kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh
berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga
ikut mengalami penderitaan.
Pada umumnya masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat erat kaitannya dengan
ketiadaan akses perempuan kepada sumber daya ekonomi (financial modal dan benda-benda
tidak bergerak seperti tanah, dan sumber-sumber kesejahteraan lain), usia, pendidikan, agama
dan suku bangsa. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami perempuan juga
berlapis-lapis artinya bentuk kekerasan yang dialami perempuan bisa lebih dari satu bentuk
kekerasan baik secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Maka Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Herkutanto
2000: 25). Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri,
merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian
masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau
anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan
selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat.
Di sisi lain pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
penerapan sanksi pidana masih sering terjadi dualisme di dalam penerapan ketentuan
pemidanaan. Dualisme itu terjadi yakni dengan berlakunya Undang-Undang Nomor. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ternyata masih berlaku
pula aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga muncul diawali dari kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) yang salah satunya dipicu oleh penyelesaian berupa kekerasan/
pemukulan kepada isteri yang meninggalkan bekas luka fisik. Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bertujuan untuk melindungi hak-
hak korban kekerasan khususnya perempuan. Di samping itu, Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara tidak langsung membahas
tentang masalah privat khususnya masalah rumah tangga yang dulunya tidak disinggung sama
sekali oleh undang-undang pidana.
Melihat ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak korban
kekerasan dalam rumah tangga, memperlihatkan bahwa pemerintah telah menerapkan prinsip
keadilan dengan memberlakukan ketentuan pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah
tangga. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada setiap orang dalam
rumah tangga, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek dan objek. Di dalam ketentuan
pidana Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, diketahui bahwa pada umumnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan
delik aduan.
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT
ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan
oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili
perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh
Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai. Penanganan kasus kekerasan dalam rumah
tangga melalui jalur hukum pidana menurut UU No 23 tahun 2004 dinamakan penanganan
dengan sistem peradilan pidana terpadu. Disebut terpadu artinya bahwa penanganan kasus
kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya mengadili tersangka/pelaku tindak kekerasan tetapi