International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
65
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
Perlindungan Hukum Atas Data Pribadi Dalam
Transaksi Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi
Anang Prastyawan
a,1*
, Supriyono
b,2
a
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Indonesia
b
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Surakarta, Kabupaten karanganyar, Indonesia
1
dwitaagustuti89@gmail.com;
2
supriyonorajendra@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 15 Agustus 2024
Direvisi: 5 September 2024
Disetujui: 20 Oktober 2024
Tersedia Daring: 1 November 2024
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
problematika perlindungan hukum yang dihadapi para pihak pada
perjanjian pinjam-meminjam antar pihak berbasis teknologi informasi
(peer to peer lending). Mengetahui dan menganalisis solusi untuk
mengatasi problematika hukum pada perjanjian pinjam-meminjam antar
pihak berbasis teknologi informasi (peer to peer lending). Permasalahan
dalam penelitian ini adalah apa problematika perlindungan hukum yang
dihadapi para pihak pada perjanjian pinjam-meminjam antar pihak
berbasis teknologi informasi (peer to peer lending) dan Bagaimana solusi
untuk mengatasi problematika hukum pada perjanjian pinjam-meminjam
antar pihak berbasis teknologi informasi (peer to peer lending). Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
doktrinal atau normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual dengan
menganalisa masalah hukum yang ada dan dibandingkan dengan undang-
undang serta peraturan hukum yang mengaturnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa problematika perlindungan hukum yang dihadapi
para pihak pada perjanjian pinjam-meminjam antar pihak berbasis
teknologi informasi (peer to peer lending) antara lain permasalahan
pencemaran nama baik oleh debt collector nakal dan perlindungan data
pribadi. Permasalahan tersebut terjadi karena terjadinya kredit macet
atau debitur tak mampu melunasi pinjaman tepat waktu. Permasalahan
lain yaitu Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjaman
berbasis teknologi membuat pihak yang berwenang tidak bisa menindak
lanjuti perusahaan-perusahaan fintech illegal ini. Solusi untuk mengatasi
problematika hukum pada perjanjian pinjam-meminjam antar pihak
berbasis teknologi informasi (peer to peer lending) diperlukan jaminan
perlindungan hukum yang memadai, yang dapat dilihat dari dua
perbaikan mekanisme. Terkait dengan pembuatan perjanjian antar pihak
Peer to Peer Lending penyelenggara dan pengguna harus beriktikad baik
dalam membuat perjanjian.
Kata Kunci:
Data Pribadi
Perlindungan Hukum
Teknologi Informasi
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
66
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
ABSTRACT
Keywords:
Personal Data
Legal Protection
Information Technology
The purpose of this study is to find out and analyze the legal protection
problems faced by the parties in the information technology-based loan-to-
peer lending agreement. Knowing and analyzing solutions to overcome
legal problems in lending agreements between parties based on
information technology (peer to peer lending). The problem in this study is
what are the legal protection problems faced by the parties in the
information technology-based loan-lending agreement (peer to peer
lending) and how to solve the legal problems in the information technology-
based loan-lending agreement (peer to peer lending). The research method
used in this study is doctrinal or normative legal research which is carried
out by researching literature materials. This legal research uses a statue
approach and a conceptual approach by analyzing existing legal problems
and comparing them with the laws and legal regulations that govern them.
The results of the study show that the legal protection problems faced by
the parties in the information technology-based loan-lending agreement
(peer to peer lending) include the problem of defamation by rogue debt
collectors and personal data protection. These problems occur due to bad
loans or debtors are unable to repay loans on time. Another problem is OJK
Regulation No. 77/POJK.01/2016 concerning technology-based loan
services, making it impossible for the authorities to follow up on these
illegal fintech companies. The solution to overcome legal problems in
lending agreements between parties based on information technology (peer
to peer lending) requires adequate legal protection guarantees, which can
be seen from the two mechanism improvements. Regarding the creation of
agreements between Peer to Peer Lending parties, organizers and users
must be in good faith in making agreements.
©2024, Anang Prastyawan, Supriyono
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini, Bank yang seharusnya
merupakan lembaga keuangan yang dapat dijadikan alternatif pertama untuk memenuhi
kebutuhan dana masyarakat, sebenarnya belum dapat bekerja maksimal dalam
menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat luas. Dalam kenyataannya hanya
sebagian saja yang dapat memanfaatkan dan menikmati jasa perbankan ini. Bank tidak
memberikan kemudahan atas fasilitas yang seharusnya dinikmati setiap masyarakat.
Selain harus memiliki agunan atau barang jaminan, syarat pemberian pinjaman di bank
juga relatif sulit untuk dipenuhi bagi kalangan yang memiliki status ekonomi menengah
ke bawah.
Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi salah satu solusi inovasi perkembangan
perekonomian saat ini. Inovasi yang disebut-sebut akan menjadi solusi perkembangan
perekonomian di dunia tersebut adalah layanan Teknologi Finansial atau Financial
Technology (Fintech). Fintech di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Lembaga
Keuangan Bukan Bank. Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi salah satu solusi
inovasi perkembangan perekonomian saat ini. Inovasi yang disebut-sebut akan menjadi
solusi perkembangan perekonomian di dunia tersebut adalah layanan fintech. Fintech di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank. Perkembangan
teknologi dunia yang setiap-hari semakin canggih, menjadikan teknologi di posisi utama
bagian dari kehidupan sehari-hari setiap masyarakat. Teknologi informasi membuat
masyarakat beralih menggunakan komputer, smartphone maupun tablet. Interaksi dalam
kegiatan dunia perbankanpun tak luput dari jangkauan teknologi. Semakin bergantungnya
konsumen terhadap teknologi menyebabkan pesatnya transaksi jasa keuangan online yang
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
67
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
semakin menjamur di berbagai sektor.
Berkembangnya teknologi informasi memberikan berbagai kemudahan bagi
masyarakat untuk bertransaksi di industri keuangan dan mendorong inklusi keuangan.
Lembaga jasa keuangan berbasis teknologi (fintech) kemudian muncul seiring dengan
perkembangan di dunia keuangan. Keberadaan fintech memiliki tujuan untuk membuat
masyarakat lebih mudah dan efisien dalam mengakses produk-produk keuangan, lalu
mempermudah transaksi keuangan dan juga meningkatkan literasi keuangan.
Konsep fintech mengadaptasi dari perkembangan teknologi dan dipadukan dengan
bidang finansial diharapkan dapat menghadirkan proses transaksi keuangan yang lebih
praktis, aman, serta modern. Produk yang dapat dikatagorikan ke dalam bidang fintech,
diantaranya adalah proses pembayaran payments), investasi, perencanaan keuangan, riset
keuangan, transfer, jual beli saham, dan pembiayaan (lending), dll.
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau biasa disebut
Peer to Peer Lending (P2P Lending) adalah salah satu produk dari Fintech yang
mempertemukan pemilik dana (lender) atau yang biasa disebut investor dengan peminjam
dana atau kreditur (borrower) atau bisa juga disebut peminjam dengan melalui sistem
elektronik atau teknologi informasi. Cara yang dilakukan inilah yang menghilangkan
fungsi intermediasi yang selama ini dilakukan oleh dari perbankan. P2P Lending membuat
platform online untuk menyediakan fasilitas disebut dengan istilah Penyelenggara
(platform) bagi pemilik dana untuk memberikan pinjaman secara langsung kepada
peminjam dengan return lebih tinggi, sedangkan peminjam dapat mengajukan kredit
secara langsung kepada pemilik dana melalui penyelenggara secara online dengan syarat
yang relatif lebih mudah dan proses lebih cepat. Keuntungan lainnya adalah mudah
dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional.
Perihal fintech yang berkembang pesat di Indonesia, ada kekhawatiran mengenai
perlindungan hukum para penggunanya karena belum ada undang-undang yang jelas
dalam mengatur perihal fintech. Baik itu masalah perlindungan privasi maupun data
privasi pengguna yang mendaftarkan dirinya di platform online. Indonesia sebagai
anggota APEC, telah mengikuti Kerangka Privasi APEC 2004 (APEC Privacy
Framework) yang dengan jelas menyebutkan di dalamnya yaitu potensi perdagangan
elektronik tidak dapat diwujudkan tanpa kerjasama pemerintah dan pelaku bisnis untuk
mengembangkan dan menerapkan teknologi dan kebijakan yang membahas isu-isu
termasuk privasi. Oleh karena itu, masalah perlindungan privasi dan data privasi telah
menjadi agenda mendesak. Berbagai negara telah membuat ketentuan tentang privasi dan
perlindungan data privasi, namun tidak dengan Indonesia.
Aspek hukum, Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standar keamanan bagi
pengguna layanan fintech. Ketidakpastian hukum ini mendorong pemerintah membuat
regulasi yang mengatur tentang P2P Lending untuk meminimalisir risiko dan dapat
menjadi payung hukum bagi pengguna Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
Hingga saat ini Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai privasi atas
data pribadi. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan hal ini dalam bentuk undang-undang
yang secara khusus membahas mengenai privasi atas data pribadi, baik yang dilakukan
melalui media biasa maupun elektronik.
2. Metode
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum doktrinal atau normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
68
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
pustaka. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penulisan doktrinal (doctrinal research)
adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka (library based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder sehingga penulisan hukum akan
mampu menghasilkan argumentasi teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi
.
b. Sifat Penelitian
Bahwa dalam menyusun penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang
bersifat preskriptif. Penulis akan memberikan usulan untuk merevisi peraturan-
peraturan terkait dengan risiko pembiayaan berbasis teknologi ini. Hal ini dilakukan
oleh penulis karena pada hakikatnya ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif yang mengkaji koherensi antara norma hukum dan
prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah
laku individu dengan norma hukum.
c. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum, tendapat beberapa pendekatan yang mana dengan
pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dan bebagai aspek mengenai
isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
d. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan Data Sekunder. Data sekunder
adalah data-data yang siap pakai yang dapat membantu menganalisa serta memahami
data primer. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).
Penelitian Kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan-
bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti untuk memperoleh
data sekunder yang terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)
c) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
f) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik
g) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer,
terdiri dari berbagai bahan kepustakaan, dokumen, arsip, peraturan perundang-
undangan, laporan, teori-teori, internet dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
e. Metode Analisis Data
Teknik analisis yang dilakukan oleh penulis adalah mempergunakan metode
silogisme deduktif yaitu dengan cara berfikir pada prinsip-prinsip dasar, kemudian
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
69
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
penelitian menghadirkan objek yang akan diteliti guna menarik kesimpulan terhadap
fakta-fakta yang bersifat khusus. Pola berfikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-
prinsip dasar kemudian penelitian tersebut menghadirkan objek yang akan diteliti.
Metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut ajaran Aristoteles
yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor, dari
kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan.
3. Hasil dan Pembahasan
a. Problematika Perlindungan Hukum Yang Dihadapi Para Pihak Pada Perjanjian
Pinjam-Meminjam Antar Pihak Berbasis Teknologi Informasi (Peer To Peer
Lending)
Aktivitas layanan pinjaman berbasis teknologi akan menimbulkan hubungan hukum.
Hubungan hukum tersebut lahir dari hubungan kontraktual para pihak, baik bagi
pemberi pinjaman, penerima pinjaman maupun penyelenggara layanan. Pasal 18
Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 menjelaskan dua bentuk perjanjian, yaitu
perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman dan perjanjian antara
pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Terikatnya para pihak karena perjanjian
ini mengandung konsekuensi hukum apabila perjanjian tidak dijalankan sebagaimana
mestinya, atau dalam praktik, perjanjian yang terjadi hanya merugikan pihak-pihak
tertentu saja.
Pihak yang rentan mengalami kerugian atau dirugikan dari berlakunya pinjaman
secara online adalah pemberi pinjaman dan penerima pinjaman Resiko ini bisa muncul
akibat regulasi yang belum sepenuhnya memberikan kepastian bagi pemberi pinjaman
dan penerima pinjaman, ataupun dalam praktiknya, pemberi pinjaman tidak
memperoleh hak-hak yang seharusnya karena penerima pinjaman melakukan
wanprestasi atau ketiadaan sistem yang baik dari penyelenggara dalam
menyelenggarakan layanan pinjaman, sedangkan penerima pinjaman mendapatkan
perlakuan yang tidak baik dari penyelenggara ketika tidak bisa atau terlambat membayar
pinjaman.
Dalam pasal 1339 KUHPerdata menyatakan “Persetujuan tidak hanya mengikat apa
yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut
sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”.
Dalam pelaksanaan perjanjian dapat terjadi perbuatan melawan hukum yaitu perikatan
yang terjadi karena undang-undang. Perbuatan salah satu pelaksana perjanjian tersebut
dapat digugat karena melakukan perbuatan melawan hukum.
1) Pencemaran Nama Baik oleh Debt Collector Nakal pada Layanan Pinjaman
Berbasis Teknologi yang Ilegal
Maraknya aplikasi dan situs pinjaman online atau Peer to Peer Lending ilegal
menunjukkan kebutuhan kredit masyarakat cukup besar, terutama masyarakat yang tidak
dapat menjangkau kredit perbankan. Ada banyak sekali Peer to Peer Lending yang ilegal,
artinya ratusan ini yang dibutuhkan, mereka ini yang diambil pinjamannya oleh pengguna,
kebutuhannya (Peer to Peer Lending) memang ada. Alasan banyaknya fintech ilegal di
Indonesia karena pelaku usaha mudah membuat aplikasi sistem Peer to Peer Lending.
Permintaan yang sangat besar dari masyarakat seperti kebutuhan masyarakat memperoleh
pinjaman dengan syarat yang mudah dibandingkan oleh perbankan konvensional yang
membutuhkan persyaratan rumit untuk mendapatkan pinjaman.
Campur tangan debt collector dalam penagihan hutang pada perusahaan
fintech peer to peer lending ilegal membuat para debt collector seringkali
melakukan sejumlah cara bahkan sampai menggunakan ancaman dan kekerasan
dalam penagihan hutang kepada nasabah, sehingga menimbulkan kerugian bagi
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
70
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
nasabah yang ditagih hutangnya tersebut. Saat ini begitu banyak kasus yang terjadi
di masyarakat tentang perbuatan debt collector yang melawan hukum, seperti
mengintimidasi, melakukan penekanan, pengancaman, dan teror. Sehingga
membuat profesi debt collector ini menjadi pokok pembicaraan masyarakat,
sejumlah seluk beluk profesi ini terus dibahas, mulai dari kewenangan, kuasa, serta
perilaku menurut kode etiknya.
2) Perlindungan Data Pribadi
Selama ini, pertanggungjawaban dari perusahaan Peer to Peer Lending justru
dilakuakan dengan menyalahgunakan data-data pribadi pengguna layanan. Modus
penyalahgunaan dilakukan dengan mengakses data-data pribadi, seperti nomor
telepon, gambar dan lain-lain yang terdapat dalam akun pengguna layanan.
Perusahaan biasanya akan mengintimidasi data-data tersebut kepada debitur
(penerima pinjaman) yang gagal bayar untuk segera melakukan pembayaran.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan fintech itu adalah pemanfaatan data pribadi
pengguna yang tidak sesuai peruntukan dan tupoksinya. Salah satunya adalah
nomor telepon konsumen. Data ini kemudian dilakuakn untuk penagihan, kemudian
ditelepon kerabat-kerabat terdekat (peminjam). Itu sudah mengambil data di luar
tujuan yang disepakati di awal.
Pola semacam ini di satu sisi mungkin akan mendorong debitur untuk
membayar angsuran, namun di sisi lain, perusahaan justru merugikan debitur
dikarenakan mengeksploitasi data pribadinya untuk kepentingan perusahaan
sebagai pelaksanaan atas tanggungjawabnya sendiri.
Data pribadi dibagi menjadi dua kategori, yaitu data pribadi nonsensitif dan
data pribadi sensitif. Perbedaan data non-sensitif dan data sensitif terletak pada
tingkat kebahayaan yang akan dirasakan kepada individu jika terjadi pengolahan
data tanpa persetujuan. Data sensitif biasanya mendapatkan perlindungan hukum
yang lebih besar. Data tersebut di antaranya informasi yang menyangkut etnisitas,
pendapat politik, agama dan kepercayaan, keanggotaan dari organisasi
perdagangan, data yang berhubungan dengan kesehatan dan kehidupan seks
seseorang.
Mengenai pencantuman identitas untuk melakukan perjanjian, tentunya harus
dilakukan sesuai hukum, hal ini erat kaitannya dengan data pribadi yang diatur
dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016
tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.
Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan
dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. Data perseorangan tertentu
adalah setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat
diidentifikasi, baik langsung maupun tidak langsung, pada masing-masing individu
yang pemanfaatannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa identitas dalam melakukan perjanjian pinjaman dalam
fintech tersebut termasuk dalam data pribadi, yang dimiliki oleh pemilik data
pribadi, yaitu individu yang padanya melekat data perseorangan tertentu. Pada pasal
26 huruf a menyatakan bahwa pemilik data pribadi berhak atas kerahasiaan data
pribadinya. Dalam Pasal 2 ayat (2) Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem
Elektronik mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan,
penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman,
penyebarluasa, dan pemusnahan Data Pribadi.
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
71
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
Jika seseorang merasa dirugikan karena identitasnya digunakan dalam
penyalahgunaan data pribadi, maka ia dapat mengajukan gugatan atas kerugian
yang diperoleh, gugatan yang dimaksud adalah gugatan perbuatan melawan hukum
pada ayat (1), maka dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan
berdasarkan UU 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Hal
ini merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban
hukum si penyelenggara, hak subjektif orang lain yaitu penerima pinjaman atau
debitur, bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
b. Solusi Untuk Mengatasi Problematika Hukum Pada Perjanjian Pinjam Meminjam
Antar Pihak Berbasis Teknologi Informasi (Peer To Peer Lending)
Fintech merupakan implementasi dan pemanfaatan teknologi untuk peningkatan
layanan jasa perbankan dan keuangan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan
rintisan (startup) dengan memanfaatkan teknologi software, internet, komunikasi, dan
komputasi terkini. Konsep ini yang mengadaptasi perkembangan teknologi yang
dipadukan dengan bidang finansial sehingga seharusnya bisa menghadirkan proses
transaksi keuangan yang lebih praktis, aman serta modern sehingga dapat dipercaya
masyarakat untuk menjalankan usaha.
Pada mekanisme layanan fintech berbasis peer to peer lending peran penyelenggara
sangatlah penting untuk menunjang keberlangsungan platform peer to peer lending.
Selain sebagai pihak yang menyediakan ruang eksklusif bagi kegiatan pinjam
meminjam uang secara online antara Pemberi Pinjaman dengan penerima pinjaman,
Penyelenggara diberi kuasa untuk menyalurkan dana dari pemberi pinjaman kepada
penerima pinjaman sebelum penyaluran tersebut terjadi.
Pengguna dan penyelenggara platform peer to peer lending harus beriktikat baik
dalam membuat perjanjian. Ruang lingkup iktikad baik yang diatur dalam KUHPer di
beberapa Negara seperti Indonesia masih diletakkan pada kontraknya saja. Hal itu
terlihat dari bunyi pasal 1338 ayat (3) KUHPer Indonesia yang menyatakan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Padahal sesungguhnya iktikad baik
juga diperlukan dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak. Dengan demikian,
iktikad baik tersebut sebenarnya sudah harus ada sejak saat proses negosiasi dan
penyusunan kontrak hingga pelaksanaan kontrak. Perlunya pemahaman mengenai
beriktikat baik dalam melaksanakan perjanjian. Pada pasal 3 Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi “Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian
hukum, manfaat, kehatihatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau
netral teknologi.”
Iktikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku
para pihak yang berkontrak. Pertama para pihak harus memegang teguh janji atau
perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan
yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi
kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban
tersebut tidak secara tegas diperjanjian. Iktikad baik dalam berkontrak dapat mencegah
kerugian di salah satu pihak, dalam peer to peer lending pihak pemberi pinjaman yang
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
72
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
dirugikan karena peraturannya. Sehingga peraturan tersebut harus direvisi agar semua
pihak terselamatkan.
Standar atau tolak ukur iktikad baik pelaksanaan kontrak adalah standar objektif.
Dalam hukum kontrak pengertian bertindak sesuai dengan iktikad baik mengacu pada
ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing, yang menurut legislator
belanda disebut bertindak sesuai dengan reasonableness and equity. Standar di sini
adalah standar yang objektif yang mengacu pada suatu norma yang objektif. Perilaku
para pihak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yang
berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan iktikat baik menunjuk pada norma-norma
tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri.
Norma tersebut dinyatakan objektif karena tingkah laku tersebut harus sesuai dengan
anggapan umum tentang iktikat baik tersebut
.
Penyamaan perilaku iktikad baik dengan ketaatan pada standar objektif membatasi
elastisitas konsep iktikad baik, mengesampingkan fakta eksternal yang menunjukkan
perilaku iktikad buruk, dan secara potensial menimbulkan hasil yang tidak adil. Standar
pengukuran perilaku dalam pembentukan kontrak, pelaksanaan kontrak, atau penegakan
hukum kontrak harus menjadi sesuatu yang elastis. Standar tersebut harus dibuat
fleksibel dengan gagasan iktikad baik, yang pada hakikatnya suatu konsep yang luas.
Asas keseimbangan perlu ada dalam perjanjian peer to peer lending. Asas
keseimbangan ditelusuri dari pendapat beberapa sarjana, secara umum memberi makna
asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi pihak yang berkontrak. Oleh karena
itu, dalam hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap
isi kontrak diperlukan intervensi dari otoritas tertentu (pemerintah). Beranjak dari
pemikiran tersebut di atas, maka pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan
yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan
dalam kaitannya dengan kontrak antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.
Posisi pemberi pinjaman dan penerima pinjaman yang lemah karena peraturan, maka
didominasi penyelenggara peer to peer lending, diasumsikan terdapatketidakseimbangan
dalam hubungan para pihak.
Dalam konteks ini asas keseimbangan yang bermakna equalequilibrium akan
bekerja memberikan keseimbangan manakala posisi pemberi pinjaman dan penerima
pinjaman menjadi tidak seimbang. Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir
yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan
kewajibannya. Oleh karenanya dalam rangka menyeimbangkan posisi para pihak,
intervensi dari otoritas negara sangat kuat.
1) Perbaikan Regulasi Untuk Memperbaiki Perlindungan Hukum
Fintech peer to peer (P2P) lending-layanan pinjam meminjam secara online
yang terdaftar di OJK, payung hukumnya mengacu pada Peraturan OJK (POJK)
Nomor 77/POJK.01/2016. Yakni tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi). Tugas Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan POJK yang ada
adalah untuk mengatur, memberi izin dan mengawasi fintech P2P Lending yang
terdaftar. Sementara untuk fintech ilegal atau yang belum terdaftar di OJK,
diperlukan regulasi yang lebih tinggi kedudukannya dari POJK.
Menurut penulis tidak ada aturan yang cukup mumpuni untuk melindungi
masyarakat pengguna aplikasi pinjaman online. Sebab, masih banyak masyarakat
yang ternyata menjadi korban dari cara penagihan yang tidak wajar atau tingginya
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
73
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
bunga dari fintech Peer to Peer lending. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
Nomor 77/POJK.01/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi hanya menerapkan sanksi untuk aplikasi pinjaman online yang
terdaftar atau memiliki izin OJK. Sementara hingga saat ini, baru 73 fintech Peer to
Peer lending yang telah resmi terdaftar OJK.
2) Asuransi Kredit
Penyelenggara Peer to Peer Lending harus dapat mengilangkan atau paling
tidak mengurangi risiko yang sering timbul pada pemberian pinjaman. Salah satu
caranya adalah mengalihkan risiko tersebut pada pihak lain baik dari segi yuridis
maupun segi bisnis yaitu adalah asuransi. Asuransi atau pertanggungan itu adalah
suatu usaha guna menanggulangi adanya risiko. Dari pengertian tadi berarti, bahwa
secara luas suiapapun pasti mengandung dan mempunyai risiko. Manusia dengan
akal budinya selalu berusaha untuk menghindari segala kemungkinan yang timbul
karena adanya risiko. Kemudian asuransi kredit yaitu proteksi yang diberikan oleh
asuransi kepada bank umum/lembaga pembiayaan keuangan atas risiko kegagalan
debitur di dalam melunasi fasilitas kredit atau pinjaman tunai (cash loan) seperti
kredit modal kerja, kredit perdagangan, dan lain-lain yang diberikan oleh bank
umum/lembaga pembiayaan keuangan.
Pasal 247 KUHD menyebutkan beberapa jenis asuransi yaitu asuransi
kebakaran, asuransi hasil pertanian, asuransi jiwa, dan asuransi pengangkutan.
Akan tetapi dalam praktek jenis-jenis asuransi itu lebih banyak dibandingkan
dengan jenis-jenis yang disebutkan dalam Pasal 247 KUHD. Dalam Pasal 247
KUHD terdapat kata-kata “antara lain”. Pasal 247 itu secara yuridis adalah tidak
membatasi atau menghalangi timbulnya jenis-jenis pertanggungan lain menurut
kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata “antara lain”
yang terdapat didalam Pasal 247 itu. Dengan demikian sifat dari Pasal 247 itu
hanyalah menyebutkan beberapa contoh saja. Dengan demikian para pihak dapat
juga memperjanjikan adanya pertanggungan bentuk lain. Tumbuhnya jenis-jenis
baru dibidang asuransi memang tidak dilarang oleh Undang-Undang. Hal ini
berdasarkan Pasal 247 KUHD tersebut di atas, dibuka kemungkinan untuk lahirnya
asuransiasuransi baru selain disebutkan. Dengan demikian, walapun asuransi kredit
tidak diatur dalam Undang-Undang, tetapi banyak pihak-pihak yang menggunakan
asrunsi kredit tersebut.
Tahun 1971, tepatnya tanggal 6 april 1971 pemerintah telah mendirikan PT.
Asuransi Kredit Indonesia (PT. Askrindo) yang bertugas membantu pengamanan
pinjaman yang diberikan oleh bank kepada para peminjam, khususnya kepada
kalangan pengusaha kecil. Pengamanan tersebut dilakukan dengan menjamin
pinjaman melalui penutupan asuransi, sehingga apabila pinjaman tidak dapat
dikembalikan kepada bank, PT. Askrindo akan menanggung sebagian dari jumlah
pinjaman.
PT Asuransi Kredit Indonesia melakukan perjanjian kerjasama dengan
Perusahaan Financial Technology yakni Jembatan Emas. Perjanjian kerjasama ini
telah dilakukan oleh Kepala Divisi Pemasaran Digital Askrindo, Ardian Brahmana
dan Direktur Utama Jembatan Emas, Robert Rompas beberapa waktu lalu di
Jakarta. “Kemudahan akan platform pinjam meminjam dana secara digital ini
memiliki risiko yang besar, sehingga perusahaan Asuransi masuk untuk
memberikan perlindungan dalam risiko yang mungkin akan dialami oleh
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
74
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
perusahaan fintech,” ujar Ardian. Pada kesempatan yang sama, Robert Rompas
menambahkan bahwa, kerjasama dengan Askrindo, diharapkan akan memberikan
rasa aman bagi para lender dalam menyalurkan pendanaan melalui fintech.
3) Dana Proteksi
Untuk mengatasi gagal bayar yang dilakukan oleh penerima pinjaman atau
debitur, seharusnya ada dana proteksi yang diberikan oleh penyelenggara peer to
peer lending. Dana proteksi tersebut diciptakan untuk meminimalisir kerugian
pemberi pinjaman atau kreditur atas modalnya selaku investor apabila ada pinjaman
yang gagal bayar. Jumlah kompensasi yang diterima pemberi pinjaman atau
kreditor bergantung pada grade pinjaman yang diinvestasikan. Dana proteksi
bersumber dari penyisihan keuntungan penyelenggara setiap bulannya. Dana
proteksi ini merupakan bentuk tanggung jawab dari penyelenggara kepada pemberi
pinjaman atau kreditor selaku konsumen agar tidak mendapatkan kerugian atas
tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur atau peminjam dalam kegiatan peer to
peer lending ini.
Dana proteksi tersebut dapat menjadi solusi atas pengurangan resiko gagal
bayar tersebut. POJK Nomor 77/POJK.01/2016 lebih khususnya dalam Pasal 19
dan Pasal 20 yang mengatur mengenai perjanjian antara para pihak dalam peer to
peer lending tidak mengatur adanya jaminan kredit dalam perjanjian pinjam
meminjam. Sesungguhnya dalam peraturan ini telah muncul terkait pencantuman
jika adanya objek jaminan dalam dokumen elektronik yang disebutkan dalam Pasal
20 ayat (2), tetapi tetap tidak dinyatakannya kewajiban jaminan kredit tersebut.
Objek jaminan inilah salah satu hal yang seharusnya dikembangkan oleh OJK
terkait bagaimana penggunaan objek jaminan dan bentuk dari objek jaminan
tersebut dalam bentuk regulasi agar terciptanya kepastian hukum atas resiko gagal
bayar. Sehingga, dana proteksi tersebut perlu dikaji lebih jauh oleh OJK sebagai
otoritas yang berwenang. Selain itu perlu dikaji pula dalam pencegahan peristiwa
gagal bayar (wanprestasi) oleh penerima pinjaman atau debitur, seringkali dalam
penyelenggaraan peer to peer lending pihak debitur adalah pihak yang tidak dapat
memberikan jaminan apa pun atas tidak dapat dibayarkannya dana yang dialirkan
kepadanya. Oleh karena itu perlu adanya kajian lebih lanjut yang meminimalisir
resiko pemberi pinjaman atau kreditor apabila peminjam mengalami gagal bayar.
Bentuk perlindungan yang dibebankan kepada penyelenggara juga diatur
dalam Peraturan Ototitas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK07/2014 yang mengatur
mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, yang
aman dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa pengaduan yang dilakukan oleh konsumen
(termasuk pemberi pinjaman) harus diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga jasa
keuangan tersebut, namun apabila tidak tercapai kesepakatan, maka dapat
diselesaikan di luar pengadilan (melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa)
maupun di pengadilan. Ketentuan ini mengandung maksud bahwa penyelenggara
peer to peer lending bertanggung jawab atasa risiko dan sengketa yang timbul
akibat pelayanan simpan pinjam dengan sistem peer to peer lending yang dimaksud.
4) Regulatory Sandbox
Pada prinsipnya, gagal bayar yang diakibatkan oleh kelalaian atau kesalahan
penyelenggara memperlihatkan ketidakberhasilan sistem yang telah dijalankan oleh
OJK dalam mengawasi peer to peer lending. Hal ini berbeda dengan jenis fintech
lainnya yang diawasi oleh Bank Indonesia yang mewajibkan menerapkan
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
75
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
regulatory sanbox bagi setiap fintech. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan Pasal
1 angka 4 regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh
OJK untuk menilai kehandalan model bisnis, proses bisnis, dan tata kelola
Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di dalam ekosistem keuangan yang berada
di bawah pengawasan OJK. Regulatory sanbox merupakan suatu sistem yang
dibentuk untuk menguhi kelayakan bisnis fintech dengan rentang waktu antara 6
sampai 12 bulan sebelum bisnisnya dioperasikan secara penuh. Selama masa uji
coba ini, perusahaan tersebut akan didampingi oleh pemerintah secara administrasi
hukum dan operasional sistem, sehingga tidak ada aturan yang dilanggar oleh
perusahaan fintech.
Keberadaan regulatory sandbox di OJK ini memiliki fungsi yang berbeda
dengan regulatory sandbox di Bank Indonesia (BI). Regulatory sandbox di OJK
berfokus ke produk jasa keuangan, baik perbankan maupun non-bank. Sementara
regulatory sandbox di BI, menangani produk yang terkait dengan jasa sistem
pembayaran.
Mekanisme regulatory sandbox perlu diterapkan oleh OJK agar dapat berfungsi
sebagai laboratorium testing untuk menguji kelayakan suatu peer to peer lending.
Mekanisme ini diperlukan untuk melindungi pengguna, khususnya pemberi
pinjaman, dari suatu penyelenggara peer to peer lending yang dapat merugikan
yang diakibatkan oleh sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini
telah didukung oleh sistem pendaftaran yang harus dilakukan oleh penyelenggara
terhadap OJK sesuai dengan Peraturan OJK tentang fintech. Sehingga, secara
praktikal, OJK telah membuka kesempatan untuk menerapkan regulatory sanbox
bagi seluruh penyelenggara yang mendaftarkan perusahaan peer to peer lending
yang akan beroperasi.
5) Penagih Utang Harus Disertifikasi
Pada prinsipnya, gagal bayar yang diakibatkan oleh kelalaian atau kesalahan
penyelenggara memperlihatkan ketidakberhasilan sistem yang telah dijalankan oleh
OJK dalam mengawasi peer to peer lending. Hal ini berbeda dengan jenis fintech
lainnya yang diawasi oleh Bank Indonesia yang mewajibkan menerapkan
regulatory sanbox bagi setiap fintech. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan Pasal
1 angka 4 regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh
OJK untuk menilai kehandalan model bisnis, proses bisnis, dan tata kelola
Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di dalam ekosistem keuangan yang berada
di bawah pengawasan OJK. Regulatory sanbox merupakan suatu sistem yang
dibentuk untuk menguhi kelayakan bisnis fintech dengan rentang waktu antara 6
sampai 12 bulan sebelum bisnisnya dioperasikan secara penuh. Selama masa uji
coba ini, perusahaan tersebut akan didampingi oleh pemerintah secara administrasi
hukum dan operasional sistem, sehingga tidak ada aturan yang dilanggar oleh
perusahaan fintech.
Keberadaan regulatory sandbox di OJK ini memiliki fungsi yang berbeda
dengan regulatory sandbox di Bank Indonesia (BI). Regulatory sandbox di OJK
berfokus ke produk jasa keuangan, baik perbankan maupun non-bank. Sementara
regulatory sandbox di BI, menangani produk yang terkait dengan jasa sistem
pembayaran.
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
76
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
Mekanisme regulatory sandbox perlu diterapkan oleh OJK agar dapat berfungsi
sebagai laboratorium testing untuk menguji kelayakan suatu peer to peer lending.
Mekanisme ini diperlukan untuk melindungi pengguna, khususnya pemberi
pinjaman, dari suatu penyelenggara peer to peer lending yang dapat merugikan
yang diakibatkan oleh sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini
telah didukung oleh sistem pendaftaran yang harus dilakukan oleh penyelenggara
terhadap OJK sesuai dengan Peraturan OJK tentang fintech. Sehingga, secara
praktikal, OJK telah membuka kesempatan untuk menerapkan regulatory sanbox
bagi seluruh penyelenggara yang mendaftarkan perusahaan peer to peer lending
yang akan beroperasi.
6) Menyeleksi Penerima Pinjaman
Untuk mencegah kredit macet salah satu caranya adalah menyeleksi penerima
pinjaman yang layak untuk diberi pinjaman. Sebuah sistem untuk berbagai data
hitam nasabah dengan riwayat kredit yang buruk. Sistem tersebut menggunakan
teknologi blockchain.
Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi nasabah-
nasabah yang memang berniat buruk atau melakukan pengemplangan terhadap
pinjaman online atau fintech peer to peer lending. Di bawah Peraturan OJK No.
77/POJK.01/2016, Otoritas Jasa Keuangan berhak menarik data informasi yang
dibutuhkan, dan OJK dapat menginformasikan ke AFPI terkait pinjaman yang telat
bayar, kemudian peminjam yang memiliki pinjaman berlebih, dan kemudian
infromasi lain terkait peminjam yang berguna bagi perusahaan peer to peer lending.
BI checking merupakan salah satu fasilitas yang diijinkan oleh Bank Indonesia
kepada bank untuk melihat apakah calon debiturnya tersebut bersih dan tidak
masuk dalam pembiayaan bermasalah ataupun masuk dalam daftar blacklist.
Pada dasarnya yang lazim melakukan BI checking adalah pihak Bank yang
mendapat pengajuan pembiayaan dari nasabah atau calon nasabahnya. Maksud dan
tujuan dalam melakukan BI checking ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
informasi-informasi terkini mengenai status pinjaman di bank lain, kalau memang
ada, di Bank mana saja, lalu bagaimana riwayat pmbayarannya apakah lancar atau
tidak atau malah dalam keadaan macet. Berkat Sistem Informasi yang dikelola
Bank Indonesia itu, semuanya akan tersaji dalam hitungan menit yang dilakukan
secara online. Tetapi tidak menutup kemungkinan perusahaan Peer to Peer Lending
dapat menggunakan BI checking.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per 1 Januari 2018, BI Checking atau SID
sudah merubah nama menjadi Sistem Layanan Informasi Keuangan atau SLIK
berdasarkan Surat Edaran (SE) OJK Nomor 50/SEOJK.03/2017 tentang Pelaporan
dan Permintaan Informasi Debitur.
SLIK ini dikelola oleh OJK. SLIK memperluas cakupan iDeb, yaitu
melingkupi lembaga keuangan bank dan lembaga pembiayaan (finance) dan ke
lembaga keuangan non-bank yang mempunyai akses data debitur dan kewajiban
melaporkan data debitur ke Sistem Informasi Debitur. Selain itu, SLIK juga dipakai
untuk melaporkan, fasilitas penyediaan dana, data agunan, dan data terkait lainnya
dari berbagai jenis lembaga keuangan, masyarakat, Lembaga Pengelolaan Informasi
Perkreditan (LPIP), dan pihak lainnya. Dengan terintegrasinya SLIK, diharapkan
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
77
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
untuk menjadi lebih mudah dalam proses pengajuan pinjaman. Di samping itu,
SLIK juga diharapkan mampu meminimalisir angkat kredit bermasalah.
Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan
hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi,
kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
4. Kesimpulan
Problematika perlindungan hukum yang dihadapi para pihak pada perjanjian pinjam-
meminjam antar pihak berbasis teknologi informasi (peer to peer lending) antara lain
permasalahan pencemaran nama baik oleh debt collector nakal dan perlindungan data pribadi.
Permasalahan tersebut terjadi karena terjadinya kredit macet atau debitur tak mampu melunasi
pinjaman tepat waktu. Permasalahan lain yaitu Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang
layanan pinjaman berbasis teknologi membuat pihak yang berwenang tidak bisa menindak
lanjuti perusahaan-perusahaan fintech illegal ini.
Solusi untuk mengatasi problematika hukum pada perjanjian pinjam-meminjam antar
pihak berbasis teknologi informasi (peer to peer lending) diperlukan jaminan perlindungan
hukum yang memadai, yang dapat dilihat dari dua perbaikan mekanisme yaitu perbaikan
pelayanan nasabah berbasis teknologi informasi dan regulasi perlindungan data pribadi dalam
perjanjian pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Terkait dengan pembuatan
perjanjian antar pihak Peer to Peer Lending penyelenggara dan pengguna harus beriktikad
baik dalam membuat perjanjian. Demikian halnya dengan penerapan asas keseimbangan yang
bertujuan agar para pihak berada dalam posisi dan kedudukan yang seimbang. Perlindungan
hukum secara preventif dan represif harus dilaksanakan guna melindungi para pihak dalam
layanan pinjaman berbasis teknologi.
5. Ucapan Terima Kasih
Dengan mengucap Syukur Kepada Allah SWT atas karunia serta kemudahan yang Engkau
berikan, akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan, serta skripsi ini
kupersembahkan kepada:
a. Bapak dan Ibuku, terima kasih atas doa, semangat, motivasi, nasehat serta kasih sayang
yang tidak pernah henti sampai saat ini.
b. Saudara saya yang memberikan dukungan dan semangat serta doa untuk kesuksesan saya.
c. Rekan-Rekan Seperjuangan
6. Daftar Pustaka
Buku-buku
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2004.
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.
------------------------------. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010.
-----------------------------. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000.
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
78
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
-----------------------------. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
2010.
-----------------------------. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, cet.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1992.
-----------------------------. Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua.
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. 2003.
-----------------------------. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Prodnya
Paramita. 2008.
-----------------------------. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian
Pertama), Yogyakarta: FH UII Press. 2013
-----------------------------. Kebebasan Berkontrak Pacta Sunt Servanda vs Iktikad Baik.
Yogyakarta: FH UII Press. 2015.
Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cetakan
pertama. 2003.
--------------------. Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2005.
Gatot Supramono. Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2006.
Imam Mustofa. Fikih Muamalah Kontemporer.. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2016
M. Arsyad Sanusi. E-Commercer Hukum dan Solusinya. Jakarta: Mizan Grafika Sarana, 2001.
. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
Mariam Darus Badrulzaman. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Muhammad Djumhana. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2000.
Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Citra Aditya, 2005.
……………. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2014.
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Sebuah Studi Tentang
Prinsip-prinsipnya. Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Surabaya: PT Bina Ilmu. 1987.
Ridwan Khairandy. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pasca
Sarjana FH UI. 2004.
----------------------. Kebebasan Berkontrak dan Pacta Sunt Servanda Vs Iktikad baik. Jakarta:
Program Pasca Sarjana FH UI. 2015.
Rosa Agustina. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2003.
------------------. Hukum Perikatan (Law of Obligation). Jakarta: Pustaka Larasan, 2012.
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
79
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V.2000.
Sinta Dewi Rosadi. CYBER LAW Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional,
Regional, dan Nasional. Bandung: PT Refika Aditama, 2015.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press.1984.
Sri Rejeki Hartono. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika. 2001.
Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Cetakan ke-
34. 2004.
Sunaryati Hartono. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta. 1988.
Tim Privacy Internasional dan ELSAM. Privasi 101 Panduan Memahami Privasi, Perlindungan
Data dan Surveilans Komunikasi. Jakarta: Tim ELSAM, Cetakan Pertama. 2005.
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta Dalam Pembuktian dan
Eksekusi. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.
Wahyudi Djafar dan Asep Komarudin, Perlindungan Hak Privasi di Internet: Beberapa Kata
Kunci. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2014.
Wahyu Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar
Lampung: Penerbit UNILA. 2007.
Jurnal/Hasil Penelitian
Alfhica Rezita Sari. 2018. Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman Dalam
Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer To Peer Lending Di Indonesia.
Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Akhmad Ghozali Amrulloh, Pandangan Regulasi Penggunaan Sistem Peer To Peer Lending
pada Financial Technology, fakultas Pascasarjana, Universitas Mercu Buana, Jakarta
Moh Anwar. 2014. Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan
Jaminan Hak Tanggungan menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1996. Fakultas Hukum
Universitas Wiraraja SUMENEP, Madura.
Nick Sanjaya. 2017. Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Terhadap Pemberi Pinjaman
dalam P2P Lending Berdasarkan Berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011
Tentang OJK, Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Endar Hartono. FinTech Lending di Indonesia: Penyokong Implementasi Ekonomi Digital di
Indonesia, fakultas Pascasarjana, Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4843).
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (Lembaran Negara
Tahun 2022 Nomor 196 Tambahan Lembaran Negara Nomor 6820).
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 65-80
E-ISSN: 3063-4350
80
Anang Prastyawan et.al (Perlindungan Hukum Atas Data.)
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi
Elektronik.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.