IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
21
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
Tindak pidana pencucian uang
Joko Margo Utomo
a,1
, Tri Yunita Sari
a,2
a
Pasca Sarjana Hukum, Universitas Surakarta
b
CV Kurnia Grup, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
*
Corresponding Author: triyunita@kurniajurnal.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 16 Februari 2024
Direvisi: 5 Maret 2024
Disetujui: 11 April 2024
Tersedia Daring: 1 Mei 2024
Fenomena pencucian uang yang semakin meresahkan masyarakat,
terutama terkait dengan praktik penipuan trading dan robot trading
yang mengecoh banyak korban. Pencucian uang merupakan kejahatan
ekonomi serius yang menggunakan lembaga keuangan untuk
menyembunyikan asal-usul dana ilegal. Penelitian menggunakan
metode penelitian library research untuk mengumpulkan dan
menganalisis informasi dari berbagai sumber terpercaya. Hasilnya
menunjukkan bahwa praktik pencucian uang melibatkan berbagai
metode kompleks seperti real estate, transaksi luar negeri, dan
penciptaan pendapatan palsu. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) berperan penting dalam pencegahan dan
penindakan terhadap kejahatan ini di Indonesia, dengan kewenangan
independen untuk menanggulangi pencucian uang dan pendanaan
terorisme. Penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang
konsep, mekanisme operasional, serta upaya pencegahan tindak pidana
pencucian uang.
Kata Kunci:
Pencucian uang
Kejahatan ekonomi
Penipuan trading
ABSTRACT
Keywords:
Money laundering
Economic crime
Trading scams
The phenomenon of money laundering is increasingly troubling the
public, especially related to the practice of trading fraud and trading
robots that deceive many victims. Money laundering is a serious
economic crime that uses financial institutions to hide the origin of illegal
funds. The research uses literature research methods to collect and
analyze information from various reliable sources. The results show that
money laundering practices involve a variety of complex methods such as
real estate, foreign transactions, and false income generation. The
Financial Transaction Reporting and Analysis Center (PPATK) plays an
important role in the prevention and enforcement of this crime in
Indonesia, with independent authority to tackle money laundering and
terrorism financing. This research provides in-depth insight into the
concept, operational mechanism, and efforts to prevent money
laundering crimes.
©2024, Joko Margo Utomo, Tri Yunita Sari
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Akhir-akhir ini, istilah Pencucian Uang atau Money Laundering sudah begitu populer di
sebagian masyarakat kita, sebagai hasil pemberitaan dari berbagai media massa yang
menyoroti tentang penipuan berkedok trading dan robot trading. Hal itu jelas berdampak besar
bagi sebagian masyarakat yang baru tahu akan kejahatan ekonomi yang menipu hingga
memakan korban dalam jumlah besar dan kerugian yang besar pula. Karena itu, persoalan
tersebut telah menjadi pusat perhatian dan keprihatinan masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Kejahatan pencucian uang menurut para pelakunya hal itu wajar dan tidak ada yang
menyimpang karena semuanya dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
perbankan (sebagai salah satu lembaga keuangan). Di samping itu, perbuatan tersebut hanya
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
22
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
merupakan hubungan keperdataan antara nasabah (penyimpan dana) dengan pihak bank.
Tetapi, menurut pandangan para pemerhati, perbuatan menyimpan uang di bank itu tidak lagi
dapat dilihat atau berlindung dibalik hubungan keperdataan, sebagaimana lazimnya dalam
dunia perbankan. Hal itu disebabkan apa yang dilakukan oleh si penyimpan dana merupakan
upaya untuk mengaburkan asal-usul uang yang disimpan. Oleh sebab itu, maka perbuatan
tersebut merupakan kejahatan yang perlu ditindak dan diberantas (Amrullah, 2003).
Dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pencucian uang, yang perlu dipertanyakan adalah siapa pelaku atau subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan dan selanjutnya dijatuhi pidana berdasarkan Undang-Undang No. 8
Tahun 2010. Menurut (Arief, 2010), dalam hukum pidana, pada umumnya yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah pelaku, yaitu orang yang telah melakukan tindak pidana
tertentu. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, Pasal 1 Angka (9) merumuskan bahwa
"setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi". Ini berarti, subjek hukum pidana
menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 di samping manusia alamiah (natural person)
yang selama ini sudah demikian diatur dalam KUHP, juga manusia hukum (juridical person),
atau korporasi.
Tahapan, teknik, metode, dan sarana pencucian uang mencakup berbagai cara yang
digunakan untuk mengaburkan asal-usul uang hasil kejahatan agar terlihat seolah-olah
diperoleh dari sumber yang sah. Beberapa metode yang digunakan antara lain real estate,
concealed identity, funds sent overseas, false income, dan mingling. Proses pencucian uang
biasanya melibatkan tiga tahap, yaitu penempatan (placement), transfer (layering), dan
penggunaan harta kekayaan (integration).
Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dibentuk Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang merupakan lembaga independen
yang bertugas melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta
membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. PPATK
memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugasnya secara independen dan bebas dari campur
tangan kekuasaan manapun (Kusheri, 2015).
2. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode penelitian
kepustakaan atau library research. Metode ini melibatkan pengumpulan data dan informasi
dari berbagai sumber tertulis seperti buku, jurnal, artikel ilmiah, dokumen resmi, serta sumber-
sumber lain yang relevan dan dapat dipercaya. Penelitian ini dilakukan dengan membaca,
mengkaji, dan menganalisis literatur yang ada untuk memperoleh pemahaman yang mendalam
tentang konsep pencucian uang, mekanisme operasionalnya, serta upaya pencegahan dan
pemberantasannya. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk
memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai topik yang dibahas. Melalui
metode library research, penulis dapat menyusun artikel ini berdasarkan teori-teori dan
temuan-temuan ilmiah yang telah ada, sehingga dapat memberikan wawasan yang akurat dan
terpercaya kepada pembaca.
3. Hasil dan Pembahasan
A. Pengertian Pencucian Uang (Money Laundering)
Para pelaku kejahatan pencucian uang sering kali menganggap kegiatan mereka sah
karena dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh lembaga keuangan seperti
bank. Namun, pandangan dari para pemerhati menunjukkan bahwa menyimpan uang di bank
dengan tujuan mengaburkan asal-usulnya tidak dapat dianggap sebagai hubungan keperdataan
biasa dalam dunia perbankan. Ini mengindikasikan bahwa praktik tersebut sebenarnya
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
23
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
merupakan upaya untuk menyembunyikan dana hasil kejahatan. Oleh karena itu, tindakan
pencucian uang perlu dilihat sebagai tindak kejahatan yang harus ditindaklanjuti secara
hukum.
Menurut (Reksodiputro, 1993), sebagian masyarakat Indonesia mengartikan kejahatan
sebagai pelanggaran atas hukum pidana, baik dalam undang-undang pidana maupun dalam
perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Dengan persepsi yang demikian,
berarti kejahatan mendahului hukum (tulisan miring, pen). Maksudnya, suatu perbuatan yang
dianggap sangat merugikan masyarakat kemudian muncul hukum pidana yang bertujuan
melindungi kepentingan masyarakat. Selain itu, lanjut Reksodiputro, ada pula yang
mengartikan suatu perbuatan tertentu sebagai kejahatan karena hukum yang menyatakan
demikian. Di sini, hukum yang mendahului kejahatan (tulisan miring, pen), Maksudnya, belum
tentu hukum pidana melindungi kepentingan masyarakat secara keseluruhan karena, dapat
saja, hukum pidana hanya melindungi kepentingan sebagian kelompok masyarakat tertentu.
Dalam konteks tersebut, kelompok masyarakat tertentu itu oleh Reksodiputro disebut sebagai
kelompok yang kuat dalam masyarakat.
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru, akhir-akhir ini, menunjukkan
bahwa kejahatan telah berkembang, termasuk kejahatan pencucian uang. Pencucian uang
sebagai salah satu jenis kejahatan ekonomi yang menjadikan bank atau non bank, sebagai
sarana untuk melakukan kejahatan pencucian uang (Nasution, 2011). Bahkan dalam
perkembangannya, Lembaga Politik seperti dalam Pemilihan Umum Langsung telah
digunakan juga sebagai sarana untuk kegiatan pencucian uang. Sebagai kejahatan yang
mendunia, kejahatan pencucian uang telah masuk dalam kelompok kegiatan organisasi-
organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) yang
meliputi the drug trafficking industry, smuggling of illegal migrants, arms trafficking,
trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking
in women and children, trafficking in body parts, theft and smuggling of vehicles, money
laundering, dan jenis-jenis kegiatan lainnya.
Adanya keprihatinan tersebut tentunya sangat beralasan, sebab apabila dikaitkan dengan
ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat dahsyat (insidious). Kejahatan tersebut dapat
mengancam berbagai segi atau bidang, baik keamanan, stabilitas nasional maupun
internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik dan
legislatif, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Di samping itu, kejahatan tersebut juga
mengganggu dan mengacaukan lembaga-lembaga sosial dan ekonomi, menyebabkan
longgarnya penegakan proses demokrasi, merusak pembangunan dan menyelewengkan hasil-
hasil yang sudah dicapai, mengorbankan penduduk, mempergunakan kesempatan atas
kelengahan manusia sebagai sasarannya, memperangkap dan bahkan memperbudak golongan-
golongan masyarakat, khususnya wanita dan anak-anak dalam melakukan pekerjaan ilegal di
berbagai bidang, terutama prostitusi. Untuk itu, ada baiknya jika dilakukan identifikasi atas
ancaman yang dapat ditimbulkan oleh organisasi kejahatan transnasional dalam berbagai
bidang dan manifestasinya, yang meliputi: the threat to sovereignty; the threat to societies; the
threat to individuals; the threat to national stability and state control; the threat to democratic
values and public institutions; the threat to national economies; the threat to financial
institutions; the threat to democratization and privatization; the threat to development; and
the threat to global regimes and codes of conduct.
Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan
keuntungan, baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut.
Menurut suatu perkiraan baru-baru ini, hasil dari kegiatan money laundering di seluruh dunia,
dalam perhitungan secara kasar, berjumlah satu triliun dolar setiap tahun (Amrullah, 2013).
Dana-dana gelap tersebut akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
24
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
selanjutnya. Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa jumlah
keseluruhan money laundering di dunia diperkirakan antara dua sampai dengan lima persen
produk domestik bruto dunia. Apabila menggunakan statistik tahun 1996, persentase tersebut
menunjukkan bahwa money laundering berkisar antara 590 milyar US Dolar sampai dengan
1,5 triliun US dolar. Angka terendah, kira- kira setara dengan nilai keseluruhan produk
ekonomi Spanyol. Selain itu (Hans G. Nilsson, 1996: ix), berdasarkan perkiraan Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF), bahwa setiap tahun di Eropah dan Amerika
Utara berkisar antara 60 hingga 80 milyar dollar AS telah terjadi pencucian dalam sistem
keuangan.
B. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, Pasal 1 Angka (9) merumuskan bahwa “setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. Ini berarti, subjek hukum pidana menurut
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 di samping manusia alamiah (natural person) yang selama
ini sudah demikian diatur dalam KUHP, juga manusia hukum (juridical person), atau
korporasi. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan korporasi? Pasal 1 Angka 10 Undang-
Undang No. 8 Tahun 2010 menentukan bahwa:, “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Terkait dengan pengertian korporasi tersebut, dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang No. 8 Tahun 2010 dikemukakan: “Korporasi mencakup juga kelompok yang
terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang
eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih
tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan
finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana, berarti korporasi dapat
dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan itu, dalam hal tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 dilakukan
oleh korporasi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
Sedangkan, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi sebagaimana dalam ayat (2)-nya, yaitu
apabila tindak pidana Pencucian Uang :
1. Dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
2. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
3. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
4. Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 tersebut telah memberikan kriteria yang jelas, yaitu
kapan suatu tindak pidana pencucian uang dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi, maka Pasal 6 ayat (2) telah merumuskannya dengan baik. Dan sebagaimana
pernah dikemukakan oleh (Box & Hale, 1982), kejahatan korporasi adalah kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi untuk mencapai tujuan korporasi berupa perolehan keuntungan untuk
kepentingan korporasi (corporate crime is clearly committed for the corporate and not against
it). Jadi, di luar itu bukan dikatakan sebagai kejahatan korporasi atau tindak pidana pencucian
uang yang dilakukan oleh korporasi.
Selanjutnya, kaitannya dengan ketentuan Pasal 7, 8, 9 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010,
yang mengatur mengenai penjatuhan pidana, baik terhadap korporasi maupun yang bukan
korporasi (manusia). Dalam Pasal 7 (1) menentukan: Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap
Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya, ayat (2) menentukan: Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1. Pengumuman putusan hakim;
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
25
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
2. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;
3. Pencabutan izin usaha;
4. Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
5. Perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
6. Pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 itu, maka dilihat dari ancaman pidananya, berarti pidana
denda yang merupakan pidana pokok terhadap korporasi dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana tambahan. Selanjutnya, ke-6 (enam) jenis pidana tambahan itu dapat diberi
uraian sebagai berikut :
1. Pengumuman putusan hakim: pengumuman itu harus disebarkan secara luas baik
nasional maupun internasional, dengan demikian reputasi korporasi menjadi jelek. Hal
ini apabila diterapkan benar-benar akan dirasakan sebagai sanksi. Namun, dalam
penjelasan Pasal 7 tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai jenis sanksi tersebut,
karena hanya dinyatakan cukup jelas.
2. Sedangkan, untuk sanksi berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
Korporasi; pencabutan izin usaha. Sanksi-sanksi tersebut dapat dipadankan dengan
penjatuhan pidana mati terhadap manusia. Karena itu, yang perlu dipikirkan dampak
dari pidana itu jika benar-benar dijatuhkan, yaitu apakah tidak akan menimbulkan
permasalahan baru (ingat semboyan pengadaian: menyelesaikan masalah tanpa
masalah) berupa pengangguran. Hal itu akan terjadi, manakala sanksi itu dijatuhkan
terhadap korporasi, maka PHK (pemutusan hubungan kerja) tidak akan dapat
dihindarkan. Kita tentunya masih ingat (hanya sebagai bandingan) dampak ketika
pemerintah melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada tanggal 1 November
1997. Untuk itu, harus disiapkan terlebih dahulu instrumen pendukungnya apabila
sanksi itu hendak dijatuhkan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, yaitu berupa badan khusus yang akan menangani korporasi
bermasalah, yang dibentuk oleh pemerintah. Dengan konsep demikian, di satu sisi
sanksi berupa pencabutan izin usaha, dan pembubaran dan pelarangan korporasi dapat
dijatuhkan kepada korporasi, dan di sisi lain para tenaga kerja yang ada di perusahaan
tetap dapat bekerja.
3. Berikutnya, sanksi pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi: dalam kaitan ini yang
menjadi pertanyaan: pelarangan korporasi itu dalam hal apa? Ini masih belum jelas,
jadi kalimat itu perlu ada kelanjutannya. Ketika Seminar Nasional dengan tema:
Menyongsong Pembahasan dan Pengesahan RUU Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang oleh DPR Periode Tahun 2009-2014, hari Senin, 7
Desember 2009 tempat Le Meridien Hotel Jakarta, telah disampaikan mengenai hal
itu, akan tetapi sampai dengan telah diundangkannya Undang-undang No. 8 Tahun
2010 rumusannya sama saja dengan ketika masih dalam bentuk Rancangan Undang-
undang.
4. Mengenai perampasan aset Korporasi untuk Negara. Sanksi demikian arahnya masih
berat sebelah, karena hanya memberikan perlindungan kepada Negara, selanjutnya
yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika ada atau terjadi korban akibat dari tindak
pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi selain Negara? Permasalahan
ini belum ada solusinya dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010, karena dalam
Penjelasan Pasal 7-nya, dinyatakan cukup jelas.
5. Kemudian, pengambilalihan Korporasi oleh Negara, ketentuan ini yang masih perlu
dicermati adalah bagaimana mekanisme pengambilalihan itu? Dan selanjutnya
bagaimana pengelolaannya? Jabawaban dalam Penjelasan Pasal 7, juga dinyatakan
cukup jelas.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
26
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
Kelemahan-kelemahan itu, seyogyanya perlu segera diatasi, sehingga keberadaan
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang akan
benar-benar menjadi Undang-Undang yang funsional. Namun demikian, terlepas dari
kelemahan-kelemahan dimaksud, akan tetapi dengan adanya rumusan yang tercantum dalam
Pasal 7 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 bahwa pidana denda sebagai pidana pokok
terhadap korporasi dapat dikomulatifkan dengan pidana tambahan, tentu merupakan suatu
kemajua, karena tidak lagi mengandalkan pidana denda semata. Dan, alternative sanksi pidana
tambahannya lebih variatif dibandingkan dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang
No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003.
C. Tahapan, Teknik, Metode dan Sarana Pencucian Uang (Offshore Financial dan Tax
Heaven Countries)
Harta yang diperoleh dari hasil kejahatan, selanjutnya diupayakan untuk mengubahnya
menjadi uang bersih seolah diperoleh dari usaha-usaha yang halal dan benar. Karena itu,
berbagai cara selalu dikembangkan, agar sulit dideteksi oleh aparat penegak hukum. Di
Australia, umumnya metode yang digunakan untuk melakukan pencucian uang terdiri atas
(Moens, 1996) :
1. Real estate, kekayaan atau aset lainnya dibeli dengan menggunakan nama samaran,
seperti perusahaan, keluarga atau teman.
2. Concealed identity, dana didepositokan, atau dipindahkan melalui rekening dengan
nama samaran (tidak sebenarnya) seperti halnya perusahaan, keluarga atau teman.
3. Funds sent overseas, hasil kejahatan dikirim ke luar negeri dengan menggunanakn
beberapa sarana termasuk telegraphic transfer, travelers, cheques, atau bahkan uang
tersebut dibawa secara fisik ke luar negeri.
4. False income, hutang palsu dibuat dengan jalan si pelaku seolah telah berutang dengan
orang lain dan pembayaran itu dilakukan dari hasil kejahatan yang disediakan untuk
orang tersebut. Cara ini meliputi deposito palsu atas kekayaan yang dimiliki oleh
pelaku, pinjaman keluarga, atau pinjaman kepada perusahaan yang dimiliki oleh
pelaku. Kemungkinan lain pinjaman palsu tersebut dibuat dengan jalan si pelaku seolah
berutang kepada orang lain dan utang tersebut akan dibayar kembali dengan hasil
kejahatan.
5. Mingling, dana dijalankan melalui struktur bisnis agar dana tersebut seolah menjadi
bagian dari kegiatan bisnis yang sah.
Proses pencucian uang itu, secara lebih teknis diatur dalam Keputusan Kepala PPATK
No. 2/1/KEP.PPATK/2003 tentang pedoman umum pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang bagi penyedia jasa keuangan, tanggal 9 Mei 2003, yaitu :
1. Placement
Upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam
system keuangan, bentuk-bentuk kegiatan ini antara lain :
a. Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit/pembiayaan.
b. Menyetorkan uang kepada penyedia jasa keuangan sebagai pembayaran kredit untuk
mengaburkan audit trail.
c. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah
berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.
e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi,
membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak
lain yang pembayarannya dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
27
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
2. Layering
Upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya
melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul dana. Dalam kegiatan itu terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian
transaksi yang komplek dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak
sumber dana tersebut.
Dengan cara layering itu, yang menyimpan dana di bank (nasabah penyimpan dana
atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana itu, deposan hanya
sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya
untuk mendepositokan uang itu di sebuah bank (Pelaporan & Keuangan, 2011). Sering
pula terjadi, bahwa pihak lain itu juga bukan pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata
lain, penyimpan dana itu juga tidak mengetahui siapa pemilik yang sesungguhnya dari
dana itu, karena dia hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik. Bahkan, sering terjadi
bahwa orang yang memberi amanah kepada penyimpan dana yang memanfaatkan uang itu
di bank adalah lapis yang kesekian sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya.
Dalam praktik layering, terjadi estafet secara berlapis-lapis. Biasanya para penerima kuasa
yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor- kantor pengacara. Penegak
hukum seringkali mengalami kesulitan untuk mendeteksi penyembunyian hasil-hasil
kejahatan secara layering (Khairul et al., 2011).
3. Integration
a.
Menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung,
diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan.
b.
Dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun
c.
Untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Berdasarkan perkembangan dalam Standard dalam Anti-Money Laundering yang telah
dikeluarkan oleh FATF, maka Indonesia mengevaluasi lagi keberlakuan Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 25 Tahun 2003 (UU-TPPU), yang menunjukan adanya beberapa kelemahan (loopholes)
yang cukup mendasar dalam UU-TPPU tersebut, sehingga menghambat efektifitas penegakan
hukum tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya melalui pendekatan anti
pencucian uang. Kelemahan-kelemahan dimaksud antara lain: masih terbatasnya pihak pelapor
(reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis
laporannya.
Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2015 dikemukakan, bahwa
penambahan jenis penyedia jasa keuangan yang terdiri atas perusahaan modal ventura,
perusahaan pembiayaan infrastruktur, lembaga keuangan mikro, dan lembaga pembiayaan
ekspor sebagai Pihak Pelapor dilatarbelakangi oleh aktivitas bisnis atau usaha yang dilakukan
oleh perusahaan atau lembaga tersebut rentan untuk dijadikan sarana dan sasaran tindak pidana
pencucian uang.
Bagi advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan
perencana keuangan, berdasarkan hasil riset PPATK rentan dimanfaatkan oleh pelaku tindak
pidana pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan cara berlindung dibalik ketentuan kerahasiaan
hubungan profesi dengan Pengguna Jasa yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Karena itu, pihak pelapor tersebut wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
Tujuannya, untuk “memastikan posisi hukum Pengguna Jasa” antara lain melakukan
pemeriksaan secara seksama dari segi hukum (legal due diligence/legal audit) terhadap suatu
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
28
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
perusahaan atau objek transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi
atau fakta material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau objek transaksi.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force
(FATF) yang menyatakan bahwa terhadap profesi tertentu yang melakukan Transaksi
Keuangan Mencurigakan untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa wajib
melaporkan Transaksi tersebut kepada Financial Intelligence Unit (dalam hal ini adalah
PPATK). Kewajiban pelaporan oleh profesi tersebut telah diterapkan di banyak negara dan
memiliki dampak positif terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang.
Dalam Keputusan Kepala PPATK itu, dikemukakan bahwa pedoman identifikasi transaksi
keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme ini berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan
yang dapat berupa bank umum, bank perkreditan rakyat, perusahaan efek, pengelola reksa
dana, bank kustodian, perusahaan perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, usaha
jasa pengiriman uang, pedagang valuta asing, dan kantor pos. Mengingat lahirnya Keputusan
tersebut ketika masih berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324), maka
batasan mengenai Penyedia Jasa Keuangan hanya meliputi sebagaimana yang telah disebutkan
itu. Namun dengan telah berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 2010, maka cakupan dari
Penyedia Jasa Keuangan lebih luas lagi, meliputi:
1. Bank;
2. Perusahaan pembiayaan;
3. Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4. Dana pensiun lembaga keuangan;
5. Perusahaan efek;
6. Eanajer investasi;
7. Kustodian;
8. Wali amanat;
9. Perposan sebagai penyedia jasa giro;
10. Pedagang valuta asing;
11. Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;
12. Penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;
13. Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
14. Pegadaian;
15. Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau
16. Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
Beranjak dari usulan pada pertemuan G-8 tahun 1999 tersebut, maka Gatekeeper Initiative
ditujukan kepada para professional. Karena itu, FATF meminta negara-negara untuk mendata
para profesional tersebut sebagai gatekeeper terhadap pasar bisnis keuangan nasional dan
internasional dalam upaya mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Adapun metode atau teknik dalam melakukan pencucian uang, telah dikembangkan dengan
menggunakan sarana offshore financial atau offshore banking (bank lepas pantai).
Mengingat money laundering termasuk dalam kegiatan kelompok kejahatan terorganisasi
(organized crime), maka dalam menganalisis permasalahan money laundering tidak dapat
dipisahkan dari tujuan-tujuan ekonomi oleh para pelaku kejahatan terorganisasi. Dengan telah
berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang yang mencabut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
29
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 30) dan Undang-undang No.
25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 108) tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang semula secara
limitatif disebutkan ada lima belas tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan.
Dan, dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2003, ketentuan yang tercantum dalam Undang-
undang No. 15 Tahun 2002 telah ditingkatkan lagi menjadi dua puluh lima tindak pidana yang
dikategorikan sebagai kejahatan. Kemudian, dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 telah
menambahkan adanya ketentuan baru yang dikategorikan sebagai kejahatan adalah Cukai dan
perikanan.
D. Lembaga yang Mengawasi Praktek Pencucian Uang
Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal
baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besar dampak negatif terhadap
perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya, mendorong negara-negara di dunia
dan organisasi internasional menaruh perhatian serius dan khusus terhadap pencegahan dan
pemberantasan masalah ini (Utami, 2021).
Karena itu, untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, maka
dibentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (bahasa Inggris:
Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC), yang merupakan
lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan
pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian
uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat membantu
dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana
asal (predicate crimes). PPATK, yang bertanggung jawab kepada Presiden RI, dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan
dan pengaruh kekuasaan mana pun. PPATK berkedudukan di Jakarta, Indonesia. Susunan
organisasi PPATK terdiri atas kepala, wakil kepala, jabatan struktural lain, dan jabatan
fungsional.
4. Kesimpulan
Pencucian uang adalah kejahatan serius yang melibatkan penggunaan lembaga keuangan
seperti bank untuk menyembunyikan asal-usul dana hasil kejahatan. Meskipun sering dianggap
sebagai masalah keperdataan, praktik ini sebenarnya melanggar hukum pidana karena
mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial, serta merusak lembaga demokrasi. Dengan potensi
dampaknya yang luas, termasuk ancaman terhadap keamanan nasional dan global, pencucian
uang harus ditindaklanjuti dengan ketat untuk melindungi kepentingan masyarakat secara
menyeluruh. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 mengakui korporasi sebagai subjek hukum
yang dapat bertanggung jawab dalam tindak pidana pencucian uang. Korporasi bisa dikenai
pidana berupa denda hingga Rp100 miliar serta sanksi tambahan seperti pengumuman putusan
hakim, pembekuan usaha, hingga pembubaran korporasi. Meski demikian, implementasi
undang-undang ini perlu memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi dan masyarakat, serta
memastikan penanganan yang adil terhadap pelaku tindak pidana.
Pencucian uang adalah proses mengubah dana hasil kejahatan agar terlihat berasal dari
sumber legal. Proses ini melibatkan berbagai metode seperti membeli aset dengan nama
samaran, memindahkan dana ke luar negeri, atau menyamarinya sebagai pendapatan palsu.
Langkah utama mencakup penempatan dana ke sistem keuangan, memisahkan dana dari asal-
usulnya melalui transaksi kompleks, dan mengintegrasikannya ke dalam kekayaan yang sah.
Meskipun aturan dan pedoman telah dikeluarkan untuk mencegahnya, masih ada tantangan
dalam mendeteksinya, terutama dengan perkembangan teknik penghindaran yang melibatkan
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 21-30
E-ISSN: 3063-4350
30
Joko Margo Utomo (Tindak pidana pencucian uang)
offshore financial dan negara-negara tax haven. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mencegah dan
menghapus tindak pencucian uang di Indonesia. PPATK memiliki kekuatan untuk
mengimplementasikan kebijakan anti pencucian uang dan anti pendanaan terorisme, bertujuan
untuk menjaga stabilitas keuangan dan mengurangi kejahatan finansial. Lembaga ini beroperasi
di bawah Presiden RI dengan kemandirian penuh dan tanpa campur tangan dari kekuasaan
lainnya, berbasis di Jakarta.
5. Daftar Pustaka
Amrullah, M. A. (2003). Pencucian Uang dan Kejahatan Terorganisir. Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM. https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/4816
Amrullah, M. A. (2013). Kejahatan Money Laundering dalam Pemilukada (Re-Orientasi dan
Re-Evaluasi Nilai Terhadap Kebijakan Pelaksanaan Pemilukada). Jurnal Cakrawala
Hukum. http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/view/1121
Arief, B. N. (2010). Perbandingan hukum pidana. library.stik-ptik.ac.id. http://library.stik-
ptik.ac.id/detail?id=44962&lokasi=lokal
Box, S., & Hale, C. (1982). Economic crisis and the rising prisoner population in England and
Wales. Crime and Social Justice. https://www.jstor.org/stable/29766140
Khairul, K., Siregar, M., & Marlina, M. (2011). Kewenangan Ppatk dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jurnal Mercatoria.
https://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria/article/view/606
Kusheri, D. D. (2015). Fungsi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Dalam Melacak Transaksi Keuangan yang Mencurigakan. Lex Crimen.
https://www.neliti.com/publications/3287/fungsi-pusat-pelaporan-dan-analisis-transaksi-
keuangan-ppatk-dalam-melacak-trans
Moens, G. A. (1996). Church and State Relations in Australia and the United States: The
Purpose and Effect Approaches and the Neutrality Principle. BYU L. Rev.
https://heinonline.org/hol-cgi-
bin/get_pdf.cgi?handle=hein.journals/byulr1996&section=36
Nasution, E. (2011). Memahami Praktik Pencucian Uang Hasil Kejahatan. In Dokumen KPK.
academia.edu. https://www.academia.edu/download/35690956/Praktik-pencucian-uang-
Edi-Nasution.pdf
Pelaporan, P., & Keuangan, A. T. (2011). Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. In Jakarta: PPATK.
Reksodiputro, M. (1993). Mardjono Reksodiputro. In ), Pidato Pengukuhan Penerimaan
Jabatan Guru Besar ….
Utami, S. (2021). Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Uang Virtual Money Laundering
on Virtual Money. Al-Adl: Jurnal Hukum. https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/4224