IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
11
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
Tindak Pidana Kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) dengan Istri sebagai Korban dan
Penerapan Hukumnya di Pengadilan Negeri
Sukoharjo
Joko Sugiharto
a,1
, Isrofiah Laela Khasanah
b,2
a
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Surakarta
b
CV. Kurnia Grup
Email Corresponding: isrofiahlk@kurniajurnal.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 9 Februari 2024
Direvisi: 3 Maret 2024
Disetujui: 10 April 2024
Tersedia Daring: 1 Mei 2024
Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah tindakan pidana yang
harus ditindak secara tegas. Rumah tangga seharusnya adalah tempat
yang aman bagi para anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami
istri atas dasar ikatan lahir batin diantara keduanya, akan tetapi pada
kenyatannya justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan
dan penyiksaan karena tindak kekerasan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis implementasi ketentuan pidana terhadap kasus
Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan istri sebagai korban serta
menganalisis hambatan yang timbul dalam penyelesaian hukum tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban
serta upaya penyelesaiannya. Hasil analisa penelitian menunjukkan
bahwa penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang
Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan hak-hak korban
dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan
penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan
hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi. Putusan
Pengadilan diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum
bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah
berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Hambatan-hambatan yang timbul
dalam penyelesaian hukum tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga antara lain adalah minimnya perlindungan hukum bagi korban,
kurang mendapat tanggapan yang positif dari personel peradilan
pidana, tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak dilaporkan atau
tidak diproses dan ketiadaan perlindungan hukum bagi korban. Upaya
penyelesaiannnya antara lain pengaturan kembali tindak kekerasan
dalam rumah tangga dalam ketentuan perundang-undangan,
diadakannya pelatihan para petugas penegak hukum mengenai
persoalan tindak kekerasan dalam rumah tangga, pendidikan publik
untuk membuat masyarakat menyadari akan hak dan kedudukannya.
Kata Kunci:
Tindak Pidana
KDRT
Penerapan Hukum
ABSTRACT
Keywords:
Criminal Act
Domestic Violence
Law Enforcement
Domestic violence is a criminal act that must be firmly addressed. The
household should be a safe place for its members as it is built upon the
spiritual and physical bond between spouses. However, in reality, many
households become sites of suffering and abuse due to acts of violence.
The purpose of this study is to analyze the implementation of criminal
provisions against cases of Domestic Violence with wives as victims, and
to examine the obstacles in legal resolution of criminal acts of domestic
violence with wives as victims, as well as efforts to resolve them. The
research analysis indicates that law enforcement to enforce the Domestic
Violence Elimination Act, which is laden with protections for victims'
rights and their families, requires strong commitment and high respect
for justice, non-discrimination, and human rights values as guaranteed
by the constitution. Court decisions are expected to serve as a form of
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
12
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
legal protection for victims' rights and to respond to the need to prevent
the continuation of threats of domestic violence. Obstacles in the legal
resolution of criminal acts of domestic violence include insufficient legal
protection for victims, inadequate positive response from criminal justice
personnel, underreporting or non-prosecution of domestic violence
incidents, and lack of legal protection for victims. Efforts to resolve these
issues include re-regulating domestic violence within legal provisions,
training law enforcement officers on issues related to domestic violence,
and public education to raise awareness of rights and roles in society.
©2024, Joko Sugiharto, Isrofiah Laela Khasanah
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, sila
yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan yang pula merupakan
tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua
(Munib, 2022).
Dasar perkawinan adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat
yang aman bagi para anggotanya, karena keluarga dibangun oleh suami istri atas dasar ikatan
lahir diantara keduanya. Pasal 33 UndangUndang Perkawinan bahwa: antara suami istri
mempunyai kewajiban untuk saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Bahkan, suami dan istri mempunyai hak dan
kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup didalam
masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan pengaturan hak dan
kewajiban yang sama bagi suami istri didalam kehidupan rumah tangga, pergaulan
masyarakat, dan dimuka hukum, serta adanya kewajiban untuk saling mencintai, menghormati,
setia, dan saling memberi bantuan lahir batin, maka Undang Undang Perkawinan bertujuan
agar kehidupan antara suami istri akan terhindar dari perselisihan atau tindakantindakan fisik
yang cenderung menyakiti dan membahayakan jiwa seseorang. Namun, kenyataan berbicara
lain karena semakin banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.
CNN Indonesia menyatakan bahwa ada 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada
periode Januiari Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus,
padahal total kasus pada 2020 tersebut meningkat hingga 68 persen dibanding 2019.
Kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya adalah kekerasan di dalam rumah
tangga. Fenomena tersebut menjadi perhatian serius dan semua pihak agar dapat memahami
segala bentuk kejahatannya dan faktor-faktor penyebabnya, serta upaya penanggulangan
KDRT. Berbagai macam jenis KDRT yang terjadi antara lain adalah kekerasan fisik, psikis,
seksual, dan kekerasan berupa penelantaran (Sutiawati, 2020). Berbagai KDRT tersebut
merupakan kejahatan yang dilarang dan diancam hukuman yang diatur dalam UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga agar korban KDRT
terutama perempuan mendapatkan perlindungan hukum.
Anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan rumah tangga timbul
diantara suami istri yang hubungan hukum antara individu tersebut terjadi karena terikat di
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
13
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum perdata, sehingga apabila terjadi
pelanggaran di dalam hubungan hukum antar individu tersebut penegakan hukumnya
dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan
(Wakela, et.al., 2020). Undang-undang Perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga, seperti halnya hukum publik
(pidana).
Seringnya muncul berita dalam media massa tentang kekerasan dalam rumah tangga dan
akibat yang ditimbulkan bagi korban, menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki agar
pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang kekerasan adalah Pasal 89 dan Pasal 90, tetapi
kekerasan yang dimaksud dalam KUHP tersebut hanya ditujukan pada kekerasan fisik. Selain
itu juga tidak mengatur kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaraan rumah tangga
yang termasuk kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-
undang ini merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan
UUD 1945 untuk menghapus segala bentuk kekerasan di bumi Indonesia, khususnya
kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan serius yang terjadi ketika
seseorang membangun kehidupan berumah tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
disebabkan oleh faktor internal keluarga tersebut ataupun faktor eksternal. Keutuhaan dan
kerukunan rumah tangga dapat terganggu apabila pengendalian diri tidak dapat dikontrol yang
pada akhirnya terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga menyebabkan terjadinya
ketidaknyamanan dan ketidakadilan pada seseorang yang berada dalam ruang lingkup rumah
tangga tersebut (Putri, et.al., 2020).
Sebagian masyarakat menghendaki agar pelaku kekerasan dalam rumah tangga dipidana.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang
kekerasan adalah Pasal 89 dan Pasal 90, tetapi kekerasan yang dimaksud dalam KUHP
tersebut hanya ditujukan pada kekerasan fisik. Selain itu juga tidak mengatur kekerasan psikis,
kekerasan seksual dan penelantaraan rumah tangga yang termasuk kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini merupakan tuntutan
masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan UUD 1945 untuk menghapus segala
bentuk kekerasan di bumi Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga.
Berarti terlihat ada perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang
terjadi di rumah tangga bukan semata-mata merupakan urusan privat, melainkan juga masalah
publik, dari urusan rumah tangga dalam hukum perkawinan yang diatur melalui Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Meski demikian, lahirnya Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak serta merta akan memenuhi
harapan para perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam
mendapatkan keadilan, mengingat kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih jauh
dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih menguntungkan
pihak yang mempunyai kekuatan baik kekuasaan ekonomi, sosial maupun budaya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis dapt memberikan perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi ketentuan pidana terhadap kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga dengan istri sebagai korban?
2. Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam penyelesaian hukum tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban serta upaya
penyelesaiannya?
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
14
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis implementasi ketentuan pidana terhadap kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga dengan istri sebagai korban dalam hal putusan pengadilan di
Pengadilan Negeri Sukoharjo.
2. Menganalisis hambatan-hambatan yang timbul dalam penyelesaian hukum tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban serta upaya
penyelesaiannya.
2. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literatur.
Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur yang relevan, termasuk
peraturan perundang-undangan, buku, artikel jurnal, serta laporan penelitian yang berkaitan
dengan KDRT. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka di perpustakaan,
database akademik, dan sumber-sumber hukum resmi. Analisis dilakukan secara kualitatif
untuk mengidentifikasi, menginterpretasi, dan menyintesis informasi mengenai tindak
pidana KDRT, mekanisme penanganannya di pengadilan, serta penerapan hukum dalam
kasus-kasus KDRT yang melibatkan istri sebagai korban. Hasil dari studi literatur ini akan
memberikan pemahaman mendalam mengenai kerangka hukum yang ada, tantangan dalam
penerapannya, dan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan hukum terkait KDRT.
3. Hasil dan Pembahasan
Implementasi Ketentuan Pidana Terhadap Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Konflik rumah tangga bisa terjadi karena adanya ketegangan atau kesulitan di antara dua
orang atau lebih akibat adanya perselisihan atau perbedaan pandangan di antara anggota
keluarga, misalnya antara suami dan istri (Asman dan Sambas, 2022). Konflik rumah tangga
yang berkelanjutan, sebagai penyebab keluarga tidak harmonis, akan menimbulkan banyak
permasalahan rumah tangga, seperti pertengkaran antara suami istri, atau bahkan perceraian.
Untuk itu, dibutuhkan cara mengatasi konflik tersebut sebagai antisipasi munculnya
permasalahan lain yang lebih rumit (Nursyifa dan Hayati, 2020).
Kekerasan dalam rumah tangga yang dapat terjadi pada suami, istri dan anak serta mereka
yang berada dalam lingkup rumah tangga merupakan masalah yang sulit diatasi. Umumnya
masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu adalah milik laki-laki dan masalah
kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang
lain. Sementara itu sistem hukum dan sosial budaya yang ada saat itu belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Untuk itu dengan
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga diharapkan mampu untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Untuk
mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Negara
dan masyarakat harus bekerjasama dalam melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan perbuatan pidana, telah menjadi
wacana yang menyita perhatian dan kepedulian banyak pihak, bukan saja disebabkan karena
meningkatnya kasus tetapi intensitasnya sangat mengkhawatirkan dan telah menjadi fenomena
gunung es (iceberg phenomenon) artinya bahwa kasus-kasus tindak kekerasan dalam rumah
tangga masih terselimuti kabut sehingga sangat sulit untuk mengungkap fakta yang sebenarnya
untuk dijadikan alat bukti dalam suatu proses penyidikan. Kekerasan dalam rumah tangga
biasa disebut sebagai hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
15
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh
berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga
ikut mengalami penderitaan.
Pada umumnya masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat erat kaitannya dengan
ketiadaan akses perempuan kepada sumber daya ekonomi (financial modal dan benda-benda
tidak bergerak seperti tanah, dan sumber-sumber kesejahteraan lain), usia, pendidikan, agama
dan suku bangsa. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami perempuan juga
berlapis-lapis artinya bentuk kekerasan yang dialami perempuan bisa lebih dari satu bentuk
kekerasan baik secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Maka Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Herkutanto
2000: 25). Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri,
merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian
masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau
anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan
selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat.
Di sisi lain pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
penerapan sanksi pidana masih sering terjadi dualisme di dalam penerapan ketentuan
pemidanaan. Dualisme itu terjadi yakni dengan berlakunya Undang-Undang Nomor. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ternyata masih berlaku
pula aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga muncul diawali dari kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) yang salah satunya dipicu oleh penyelesaian berupa kekerasan/
pemukulan kepada isteri yang meninggalkan bekas luka fisik. Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bertujuan untuk melindungi hak-
hak korban kekerasan khususnya perempuan. Di samping itu, Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara tidak langsung membahas
tentang masalah privat khususnya masalah rumah tangga yang dulunya tidak disinggung sama
sekali oleh undang-undang pidana.
Melihat ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak-hak korban
kekerasan dalam rumah tangga, memperlihatkan bahwa pemerintah telah menerapkan prinsip
keadilan dengan memberlakukan ketentuan pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah
tangga. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada setiap orang dalam
rumah tangga, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek dan objek. Di dalam ketentuan
pidana Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, diketahui bahwa pada umumnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan
delik aduan.
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT
ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan
oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili
perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh
Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai. Penanganan kasus kekerasan dalam rumah
tangga melalui jalur hukum pidana menurut UU No 23 tahun 2004 dinamakan penanganan
dengan sistem peradilan pidana terpadu. Disebut terpadu artinya bahwa penanganan kasus
kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya mengadili tersangka/pelaku tindak kekerasan tetapi
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
16
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
juga memikirkan hak-hak korban serta bagaimana pemulihannya. Oleh karena itu pasal 4 UU
No 23 Tahun 2004 mengatur tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah : 1)
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga 2) Melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga 3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan 4) Memelihara
keutuhan dalam rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Kesadaran hukum warga masyarakat untuk tunduk pada UU Kekerasan dalam Rumah
Tangga masih sangat minim. Dengan munculnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), diharapkan dapat
dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur
mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT,
dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga. Dengan demikian, KDRT bukan
lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam
penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya
perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku.
Sebagian masyarakat belum mau menyadari bahwa ada hukum yang melarang untuk
melakukan kekerasan terhadap sesama anggota keluarga. Walaupun ada anggota masyarakat
sudah mengetahui bahwa ancaman hukuman penjara bagi pelaku kekerasan dalam rumah
tangga akan tetapi masih dipengaruhi budaya patriakhi atau memiliki kekuasaan yang
melampaui batas dalam keluarga. Tingkat kesadaran hukum dari masyarakat masih jauh dari
harapan untuk menghapus tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga banyak korban
kekerasan dalam rumah tangga lebih memilih perceraian untuk mengakhiri persoalan KDRT
dari pada mengharapkan proses penyidikan yang berlarut-larut dengan biaya yang cukup
tinggi.
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam undang-undang
penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang
dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim
yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat
ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai. Ancaman hukuman terhadap
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
1. Kekerasan Fisik:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana di maksud dalam pasal 5 yakni kekerasan fisik,di pidana dengan pidana
penjara 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 000.000 (lima belas juta rupiah) . Apabila
korban jatuh sakit atau luka berat maka diancam hukuman penjara 10 tahun penjara atau
hukuman dendaRp. 30.000.000. (tiga puluh juta rupiah). Apabila korban meninggal dunia
maka pelaku diancam dengan pidana penjara 15 tahun atau hukuman denda Rp
45.000.000 (empat puluh lima juta rupiah).Hal ini telah diatur secara limitatif dalam pasal
44 UU No 23 tahun 2004.
2. Kekerasan Psikis
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 tahun atau hukuman denda
paling banyak Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud diatas dilakukan suami terhadap isteri, atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp. 3.000.000 Tiga juta rupiah (Pasal 45 UU 23 Tahun 2004).
3. Kekerasan Seksual
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf a yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
17
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
yang menetap dalam lingkup rumah tangga, dipidana penjara paling lama 12 tahun atau
denda paling banyak Rp. 36.000.000. Tiga puluh enam juta rupiah (Pasal 46 UU 23 Tahun
2004). Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana diatur dalam pasal 8 hurufb yakni pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk komersial atau untuk tujuan tertentu, dipidana
dengan hukuman penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 15 tahun penjara atau
hukuman denda paling sedikit Rp. 12.000.000 dua belas juta rupiah dan paling banyak Rp.
300.000.000. Tiga ratus juta rupiah. (Pasal 47 UU 23 Tahun 2004).
Dalam hal perbuatan ini mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, atau mengalami gangguan daya pikir, gangguan jiwa
sekurang kurangnya berlangsung 4 minggu berturut-turut, atau 1 tahun tidak berturut-
turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya
alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20
tahun penjara, atau hukuman denda paling sedikit Rp 25.000.000. Dua puluh lima juta
rupiah dan paling panyak Rp. 500.000.000. Lima ratus juta rupiah (pasal 48 UU 23 tahun
2004).
4. Penelantaran Rumah Tangga.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000. Lima belas juta rupiah setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 yakni penelantaran
rumah tangga pada menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian, ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya, karena kebergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam
maupundi luar rumah. Dengan melihat ancaman hukuman pidana yang digunakan dalam
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini adalah cukup berat
jika dibandingkan dengan ancaman hukuman yang ada dalam KUHP.Hal ini membuat
penyidik atau penegak hukum lainnya lebih memilih menggunakan KUHP dari pada UU
No 23 Tahun 2004.
Tindakan kekerasan-kekerasan inilah yang membuat tidak tercapainya tujuan suatu
perkawinan, sesuai dengan tujuan perkawinan antara lain membentuk dan membina
keluarga yang bahagia lahir batin. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sakral dan
harus selalu dihormati oleh suami dan istri. Oleh karena itu, harus tetap terjaga
keharmonisannya dan diupayakan tetap langgeng (kekal), antara suami istri harus selalu
saling menjaga, agar rumah tangga tetap harmonis.3 Tindakan kekerasan yang terjadi ini
juga bukan tanpa sebab melainkan ada faktor- faktor pendorongnya.
Hambatan-hambatan yang Timbul Dalam Penyelesaian Hukum Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga serta Upaya Penyelesaiannya
Sebagian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak mendapatkan perhatian yang
menandai dalam sistem hukum, termasuk aparat hukumnya sendiri dan juga budaya hukum
yang ada di suatu masyarakat. Hal ini erat hubunngannya dengan makna kekerasan, atau
persepsi mengenai tindak kekerasan itu sendiri di suatu masyarakat. Tindak kekerasan
mempunyai dampak yang sangat traumatis bagi istri atau bagi perempuan, hal ini disebabkan
mayoritas kasus KDRT yang menjadi korban adalah istri atau perempuan. Adanya non-
reporting of crime dalam kasus tindak kekerasan merupakan suatu fenomena universal, yang
dijumpai juga di negara-negara lain. Hambatan-hambatan yang timbul dalam penyelesaian
hukum tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan korban istri, antara lain:
1. Minimnya perlindungan hukum
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
18
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
Minimnya perlindungan hukum yang dirancang secara khusus untuk korban
kekerasan dalam rumah tangga sehingga antara lain mengakibatkan tidak adanya
perlindungan hukum korban, tidak adanya hak khusus yang diberikan pada korban tindak
kekerasan, tidak adanya kompensasi untuk korban tindak kekerasan dan tidak adanya
lembaga khusus yang secara nasional menangani masalah tindak kekerasan dalam rumah
tangga.
2. Kurang mendapat tanggapan yang positif dari personel peradilan pidana
Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa korban tindak kekerasan dalam rumah
tangga dalam hal ini adaah istri seringkali cemas akan reaksi personil peradilan pidana
(polisi, jaksa dan hakim), terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari kenyataan bahwa sejumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan
korban istri atau perempuan yang dilaporkan kurang mendapat tanggapan yang positif, hal
ini disebabkan antara lain:
a. Karena dianggap bahwa masalah tindak kekerasan terhadap perempuan terutama yang
berkenaan dengan momestic violence merupakan masalah keluarga yang sebaiknya
diselesaikan dalam keluarga juga.
b. Kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai tindak kekerasan
terhadap perempuan untuk meningkatkan kepekaan personel kepada masalah yang
dialami perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan.
c. Ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk menangani perempuan yang
mnajdi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga masih sangat
bergantung kepada persepsi dan kemampuan individu petugas hukum untuk
menindaklanjuti masalah ini.
d. Terkadang polisi kesulitan untuk memperoleh bukti awal kecuali kesaksian korban
dalam hal terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga upaya tindak
lanjut menjadi sulit untuk dilakukan.
3. Tindak kekerasan dalam rumah tangga, tidak dilaporkan atau tidak diproses
Tidak dilaporkannya atau tidak diprosesnya tindak kekerasan dalam rumah tangga
dengan korban istri atau perempuan membawa konsekuensi bahwa pelaku masih bebas
berkeliaran di masyarakat, dengan kemungkinan ia akan mengulangi lagi kejahatannya,
baik terhadap korban pertama itu sendiri (yang dapat saja merupakan pembalasan
dendam) maupun terhadap potential victims yang lain. Ketiadaan rasa sesal ini kemudian
diikuti oleh kepongahan karena tidak ada reaksi hukum, yang pada gilirannya
menyebabkannya memandang rendah hukum atau atribut-atributnya. Selanjutnya, muncul
pula kemungkinan akan ditirunya kejahatan ini oleh potential offenders lainnya, karena ia
melihat bahwa terhadap pelaku tersebut ternyata tidak ada tindakan hukum yang
dilakukan. Jelas bahwa masalah ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi
dalam masyarakat.
4. Ketiadaan perlindungan hukum bagi korban
Ketiadaan perlindungan hukum bagi korban, khususnya korban tindak kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi pada istri atau perempuan, utamanya merupakan
tanggung jawab para pembentuk hukum yang secara normatif telah diserahi kepercayaan
oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, termasuk aspirasi tentang keadilan tetapi
belum ada perlindungan hukum bagi korban pasca putusan hakim terlebih dalam masalah
ekonomi apabila istri ditinggal oleh suami di dalam tahanan yang tentu saja tidak akan
mendapatkan nafkah dari suami dan hal ini kurang diperhatikan oleh aparat penegak
hukum.
Pemecahan yang menyeluruh untuk mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga
seharusnya berfokus pada masyarakat itu sendiri, yakni dengan mengubah persepsi
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
19
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
mereka tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga. Namun, upaya berjangka sangat
penjang ini, selayaknya telah daat ditunjang oleh sejumlah upaya lain yang lebih dekat ke
sasaran, misalnya:
a. Pengaturan kembali mengenai tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam ketentuan
perundang-undangan, sehingga lebih mencakup banyak perilaku yang sampai kini
belum dicakup dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Diberlakukannya ketentuan hukum yang memberikan perlindungan khusus terhadap
korban tindak kekerasan dalam rumah tangga yang minimal bermuatan:
1) Hak korban untuk mendapat perlindungan aparat yang berwenang atas perilaku
yang mungkin akan dilakukan sipelaku yang dilaporkan oleh korban. Jaminan
perlindungan semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa korban
tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum,
keselamatan dirinya dijamin, sehingga kesaksian yang diberikannya dipastikan
akan diperoleh untuk menghukum pelaku.
2) Hak korban untuk mendapat bantuan medis, psikologis, hukum dan sosial,
terutama untuk mengembalikan kepercayaan pada dirinya, jika ada dan untuk
dapat menjalani prosedur hukum setelah mendapat informasi mengenai prosedur
yang akan dijalaninya dalam proses peradilan pidana.
3) Hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik
dari pemerintah sebagai organisasi yang berkewajiban memberi perlindungan pada
dirinya, maupun dari pelaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar
biasa pada korban.
4) Hak korban untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus dan juga
keputusan hakim, termasuk pula hak untuk diberitahu apabila si pelaku telah
dikeluarkan atau dibebaskan dari penjara, kalau dia dihukum.
c. Diadakannya pelatihan para petugas penegak hukum mengenai persoalan tindak
kekerasan dalam rumah tangga, termasuk melatih mereka untuk lebih peka terhadap
masalah ini.
d. Pendidikan publik untuk membuat masyarakat menyadari akan hak-hak dan
kedudukannya dalam masyarakat dan yang secara khusus menjelaskan mengenai
kekerasan dalam rumah tangga, khususnya tentang hak-hak mereka, tentang
keberadaan lembaga penyantun korban tindak kekerasan, dan juga tentang tindakan-
tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap
dalam rumah tangga.
e. Memberdayakan organisasi-organisasi baik pemerintah maupun masyarakat untuk
lebih mempedulikan masalah tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan
memberikan bantuan hukum atau bantuan moril bagi korban kasus tindak kekerasan
dalam rumah tangga.
4. Kesimpulan
Penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat
dengan perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat
dengan penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi
manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi. Putusan Pengadilan diharapkan menjadi
suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk
mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk
menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan
koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 11-20
E-ISSN: 3063-4350
20
Joko Sugiharto et.al (Tindak Pidana Kasus Kekerasan….)
dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan
bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang
mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.
5. Daftar Pustaka
Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
terhadap perempuan. Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(2),
211.
Asman, M. A., & Sambas, S. (2022). Sumber Dan Dampak Konflik Dalam Rumah Tangga.
Buku Ajar Model Dan Strategi Manajemen Konflik Dalam Rumah Tangga, 20.
Bere, E. J., Leo, R. P., & Wilhelmus, B. V. (2023). Penerapan Restorative Justice Serta
Hambatan-Hambatan dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana KDRT oleh Suami. Jurnal
Hukum Bisnis, 12(06), 1-5.
Herkutanto. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana. Bandung:
Alumni.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210819042140-20-682186/ada-2500-kasus-
kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2021
Huriyani, Y. (2018). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT): Persoalan privat yang jadi
persoalan publik. Jurnal Legislasi Indonesia, 5(3), 75-86.
Munib, A. (2022). Kompilasi Tujuan Perkawinan dalam Hukum Positif, Hukum Adat, dan
Hukum Islam. VOICE JUSTISIA: Jurnal Hukum Dan Keadilan, 6(2), 36-48.
Nomor, U. U. (1). tahun 1974 tentang Perkawinan.
Nursyifa, A., & Hayati, E. (2020). Upaya pencegahan perceraian akibat media sosial dalam
perspektif sosiologis. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol, 5(2).
Putri, Ferlinda Kristalia Septian. Muhammad Nanda Chaniago., Nora Etirada. 2020. Tinjauan
Kriminologis Terhadap Suami Yang Melakukan Kerasan Dalam Rumah Tangga Kepada
Istri Sehingga Menyebabkan Kematian. Jurnal Lex Supreme. Vol 2 No 2.
Sutiawati, Nur Fadhilah Mappaselleng. 2020. Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga di Kota Makassar. Wawasan Yuridika. Vol 4 No 1.
Wakela, D., Nurkhotijah, S., & Fadjriani, L. (2020). Analisis Yuridis Penyebab Terjadinya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kdrt)(Studi Penelitian Pada Kantor Polresta Barelang
Kota Batam). Zona Keadilan: Program Studi Ilmu Hukum (S1) Universitas Batam, 10(3),
16-31.
Wardhani, K. A. P. (2021). Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT) pada Tingkat Penyidikan Berdasarkan Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Jurnal
Riset Ilmu Hukum, 21-31.