IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
31
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
Pentingnya Restoratif Justice dalam Hukum Pidana
Indonesia
Sholeh Nur Wibawa
a,1
, Andrie Irawan
b,2
, Fifi Fatmawati
c,3
ab
Universitas Surakarta, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
c
CV Kurnia Grup, Banguntapan, Bantul, DIY, Indonesia
*
fatmawati@kurniajurnal.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 17 Februari 2024
Direvisi: 4 Maret 2024
Disetujui: 20 April 2024
Tersedia Daring: 1 Mei
2024
Negara Indonesia adalah negara hukum, penegasan akan hal ini bisa dilihat
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Penyelesaian kasus melalui sistem peradilan yg berujung di vonis
Pengadilan artinya suatu penegakan aturan ke arah jalur lambat. Hal ini
dikarenakan penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang,
melalui banyak sekali strata mulaidari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung yg pada
akhirnya berdampak pada penumpukan masalah yg jumlahnya tidak
sedikit pada Pengadilan serta belum lagi impak lainnya. buat itu perlu
dilanjutkan langkah-langkah untuk menyusun perUndang-Undangan yg
menyangkut hak serta kewajiban asasi masyarakat negara pada rangka
mengamalkan Pancasila serta UUD Tahun 1945. Pembaruan terhadap
KUHP sang penyusunnya diposisikan menjadi peletak dasar bagi bangunan
sistem hukum pidana nasional. Terkait dengan Politik aturan
Pembaharuan aturan Pidana pada aturan Pidana Nasional yg akan tiba ada
konsep dikenal namanya konsep Restorative Justice. Restorative Justice
meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban serta pelaku.
Pemulihan korelasi ini bisa berdasarkan atas konvensi bersama antara
korban dan pelaku. Pihak korban bisa memberikan mengenai kerugian
yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan buat menebusnya,
melalui prosedur ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, juga konvensi
lainnya.
Kata Kunci:
Restorative justice
Pembaharuan hukum
RKUHP
ABSTRACT
Keywords:
Restorative justice
Legal reform
RKUHP
The state of Indonesia is a state of law, an affirmation of this can be seen in
Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.
Settlement of cases through the judicial system which leads to a court verdict
means an enforcement of the rules towards the slow lane. This is because
law enforcement goes through a long distance, through various strata
ranging from the Police, Prosecutors, District Courts, High Courts and even
to the Supreme Court which ultimately has an impact on the accumulation of
problems that are not small in number in the Court and not to mention other
impacts. For this reason, it is necessary to continue with steps to draft laws
concerning the rights and basic obligations of the state community in the
context of practicing Pancasila and the 1945 Constitution. The reform of the
Criminal Code which was drafted is positioned as laying the foundation for
the building of the national criminal law system. Regarding the Politics of the
Criminal Code, there is a concept known as the concept of Restorative Justice
in the upcoming National Criminal Code. Restorative justice includes
restoring the relationship between the victim and the perpetrator. The
restoration of this correlation can be based on a common convention
between the victim and the perpetrator. The victim can provide information
about the loss suffered and the perpetrator is also given the opportunity to
make amends, trough procedures for compensation, reconciliation, social
work, as well as other conventions.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
32
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
©2024, Sholeh Nur W, Andrie Irawan, Fifi Fatmawati
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), penegasan ini dapat dilihat dalam Pasal 1(3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Daniel S. Lev, para
founding fathers di atas sangatlah penting. Ya, karena secara sosiologis, berbagai golongan
dalam masyarakat Indonesia juga mendukung atau menyepakati supremasi hukum dengan
berbagai alasan [Daniel S. Lev, Law and Politics in Indonesia: Keseimbangan dan Perubahan,
Edisi Satu, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. 386.
1
. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
adalah suatu kesatuan prosedur pembangunan yang digunakan untuk merumuskan rencana
pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh
pengelola pusat dan daerah nasional dan masyarakat di semua tingkatan. [Pasal 1 (3) UU No.]
25 Tentang sistem perencanaan tahun 2004 Pembangunan nasional.
2
Penyelenggaraan sistem
perencanaan pembangunan nasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum penyelenggaraan
pemerintahan nasional, dan bertujuan untuk mendukung koordinasi antar subyek
pembangunan dan menjamin keterpaduan, sinkronisasi, dan koordinasi antar wilayah, ruang,
waktu, dan fungsi pemerintahan. Antara pusat dan daerah, memastikan hubungan dan
konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pemantauan, mengoptimalkan
partisipasi masyarakat, dan memastikan penggunaan sumber daya yang efisien, efektif, adil
dan berkelanjutan.
3
Di era modern ini banyak terjadi kejahatan (perilaku ilegal) di kalangan
masyarakat Indonesia yang berujung pada pengadilan (tuntutan hukum).Masyarakat cenderung
menggunakan metode yang disebut pengadilan untuk menyelesaikan perkara.Menurut mereka,
keadilan akan tercipta secara konseptual dan teoritis, namun dalam Realitas atau aspek hukum
dari perbuatan tersebut sebenarnya tidak mudah untuk dicapai, karena sifatnya yang sering
bersifat win-win solution. Dalam kenyataan ini penyelesaian suatu perkara melalui peradilan
hanya bersifat lose-lose solution, yang biasanya menghasilkan win-win solution.
Perasaan "tidak nyaman atau kecewa", dendam, ketidakpuasan, ketidakadilan, atau bahkan
lebih buruk, niat untuk membalas. Ketidaknyamanan atau kekecewaan yang mendarah daging
di hati pihak yang kalah akan mencari “keadilan” (MK) di tingkat peradilan yang lebih tinggi,
seperti Pengadilan Tinggi (PT), Mahkamah Agung (MA) bahkan Mahkamah Konstitusi. Hal
ini tentu saja akan menimbulkan tumpukan kasus yang mengalir melalui pengadilan, yang
dapat menghambat sistem peradilan, khususnya di Indonesia. Dilihat dari fenomena tersebut,
apa yang dikemukakan Joni Emirzon dalam bukunya yang berjudul “Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Luar Pengadilan” secara garis besar dapat digolongkan sebagai salah satu
kelemahan sistem litigasi, meskipun sudah menjadi suatu keharusan. dihindari.
4
Satjipto
Raharjo mengatakan, penyelesaian perkara melalui sistem peradilan menyebabkan putusan
pengadilan menjadi jalur lambat penegakan hukum. Sebab, penegakan hukum harus melalui
jalan yang panjang, melalui seluruh jajaran kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, bahkan Mahkamah Agung, yang pada akhirnya berdampak pada
menumpuknya perkara. Ada banyak orang di pengadilan.
5
Untuk itu perlu dilanjutkan
langkahlangkah untuk menyusun perUndang - Undangan yang menyangkut hak dan kewajiban
asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Diharapkan seluruh warga negara Indonesia harus
1
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Keseimbangan dan Perubahan, Cetakan I, LP3ES, Jakarta, 1990, h. 386.
2
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
3
Pasal 3- 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
4
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, h. 3-5.
5
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003, h. 170.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
33
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
selalu sadar dan taat kepada hukum, sebaliknya kewajiban negara untuk menegakkan dan
menjamin kepastian hukum..
6
Romli Atmasasmita mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Hukum Nasional
(Indonesia) sebagai suatu sistem belum terbentuk secara holistik, komprehensif, ataupun
belum diperkaya nilai-nilai kehidupan masyarakat adat untuk beradaptasi dengan kehidupan
masyarakat maju. Usaha untuk menyatakan telah terdapat suatu sistem hukum nasional,
terbukti hanya merupakan pewarisan sistem hukum pewarisan Hindia Belanda yang menganut
“Civil law device” semata-mata yang dipaksakan berlakunya ditengah-tengah masyarakat
hukum adat. Perubahan terhadap KUHP pada masa pasca kemerdekaan Republik Indonesia
dan setelah generation reformasi, antara lain dilakukan dengan memasukan ketentuan
mengenai pembajakan udara dan larangan ideologi marxisme-komunisme. Pembentukan
sistem hukum nasional sampai saat ini masih belum selesai dan patut dipertanyakan sebelum
dan setelah Indonesia memasuki generation reformasi, pembentukan tersebut lebih banyak
hasil harmonisasi pengaruh hukum asing atau hukum Internasional ke dalam peraturan
perUndangUndangan”.
7
Pembaruan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)
oleh penyusunnya diposisikan sebagai peletak dasar bagi bangunan sistem hukum pidana
nasional. Sejalan dengan itu, upaya pembaruan itu mengusung misi besar yaitu:
dekolonialisasi terhadap KUHP peninggalan/warisan kolonial, demokratisasi hukum pidana,
konsolidasi hukum pidana, dan adaptasi serta harmonisasi berbagai perkembangan baik secara
nasional maupun internasional. Turunan dan penjabaran dari misi besar itu adalah perubahan
baik secara terbatas maupun drastis paradigma hukum pidana sebagaimana termuat dalam
KUHP saat ini.
Adapun karakteristik dari sistem hukum nasional nantinya, tergantung dari politik hukum
nasional Indonesia. Dengan perkataan lain, bahwa politik hukum nasional Indonesia akan
menentukan karakteristik dari sistem hukum nasional Indonesia. Jadi terciptanya sistem
hukum nasional yang berfilsafatkan Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, tergantung dari politik hukum nasional..
8
Terkait
dengan Politik Hukum Pembaharuan Hukum Pidana dalam Hukum Pidana Nasional yang akan
datang akan ada dikenal namanya konsep Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Konsep
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) ini tergolong baru dalam proses penegakan hukum
pidana dan juga mempertanggungjawabkan pelakunya. Secara filosofis, konsep ini
menawarkan bentuk penyelesaian berbagai kasus hukum yang terjadi di luar proses peradilan
pidana yang sudah ada, agar masyarakat tidak hanya tergantung pada prosedur yang ada saat
ini sesuai dengan cerminan nilai-nilai Pancasila yakni “Permusyawaratan yang adil dan
Beradab” guna mencapai keadilan sosial bagiseluruh rakyat atau warga masyarakat di
Republik Indonesia. Salah satu bentuk solusi yang ditawarkan adalah proses penyelesaian
dalam konteks Restorative Justice (Keadilan Restoratif).
2. Metode
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian pustaka atau studi
literatur. Metode ini melibatkan pengumpulan dan analisis berbagai sumber tertulis yang
relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan membaca, mengkaji,
menganalisis literatur yang ada untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
Restorative Justice.
6
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, h. 5.
7
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2012, h. 60-61.
8
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum: Suatu Optik Ilmu Hukum, Edisi II, Thafa media, Yogyakarta, 2013, h. 45
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
34
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
3. Hasil dan Pembahasan
a. Pengertian Restorative Justice
Konsep Restorative Justice sebenarnya telah muncul cukup lama, kurang lebih dari dua
puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, khususnya anak, dengan
berbagai pertimbangannya. Sebagaimana dikemukakan oleh John Braithwaite bahwa,
Restorative Justice sebuah arah baru antara “justice” dan “walfare version”, kemudian antara
“retribution” dan “rehabilitation”.
9
Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan
restoratif sudah diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana konvensional yaitu tahap
penyidikan dan penuntutan, tahap adjudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan.
Dalam perkembangan, pertumbuhan, dan penyebaran keadilan restoratif mendapat
dukugan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Kongres Lima Tahunan yang ke-5 di
Jenewa tahun 1975, PBB mulai menaruh perhatian terhadap ganti rugi bagi korban kejahatan,
sebagai alternatif bagi peradilan pidana retributif. Konsep asli praktek keadilan restoratif
berasal dari praktek pemeliharaan perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori (penduduk
asli suku di Selandia Baru). Bilamana timbul konflik, praktek restoratif akan menangani pihak
pelaku, korban, dan para stakeholders.
10
Bahkan Jeff Christian, seorang pakar Lembaga
Pemasyarakatan Internasional dari Kanada mengemukakan bahwa sesungguhnya peradilan
restoratif telah dipraktekkan banyak masyarakat ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya
hukum negara yang formalitas seperti sekarang yang kemudian disebut hukum current.
11
Penyelesaian di luar sistem baik dilakukan oleh para pihak (pelaku dan korban mandiri)
ataupun dengan melibatkan penegak hukum. Ketidakpuasan terhadap Sistem Peradilan Pidana
dengan demikian terkait tidak saja dengan mekanisme penanganan perkara dan adminstrasi,
tetapi juga Hasil akhir dari proses yang berjalan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan
prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya
adalah dengan menggunakan pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif), melalui
suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah Undang-Undang semata tetapi juga
memodfikasi Sistem Peradilan Pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki
oleh hukum pun tercapai.
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) meliputi pemulihan hubungan antara pihak
korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara
korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya
dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi,
perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Seorang ahli Krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya
”Restorative Justice an overview” mengatakan:
12
“Restorative Justice is a manner whereby all
of the parties with a stake in aparticular offence come collectively to clear up collectively how
to address theaftermath of the offence and its implication for the future” (Restorative Justice
(Keadilan Restoratif) adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama
bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan)”.
Liebmann secara sederhana mengartikan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) sebagai
suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan
masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan
9
John Brithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, University Press, Oxford, 2002, h. 1.
10
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta: Gramedia, 2010, h.
196
11
Hadi Supeno, Kriminalisasi… h. 196
12
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung: Refika
Editama, 2009, h. 88.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
35
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
kejahatan lebih lanjut.
13
Liebmann juga memberikan rumusan prinsip Restorative Justice
(Keadilan Restoratif) sebagai berikut:
1) Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
2) Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan;
3) Conversation antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4) Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5) Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa
depan;
6) Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban
maupun pelaku.
14
Hal ini dilakukan dengan mempertemukan kedua belah pihak baik pelaku maupun korban
untuk memutuskan cara yang terbaik dalam menyelesaikan kasus yang ada. Restorative Justice
(Keadilan Restoratif) menurut Angkasa, Saryono Hanadi, dan Muhammad Budi Setyadi dalam
ilmu hukum pidana harus bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum
terjadi kejahatan. Ketika ada orang yang melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan
menjadi berubah. Maka disitulah peran hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban
kejahatan. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti
rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan
atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan
mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya,
melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan
lainnya
15
Banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep Restorative Justice
(Keadilan Restoratif), seperti Communitarian Justice (Keadilan
Komunitarian), wonderful Justice (Keadilan Positif), Relational Justice (Keadilan Relasional),
Reparative Justice (Keadilan Reparatif), dan community Justice (Keadilan Masyarakat).
Gerakan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) awalnya dimulai sebagai upaya untuk
memikirkan kembali kebutuhan yang tidak terpenuhi dala m proses peradilan biasa.
Restorative Justice memperluas lingkaran pemangku kepentingan atau pihak - pihak yang
yang terlibat peristiwa atau kasus dimana bukan hanya sekedar Pemerintah dan Pelaku namun
juga termasuk korban dan anggota masyarakat.
16
Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a vision for hearing and trade”
mengemukakan ada 5 (lima) prinsip dalam Restorative Justice, yaitu:
1) Restorative Justice mangandung partisipasi penuh dan konsensus;
2) Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat
terjadinya tidak kejahatan;
3) Restorative Justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh;
4) Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang
terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;
5) Restorative Justice memberikan ketahanan kepada warga masyarakat agar dapat
mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
b. Pentingnya Konsep Restorative Justice Dalam R-Kuhp Mendatang.
13
Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Work, London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007, h. 25.
14
Marian Liebmann, Restorative…h. 26
15
Angkasa, Saryono Hanadi, dan Muhammad Budi Setyadi, Model Peradilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian
tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan
Purwokerto), 2012, h. 8.
16
Howard Zehr & Ali Gohar, The Little Book of Restorative Justice, Pennyslvania: Good Books, 2003, h. 17.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
36
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa
menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua
masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan
yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial budaya dan bukan
bersumber pada diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan
untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dengan fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat. Fiat Justisia Ruat Coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski
langit runtuh keadilan dan hukum harus ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat
populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan
sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah
diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan
dan kepastian hukum. Kedepan dalam rangka mencapai tujuan hukum akan disusun
Rancangan KUHP yang merupakan hasil dari pemikiran bangsa Indonesia. Penyusunan
Rancangan KUHP kedepan diharapkan menyasar pada four (empat) hal, yaitu:
1) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan;
2) Perbaikan pada pelaku;
3) Pencegahan terhadap tindakan sewenangwenang di luar hukum;
4) Penyelesaian konflik dalam masyarakat.
Keempat tolok ukur ini diletakkan dalam kerangka perlindungan masyarakat yang dicapai
melalui tujuan pemidanaan. Dengan demikian, seharusnya materi Rancangan KUHP
berdampak terhadap perubahan-perubahan substansial terkait perlindungan masyarakat yang
menggeser paradigma hukum pidana nasional. Perubahan ini dipastikan akan berdampak pada
banyak aspek, salah satu yang terutama adalah terhadap kondisi dan kebijakan
pemasyarakatan. Dengan perubahan baik secara paradigmatik maupun materi in keeping with
materi, maka proyeksi akan situasi dan kebijakan pemasyarakatan akan juga berubah seiring
dengan pembaruan ini. Pembaruan terhadap Rancangan KUHP bertitik tolak pada tujuan
“perlindungan masyarakat” (social defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social
welfare).
17
Kita ambil contoh mengenai upaya penyelesaian masalah di luar Pengadilan yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya)
nantinya diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan pelaku tindak
pidana di Pengadilan dalam penjatuhan sanksi pidananya oleh hakim/majelis hakim.
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) menjadi pertimbangan dalam sistem pelaksanaan
hukum pidana dan dimasukkan ke dalam Peraturan PerUndang-Undangan Hukum Pidana
(KUHP) baru, khususnya misalnya untuk delik pidana aduan (klacht delict) agar
menitikberatan pada kondisi terciptanya keadilan (justice) dan keseimbangan perlakuan
hukum terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana dapat tercapai dengan baik,
tanpa harus selalu menggunakan sanksi pidana (hukuman penjara) dalam penyelesaian
akhirnya. Karena efek jera sebagai tujuan akhir pemidanaan (hukuman penjara) pelaku tindak
pidana sekarang ini sudah tidak lagi mencapai sasarannya sebagaimana yang diharapkan. Perlu
adanya terobosan baru dalam pelaksanaan sistem pemidanaan di Negara Indonesia, tidak saja
mealalui hukuman penjara semata tapi juga melalui penerapan Restorative Justice (Keadilan
Restoratif).
Pendekatan Restorative Justice memfokuskan kepada kebutuhan baik korban maupun
pelaku kejahatan. Di samping itu, pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan
17
Muladi dan Diah Sulistyani, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Alumni, Bandung, 2013. h. 3.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
37
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
datang.
18
Gerakan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) awalnya dimulai sebagai upaya
untuk memikirkan kembali kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam proses peradilan biasa.
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) memperluas lingkaran pemangku kepentingan atau
pihak - pihak yang yang terlibat peristiwa atau kasus dimana bukan hanya sekedar Pemerintah
dan Pelaku namun juga termasuk korban dan anggota masyarakat.
Sebenranya banyak Hukum Adat (Tranditional law) di Indonesia yang bisa menjadi
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian
konflik secara damai di luar pengadilan atau win win answer walau pada kenyataannya masih
sangat sulit diterapkan karena keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan
dalam hukum nasional.
19
Munculnya ide Restorative Justice (Keadilan Restoratif) sebagai
kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak
dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang
dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.
20
Salah satu bentuk mekanisme Restoratif Justice (Keadilan Restoratif) yang bisa diterapkan
dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia adalah menggunakan teknik
conversation secara kekeluargaan yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan
sebutan "musyawarah untuk mufakat”. Konsep Restoratif Justice (Keadilan Restoratif) ini
menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya
sehingga dapat mengurangi angka residivis dikalangan pelaku tindak pidana serta memberikan
rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak.
Masalah pokok penerapan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) sebenarnya terletak
pada faktor-faktor mengikutinya, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor sarana prasarana pendukung
penegakan hukum, faktor masyarakat dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan
faktor kebudayaan yang masih menjadi kebijakan lokal masyarakat dan masih berlaku hingga
kini.
21
Dalam Teori Retributif, sanksi pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan
pemidanaan”. Dalam hal ini sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan
(pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana merupakan cara yang paling
tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Adapula yang menyebutnya sebagai “older
philosophy of crime manipulate”. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, ada yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan,
dengan menggunakan sanksi pidana.
22
H.L. Packer : pidana merupakan “peninggalan
kebiadaban kita masa lalu” (a vestige of our savage past) yang seharusnya dihindari.
23
Menurut Smith dan Hogan teori retributif tentang pemidanaan merupakan “a relic of
barbarism”.
24
Salah satu jenis sanksi pidana misalnya adalah pidana pencabutan kemerdekaan
yang populer disebut dengan pidana penjara dan pidana kurungan. Penerapan sanksi pidana
pencabutan kemerdekaan mengandung lebih banyak aspek-aspek negatif daripada aspek-aspek
18
Septa Chandra, Restorative Justice: suatu tinjauan terhadap pembaharuan hukum pidana di Indonesia, 2013, h. 264
19
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia Volume. 6,
No. II, 2010, h.187.
20
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Mimbar Justitia Fakultas Hukum
Universitas Suryakancana, Cianjur, Volume. V, No. 01, 2014, h.86.
21
Makarao, Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, Guru Besar
Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta, 2013, h. 47 – 48.
22
Gene Kassebaum, Delinquency and Social Policy, London: Prentice Hall, Inc, 1974, h. 93
23
H.L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, California: Stanford Univercity Press, 1968, h. 3.
24
Smith and Hogan, Criminal Law, London: Butterworths, 1978, h. 6
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
38
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
positifnya. Hal ini terbukti bahwa penjatuhan pidana pencabutan kemerdekaan menimbulkan
hal-hal negatif sebagai berikut:
1) Dehumanisasi pelaku tindak pidana:
25
a. tujuan pidana penjara pertama adalah menjamin pengamanan narapidana dan kedua
adalah memberikan kesempatan kesempatan kepada narapidanauntuk direhabilitasi
b. hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas sering kali mengakibatkan dehumanisasi
pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang
terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidak-mampuan narapidana untuk melanjutkan
kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat
2) Prisonisasi (Prisonization) narapidana
Proses prisonisasi narapidana dimulai ketika narapidana masuk dalam lembaga
pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berisi kehidupan penjara sebagai suatu sistem
sosial informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana (inmate lifestyle). Sub kultur
narapidana ini mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan character narapidana,
khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut kedalam masyarakat narapidana (the inmate
network) yang oleh Clemmer disebut sebagai prisonisasi. Dalam proses prisonisasi narapidana
baru (new comer) harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam
masyarakat narapidana. Disamping itu ia harus mempelajari kepercayaan, perilaku-perilaku
dari masyarakat tersebut, yang akhirnya menimbulkan intellectual jahat.
26
3) An area of contaminatio
Menurut Bernes dan Teeters bahwa penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran (a
place of infection) yang justru harus dihindari. Di dalam penjara, penjahat kebetulan
(accidental offenders), pendatang baru (novices in crime) dirusak melalui pergaulannya
dengan penjahat-penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk
menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini.
27
4) Pidana berjangka pendek
Pidana berjangka pendek akan sangat merugikan di dalam pembinaan sebab disamping
kemungkinan hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, pidana penjara jangka pendek jelas
tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana.
28
5) Stigmatization
Kerugian lain yang sangat dirasakan dari penerapan pidana penjara adalah terjadinya
stigmatisasi (stigmatization). Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas seseorang
terganggu atau rusak disebabkan oleh pandangan masyarakat sekitar terhadapnya. Secara
psikhologis stigmatisasi menimbulkan kerugian terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena
dengan demikian publik mengetahui bahwa ia seorang penjahat, dengan segala akibatnya.
29
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan pemidanaan tersebut. G. Peter
Hoefnagels, sebagaimana dikutif oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa
tujuan pidana adalah untuk:
1) Penyelesaian konflik (war resolution);
2) Mempengaruhi para pelanggar dan orang-orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih
sesuai dengan hukum (influencing offenders and probably apart from offenders in the
directionof greater or less regulation conforming conduct).
Sementara Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada hakekatnya ada dua poros
yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu:
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, TeoriTeori Dan Kebijakan Pidana¸ Bandung: Alumni, 1984, h. 77-78.
26
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.79
27
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.79
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.80
29
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.81
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
39
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
1) Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat
mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan;
2) Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan
hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.
Dengan demikian, pada hakekatnya pidana adalah selalu perlindungan terhadap
masyarakat dan pembalasan atas perbuatan tidak hukum. Di samping itu Roeslan Saleh
juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana
diterapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu
proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
Dari konsep normatif ditas apakah sebenarnya yang menjadi tujuan akhir (ending)
dalam sebuah pemidanaan yang ada sekarang, Apakah untuk menciptakan efek jera
kepada pelaku yang sudah berbuat jahat? Apakah untuk menciptakan keteraturan,
ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat? Apakah untuk menegakan aturan hukum
itu sendiri? Banyak jawaban-jawaban yang ada di dalam pikiran kita maupun orang lain
terkait pertanyaanpertanyaan tersebut, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya
sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun
narapidana yang menghuni Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS) Belum lagi sistem pemidanaan yang ada sekarang seakan tidak lagi
menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana atau kejahatan, malah kita dapat
melihat over potential di Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS) dan berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan
Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Pengawasan yang
lemah tidak berimbang dengan besarnya jumlah tahanan yang jumlahnya setiap hari
semakin bertambah. Disudut lain Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) yang ada juga seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat
dalam memasyarakatkan kembali para narapidana yang melakukan tindak pidana tersebut,
malah seolah-olah sekarang Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS) telah bergeser fungsinya sebagai Sekolah Kriminal (academy of crime), tempat
dimana para narapidana lebih banyak belajar dan diasah kemampuannya dalam
melakukan tindakan pidana. Ini jutru membuat efek yang negatif dan berdampak besar
bagi tujuan pemidaan itu sendiri. Belum lagi dapat kita lihat masalah Aparat Penegak
Hukum (APH) yang terlalu formalistik dan belum profesional dalam menjalankan tugas
dan fungsi.
Bersamaan dengan kegagalan Sistem Peradilan Pidana yang didasari dinamika
perubahan dan perkembangan hukum pidana timbul suatu paradigma penghukuman yang
disebut sebagai Restorative Justice. Dalam Restorative Justice pelaku didorong untuk
memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga
masyarakat. application utamanya adalah “a assembly area for human beings” guna
menemukan solusi perbaikan hubungan dan kerusakan akibat kejahatan.
30
Keadilan yang
dilandasi perdamaian (peace) pelaku, korban dan masyarakat itulah yang menjadi moral
etik Restorative Justice, oleh karena itu keadilannya dilakukan sebagai “Just Peace
Principle”. Prinsip ini mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya
tidak dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa
perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan/tekanan.
31
Dikatakan sebagai simply Peace
Ethics karena pendekatan terhadap kejahatan dalam Restorative Justice bertujuan untuk
pemulihan kerusakan akibat kejahatan (it is an try to recovery justice), upaya ini dilakukan
30
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.3
31
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.79
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
40
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
dengan mempertemukan korban, pelaku dan masyarakat.
32
Hambatan-hambatan yang
terjadi dalam menerapkan Restorative Justice diantaranya adalah:
1) An identifiable victim;
2) Voluntary participation by the victim;
3) An offender who accepts responsibility for his/her criminal behaviour; and,
4) Non-coerced participation of the offender.
33
Hasil yang terjadi dalam menerapkan Restorative Justice diantaranya adalah berupa:
1) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
3)Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan ke Lembaga Pendidikan, Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial atau Lembaga Kesejahteraan Sosial; atau
4) Pelayanan Masyarakat.
Perlu adanya strategi utama untuk mengembangkan rasa tanggungjawab restoratif:
1)Fokus pada memulihkan kerugian korban;
2)Menyelenggarkan suatu proses untuk mengamankan kepentingan Masyarakat;
3)Menyelenggarakan suatu proses untuk meningkatkan pemahaman lebih luas tentang
pengaruh tindak pidana terhadap orang lain dan masyarakat
4)Menawarkan cara-cara yang berarti bagi pelaku untuk bertanggung jawab terhadap
perbuatannya;
5)Menggalakkan permintaan maaf atau ekspresi penyesalan pelaku;
6)Melibatkan korban dan masyarakat dalam menentukan tindakan pertanggungjawaban.
Menurut Muladi, pendekatan keadilan restoratif menyediakan kesempatan dan
kemungkinan bagi korban kejahatan untuk memperoleh reparasi, rasa aman, memungkinkan
pelaku untuk memahami sebab dan akibat perilakunya dan bertanggungjawab dengan cara
yang berarti dan memungkinkan masyarakat untuk memahami sebab utama terjadinya
kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencegah kejahatan. Pendekatan
Keseimbangan (Balanced approach) untuk mengantikan pendekatan punitive-retributif sangat
dibutuhkan dalam sistem keadilan restoratif untuk memenuhi kepentingan pelaku atas proses
rahabilitasi dan reintegrasi; kepentingan korbanakan restorasi akibat tindak pidana; dan
kebutuhan masyarakat akan peningkatan keamanan dan keselamatan. Keberadaan strategi
proses keadilan restoratif khusus bagi anak-anak/remaja yang berimbang (The Balanced
Restorative Justice for Juvenile) dilandasai oleh pemikiran bahwa sumber kejahatan dan
pelanggaran anak-anak (delinquency) adalah masyarakat, keluarga, sekolah, sehingga strategi
yang hanya menitikberatkan pada character pelaku tidak tepat. Pelibatan elemen-elemen
korban dan masyarakat settya professional akan menyelesaikan persoalnnya secara sistemik
dan komprehensif. Keadilan restoratif menampilkan serangkaian tindakan yang fleksibel
yang dapat diesuaikan dengan Sistem Peradilan Pidana yang berlaku dan secara
komplementer dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi hukum, sosial dan budaya.
Pendayagunaan keadilan restoratif tidak akan merugikan hak Negara untuk menuntut pelaku
tindak pidana yang dicurigai.
34
4. Kesimpulan
Dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia lewat Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) harus mengakomodir dan memasukan prinsip
Restorative Justice (Keadilan Restoratif), dimana rumusan tentang jenis-jenis pidana
32
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori…h.79
33
Kuat Puji Prayitno, Aplikasi Konsep Restorative Justice dalam Peradilan Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012, h. 49
34
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995. h. 14.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
41
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
(strafmaat) mengandung sifat restoratif. Sehingga sangat mungkin sekali konsep Restorative
Justice (Keadilan Restoratif) ini dapat dijadikan bagian dari pembaharuan hukum pidana di
Indonesia di masa yang akan datang.
5. Daftar Pustaka
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009.
Angkasa, Saryono Hanadi, dan Muhammad Budi Setyadi, Model Peradilan Restoratif dalam
Sistem Peradilan Anak (Kajian tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses
Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan Purwokerto), 2012.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Keseimbangan dan Perubahan, Cetakan I,
LP3ES, Jakarta, 1990.
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia, Jurnal
Kriminologi Indonesia Volume. 6, No. II, 2010.
Gene Kassebaum, Delinquency and Social Policy, London: Prentice Hall, Inc, 1974.
H.L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, California: Stanford University Press, 1968.
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Jakarta: Gramedia, 2010.
Howard Zehr & Ali Gohar, The Little Book of Restorative Justice, Pennyslvania: Good Books,
2003.
John Brithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, University Press, Oxford,
2002.
Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Kuat Puji Prayitno, Aplikasi Konsep Restorative Justice dalam Peradilan Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2012.
Mahmul Siregar, Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi
dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Jakarta, 2007.
Makarao, Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan
Oleh Anak-Anak, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jakarta, 2013.
Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Work, London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers, 2007.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative
Justice, Bandung: Refika Editama, 2009.
Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam 253 Vol. 5, No. 2, 2020
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸ Bandung: Alumni,
1984.
Muladi dan Diah Sulistyani, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Alumni, Bandung,
2013.
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: BP Universitas Diponegoro, 1995.
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum: Suatu Optik Ilmu Hukum, Edisi II,
Thafa media, Yogyakarta, 2013.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Month 2024, page: 31-42
E-ISSN: 3063-4350
42
Sholeh Nur Wibawa et.al (Pentingnya Restoratif Justice dalam...)
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dar ni Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003.
Septa Chandra, Restorative Justice: suatu tinjauan terhadap pembaharuan hukum pidana di
Indonesia, 2013.
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice,
Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Cianjur, Volume. V, No. 01,
2014.
Smith and Hogan, Criminal Law, London: Butterworths, 1978.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.