yang dikenal dengan Arak Manten
Kucing atau Mantu Kucing. Tradisi Manten Kucing adalah sebuah ritual kuno masyarakat
Sumberejo yang sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka menempati Desa Sumberejo.
Manten berarti pernikahan, yang artinya menikahkan dua ekor kucing jantan dan betina.
Tradisi ini dimaksudkan untuk meminta kepada Sang Pencipta agar diturunkan hujan. Tradisi
ini umumnya dilakukan oleh masyarakat agraris yang sangat bergantung pada keberlanjutan
sumber air, terutama di saat-saat musim kemarau panjang yang mengancam kesuburan lahan
dan sumber mata pencaharian mereka. Terdapat simbol-simbol dan tahapan yang mengajarkan
nilai-nilai kebersamaan, tanggung jawab sosial, serta penghormatan pada alam dan Sang
Pencipta (Elan, 2017). Sikap-sikap ini penting ditanamkan, terutama pada generasi muda, agar
mereka tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan kearifan lokal yang diwariskan
dari nenek moyang (Saidah & Damariswara, 2020).
Tradisi Manten Kucing tidak diadakan setiap tahun, hanya diadakan bila terjadi pada
musim kemarau yang panjang (Astuti, Sari, & Witari, 2021). Biasanya tradisi ini digelar jika
hujan tidak mengguyur hingga akhir bulan Oktober sehingga membuat warga kesulitan
mendapatkan air. Selain sudah menjadi tradisi, arak manten kucing ini juga menjadi uri-uri
budaya agar tetap lestari. Kajian etnopedagogik pada tradisi ini memberikan wawasan yang
mendalam mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam setiap tahap upacara, di
mana setiap simbol, alat, dan peran masyarakat dalam ritual ini mengandung pelajaran yang
dapat dipetik oleh generasi penerus (Niman, 2019).
Melalui Kebudayaan Lokal, dapat menambah kekayaan berupa sumber belajar bagi dunia
pendidikan (Emda, 2023). Kebudayaan dapat mengembangkan kreativitas individu apabila
kebudayaan itu memberi kesempatan yang adil bagi pengembangan kreativitas potensial yang
dimiliki oleh anggota masyarakat. Dapat diketahui bahwa berkembangnya arus globalisasi
juga mengakibatkan pengetahuan masyarakat tentang kebudayaan lokal menjadi semakin
rendah (Mubah, 2011). Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan mampu menambah
pengetahuan masyarakat, khususnya di Desa Sumberejo dan umumnya di Kabupaten Malang,
serta dapat ikut berpatisipasi dalam melestarikan keberadaan Upacara Adat Mantu Kucing
sebagai aset Kebudayaan Malang.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
127
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis.
Menurut (Sugiyono, 2013), pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami fenomena sosial
dan budaya dengan mendalam melalui pandangan atau persepsi dari pihak yang terlibat secara
langsung. Metode deskriptif analitis, seperti dijelaskan oleh (Arikunto, 2010), bertujuan untuk
memberikan gambaran yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta atau karakteristik
dari populasi atau fenomena tertentu. Melalui metode ini, penelitian dapat mengidentifikasi
dan menganalisis nilai-nilai etnopedagogik dalam Tradisi Arak Manten Kucing.
Sasaran penelitian adalah masyarakat Desa Sumberejo Kec. Gedangan Kab. Malang,
khususnya para tokoh adat dan pemuka desa yang terlibat langsung dalam pelaksanaan Tradisi
Arak Manten Kucing. Beberapa narasumber kunci yang diwawancarai antara lain Bapak
Sugiono, seorang pemuka desa berusia 70 tahun yang telah terlibat dalam pelaksanaan tradisi
ini sejak muda.
Data diperoleh dengan metode wawancara mendalam dengan tokoh adat untuk
mendapatkan informasi mengenai sejarah, makna, dan nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi ini, dan juga studi pustaka yang melibatkan literatur tentang etnopedagogik dan
kearifan lokal. Data yang diperoleh yaitu dari studi literatur terkait dengan kearifan
lokal (Istiqfaroh & Akrom, 2021)
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi Arak Manten Kucing masih dilestarikan
dengan baik oleh masyarakat lokal. Tradisi ini tidak hanya memiliki fungsi religius, tetapi juga
sebagai sarana edukasi bagi generasi muda. Anak-anak diajarkan tentang pentingnya menjaga
keseimbangan alam dan menghormati nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan (Dharnendri,
2023). Dalam pendidikan formal, tradisi ini menjadi materi ajar yang memperkaya kurikulum
lokal. Pembahasan lebih lanjut menunjukkan bahwa tradisi ini juga memperkuat kohesi sosial
dalam masyarakat, di mana warga secara bersama-sama melaksanakan ritual ini dengan penuh
rasa kebersamaan.
3.1 Simbolisme dan Tahapan Ritual Manten Kucing
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sugiono, diketahui bahwa Tradisi Arak Manten
Kucing dimulai dengan mempersiapkan sepasang kucing yang akan didandani layaknya
pengantin. Tradisi Manten Kucing ini hampir mirip dengan upacara pengantin yang
dilaksanakan pada umumnya, ada prosesi lamaran sekaligus penentuan hari dan prosesi temu
pengantin. Prosesi lamaran dilaksanakan oleh sesepuh Dusun Krajan sebagai pihak pengantin
laki-laki. Sedangkan pengantin kucing perempuan bertempat di Dusun Sumberwangi yang
masih termasuk Desa Sumberejo juga, yang diwakili oleh sesepuh wilayah setempat.
Seperti layaknya temu manten, kucing jantan akan diarak sejauh 1,5 km menuju kucing
betina. Arak-arakan dimulai dari balai Desa Sumberejo, kucing jantan yang diberi nama
Raden Mas Minto Tirto berangkat. Si kucing jantan sendiri dimasukkan ke dalam kandang
bambu yang diarak menuju Dusun Sumberwangi. Kandang dihiasi aneka hiasan kertas,
ditandu, dan dinaungi payung. Ubo rampe dipikul para pria menuju Sumber Kaliputih
(Sumber Ubalan), dengan iringan musik jidor. Berbagai kesenian juga turut mengiringi seperti
drumband, warokan, leang-leong, dan jaranan.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
128
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
Gambar 1. arakan kucing betina
Selain diiringi musik terbang jidor dan drumband, warga juga membawa seserahan.
Seserahan bisa diwujudkan dengan buah pisang, kelapa dan petai. Kedatangan manten kucing
jantan itu juga disertai dengan membawa beras dan lauknya. Sedangkan di barisan depan
warga juga membawa kembang mayang, layaknya pengantin yang masih bujangan.
Gambar 2. arakan kucing jantan
Perjalanan arak-arakan ini menarik warga untuk menonton. Bahkan, banyak juga yang
ikut terlibat dalam arak-arakan. Setelah 1,5 kilometer berjalan, iring-iringan manten kucing
jantan ini pun tiba di Sumber Kali Putih, Dusun Sumberwangi. Di Sumber Kaliputih puluhan
orang sudah berkumpul menanti kedatangan rombongan kucing jantan. Umbul-umbul warna
merah dan putih dikibarkan.
Gambar 3. arakan manten menuju Sumber Kaliputih
Di seberang Sumber Kaliputih, sang kucing betina yang diberi nama Riwayati telah
menunggu di sebuah kandang berhias yang dipikul beberapa orang. Sama dengan rombongan
pengantin kucing jantan, rombongan pengantin kucing betina juga membawa penjor dan
kembar mayang. Kucing betina juga dimasukkan kandang dan diiringi warga yang juga
membawa kembang dan berbagai pernak-pernik pernikahan.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
129
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
Gambar 4. Prosesi temu manten kucing
Proses temu manten pun dilakukan layaknya temu manten manusia. Para pengiring lebih
dulu melakukan tukar menukar barang yang dibawa. Kemudian, kedua kucing ini dikeluarkan
dari kandang masing-masing. Dipimpin oleh beberapa pemuka desa, kucing dibawa ke tengah
Sumber Kaliputih yang dilindungi pohon beringin. Selanjutnya, dengan mengucapkan kalimat
Syahadat dan doa pernikahan, tubuh kedua kucing ini didekatkan. Lalu tubuh kedua kucing
ini dicelupkan air, sebagai akhir akad nikah. Tidak lama kemudian, kedua kucing ini pun
dilepas. Tepuk sorak mengiringi kedua kucing yang bingung itu berenang dan melarikan diri.
Gambar 5. Kedua kucing dipertemukan
Prosesi arak manten kucing ini tidak hanya sampai di sini. Di area sungai tersebut, warga
langsung melakukan kenduri, layaknya hajatan pernikahan. Usai dibacakan doa oleh sesepuh
desa, yang intinya petani minta hujan kepada Tuhan, dilanjutkan makan bersama. Buah
dibagikan kepada siapa saja. Bahkan, perangkat juga menyediakan hiburan berupa leang-
leong, tari warok dan jaranan.
Entah berhubungan atau tidak, yang jelas begitu tradisi arak manten kucing tersebut
selesai digelar di Sumber Kaliputih, Dusun Sumberwangi, hujan deras pun langsung
mengguyur. Tentu saja, turunnya hujan ini disambut suka cita oleh warga yang hadir. Pada
upacara arak manten sebelumnya, biasanya hujan berlangsung sekitar seminggu sesudahnya.
3.2 Nilai Etnopedagogik dalam Tradisi
Menurut Bapak Sugiono, Tradisi Arak Manten Kucing bukan sekadar simbolisasi adat,
tetapi juga merupakan bentuk permohonan kepada Sang Pencipta agar diturunkan hujan.
Beliau mengungkapkan bahwa tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyangnya dan tetap
dilestarikan oleh masyarakat hingga sekarang. Bapak Sugiono menyebut bahwa Manten
Kucing adalah cara bagi masyarakat untuk menunjukkan kepasrahan dan harapan kepada
Sang Pencipta. "Dulu, waktu saya masih kecil, tradisi ini selalu diadakan setiap kali kemarau
panjang melanda. Waktu itu, kakek saya sering bilang bahwa tradisi ini adalah cara kita untuk
berkomunikasi dengan alam dan mengingatkan kita agar selalu bersyukur pada Sang
Pencipta," tutur Bapak Sugiono.
Beberapa nilai pendidikan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah:
a. Gotong Royong dan Solidaritas: Masyarakat desa bersama-sama mempersiapkan ritual
ini, mulai dari mengumpulkan dana hingga persiapan akhir. Ini mengajarkan generasi
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
130
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
muda pentingnya kebersamaan dan gotong royong dalam menyelesaikan suatu tujuan
bersama.
b. Kepedulian terhadap Alam: Melalui ritual ini, masyarakat diajarkan untuk selalu
memperhatikan keadaan lingkungan dan menjaga keseimbangan alam. Penyiraman kucing
menggambarkan permohonan agar alam mengasihi manusia dengan menurunkan hujan.
c. Penghormatan terhadap Tradisi dan Leluhur: Tradisi ini mengajarkan generasi muda
untuk menghargai warisan leluhur dan pentingnya mempertahankan identitas budaya. Ini
senada dengan pendapat Prof. Wahono yang menyebut bahwa warisan budaya harus
dijaga sebagai bagian dari pendidikan karakter bangsa.
3.3 Pengaruh Tradisi dalam Pendidikan Karakter
Tradisi Manten Kucing ini berperan dalam membangun karakter masyarakat melalui nilai-
nilai yang diajarkan. Berdasarkan observasi, terlihat bahwa tradisi ini memperkuat hubungan
antarwarga desa, serta mendidik generasi muda untuk selalu peduli pada sesama dan alam.
Nilai-nilai ini penting dalam pendidikan karakter yang berbasis etnopedagogik, yang
memperkenalkan kebudayaan lokal sebagai sarana pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kesimpulan
Tradisi Arak Manten Kucing merupakan ritual penuh makna yang masih dijalankan di
masyarakat desa untuk memohon hujan. Melalui tradisi ini, tersimpan nilai-nilai penting
seperti gotong royong, kepedulian terhadap alam, dan penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa Tradisi Manten Kucing tidak hanya sebagai
upacara adat, tetapi juga sebagai sarana pendidikan nilai-nilai budaya dan sosial yang
mendukung pembentukan karakter generasi muda. Dalam konteks pendidikan karakter
berbasis etnopedagogik, tradisi ini memberikan pelajaran penting tentang keseimbangan alam,
solidaritas sosial, dan menjaga nilai-nilai luhur budaya. Kajian ini menunjukkan bahwa
pendidikan berbasis budaya lokal, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Wahono Widodo,
sangat penting untuk mempertahankan nilai-nilai asli dalam pendidikan karakter. Dengan
menjaga dan melestarikan Tradisi Manten Kucing, masyarakat tidak hanya mempertahankan
identitas budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur kepada generasi penerus..
5. Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Wahono Widodo,
M.Si, Ibu Dr. Nurul Istiq'faroh, M.Pd, Bapak Sugiono selaku tokoh masyarakat di Desa
Sumberejo Kab. Malang. Terima kasih atas segala ilmu, bimbingan, dan waktu yang telah
Bapak/Ibu luangkan untuk memberikan materi perkuliahan Etnopedagogi Berkelanjutan yang
sangat bermanfaat. Pengalaman dan pengetahuan yang telah diberikan sangat berharga dan
telah memperkaya pemahaman kami tentang pentingnya melestarikan budaya dan
menerapkannya dalam dunia pendidikan.
6. Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek.
Astuti, E., Sari, S., & Witari, R. (2021). Esensi Tradisi Mantu Kucing Di Kabupaten Pacitan
(Perspektif Nilai-Nilai Al-Islam Kemuhammadiyahan). Fikri: Jurnal Kajian Agama,
Sosial Dan Budaya, 156-173.
Dharnendri, L. (2023). Peran Tradisi Upacara Yadnya dalam Pelestarian Nilai-nilai Kearifan
Lokal Hindu di Bali. Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 390-394.
Elan, D. Z. (2017). Upacara Adat Ngarot: Spiritualitas dan Gotong Royong Masyarakat
Sumedang. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, 2598, 5973.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 2, November 2024, page: 125-131
E-ISSN: 3031-2957
131
Frandhica Wahyu Ardhianto et.al (Tradisi Arak Manten Kucing Di.)
Emda, A. (2023). Etnosains Strategi Pembelajaran Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa, 106-116.
Fatimah, D. (2018). Ketangguhan yang Tersembunyi.
Istiq'faroh, N., & Akrom, N. (2021). Pengembangan Buku Suplemen IPS Tema “Indahnya
Kebersamaan” Berbasis Kearifan Lokal Sidoarjo. Lintang Songo: Jurnal Pendidikan, 19-
24.
Mubah, A. (2011). Strategi meningkatkan daya tahan budaya lokal dalam menghadapi arus
globalisasi. Jurnal Unair, 302-308.
Niman, E. (2019). Kearifan lokal dan upaya pelestarian lingkungan alam. Jurnal pendidikan
dan kebudayaan Missio, 91-106.
Noventue, R., Ginanjar, S., & Astutik, A. (2024). Hakikat Pendidikan: Menginternalisasikan
Budaya Melalui Filsafat Ki Hajar Dewantara Dan Nilai-Nilai Pancasila Pada Siswa.
Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran (JRPP), 2809-2818.
Rosala, D. (2016). Pembelajaran seni budaya berbasis kearifan lokal dalam upaya membangun
pendidikan karakter siswa di sekolah dasar. Ritme, 16-25.
Saidah, K., & Damariswara, R. (2020). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dan Implementasinya
Dalam Pendidikan Sekolah Dasar. LPPM Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng
Banyuwangi.
Sugiyono, D. (2013). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D.
Suryanti, S., Mariana, N., Yermiandhoko, Y., & Widodo, W. (2020). Local wisdom-based
teaching material for enhancing primary students’ scientific literacy skill. Jurnal Prima
Edukasia, 96-105.
Wijaya, R. (2020). Budaya Upacara Adat Mantu Kucing Di Desa Purworejo Kabupaten Pacitan
Tahun 1954-2014. STKIP PGRI Pacitan.