IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
1
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
Harmonisasi Hukum dan Kebijakan dalam
Penegakan Hukum Lingkungan
Ferdiana Rikawati
a,1*
, Dwi Indah Lestari
b,2
a
Universitas Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
b
CV Kurnia Grup, Banguntapan, Bantul, DIY, Indonesia
*
indahl@kurniajurnal.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 14 Februari 2024
Direvisi: 20 Maret 2024
Disetujui: 7 April 2024
Tersedia Daring: 1 Mei 2024
Hukum adalah juga sebuah produk kebijakan, namun kebijakan dapat
tidak berupa produk hukum. Hal ini sering menjadi permasalahan
kemudian, karena kebijakan bergerak lebih fleksibel dibandingkan
perundang-undangan yang ada, meski kebijakan tetap tidak boleh lepas
dari makna dasar dari hukum yang ada dan sedang berlaku. Dengan
demikian, sebagai sebuah keniscayaan pula, hukum juga tidak bisa
terlalu mengekang kebijakan untuk bergerak, sehingga kebijakan
kehilangan elastisitasnya yang pada saat tertentu dibutuhkan dalam
penerapan hukum itu sendiri. Sebagaimana dipahami penegakan
hukum bukan semata-mata melaksanakan teks-teks yang ada tanpa
memperdulikan kondisi yang ada di dalam lingkungannya dan yang
paling penting adalah mengetengahkan esensi dari keadilan, yang pada
akhirnya menjelma sebagai sebuah kebijaksanaan.
Penegakan hukum
Kebijakan
Lingkungan
ABSTRACT
Law enforcement
Policy
Environment
Law is also a policy product, but policy may not be a legal product. This
often becomes a problem later, because policies move more flexibly than
existing legislation, although policies must still not be separated from the
basic meaning of existing and currently applicable laws. Thus, as a
necessity, the law cannot be too restrictive for policy to move, so that
policy loses its elasticity which at certain times is needed in the
application of the law itself. As understood, law enforcement is not
merely implementing existing texts without paying attention to the
conditions in the environment and the most important thing is
highlighting the essence of justice, which ultimately manifests as wisdom.
©2024, Ferdiana Rikawati, Dwi Indah Lestari
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Masalah lingkungan merupakan salah satu masalah utama di semua negara saat ini. Isu
perubahan iklim global semakin menjadi perhatian negara-negara di dunia. Hal ini dapat
dimaklumi karena lingkungan merupakan pusat sistem kehidupan yang mendukung
kelangsungan kehidupan di Bumi. Kesadaran dan kepedulian lingkungan dibentuk oleh
konferensi lingkungan pertama yang diadakan di Stockholm, Swedia pada tahun 1972.
Semangat konferensi ini membangkitkan kesadaran Pemerintah Republik Indonesia untuk
menyusun peraturan perundang-undangan lingkungan hidup untuk dijadikan pedoman hukum
dalam mengatur pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia (Said Saile, 2003:3).
Pencemaran dan perusakan lingkungan terjadi dimana-mana di Indonesia. Akumulasinya
meningkat dari tahun ke tahun dan cenderung tidak terkendali, dengan deforestasi dan
kebakaran, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. 2007), Semarang (2007),
Jember (2005), Banjarnegara (2006), Gempa Yogyakarta (2006). Demikian pula kerusakan
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
2
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
terumbu karang dan pencemaran air (sungai), tanah dan udara di berbagai daerah telah
mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Erupsi lumpur termal PT. Lapindo Brantas,
Porong dan Sidoarjo sudah ada selama lebih dari dua tahun dan belum terselesaikan. Upaya
membangun tanggul ternyata berbahaya karena tanggul beberapa kali runtuh, membuat air
keruh di banyak desa. Lebih dari 500 hektar lahan diperkirakan tergenang di tiga kabupaten.
Dikhawatirkan membuang lumpur ke laut untuk mengatasinya akan menimbulkan masalah
baru bagi biota laut dan mencemari air laut dan wilayah pesisir.
Salah satu kegiatan konservasi adalah memaksa dan mendorong anggota masyarakat
untuk memelihara lingkungan yang baik, sehat dan lestari. Untuk penegakan dan himbauan
ini, perlu diciptakan upaya hukum yang memadai dan utuh, kekuatan penegakan yang
maksimal (Andi Hamzah, 2005: 2).
Upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia telah diwujudkan melalui lahirnya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kemudian disempurnakan kembali dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Regulasi merupakan dasar
hukum untuk mengatur lingkungan. Dalam perkembangan hukum lingkungan, hukum
lingkungan modern menetapkan peraturan dan norma untuk mengatur perilaku manusia
dengan tujuan menjaga lingkungan dari kerusakan dan degradasi serta menjamin
kelestariannya. Ini akan terus digunakan oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Hukum
lingkungan klasik, di sisi lain, terutama ditujukan untuk menjamin penggunaan dan
pengembangan sumber daya lingkungan oleh berbagai akal dan akal manusia untuk mencapai
hasil yang sebesar-besarnya dan dalam waktu yang sesingkat mungkin, memberikan ketentuan
normatif (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006:41).
Dengan era otonomi daerah, pemerintah di tingkat daerah seringkali mengambil langkah-
langkah kebijakan yang bertentangan dengan produk hukum yang ada, sehingga menimbulkan
ketidaksesuaian antara langkah yang diambil dengan produk hukum. Sebagaimana diketahui,
kepastian hukum atas produk hukum harus menjadi syarat mutlak. Adanya kepastian hukum
berarti segala sesuatu yang diatur dalam produk hukum harus dipatuhi dan dilaksanakan
dengan baik dan benar. Sebagaimana diketahui, konsep dasar hukum berkaitan dengan
persoalan keadilan, yang menyangkut kebutuhan masyarakat akan rasa keadilan di tengah
banyaknya dinamika dan konflik dalam masyarakat. Dalam hal ini, hukum adalah hukum
positif sebagai aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara yang sah dan dapat ditegakkan
dalam penerapannya atas nama hukum. Pada posisi ini sering terjadi konflik yang tidak
menjamin rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan tidak memiliki kepastian hukum.
Tampaknya ada kompromi, karena semua hukum positif yang ada selalu mencerminkan rasa
keadilan.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada tidak dimaksudkan untuk melanggar hukum dengan
cara apa pun, tetapi hanya jika kondisi yang ada di daerahnya memungkinkan penerapan
peraturan hukum yang ada, saya kira tidak. Oleh karena itu, pemerintah daerah melihat
perlunya kebijakan di tingkat lokal yang lebih sesuai dengan tuntutan, kondisi dan kebutuhan
masyarakat setempat. Pada akhirnya, konflik yang dihasilkan antara produk yang sah dalam
konteks ruang publik dan kebutuhan aktual masyarakat akan menciptakan kesenjangan di
tingkat yang lebih rendah dan harmonisasi kebijakan.
2. Metode
Untuk memecahkan masalah yang diteliti, pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan normatif-empiris. Pendekatan ini dipergunakan untuk memperoleh data sekunder
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
3
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
dan primer yang berhubungan dengan harmonisasi hukum dan kebijakan dalam penegakan
hukum lingkungan. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif.
3. Hasil dan Pembahasan
Untuk memudahkan pemahaman dan pembacaan, hasil dan pembahasan tidak dipisah
dalam penulisannya. Hasil dan pembahasan harus menjawab permasalahan dan tujuan
penelitian. Subjudul hasil dan pembahasan disajikan terpisah. Pembahasan merupakan bagian
yang memiliki porsi paling banyak dalam badan artikel, minimum 60% dari keseluruhan
artikel.
3.1 Hukum sebagai Norma dalam Masyarakat
Hukum itu kompleks dan luas, Tidak mungkin merumuskan dengan definisi yang hanya
berisi beberapa kalimat. Namun diakui pula bahwa definisi hukum sangat penting dalam
menentukan ke arah mana profesi hukum akan dibawa. Utrecht mengatakan definisi hukum
yang utuh akan sangat sulit, tetapi pedoman hukum adalah seperangkat pedoman untuk
kehidupan yang teratur dalam masyarakat, yang harus diikuti oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan (Eddi Wibowo, et al., 2004: 6). Hukum adalah alat atau sarana pengaturan dan
pemeliharaan ketertiban untuk mencapai masyarakat yang adil dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial; dan memberikan sanksi bagi pelanggarnya. Mengatur pejabat pemerintah
sebagai penguasa (Eddi Wibowo, dkk. 2004:6). Hukum dan masyarakat adalah dua sisi mata
uang (di mana ada masyarakat, ada hukum) dan tidak dapat dipisahkan. Hukum yang tidak
dikenal, tidak sesuai dengan konteks sosial, dan yang tuntutan dan reformasinya tidak
dikomunikasikan secara efektif kepada publik tidak akan berjalan efektif. Fungsi hukum bagi
kehidupan masyarakat menurut Hendrojono ada 4 (empat), yaitu:
a. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan
karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana
berperilaku di dalam masyarakat sehingga masing-masing anggota masyarakat telah jelas
apa yang harus diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat.
b. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hal ini
dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat, baik fisik maupun psikologis.
c. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Hukum merupakan alat bagi
otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
d. Fungsi kritis dari hukum. Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum
mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-matamelakukan pengawasan
pada aparatur pengawas, pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur penegak hukum
termasuk di dalamnya (Hendrojono, 2005:53).
Perkembangan ilmu hukum dapat dilihat dari semakin meningkatnya peran hukum dalam
kehidupan masyarakat. Semula hanya berfungsi sebagai way of life berupa rangkaian
argumentasi untuk menciptakan ketertiban dan keadilan, kini hukum berfungsi sebagai mesin,
pendorong dan pedoman bagi pembangunan sosial. Hukum, menurut sifat dan kapasitasnya,
menyelaraskan perkembangan masyarakat dengan cita-cita masyarakat, penciptaan masyarakat
yang ideal. Undang-undang mengatur hak-hak masyarakat dan memaksakan kesewenang-
wenangan perangkat jika pengembang gagal memenuhi kewajibannya sesuai dengan dasar
hukum yang mengatur hak dan kewajibannya. Ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari
fungsi hukum. Perkembangan fungsional hukum merupakan interaksi sosial yang antara lain
menimbulkan fenomena sosial yang saling mempengaruhi perubahan sosial dan hukum.
Artinya hukum mempengaruhi perubahan dalam masyarakat, begitu pula sebaliknya,
perkembangan sosial juga mempengaruhi perubahan dan perkembangan hukum, dalam hal ini
hukum lingkungan.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
4
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
3.2 Aspek-aspek Hukum dalam Pengelolaan Lingkungan
Hukum lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur tentang ketertiban lingkungan
(environment) dan segala keadaan dan hal-hal yang terdapat dalam ruang di mana manusia
berada, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan
kesejahteraan manusia serta hal-hal lain. Jadi ada faktor yang perlu dipertimbangkan. Ini
berarti bahwa kerja hukum lingkungan dalam perlindungan lingkungan adalah perlindungan
hukum yang esensial sebagai sarana yang dapat diandalkan untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan dan melindungi kehidupan manusia dari kerusakan lingkungan.
Gangguan antara lain: Lainnya akibat pencemaran lingkungan
Disebutkan bahwa hukum memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan dan
penghidupan masyarakat. Karena hukum memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memaksa
individu atau kelompok untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, hukum muncul dalam
kehidupan masyarakat sebagai sarana yang dengannya masyarakat dapat bergerak maju.
Dengan kata lain, hukum dapat mengarahkan manusia untuk berperilaku dengan cara yang
tidak membahayakan jiwanya, dan hukum bertujuan untuk mewujudkan citra kesejahteraan
dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk kesehatan manusia. Undang-undang lingkungan
hidup ini merupakan perlindungan hukum terhadap pencemaran lingkungan dan menjamin
kelestarian lingkungan dalam proses percepatan perkembangan teknologi dengan berbagai
efek samping yang disebut juga dengan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (Koesnadi
Hardjasoemantri, 2006:45).
Hukum lingkungan adalah instrumen hukum yang berisi aturan-aturan tentang
pengelolaan lingkungan. Hukum lingkungan merupakan suatu konsep dalam ilmu-ilmu
lingkungan yang mengkhususkan diri pada yurisprudensi, dengan tujuan hukum kesadaran dan
pemahaman masyarakat tentang aspek perlindungan sebagai kebutuhan vital. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa hukum lingkungan yang berlaku saat ini adalah hukum lingkungan modern,
yaitu hukum lingkungan yang berwawasan lingkungan. Hukum lingkungan mengatur perilaku
manusia dengan tujuan melindungi lingkungan dari kerusakan dan degradasi serta memastikan
pemanfaatannya secara berkelanjutan. Dasar pengembangan hukum lingkungan adalah hukum
lingkungan privat (hukum perdata), hukum publik termasuk hukum administrasi lingkungan
dan hukum pidana lingkungan. Hukum publik biasanya ditegakkan oleh pemerintah,
sedangkan hukum privat biasanya ditegakkan oleh warga negara. Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 merupakan undang-undang substantif yang memuat ketentuan untuk melindungi
lingkungan hidup dari perbuatan masyarakat.
3.3 Penegakan Hukum Lingkungan
Secara konseptual, inti dari penegakan hukum adalah pengembangan seperangkat nilai
pada tahap akhir untuk menciptakan, mempertahankan, dan mempertahankan kehidupan sosial
yang damai, dengan nilai dan perilaku yang dituangkan dalam aturan yang solid dan konkret
hubungan yang harmonis. Penegakan hukum tidak hanya mempengaruhi hubungan antar
manusia, tetapi juga manusia dan lingkungan. Dalam hal ini, penegakan hukum lingkungan
adalah upaya untuk mencapai kepatuhan terhadap aturan dan persyaratan umum, serta hukum
individu, melalui pengawasan dan penegakan melalui jalur administratif, perdata dan pidana
(Andi Hamzah, 2005: 52). Penegakan hukum berkaitan erat dengan penyerahan kepada
pengguna dan penegak hukum dan peraturan, dalam hal ini penyelenggara daerah dan negara,
yaitu lembaga penegak hukum. Adanya sinyal bahwa hukum ditaati oleh masyarakat
menunjukkan bahwa tujuan pembuatan peraturan telah tercapai. Penegakan hukum, termasuk
kepatuhan, tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang dibentuk oleh kesadaran setiap
orang untuk melakukan, bukan mendengarkan dan menegakkan, peraturan yang ada.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
5
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
Penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menyangkut banyak segi yang sangat
kompleks, dengan tujuan untuk memelihara dan menciptakan lingkungan yang dapat dinikmati
oleh seluruh umat manusia dalam arti yang seluas-luasnya tanpa mengganggu lingkungan itu
sendiri. Berbagai bentuk undang-undang dan berbagai peraturan administrasi telah dibuat
untuk menangkap sikap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penegakan hukum
lingkungan dapat bersifat preventif atau represif. Proaktif, yaitu upaya penegakan hukum
untuk mencegah pencemaran. Sedangkan represif berarti melakukan tindak pidana dengan
melakukan tindakan hukum terhadap seseorang yang melanggar ketentuan hukum yang
berlaku. Instansi penegak hukum lingkungan mengatur segala bentuk pelanggaran dan tindak
pidana terhadap pelaku, baik perseorangan maupun badan hukum, dengan tindakan preventif
dan represif. Jenis tindakan yang dipermasalahkan meliputi sanksi administratif, perdata dan
pidana.
Dari ketiga bentuk instrumen tersebut tidak ada skala prioritas atau merupakan urutan
pertama dan terakhir, sehingga apabila ada asumsi tindakan pidakan merupakan hukuman
terakhir dalam penerapannya dan apabila tindakan yang lain tidak menyelesaikan masalah, hal
ini tidak seluruhnya benar. Bahkan tindakan pidana ini hanya menyelesaikan secara sepihak
belum menjangkau pada pihak penderitanya yaitu sekelompok orang yang terkena dampak
tersebut dalam bentuk pemulihan kekeadaan semula. Dengan demikian pada dasarnya setiap
instrumen mempunyai jangkauan masing-masing dengan tujuan yang berskala proporsional
yaitu tergantung dari kepentingan yang ingin diselesaikan (Andi Hamzah, 2005:61)
3.4 Aspek-aspek Kebijakan
Politik Menurut James E. Anderson, politik adalah arah tindakan dengan tujuan yang
ditetapkan oleh satu atau lebih aktor untuk mengatasi masalah dan perubahan (Budi Winarno,
1989: 3). Dengan demikian, proses implementasi kebijakan ternyata secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi tidak hanya tindakan otoritas administratif yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan program dan menciptakan kepatuhan pada kelompok sasaran, tetapi juga
tindakan semua pihak yang terlibat, pada akhirnya memiliki efek positif dan negatif. (Solichin
Abdul Wahab, 1997-36).
Secara sederhana, tujuan dari implementasi kebijakan adalah untuk memberikan arahan
agar tujuan kebijakan publik dapat terwujud sebagai akibat dari tindakan pemerintah. Proses
penetapan kebijakan dimulai ketika tujuan dan sasaran umum awal dirinci, program dirancang,
dan berbagai sumber daya dialokasikan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut (Solichin
Abdul Wahab, 1997:36). Kebijakan berjalan seiring dengan pemahaman tujuan yang ingin
dicapai dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan adalah kebijakan
perilaku di mana kebijakan tersebut menetapkan tujuan dan sarana tertentu. William Dunn
mengatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat keputusan yang kurang lebih saling
terkait (termasuk keputusan untuk tidak mengambil tindakan) yang dibuat oleh suatu badan
atau badan pemerintah (William N. Dunn, 2003:35).Jan Merse dalam Bambang Sunggono
mengatakan implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor adalah:
a. Informasi: Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang
kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
b. Isi Kebijakan: Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih sumimya isi atau tujuan
kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu
sendiri menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atan adanya kekurangan yang
menyangkut sumber daya pembantu.
c. Dukungan: Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak
cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
6
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
d. Pembagian Potensi:Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antaranya para aktor
implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan deferensiasi
tugas dan wewenang (Bambang Sunggono, 1994:2).
Sistern kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis yang berarti bahwa dimensi obyektif
dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak terpisahkan di dalam prakteknya. Sistem
kebijakan merupakan produk manusia yang subyektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan
sadar oleh para pelaku kebijakan, sistem kebijakan adalah realitas obyektif yang
dimanifestasikan dalam tindakan yang teramati berikut konsekuensinya.
3.5 Harmonisasi Hukum dan Kebijakan dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum lingkungan erat kaitannya dengan persoalan dampak hukum
terhadap masyarakat. Menurut Friedman, ada tiga faktor yang mempengaruhi berfungsinya
hukum: substansi, struktur, dan budaya hukum. Menurut Lijan Poltak Sinambela, faktor-
faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum (penerapan hukum) adalah apakah ketidaktaatan
atau pelanggaran hukum diamati atau diselidiki, dan siapa yang bertanggung jawab untuk
menegakkan hukum yang bersangkutan (Lijan Poltak Sinambela, 2006:37). Adapun syarat-
syarat yang menentukan kemungkinan hukum menjadi efektif adalah:
a. Undang-undang dirancang dengan baik, kaidahnya jelas;
b. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan mengharuskan atau
memperbolehkan (mandatur);
c. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan atau sifat undang- undang itu;
d. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan macam pelanggarannya;
e. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah);
f. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral;
g. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik, menyebarluaskan undang-undang,
penafsiran seragam dan konsisten.
Menurut Hendrojono, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan atau efektivitas
hukum adalah undang-undang/undang-undang/peraturan, penegak hukum (legislator dan
lembaga penegak hukum), entitas atau fasilitas pendukung, masyarakat (alamat hukum), dan
Budaya hukum (budaya hukum). Agar hukum dapat berfungsi sebagai instrumen kontrol
sosial dan untuk benar-benar mempengaruhi perilaku warga negara, hukum harus
disebarluaskan agar menjadi terlembaga dalam masyarakat (Hendrojono, 2005: 52). Pada
tingkat yang paling dasar, kebijakan adalah tindakan dengan aktor atau tujuan yang
ditentukan oleh aktor untuk menangani masalah atau perubahan. Proses implementasi
kebijakan yang sebenarnya tidak hanya mencakup tindakan otoritas administratif yang
bertanggung jawab untuk menciptakan implementasi program dan kepatuhan terhadap
kelompok sasaran, tetapi juga tindakan semua pihak yang terlibat, yang secara langsung atau
tidak langsung dapat mempengaruhi tindakan semua pihak yang terlibat. jaringan kekuatan
politik, ekonomi dan sosial dengan pengaruh yang kuat. Dan pada akhirnya berpengaruh baik
secara negatif maupun positif (Budi Wiranto, 2007:52). Secara sederhana, tujuan
implementasi kebijakan adalah untuk memberikan arah agar tujuan kebijakan publik dapat
tercapai sebagai akibat dari tindakan pemerintah. Proses penetapan kebijakan hanya dapat
dimulai setelah tujuan dan sasaran umum sebelumnya telah dirinci, program telah dirancang,
dan seperangkat sarana untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut telah disediakan (Lijan
Poltak Sinambela, 2006:41).
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
7
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
Kebijakan berjalan seiring dengan pemahaman tujuan yang ingin dicapai dan
bagaimana mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan pada dasarnya adalah kode
etik, yang berisi tujuan khusus dan tindakan yang dipilih. Keadaan yang diinginkan akan
muncul dalam tujuan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, namun penyempurnaan
lebih lanjut yang lebih spesifik dan jelas sangat diperlukan. Politik menjadi instrumen
pengelolaan lingkungan Ketika kepentingan publik, swasta dan nasional seimbang, bobot
politik harus diberikan secara adil, tetapi harus bertindak bersama dan bertanggung jawab.
Karena itu, kebijakan tidak efektif ketika penegakan hukum lemah. Penegakan hukum
memaksa semua anggota masyarakat untuk mengikuti pedoman yang ditetapkan. Padahal,
pemikiran tentang desentralisasi didasarkan pada keinginan untuk meminimalkan fungsi,
peran, dan kekuasaan negara. Desentralisasi memiliki dua dimensi, vertikal dan horizontal.
Desentralisasi vertikal mengharuskan organisasi tingkat yang lebih tinggi memiliki jumlah
kekuasaan paling sedikit, sementara memberikan lebih banyak kekuasaan kepada organisasi
di tingkat yang lebih rendah (pemerintah). Pada tataran horizontal, desentralisasi memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada lembaga swadaya masyarakat dalam menangani urusan
publik, sekaligus mengurangi kewenangan organisasi pemerintah dalam menangani urusan
publik.
Sebagaimana telah disebutkan, mandat pemerintah tidak hanya didasarkan pada
penegakan hukum, tetapi juga pada kewenangan diskresi, kebebasan bertindak pemerintah
negara bagian dalam melaksanakan tugas resminya. Dari pemahaman tersebut, kebijakan
publik memposisikan dirinya sebagai penerjemah praktis dari cita-cita yang hadir dalam
produk yang sah. Politik harus menjadi wahana bagi negara untuk menjalankan kapasitasnya
sebagai regulator untuk menghadapi gejolak sosial. Hubungan yang ideal tercapai ketika
kebijakan memiliki tiga elemen utama. Yaitu, jika dan di mana ada aturan atau peraturan
hukum yang sah, di mana ada aspek prosedural yang harus diikuti, dan di mana prosedur yang
ada harus diikuti dari pengembangan kebijakan hingga implementasi. Ini adalah substansi
yang mengutamakan kepentingan orang. Sebelum kita dapat menganalisis lebih lanjut
hubungan antara hukum dan politik, kita perlu memahami apa itu politik. Laswell
berpendapat bahwa politik adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah
(Muchsin dan Fadillah Putra, 2002:36). :23) Ini termasuk pembagian nilai secara wajib
kepada seluruh masyarakat oleh badan-badan yang diberi sanksi seperti pemerintah (M. Irfan
Islamy, 1984:2). Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya ada tiga elemen
kebijakan. Yaitu, mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai, taktik atau strategi dari langkah-
langkah yang berbeda untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan memberikan masukan
yang berbeda untuk implementasi sebenarnya dari taktik dan strategi tersebut (Muchsin dan
Fadillah Putra, 2002). :27).Dalam hal ini. Islami berpendapat bahwa politik pada dasarnya
berarti bahwa bentuk alamiah dari kebijakan publik adalah penentuan tindakan pemerintah.
Namun, ketika diimplementasikan atau diimplementasikan dalam kondisi praktis, kebijakan
secara inheren memerlukan pertimbangan yang cermat terhadap tujuan dan efek jangka
panjang dan jangka pendek di muka, dan pada akhirnya semua proses di atas adalah untuk
kepentingan publik (M.Irfan Islamy, 1984:4).
Kepentingan masyarakat sesungguhnya merupakan tujuan utama ditetapkan suatu
Politik. Dengan kata lain, ukuran keberhasilan suatu kebijakan tergantung pada bagaimana
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
8
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
masyarakat merasa bahwa kebutuhan dan kepentingannya terpenuhi oleh kebijakan tersebut,
sebaliknya proses politik pada dasarnya suboptimal dalam mencapai hasil yang telah
ditetapkan, tetapi dalam praktiknya dampaknya sangat memuaskan bagi masyarakat secara
keseluruhan.Setelah diprioritaskan, muncul masalah bahwa sejumlah besar aparat penegak
kebijakan harus secara terang-terangan melanggar peraturan perundang-undangan untuk
mencapai dampak yang diinginkan. Ditekankan bahwa masalah hukum harus ditangani di
sini. Banyak masalah akan muncul jika tindakan yang tepat tidak segera diambil di sini.
Artinya pejabat publik yang melaksanakan suatu kebijakan dapat ditangkap oleh hukum atas
tindakan yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai harapan esensial dari kebijakan
tersebut. Atau, bahkan pegawai negeri sipil tidak peduli dengan dinamika kepentingan publik,
percaya bahwa tanggung jawab mereka hanya terbatas pada ketaatan pada aturan formal dan
bukan pada integritas tugas yang dilakukan.
Berdasarkan kontroversi di atas, diperlukan konsep yang melibatkan paradigma baru
kebijakan publik yang tidak memperhitungkan perbedaan antara proses kebijakan internal dan
dinamika sosial. Konsep good governance telah dikedepankan, di mana semua elemen sosial,
mulai dari perumusan kebijakan hingga evaluasi, harus dilibatkan tidak hanya secara
partisipatif tetapi juga secara liberating. Jadi dalam konteks ini. Hasil kebijakan publik adalah
hasil diskusi dan kesepakatan bersama antara masyarakat dan bangsa. Barclay dan Birkland
percaya bahwa perjanjian yang tidak mengikat secara hukum menciptakan kerentanan bagi
pelanggaran multi-pihak terhadap kesepakatan yang dicapai dalam proses kebijakan publik
itu sendiri (Jurnal Studi Kebijakan, Volume 26, Nomor 2, 1998, 1998, hlm. 227-243). Selain
itu, Berkeley dan Berkland berpendapat bahwa tanpa proses politik, produk hukum
kehilangan makna substantifnya, jika demikian maka sisi operasional kebijakan tentu akan
sangat lemah (Policy Studies Journal, Vol. 26, Number 2, 1998, hlm. 227). -243). Kami
sebutkan sebelumnya bahwa dalam politik ada proses pemberian nilai secara paksa kepada
seluruh komunitas. Nilai dalam negara hukum harus sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui, hukum memungkinkan masyarakat untuk bertindak tertib dalam
kehidupan yang damai, mencegah mereka dari berbuat anarki dengan mengambil alih hukum
sendiri, dan keadilan menguasai semuanya. Seperti yang dikemukakan Van Apeldoorn bahwa
tujuan hukum adalah mengatur kehidupan sosial yang damai, hukum menuntut perdamaian.
Dalam hal ini, perdamaian yang dipelihara oleh hukum adalah perdamaian antar manusia
dengan melindungi kepentingan manusia (van Apeldoorn, 1985:20).
Kebijakan hadir dan disusun dalam upaya untuk memudahkan sebuah konstitusi dasar
mewujudkan cita-cita luhurnya. Dalam hal ini pemerintah diberi wewenang untuk
memproduksi sebuah kebijakan. Di mana dengan wewenang ini, pemerintah dapat secara
kreatif mencari jalan yang paling efisien bagi terimplementasinya konstitusi. Berangkat dari
pemahaman ini maka harus ada hubungan ideal antara hukum dan kebijakan. Hubungan yang
saling melengkapi antara hukum dan kebijakan, di mana produk hukum yang bersifat
mengatur secara umum harus diterjemahkan oleh kebijakan publik pada wilayah-wilayah
empiris, aktual dan kontekstual, tanpa harus menghilangkan makna dasar dari konsitusi yang
menjadi akamnya.
Berhubungan dengan pembentukan hukum dan kebijakan pengelolaan lingkungan.
upaya yang dapat diwujudkan adalah bentuk hukum dan kebijakan yang tidak terlepas dari
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
9
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia memiliki keragaman
kehidupan sosial dan budaya. Pertentangan antara individu dan umum, kebijakan dalam
pengelolaan lingkungan harus melihat jauh kedepan, bukan hanya tujuan-tujuan praktis
Dalam menyadari relativitas keadilan, adanya dualisme antara keadilan dan hukum positif
karena ada pertentangan antara nilai-nilai, maka hukum dapat menjadi keputusan untuk
memerintahkan pelaksanaan kebijakan tertentu dan mendorong keinginan untuk menetapkan
patokan-patokan minimum yang harus ditepati oleh hukum positif. Sebagaimana prinsip-
prinsip dari ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai otonomi kemauan,
perintah, dan kepentingan umum dan keseimbangan yang tepat antara kepentingan-
kepentingan pribadi yang bertentangan Pada akhirnya harus disandingkan antara keadilan
dengan hukum positif. Teori hukum dapat melakukan tugas yang penting di mana dengan
pembedaan setiap problema hukum atau situasi, maka faktor-faktor yang menggambarkan
nilai-nilai yang bertentangan dapat dianalisis secara objektif.
Analisis postpositifistis menegaskan bahwa dimensi politik mempengaruhi disusunnya
suatu kebijakan. Disusunnya kebijakan ini sesungguhnya ada sebuah kompleksitas tarik
menarik pengaruh dari berbagai pihak yang begitu beragam, mulai dari kondisi politik
internasional sampai pada elemen-elemen politik domestik. Pada dasamya kebijakan publik
itu berada dalam sebuah realitas politik makro dan mikro yang sangat kompleks. Berbagai
elemen dan situasi yang melingkupi keadaan sosio-politik sebuah bangsa akan sangat
menentukan seperti apa bangunan kebijakan publik yang akan dihasilkan nantinya
Sebagaimana dipahami bahwa hukum bukan semata-mata hanya teks-teks kaku yang
ada, tanpa memperdulikan kondisi yang di dalam masyarakat, namun yang terpenting adalah
esensi dari keadilan. Aspek keadilan selalu menjadi benang merah dalam permasalahan
kebijakan privatisasi.
Kebijakan dapat ditelaah dasar obyektifnya sehingga dapat dilihat dari apakah suatu
kebijakan atau tindakan publik membawa manfaat atau akibat yang berguna atau sebaliknya
kerugian bagi orang-orang terkait, oleh sebab itu diperlukan cita-cita keadilan untuk
menyeimbangkan penilaian tersebut. Di mana gagasan-gagasan keadilan absolut dibuat untuk
menilai bahwa kepentingan-kepentingan sosial tidak hanya didasarkan atas relativitas nilai-
nilai, tetapi juga atas kebutuhan untuk terus mencocokannya sesuai dengan perkembangan
sosial. Untuk itu dianggap penting bagaimana mendamaikan kebebasan dan kesejahteraan,
hukum dan administrasi.
4. Kesimpulan
Kebijakan dirancang untuk memudahkan Konstitusi mewujudkan cita-cita luhurnya.
Pemerintah memiliki kekuatan untuk secara kreatif menemukan cara yang paling efisien
untuk melaksanakan Konstitusi. Pengertian ini mengandung makna bahwa ada hubungan
yang implisit antara hukum dan politik. Hubungan yang saling melengkapi di mana artifak
hukum regulasi perlu diterjemahkan secara umum dari kebijakan publik ke dalam ranah
empiris, faktual dan kontekstual tanpa harus menghilangkan makna fundamental
konstitusional yang mendasarinya.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 1-10
E-ISSN: 3063-4350
10
Ferdiana Rikawati et.al (Harmonisasi Hukum dan Kebijakan....)
5. Daftar Pustaka
Birkland, Thomas dan Scott Barclay. Law, Policy Making and the Policy Prosess: Closing the
Gaps. Policy Studies Journal, Volume 26 Nomor 2. 1998
Dunn, William N. 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Hamzah, Andi. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan Jakarta: Sinar Grafika
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2006. Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Hendrojono. 2005. Sosiologi Hukum, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum. Jakarta:
Srikandi
Islamy, M. Irfan. 1984. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakansanaan Negara.Jakarta: Bumi
Aksara
Muchsin dan Fadillah Putra. 2002. Hukum dan Kebijakan Publik Surabaya: Averroes Press
Saile, M. Said. 2003. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup. Jakarta: Sinar Grafika
Sinambela, Lijan P. 2006. Reformasi Pelayanan Publik Jakarta: Bumi Aksara
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar Grafika
van Apeldoom. 1985. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht
oleh M. Oetarid Sadino), Jakarta: NV. Noordhoff-Kolff.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik Malang: IKIP Pres
Wibowo, Eddi. dkk. 2004. Hukum dan Kebijakan Publik. YPAPI, Jakarta
Winarno, Budi. 1989. Teori Kebijakan Publik Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Gadjah
Mada