IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
43
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
Peran Perbankan dalam pemberantasan tindak
pidana pencucian uang
Satria Giras Mukti Aji
a,1
, Heri Kurnia
b,2*
a
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Surakarta, Jl. Raya Palur Ngringo Km. 5, Karanganyar,
Ngringo, Jaten, Kota Surakarta
b
CV. Kurnia Grup, Jl. Imogiri timur KM 7, Grojogan RT 03 / No. 069, Wirokerten, Banguntapan, Bantul
*
info@kurniajurnal.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 17 Februari 2024
Direvisi: 4 Maret 2024
Disetujui: 20 April 2024
Tersedia Daring: 1 Mei 2024
Tindak pidana pencucian uang marak terjadinya di Indonesia dengan bank
sebagai sarananya. Kelamahan-kelemahan yang terdapat dalam sistem
perbankan menjadi celah bagi pelaku pencucian uang untuk
melakukanperbuatannya sehingga hasil kejahatan yang diperolehnya aman
disimpan di Bank. Penelitian karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum
normatif yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan perundang-
undangan dan konseptual dengan pendekatan kasus. Tujuan penulisan ini
untuk menganalisis peran perbankan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan nasabah
dalam perspektif undang-undang perbankan dan modus yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana pencucian uang di bank. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahw a modus yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
pencucian uang dalam melakukan pencucian uang di bank adalah melalui
kerja sama modal melalui agunan kredit, tranfer ke luar negeri,
penyamaran usaha di dalam negeri, rekayasa pinjaman luar negeri dan
peran perbankan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dan undang-undang perbankan adalah dengan
cara mengenali calon nasabah yang akan membuka rekening di bank seta
memantau profil dan transaksi nasabah yang dilakukan secara
berkesinambungan, meliputi kesesuaian antara profil transaksi dengan
profil nasabah, meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama
tersangka/ terdakwa yang dipublikasikan dalam media massa atau oleh
otoritas yang berwenang.
Kata Kunci:
Peran
Perbankan
Pemberantasan
Pencucian Uang
ABSTRACT
Keywords:
Role
Banking
Eradication
Money laundering
Money laundering crimes are rife in Indonesia with banks as the means.
Weaknesses in the banking system provide opportunities for money
launderers to carry out their actions so that the proceeds of crime obtained
are safely stored in the bank. This scientific work research is normative
legal research that is descriptive analysis, with a statutory and conceptual
approach with a case approach. The purpose of this paper is to analyze the
role of banking in efforts to prevent and eradicate money laundering
crimes committed by customers from the perspective of banking law and
the modes used by perpetrators of money laundering crimes in banks. The
results of this research show that the mode used by perpetrators of money
laundering crimes in laundering money in banks is through capital
cooperation through credit collateral, transfers abroad, disguising
domestic businesses, engineering foreign loans and the role of banks in
efforts to prevention and eradication of money laundering crimes and
banking laws is by identifying prospective customers who will open an
account at the bank and monitoring customer profiles and transactions
carried out on an ongoing basis, including conformity between transaction
profiles and customer profiles, examining similarities or similar names
with the name of the suspect/ defendant published in the mass media or by
the competent authorities.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
44
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
©2024, Satria Giras Mukti Aji, Heri Kurnia
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana termaktub dalam pembukaan undang-
undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 merupakan cita-cita negara republik
Indonesia. Implikasi dari adanya cita-cita negara adalah penyelenggara baik dari aspek politik,
ekonomi, sosial, maupun budaya yang diupayakan untuk mewujudkan cita-cita, penyelenggara
negara haruslah berdasarkan kepada pancasila sebagai dasar negara. Cita-cita mewujudkan
kesejahteraan rakyat tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Lebih dari 70
tahun Indonesia merdeka, hingga hari ini konsep kesejahteraan itu masih sulit
untuk diwujudkan. Kesejahteraan dalam pendangan masyarakat awam itu domainnya adalah
dalam bidang ekonomi rakyat secara nyata. Seiring dengan berjalannya waktu, pesatnya
pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah kepada era globlisasi telah memberikan peluang
akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional untuk memainkan perananya. Peran
korporasi tersebut sering dirasakan bahkan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan
masyarakat. Dampak yang dirasakan tersebut dapat bersifat positif dan negatif, namun dampak
yang bersifat negatif yang lebih sering terjadi dan dirasakan (Mulyadi & Surbakti, 2015).
Semakin berkembang teknologi, maka semakin berkembang pula jenis-jenis kejahatan.
Dahulunya hanya dikenal kejahatan tradisional seperti pencurian, pembunuhan dan lainnya
yang telah dikriminalisasi dengan berlakunya kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Tapi sekarang dikenal sebuah fenomena kejahatan baru, seperti tindak pidana korupsi,
perdagangan narkotika dan psikotropika, penyuapan, dan terorisme. Missalanya saja tindak
pidana korupsi, kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negara yang mempunyai jabatan
pemerintahan ini sering disebut dengan kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan
yang ahanya dilakukan oleh orang-orang berdasi. Para koruptor mencuri uang negara hingga
miliyaran atau bahkan triliunan rupiah, uang yang tidak sedikit bila digunakan untuk bantuan
sarana pendidikan, kesehatan dan perluasan lapangan pekerjaan (Rachman, 2015). Para
koruptor, teroris, serta kejahatan kerah putih lainnya yang memiliki uang serta aset yang
jumlahnya fantastik, sering kali menyimpan uang hasil kejahatan dengan cara money
laundring (pencucian uang) di berbagai lembaga keuangan sehingga hasil kejahatan itu tidak
terlacak oleh aparat keamanan. Hal itu dilakukan agar aset dan uang yang tersebut, dapat
digunakan untuk kebutuhan hidup dalam jangka waktu yang panjang.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi berbanding lurus dengan perkembangan
praktik dan bentuk-bentuk tidak kejahatan, seperti berkembangnya tindak pidana pencucian
uang seiring dengan pekembangan dalam dunia bisnis yang ditopang oleh perkembangan
teknologi sebagain sebuah tindak pidana kerah putih. Bila dilihat secara sepintas, TTPU
seolah- olah sebagai sebuah tindakan yang tidak ada korbannya, TPPU tindak seperti tindak
kejahatan lain seperti pembunuhan, narkotika yang menyisakan korban secara nyata. TTPU
gilirannya akan yang akan sangat berdampak kepada sektor perekonomian dan bisnis dengan
membawa dampak buruk yang cukup signifikan (Hakim, 2015).
2. Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur (literature study). Metode studi
literatur adalah serangkaian kegian yang berkenan dengan metode pengumpulan data pustaka,
membaca dan mencatat, serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2008: 3). Studi kepustakaan
merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian, khususnya penelitian akademik yang
tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoretis maupun aspek manfaat praktis. Studi
kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama, yaitu mencari dasar pijakan/
fondasi utnuk memperoleh dan membangun landasan teori, kerangka berpikir dan menentukan
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
45
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
dugaan sementara atau disebut juga dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat
menggelompokkan, mengalokasikan mengorganisasikan dan menggunakan variasi pustaka
dalam bidangnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, para peneliti mempunyai pendalaman
yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti.
3. Hasil dan Pembahasan
A. Modus Yang Dilakukan Oleh Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang dalam bahasa Inggris disebut dengan money laundering. Terminologi
money laundering sebenarnya belum lama dipakai. Istilah ini pertama kali dipakai oleh surat
kabar dalam memberitakan skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon pada
tahun 1973 (Yani, 2013). Adrian Sutedi mengatakan bahwa pencucian uang adalah suatu
proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah
menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah (Sutedi, 2017) Saat
ini pencucian uang atau money laundering sudah merupakan fenomena dan menjaditantangan
dalam dunia internasional. (Goverment, 2016) Semua negara di dunia sepakat bahwa
pencucian uang merupakan suatu tindak kejahatan yang harus dihadapi dan diberantas. Pihak
penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, negara-
negara yang telah maju dan negara-negara dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi
sendiri berdasarkan skala prioritas dan perspektif yang berbeda (Sjahdeini, 2013).
Modus yang digunakan oleh pelaku kejahatan pencucian uang ada berbagai macam,
dengan kecerdasan dan kemajuan teknologi pada umumnya dilakukan dengan melakukan kerja
sama modal dalam modus ini membawa membawa uang secara tunai dari hasil kejahatan
tersebut ke luar negeri, kemudian dimasukkan kembali kedalam negeri dengan cara
menginvestasikan melalui proyek-proyek penanaman modal asing (joint venture project).
Keuntungan dari proyek tersebut sudah menjadi bersih karena tampak secara legal dan bisa di
nikmati, bahkan sudah dikenakan pajak. Melalui agunan kredit menyelundupkan uang hasil
dari kejahatan tersebut ke luar negeri terlebih dahulu dengan menyimpan di bank-bank
tertentu.
Dari bank tersebut, uang tersebut ditransfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito.
Kemudian operandi melakukan pinjaman ke suatu bank di Eropa dengan menggunakan
jaminan deposito tersebut. Uang dari pinjaman tersebut dikembalikan/ ditanamkan kembali ke
Negara asal uang tersebut didapatkan, karena sudah menjadi uang bersih. Transfer keluar
negreri uang tunai yang dibawa oleh operandi ditransfer ke luar negeri melalui bank asing
yang bercabang di Negara asalny. Kemudian uang tersebut dicairkan dan dibawa oleh orang-
orang tertentu kembali ke Negara asalnya, sehingga tampak uang tersebut didapat dari luar
negeri. Penyamaran usaha di dalam negeri Uang tersebut digunakan untuk mendirikan
perusahaan bisnis samaran di dalam negeri.Operandi tidak mempermasalahkan uang tersebut
mengalami keuntungan atau kegurian, karena uang tersebut tampak bahwa perusahaan
bisnisnya menghasilkan uang bersih (clean money).
Penyamaran dalam perjudian selain mendirikan perusahaan bisnis, biasanya perusahaan
perjudian menjadi pilihan operandi untuk menyamarkan kekayaannya dengan membeli nomor
undian yang telah dipesan dengan harga tertinggi dan nomor tersebut keluar sebagai
pemenang, sehingga tampak bahwa uang/ harta itu berasal dari usaha tersebut. Penyamaran
dokumen secara fisik uang tersebut tidak kemana-mana melainkan tetap ditempat yaitu
didalam negeri. Keberadaan uang tersebut dilengkapi dengan dokumen-dokumen bisnis double
invoice dalam bisnis ekspor-impor dari perusahaan yang dipalsukan atau direkayasa sehingga
uang tersebut seolah-olah berasal dari bisnis ekspor-impor tersebut. Pinjaman luar negeri Uang
hasil kehatatan ini secara tunai dibawa ke luar negeri.Kemudian dimasukkan kembali ke dalam
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
46
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
negeri dalam bentuk pinjaman luar negeri, seolah-oleh uang tersebut diperoleh karena
pinjaman (bantuan kredit) luar negeri. Rekayasan pinjamana luar negeri uang tersebut tidak
kemana-mana melainkan ada di dalam negeri. Kemudian operandi membuat dokumen
rekayasa/ palsu seakan- akan mendapat bantuan atau pinjaman dari luar negeri (Sutedi, 2019).
Berdasarkan modus, teknik pencucian uang serta metodenya, maka tidak salah jika
pencucian uang memang membahayakan bagi kehidupan ekonomi sebuah negara. Pencucian
uang sudah menjadi sebuah kejahatan bisnis yang tidak hanya terjadi dalam lembaga
keuangan, apakah itu perbankan maupun lembaga keuangan non bank dalam lingkup kecil saja
ataupun dimungkinkan dilakukan oleh perorangan maupun korporasi melalui lintas negara
(cross border) atau tanpa batas tertentu lagi. Hal ini yang menyebabkan betapa sulitnya bagi
negaranegara untuk dilakukan pemeberantasan terhadap hasil kejahatan pencucian uang ini
secara optimal. Secara umum ada beberapa alasan mengapa money laundering diperangi dan
dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu: pengaruh money laundering pada sistem keuangan
dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia.
Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga merupakan bagian dari akibat
negatif dari pencucian uang. Dengan adanya berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa
money laundering dapat mempengaruhi perekonomian dunia. Dinyatakan money laundering
sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat hukum untuk menyita hasil tindak
pidana yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah
dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan ini, maka pemberantasan tindak pidana sudah
beralih orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana
Dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan
transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih
memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokok-
tokoh yang ada di belakangnya.
Karena pengaruh money laundering pada sistim keuangan dan ekonomi diyakini
berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas
penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering sumber daya dan dana
banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat, disamping
itu dana-dana banyak yang kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan melakukan
“sterile investment” dalam bentuk property atau perhiasan yang mahal Hal ini terjadi karena
uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dirasakan.
ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparatur
penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadangkala sulit untuk disita,
misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan
cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Dengan demikian pemberantasan
tindak pidana sudah beralih orientasinya dari menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil
tindak pidana”. Di banyak negara dengan menyatakan money laundering sebagai tindak pidana
merupakan dasar bagi penegak hukum untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap
menghambat upaya penegakan hukum.
Dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan
transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih
memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-
tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada
umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak
menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut (Stessen, 2017). Banyaknya modus yang dapat
dilakukan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang seharusnya dapat diantisipasi oleh
pihak perbankan sesuai dengan peran yang telah ada pada lembaga perbankan tersebut. Peran
yang diemban oleh perbankan dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian yang
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
47
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
dilakukan oleh nasabah tidaklah telalu berat. Hal ini disebabkan peran perbankan dalam
mencegah tindak pidana pencucian uang karena ada Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai mitra kerjasama yang dapat
membantu dalam upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang.
B. Peran Perbankan dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang yang Dilakukan Nasabah dalam Perspektif Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Perbankan
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada
kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana dan jasa-jasa lain yang
dilakukan mereka melalui bank pada khususnya dan dari masyarakat luas pada umumnya.
Oleh karena itu, bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang sudah
mampu yang akan menyimpan dananya, maupun yang telah atau akan menggunakan jasa-jasa
bank lainnya terpelihara dengan baik dalam tingkat yang lebih tinggi. Mengingat bank adalah
bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran, masyarakat luas berkepentingan atas
kesehatan dari system-sistem tersebut. Adapun kepercayaan masyarakat kepada bank
merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank sehingga terpeliharanya kepercayaan
masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak (Sutedi, 2015).
Pemanfaatan lembaga keuangan dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa
menginvestasikan dan memindahkan uang dari hasil tindak pidana seperti uang hasil korupsi,
suap, penipuan, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal dan lainnya ke dalam bentuk
deposito, pembelian traveler cheque, saham, obligasi, reksadana dan instrument
keuangan lainnya. Money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan asset
(pendapatan atau kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi
bahwa aset tersebut berasal dari kehajatan yang illegal. Melalui Money Laundering
pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hokum diubah menjadi
aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau legal (Fuady, 2014).
Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan
pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko
operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi
perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena
pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia seperti yang
dijelaskan sebelumnya, sangatlah penting. Oleh sebab itu sistem perbankanmenjadi perhatian
utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua, tingginya tingkat
perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan
menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang
paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pelaku kejahatan dapat
memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan
memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau
lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa, Penyimpanan uang
hasil kejahatan dengan nama palsu, Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/ tabungan/ giro,
Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal, Pengajuan permohonan kredit dengan
jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan, Penggunaan fasilitas transfer;
Pemalsuan dokumen-dokumen yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan
pendirian/ pemanfaatan bank gelap (Raihan, 2015).
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil
kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu, karena organisasi kejahatan
membutuhkan pengelolaan keuangan dengan cara menempatkan dananya dalam kegiatan
usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
48
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Hal tersebut menunjukkan eratnya keterkaitan
antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank. Kejahatan ini relatif
memang masih baru dikenal, sehingga penyelidikannya pun masih sulit dilakukan karena
memerlukan keahlian khusus serta keuletan dan ketelitian. Kejahatan teknologi di suatu pihak
membawa pengaruh positif dalam berbagai bidang, namun di sisi lain dapat mengakibatkan
semakin meningkatnya kualitas kejahatan dengan mempergunakan cara-cara dan sarana
kejahatan yang semakin canggih pula berupa kejahatan intelektual seperti penipuan milyaran
dan korupsi skala besar yang tidak kelihatan (Pardede, 2013).
Penanggulangan tindak pidana pencucian uang yang telah dijelaskan di atas bahwa tindak
pidana pencucian uang tersebut dapat terjadi di Bank. Di dalam bank apabila terjadi transaksi
yang mencurigakan terhadap nasabahnya dalam melakukan transaksi, maka pihak bank akan
segera melaporkan ke PPATK agar PPATK yang akan menanganinya secara langsung. Di
bank ada dua macam transaksi yang harus di laporkan kepada PPATK yaitu pertama,
transaksi tunai, dimana nasabahnya akan dicurigai apabila nasabahnya melakukan transaksi
Rp.500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah) ke atas, baik dalam negeri maupun luar negeri
seperti yang terdapat didalam Pasal 23 ayat 1 (b) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015. Kedua
transaksi mencurigakan, dimana pihak bank akan mencurigai setiap transaksi yang dilakukan
oleh nasabahnya, apabila lewat dari transaksi yang biasa dilakukan oleh nasabahnya. Dan
akan langsung dilaporkan kepada Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Karena pada saat melakukan transaksi maka bank akan melihat data-data dari profil calon
nasabahnya. Agar bank tidak dijadikan media tempat terjadi tindak pidana pencucian
uang. (Nugroho:2016). Dengan demikian, pihak bank dalam hal ini harus mengenali
nasabahnya terlebih dahulu agar terhindar dari praktik pencucian uang yang dilakukan oleh
nasabah.
Menurut Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kewajiban menerapkan
prinsip mengenali pengguna jasa harus dilakukan pada saat:
a. Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa;
b. Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau
setara dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. Terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.
Ketentuan umum prinsip mengenali pengguna jasa menurut Undang Undang Nomor 8
Tahun 2015 yaitu:
a. Identifikasi Pengguna Jasa, Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan identifikasi pengguna jasa keuangan yaitu:
1) Jika melakukan hubungan usaha, setiap orang wajib memberikan identitas
lengkap kepada Penyedia Jasa Keuangan;
2) Setiap orang yang melakukan transaksi dengan pihak pelapor wajib memberikan
identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh pihak pelapor dan sekurang-
kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan transaksi dengan mengisi
formulir yang diperhatikan oleh pihak pelapor dan melampirkan dokumen
pendukungnya;
3) Dalam hal transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, setiap orang wajib
memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan transaksi
pihak lain tersebut;
4) Penyedia jasa keuangan wajib memastikan pengguna jasa bertindak untuk siapa;
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
49
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
5) Pihak pelapor wajib mengetahui bahwa pengguna jasa yang melakukan transaksi
dengan pihak pelapor bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang
lain;
6) Dalam hal transaksi dengan pihak pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan
atas nama orang lain, pihak pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan
dokumen pendukung dari pengguna jasa dan orang lain terebut;
7) Dalam hal identitas dan/atau dokumen pendukung yang diberika tidak lengkap, pihak
pelapor wajib menolak transaksi dengan orang tersebut;
8) Penyedia jasa keuangan wajib menyimpan catatan dan dokumen;
9) Pihak pelapor wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas
pelaku transaksi paling singkat 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan
usaha dengan pengguna jasa tersebut.
b. Verifikasi Pengguna Jasa
1) Identitas dan dokumen pendukung yang diminta oleh pihak pelapor harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap
lembaga pengawas dan pengatur;
2) Penyedia jasa keuangan harus memperoleh keyakinan mengenai identitas nasabah
baik perorangan maupun perusahaan, apabila nasabah bertindak untuk dan atas nama
pihak lain maka identitas pihak lain tersebut juga wajib diminta dan diverifikasi
3) Prosedur pembuktian identitas nasabah berlaku sama untuk setiap produk yang
dikeluarkan oleh penyedia jasa keuangan dan penyedia jasa keuangan harus memiliki
salinan dokumen tersebut dan menatausahakannya dengan baik;
4) Penyedia jasa keuangan wajib memutuskan hubungan usaha dengan pengguna
jasa apabila pengguna jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali pengguna jasa
dan penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh
pengguna jasa;
5) Penyedia jasa keuangan wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan
pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai transaksi keuangan mencurigakan.
4. Kesimpulan
Bahwa modus yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang dalam
melakukan pencucian uang di bank adalah melalui kerjasama modal; melalui agunan
kredit;transfer ke luar negeri; penyamaran usaha di dalam negeri; penyamaran dalam
perjudian; penyamaran dokumen;pinjaman luar negeri;rekayasa pinjaman luar negeri. Bahwa
peran perbankan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
yang dilakukan nasabah dalam perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Undang-Undang Perbankan adalah dengan cara mengenali calon nasabah yang akan
membuka rekening di suatu bank serta pemantauan profil dan transaksi nasabah yang
dilakukan secara berkesinambungan meliputi kegiatan memastikan kelengkapan informasi
dan dokumen nasabah; meneliti kesesuaian antara profil transaksi dengan profil nasabah;
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama yang tercantum dalam database;
meneliti kemiripan atau kesamaan nama dengan nama tersangka atau terdakwa yang
dipublikasikan dalam media massa atau oleh otoritas yang berwenang.
5. Saran
Bank lebih berhati-hati dalam melakukan pencairan uang nasabah, dan penerimaan uang
dari nasabah harus mendapatkan informasi yang lengkap sehingga tidak memberikan masalah
di kemudian hari karena keuangan meruoakan hasil kejahatan, misalnya pencucian uang.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 1, Mei 2024, page: 43-50
E-ISSN: 3063-4350
50
Satria Giras Mukti Aji et.al (Peran Perbankan dalam pemberantasan.)
6. Daftar Pustaka
Dirham, R. (2020), “Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) alam Transaksi
Perbankan. Karya Ilmiah. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Fuady, M. (2014), Hukum Perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat dvance), Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti,
Goverment, US. (2016), Secretary of Treasury and Attorney General, The National Money
Laundering Strategy 2016.
Hakim, A.L. & Martin, A.Y., (2020). “Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Modusnya
Dalam Perspektif Hukum Bisnis”, dalam Jurnal De’Rechstaat, Volume I, Nomor 1.
Husein, Y. (2020). “Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering),” Jurnal Hukum, Volume 2, Nomor 1, Januari 2020.
Ibrahim, J. (2005), Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia.
Mulyadi, M. dan Surbakti, F.A. (2015), Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Sofmedia.
Nugroho, N. (2019), “Analisis Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh
Bank BNI Di Tinjau Dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang TPPU”,
dalam Jurnal Mercatoria,Volume 9, Nomor 2, Desember 2019,
Pardede, M. (2013), Hukum Pidana Bank, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Pronika Juliantika Manihuruk, Triono Eddy & Ahmad Fauzi, 2020, The Role of Banking in
The Prevention and Eradication of Money Laundering Crimes Conducted by The
Customer, Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), Vol 3, No.
2, Desember 2020.
Rachman, M.R. (2019) Permasalahan Tindak Pidana Asal (Predicate Offence) Dalam
Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering)”, dalam https://academia.edu., diakses tanggal 1 September 2019.
Sjahdeini, S.R. (2020), “Pencucian Uang: Sejarah, Faktor Penyebab, dan Dampaknya Bagi
Masyarakat”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Nomor 3, Tahun 2020
Soemitro, R.H. (2014), Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia,
Cetakan Keempat.
Sutedi, A, (2017), Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi,
Dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika.
Iman Sjahputra, 2016, Money Laundering (Suatu Pengantar), Jakarta: Harvindo.
Sutedi, A. (2014), Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sutedi, A. (2015), Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Marger, Likuidasi,
dan Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika.
Yani, M.A. (2019), “Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang”, dalam E- Journal WIDYA Yustisia, Volume 1 Nomor 1 Mei-
Agustus 2019.