International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
81
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang Tidak
Menyediakan Jaminan Garansi Dalam Transaksi Jual
Beli Handphone Dalam Perspektif Perlindungan
Konsumen
Angga Dwi Ambodo
a,1*
, Supriyono
b,2
a
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Indonesia
b
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Surakarta, Kabupaten karanganyar, Indonesia
1
anggadwiambodo13@gmail.com;
2
supriyonorajendra@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 15 Agustus 2024
Direvisi: 5 September 2024
Disetujui: 20 Oktober 2024
Tersedia Daring: 1 November 2024
Penelitian ini membahas mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha
yang tidak menyediakan jaminan garansi dalam transaksi jual beli
handphone dalam perspektif perlindungan konsumen. Dalam era digital
dan teknologi yang berkembang pesat, handphone menjadi salah satu
kebutuhan pokok bagi masyarakat. Namun, masih terdapat pelaku usaha
yang tidak memberikan jaminan garansi atas produk yang mereka jual,
yang pada akhirnya merugikan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
serta tanggung jawab pelaku usaha dalam kasus ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang relevan
serta studi kasus terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Perlindungan konsumen terhadap tanggung jawab produk pelaku usaha
kepada konsumen dalam transaksi jual beli handphone kurang sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pihak pelaku usaha kurang memperhatikan
tanggung jawab produknya terkait dengan layanan purna jual, banyak
pelaku usaha mengabaikan kewajibannya untuk memenuhi jaminan
garansi, sehingga disini konsumen merasa sangat dirugikan. Tanggung
jawab pelaku usaha apabila barangnya rusak selama masa garansi harus
memperbaiki atau mengganti produk yang rusak dengan barang baru dan
mengembalikannya kepada konsumen dalam keadaan baik dan tidak
dikenakan biaya serta pelaku usaha harus menjamin selama sisa garansi
produk tersebut. Dalam prinsip product liability atau tanggung jawab
produk berlaku sistem tanggung jawab mutlak dan tanggung jawab
praduga lalai dengan pembuktian terbalik, konsumen yang merasa
dirugikan akibat produk atas barang yang cacat atau tidak aman dapat
memenuhi kompensasi tanpa harus mempersalahkan ada atau tidak
adanya unsur kesalahan di pihak pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku
usaha yang tidak menyediakan jaminan garansi dalam transaksi jual beli
handphone belum berjalan dengan baik, sering kali pelaku usaha tidak
bersedia untuk memberikan tanggung jawabnya kepada konsumen yang
tidak memiliki jaminan garansi, padahal pelaku usaha sendiri yang
memperdagangkan barang tersebut tanpa jaminan garansi.
Kata Kunci:
Jaminan Garansi
Perlindungan Konsumen
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
82
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
ABSTRACT
Keywords:
Warranty Guarantee
Consumer Protection
Responsibilities of Business
Actors
This study discusses the accountability of business actors who do not
provide warranty guarantees in mobile phone buying and selling
transactions from the perspective of consumer protection. In the rapidly
developing digital and technological era, mobile phones are one of the basic
needs for society. However, there are still business actors who do not
provide warranty guarantees for the products they sell, which ultimately
harms consumers. This study aims to analyze the legal protection provided
to consumers and the responsibilities of business actors in this case. The
research method used is a normative juridical approach by examining
various relevant laws and regulations and related case studies. The results
of the study show that consumer protection of the responsibility of business
actors' products to consumers in mobile phone buying and selling
transactions is not in accordance with the provisions of Law Number 8 of
1999 concerning Consumer Protection. Business actors do not pay attention
to the responsibility of their products related to after-sales service, many
business actors ignore their obligations to fulfill warranty guarantees, so
that here consumers feel very disadvantaged. The responsibility of business
actors if the goods are damaged during the warranty period must repair or
replace the damaged product with new goods and return it to the consumer
in good condition and free of charge and the business actor must guarantee
for the rest of the product's warranty. In the principle of product liability or
product liability, the system of absolute responsibility and presumption of
negligence liability with reverse proof applies, consumers who feel harmed
by the product for defective or unsafe goods can fulfill compensation
without having to blame the existence or absence of elements of fault on the
part of business actors. The responsibility of business actors who do not
provide a guarantee in buying and selling mobile phones has not gone well,
often business actors are not willing to give their responsibilities to
consumers who do not have a guarantee guarantee, even though the
business actors themselves trade the goods without a guarantee guarantee.
©2024, Angga Dwi Ambodo, Supriyono
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pada umumnya harga sebuah Handphone yang ada di pasaran selalu mengacu kepada
status garansi dari sebuah Handphone yang menentukan ganti kerugian bila terjadi
sesuatu. Garansi yang ada di pasaran yaitu garansi resmi yang meliputi garansi
manufaktur serta garansi distributor dan garansi toko untuk barang second (bekas).
Diantara semua garansi tersebut mempunyai segmen masing-masing dalam jual beli
Handphone. Untuk seseorang yang mempunyai dana yang cukup atau seseorang yang
tidak ingin mengambil resiko yang tinggi serta kemudahan untuk klaim kerugian maka
akan memilih garansi resmi, lain halnya dengan seseorang yang mempunyai dana yang
pas-pasan dan ingin memiliki sebuah Handphone yang bagus dan up to date maka mereka
akan lebih memilih garansi distributor atau pun membeli barang second. Mengenai harga
yang ditawarkan garansi distributor tersebut biasanya lebih murah dibandingkan dengan
garansi resmi manufaktur, sedangkan untuk garansi toko tentu lebih murah lagi. Melihat
kondisi perbedaan harga antara garansi resmi manufaktur dengan garansi distributor yang
bisa sangat jauh dengan penampilan fisik sama menjadi salah satu alasan konsumen lebih
memilih membeli Handphone dengan garansi distributor.
Permasalahan muncul ketika dalam praktek jual beli Handphone bergaransi
distributor, penjual tidak memberikan penjelasan yang cukup kepada calon konsumen
mengenai status barang, cara klaim garansi, dan lain-lainnya bahwa Handphone yang
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
83
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
hendak di beli adalah Handphone dengan garansi distributor.
Dalam Handphone dengan garansi distributor terkadang ditemukan pergantian
aksesoris penunjang sehingga barang yang dijual tersebut bisa bersaing dengan harga
yang murah dikarenakan dalam sebuah Handphone yang terdiri dari box yang didalamnya
terdapat unit (Handphone) dan perangkat-perangkat lainnya berupa charge, kabel data,
headset, buku petunjuk terkadang ditemukan barang yang tidak asli. Perangkat penunjang
Handphone tersebut diganti yang tidak asli supaya harga jual yang lebih murah
dibandingkan dengan Handphone bergaransi resmi atau garansi distributor lainnya.
Selain itu terkadang konsumen saat mengajukan klaim garansi masih dipersulit oleh
pelaku usaha dalam memberikan layanan purna jual. Pelayanan purna jual pun terkesan
tidak profesional, sehingga konsumen sangat di rugikan akibat pelayanan yang kurang
memuaskan, dari segi lama waktu perbaikan yang telah di janjikan ataupun pihak toko
yang tidak mau mengganti unit baru (Handphone), serta pelaku usaha sering memutuskan
bahwa kesalahan dari pemakaian konsumen yang nantinya mengakibatkan klaim garansi
konsumen hangus dan harus membayar biaya service.
Mengingat pentingnya kartu jaminan/garansi purna jual itu dan untuk melengkapi
UUPK, maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 547/MPP/Kep/7/2002 tentang Pedoman Pendaftaran Petunjuk
Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk
Teknologi Informasi dan Elektronika. Keputusan ini kemudian diganti dengan Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang
Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam
Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika. Garansi adalah keterangan
dari suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut bebas dari kesalahan
dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu. Garansi yang diberikan itu biasanya
dalam bentuk surat. Surat itu disebut dengan kartu garansi atau kartu jaminan. Kartu
garansi ini sangat penting ketika suatu toko tempat konsumen membeli produk mengalami
bangkrut atau pailit. Maka konsumen dapat langsung ke Layanan Purna Jual (Service
Center) yang ada dikartu tersebut.
Garansi pada kenyataannya, tidak saja memberikan manfaat kepada konsumen tetapi
juga kepada produsen. Bagi konsumen, garansi melindungi dari membeli produk yang
cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi klaim yang tidak rasional dari konsumen.
Disamping itu, produsen juga dapat memanfaatkan garansi sebagai alat promosi yang
efektif untuk produknya, arena produk dengan masa garansi yang lebih lama memberikan
sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang lebih baik.
Memperhatikan penjelasan di atas, garansi memiliki 2 peranan penting yaitu sebagai
instrumen untuk melidungi konsumen dari membeli produk cacat dan juga melindungi
produsen dari klaim konsumen yang tidak masuk akal, serta sebagai alat promosi yang
efektif untuk meningkatkan penjualan produk.
Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas
purna jual yang dimaksud tidak tergantung ada atau tidaknya ditentukan dalam perjanjian,
hal ini merupakan tanggung jawab produk yang diberikan pelaku usaha kepada konsumen.
Artinya meskipun para pihak tidak menentukan hal ini dalam perjanjian mereka,
konsumen tetap memiliki hak menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha yang
bersangkutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum, apabila kewajiban menyediakan
suku cadang atau fasilitas purna jual tersebut diabaikan pelaku usaha.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memperkenalkan kembali suatu prinsip yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu: tanggung jawab produk (product liability).
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
84
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tangung jawab para produsen
untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Sehingga tanggung jawab
produk biasanya menganut tanggung jawab mutlak (strict liability).
Dengan konsep strict liability ini, setiap konsumen yang merasa dirugikan haknya
bisa menuntut ganti rugi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur
kesalahan yang dilakukan pelaku usaha. Dalam layanan purna jual yang kita ketahui
lingkupnya adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional, tanggung jawab
produk dapat kita terapkan. Salah satu bentuk layanan purna jual yang diberikan oleh
pelaku usaha adalah pemberian garansi resmi yang disertakan dalam setiap pembelian
produk oleh konsumen. Pemberian garansi resmi merupakan wujud pertanggungjawaban
pelaku usaha kepada konsumen atas terjadinya kerusakan prematur suatu produk atau
ketidakmampuan produk untuk melaksanakan fungsi yang diharapkan. Dalam pemberian
tanggung jawab produk tidak ada pembatasan dalam menuntut tanggung jawab pelaku
usaha untuk memenuhi kewajibannya, karena tanggung jawab produk secara otomatis
melekat pada kewajiban pelaku usaha untuk memenuhinya tanpa diperjanjikan terlebih
dahulu. Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai
dengan yang dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung
jawab produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan
dan kriteria cacatnya adalah informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha mengenai
produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu membuktikan
kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.
Pasal 1491 jo. 1504 KUHPerdata menyebutkan bahwa pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas barang yang mempunyai cacat tersembunyi. Tanggung jawab
produk tersebut hanya dibatasi pada tanggung jawab penjual atas cacat tersembunyi dalam
barang yang diperdagangkan. Pembuat KUHPerdata sudah mengantisipasi kemungkinan
penjual melakukan tindakan kebohongan mengenai produk yang diperdagangkannya,
yang konsumen tidak mengetahui sewaktu membeli.
Dengan latar belakang tersebut di atas, adanya kesenjangan antara harapan dan
kenyataan sebagaimana mengingat betapa pentingnya jaminan tanggung jawab produk
dan pemberian kartu jaminan/garansi purna jual dalam upaya untuk melindungi
kepentingan konsumen. Maka penulis merasa tertarik judul skripsi yang dipilih adalah
“Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang Tidak Menyediakan Jaminan Garansi Dalam
Transaksi Jual Beli Handphone Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen”.
2. Metode
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum empiris yaitu suatu penelitian yang berusaha
mengindentifikasi hukum yang terdapat dalam masyarakat dengan maksud untuk
mengetahui gejala-gejala lainnya. Dalam penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan secara
lengkap dan objektif guna memberikan gambaran dari proses penyelesaian perkara hinggga
penerapan sanksi terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana perzinahan.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang keberadaannya
memberikan data guna memperoleh gambaran kemudian menganalisis untuk menjawab
permasalahan yang ada. Penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dalam penelitian ini,
penulis ingin menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara
penggambaran yang seteliti-telitinya untuk mendekati objek penelitian maupun
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
85
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu mengenai perlindungan
konsumen terhadap tanggung jawab produk pelaku usaha kepada konsumen dalam
transaksi jual beli Handphone di Sleman.
c. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di Sleman.
d. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini bersifat kualitatif,
yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data yang
dinyatakan responden secara lisan atau tertulis, dan juga perilakunya yang nyata,
diteliti, dipelajari sebagai suatu yang utuh.
e. Sumber Data Penelitian
1) Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung berdasarkan wawancara
terhadap pelaku usaha dan konsumen yang dirugikan dalam jual beli Handphone.
2) Data Sekunder
a) Bahan Hukum Primer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 9/M-Deg/PER/5/2009 Tentang
Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/ Garansi Purna Jual
Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika.
b) Bahan Hukum Sekunder yaitu buku-buku hukum.
f. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menperoleh data yang diperlukan teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1) Wawancara
Yaitu melakakukan pendekatan dengan pelaku usaha dan konsumen yang
dirugikan guna memperoleh data yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.
2) Studi Pustala
Yaitu mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum dan literatur-literatur yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.
3) Studi Dokumen
Yaitu mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan
perundang-undangan, perjanjian, dan lain-lain yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian.
g. Metode Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum empiris yaitu dengan wawancara dialog serta observasi terhadap pelaku usaha
dan konsumen yang merasa di rugikan. Pada prinsipnya untuk penelitian empiris,
metode pendekatan yang digunakan antara lain politik, ekonomi, historis, kebijakan,
kriminologi, viktimologi, sosiologis, dan lain-lain.
h. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisa dengan menggunakan metode
kualitatif, yaitu dengan cara menganalisis data dengan melakukan pemisahan dan
pemilihan data yang telah diperoleh berdasarkan kualitasnya, dan kemudian diteliti
untuk memperoleh kesimpulan dan pemecahan masalah tersebut selanjutnya
penyampaiannya dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara
menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian diolah, disusun
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
86
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
secara sistematis sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan lengkap tentang objek
penelitian.
3. Hasil dan Pembahasan
a. Perlindungan Konsumen Terhadap tanggungjawab Produk Pelaku Usaha Kepada
Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Handphone
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia oleh karenanya
menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Dalam
transaksi jual beli Handphone di Sleman antara pelaku usaha dan konsumen terdapat
ketentuan yang mewajibkan konsumen untuk menaati ketentuan yang telah di buat
sebelumnya. Ketentuan itu tertera di dalam nota pembelian maupun kertas khusus yang
berisi perihal mengenai ketentuan yang berlaku terhadap barang yang dibeli. Ketentuan
tersebut yaitu jangka waktu garansi yang berlaku pada Handphone adalah 1 (satu)
tahun untuk unit nya (Handphone) dan untuk aksesoris tidak diberikan garansi. Garansi
hanya berlaku jika segel baut dan segel mesin Handphone dalam keadaan utuh.
Apabila terjadi kerusakan segel baut/segel mesin, human error, lecet di body
Handphone, dan segala kerusakan yang diakibatkan pengguna maka garansi akan
hangus dan akan masuk ke garansi toko. Biasanya pelaku usaha memberikan klaim
garansi jika masih dalam jangka waktu satu bulan Handphone mengalami kerusakan
yang disebabkan karena produk yang dijual cacat seperti layar Handphone muncul
masalah, konektor charger tidak berfungsi, kamera tidak berfungsi atau hal lainnya
yang dirasa itu bukan human error (kesalahan pengguna) maka pihak pelaku usaha
akan mengganti Handphone yang dibeli dengan unit Handphone baru yang masih di
segel.
Untuk melindungi konsumen terhadap barang yang diproduksi maupun
diperdagangkan oleh pelaku usaha agar tidak merugikan pihak konsumen secara
normatif telah diatur mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam
memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang tidak sesuai dengan syarat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi hukum akan diberlakukan
apabila pelaku usaha melanggar larangan-larangan tersebut. Pasal 8 ayat (2) UUPK
menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang yang dimaksud.”
Tanggung jawab produk atau biasa disebut product liability adalah salah satu
lembaga hukum yang mencakup seluruh wilayah secara internasional yang perlu
diperhatikan dalam revisi maupun pembentukan hukum ekonomi nasional. Melalui
adanya lembaga hukum ini, segala kegiatan perekonomian yang menghasilkan
keuntungan tidak boleh mengandung unsur kecurangan semata-mata untuk
menguntungkan dia sendiri karena ada hukum ekonomi nasional yang secara tegas
mengatur.
Secara historis, product liability lahir karena ketidakseimbangan tanggung jawab
antara produsen dan konsumen. Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terdapat pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab
produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan menyatakan bahwa “pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan”.
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
87
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
Dalam prinsip product liability berlaku sistem tanggung jawab mutlak. Hal ini
berarti prinsip tanggung jawab dimana kesalahan tidak dianggap sebagai aktor yang
menentukan. Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada hubungan antara subyek
yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Jika konsumen yang merasa dirugikan atas
produk yang dihasilkan suatu produsen atau pelaku usaha, maka itu menjadi dasar
untuk bisa menggugat produsen yang bersangkutan tanpa harus membuktikan
kesalahan pelaku usaha atau produsennya. Pelaku usaha dan/atau produsen bisa
terlepas dari tanggung jawab itu jika dia bisa membuktikan bahwa kesalahan itu
merupakan kesalahan konsumen atau setidaknya bukan kesalahannya, sebaliknya ia
akan dikenai tanggung jawab jika tidak bisa mampu membuktikan tuntutan konsumen.
Tanggung jawab pelaku usaha yang gagal memenuhi jaminan garansi dan telah
melanggar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen dengan
mengganti komponen Handphone yang rusak tanpa dikenakan biaya apapun,
mengganti Handphone yang rusak dalam masa garansi tanpa dikenakan biaya apapun,
dan mengembalikan uang konsumen atas barang yang dijual.
Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan konsumen biasanya
bersifat lisan. Meskipun perjanjian yang dibuat tidak dilakukan secara tertulis, tetapi
kekuatannya sama halnya dengan perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dalam
perjanjian jual beli terkadang konsumen memiliki resiko yang lebih besar dari pada
pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan. Hal itu disebabkan
posisi tawar konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk
dilanggar. Sering kali pelaku usaha menjanjikan waktu perbaikan yang tidak tentu,
nantinya akan mengecewakan konsumen, karena pada waktu jatuh tempo pelaku usaha
masih belum bisa memperbaiki Handphone konsumen, hal ini dialami Responden
Taufik (22 Tahun) seorang mahasiswa yang memiliki Handphone Iphone 4 bergaransi
distributor Bless Platinum. Setelah 1 bulan membeli Handphone tersebut tiba-tiba
dibagian pinggir kanan atasnya agak terbuka, padahal Taufik tidak pernah menjatuhkan
atau membenturkan Handphone tersebut, 1 bulan kemudian tiba-tiba Imei dan
Signalnya hilang. Setelah di bawa ke toko, Taufik harus menunggu selama 1 bulan,
ternyata sampai 3 bulan pihak pelaku usaha tidak memberi kejelasan, kemudian Taufik
meminta cancel service.
Dalam kartu jaminan/garansi seharusnya memuat mengenai lamanya waktu
perbaikan. Dijelaskan bahwa untuk kerusakan jenis tertentu maka jangka waktu
perbaikannya adalah selama dalam waktu tertentu pula. Misalnya untuk kerusakan
layar pada Handphone maka jangka waktu perbaikannya adalah 7 hari. Hal ini
dimaksudkan agar pelaku usaha tidak berlaku sewenang-wenang kepada konsumen
dengan meminta konsumen untuk menunggu selama sebulan, dua bulan atau bahkan
setahun untuk perbaikan yang sebenarnya bisa diselesaikan hanya dalam waktu
seminggu.
Berdasarkan tanggung jawab produk seharusnya pelaku usaha jelas menjamin
produk yang diperdagangkannya, namun pada kenyataannya pelaku usaha masih
merugikan konsumen. Pelaku usaha tidak memberikan pelayanan yang sungguh-
sungguh untuk melayani konsumen karena waktu yang dikatakan 1 (satu) bulan
ternyata Handphone nya masih belum selesai dalam waktu 3 (tiga) bulan. Ini jelas
pelaku usaha melanggar hak-hak konsumen untuk mendapatkan layanan purna jual
yang telah diperjanjikan.
Untuk menerapkan tanggung jawab produk dari pelaku usaha yang menyerahkan
barang kepada konsumen berdasarkan perjanjian, hak gugat konsumen terhadap pelaku
usaha terjadi karena tidak memenuhi kewajiban. Pasal 1234 KUH Perdata menyatakan,
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
88
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
“tiap-tiap perbuatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu”. Tuntutan konsumen kepada pelaku usaha dengan
menggunakan dasar wanprestasi dalam konteks ini adalah menuntut pelaku usaha,
pelaku usaha dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan wanprestasi. Dalam hal
demikian, konsumen yang merasa kecewa, tidak puas, bahkan kadang-kadang merasa
tertipu atas apa yang ia beli maka dapat mengadukan kerugian tersebut kepada pelaku
usaha.
b. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Yang Tidak Menyediakan Jaminan Garansi Dalam
Transaksi Jual Beli Handphone
Bedasarkan hasil penelitian penulis, ada beberapa pelaku usaha pernah menjual
Handphone black market kepada konsumen, Handphone tersebut diberikan tanpa
jaminan garansi dan dengan harga yang lebih murah di banding dengan Handphone
rekondisi yang memiliki garansi. Apabila konsumen datang untuk melakukan
perbaikan maka pelaku usaha akan menolak untuk memberikan tanggung jawabnya
untuk melakukan perbaikan dan akan dikenai biaya service, dengan alasan Handphone
tersebut tidak memiliki jaminan garansi.
Penulis mewawancarai salah satu konsumen bernama Rafi (24 tahun) yang merasa
dirugikan akibat membeli Handphone tanpa jaminan garansi, disini Rafi tidak
diberitahu bahwa Handphone tersebut merupakan Handphone Blackmarket. Saat itu
Rafi hanya diiming-imingi oleh pelaku usaha untuk membeli dengan harga yang sangat
murah, kemudian Handphone tersebut rusak setelah 7 hari Rafi membeli, kemudian
Rafi membawanya ke toko, tetapi pihak toko tidak bersedia memberikan tanggung
jawabnya karena Handphone tersebut tidak memiliki jaminan garansi dan jika memang
harus service Rafi akan dikenai biaya service.
Apabila melihat praktik yang dilakukan oleh pelaku usaha di atas adalah hal yang
ilegal karena pelaku usaha Handphone Black Market yang tidak memiliki jaminan
garansi tidak diperbolehkan oleh hukum. Handphone Black Market merupakan
Handphone dari suatu negara diselundupkan masuk ke negara lain sehingga pajak tidak
di bayar atau kegiatan ilegal. Selain itu bisa juga dari hasil curian atau barang resmi
dijual secara gelap untuk menghindari pembayaran pajak atau syarat lesensi suatu
negara.
Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 527 k/Pdt/2006 telah menggunakan
istilah black market untuk menyebut suatu perdagangan yang tidak resmi. Handphone
termasuk produk telematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor: 19/M-DAG/PER/5/2009. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Permendag
19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa “setiap produk telematika dan
elektronik yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam
negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk pengguna dan kartu jaminan (garansi purna
jual) dalam Bahasa Indonesia”. Terhadap pelaku usaha Handphone yang melanggar
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Pemendag 19/M-DAG/PER/5/2009 berlaku ketentuan Pasal
22 Permen 19/MDAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa “pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1), dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen”. Berdasarkan peraturan dalam Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) UUPK
seorang pelaku usaha Handphone yang tidak memberikan kartu garansi dan layanan
purna jual dapat dikenai sanksi pidana.
Dalam kaitannya dengan perbuatan pelaku usaha yang memasarkan produk yang
tidak disertai dengan kartu jaminan/garansi purna jual, perlu diselidiki lebih lanjut
mengenai terpenuhinya unsur perbuatan melanggar hukum dalam perbuatan pelaku
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
89
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
usaha tersebut. Dengan adanya Permendag No.19/MDAG/PER/05/2009 yang
mewajibkan agar pelaku usaha menyertakan kartu jaminan/garansi purna jual terhadap
produk telematika dan elektronika yang mereka pasarkan, dapat disimpulkan bahwa
jika ada pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban ini maka pelaku usaha tersebut
telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu harus diselidiki lebih lanjut
mengenai adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat mengkonsumsi produk
yang tidak disertai dengan kartu jaminan/garansi purna jual dan perlu dianalisis
mengenai adanya hubungan antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
diderita.
Dengan tidak adanya kartu jaminan/garansi yang disediakan pelaku usaha terhadap
produknya maka konsumen harus mengeluarkan biaya sendiri untuk memperbaiki
produk tersebut. Sehingga harus dibuktikan mengenai adanya kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha, yang menjadikan permasalahan alam unsur ini yaitu
membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
proses produksi, pendistribusian, dan pemasaran atau penjual produk tersebut
dipasaran.
Sering kali pelaku usaha Handphone di Sleman mempromosikan produk yang
mereka tawarkan dengan menyatakan bahwa produk tersebut merupakan produk yang
memiliki kualitas yang baik, namun kadang kala hal tersebut tidak sesuai dengan
realitanya. Pelaku usaha seolah-olah bersikap tidak mau tahu dan cenderung bersikap
acuh terhadap permasalahan ini. Padahal mereka mengetahui bahwa mereka
mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan dan kewajiban untuk menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Pelanggaran pelaku usaha tersebut dilakukan dengan berbagai macam alasan.
Salah satu alasannya yaitu adanya anggapan pelaku usaha bahwa produk yang mereka
tawarkan adalah produk yang tidak cepat rusak dan merupakan barang black market
sehingga tidak wajib bagi produknya untuk dilengkapi dengan kartu jaminan/garansi.
Hal ini berdasarkan hasil wawancara singkat yang penulis lakukan terhadap salah satu
karyawan toko Handphone di kota Sleman. Alasan yang dikemukakan oleh responden
tersebut adalah alasan yang tidak dapat dibenarkan. Meskipun produk yang mereka
tawarkan itu memiliki kualitas yang bagus tetapi mereka tidak dapat menjamin bahwa
semua produk tersebut memiliki kualitas yang sama.
4. Kesimpulan
Perlindungan konsumen terhadap tanggung jawab produk pelaku usaha kepada konsumen
dalam transaksi jual beli handphone kurang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pihak pelaku usaha kurang memperhatikan
tanggung jawab produknya terkait dengan layanan purna jual, banyak pelaku usaha
mengabaikan kewajibannya untuk memenuhi jaminan garansi, sehingga disini konsumen
merasa sangat dirugikan. Tanggung jawab pelaku usaha apabila barangnya rusak selama masa
garansi harus memperbaiki atau mengganti produk yang rusak dengan barang baru dan
mengembalikannya kepada konsumen dalam keadaan baik dan tidak dikenakan biaya serta
pelaku usaha harus menjamin selama sisa garansi produk tersebut. Dalam prinsip product
liability atau tanggung jawab produk berlaku sistem tanggung jawab mutlak dan tanggung
jawab praduga lalai dengan pembuktian terbalik, konsumen yang merasa dirugikan akibat
produk atas barang yang cacat atau tidak aman dapat memenuhi kompensasi tanpa harus
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
90
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
mempersalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak pelaku usaha. Pelaku usaha
bisa terlepas dari tanggung jawab itu jika dia bisa membuktikan bahwa kesalahan itu
merupakan kesalahan konsumen atau setidaknya bukan kesalahannya, sebaliknya ia akan
dikenai tanggung jawab jika tidak bisa mampu membuktikan tuntutan konsumen.
Tanggung jawab pelaku usaha yang tidak menyediakan jaminan garansi dalam transaksi
jual beli handphone belum berjalan dengan baik, sering kali pelaku usaha tidak bersedia untuk
memberikan tanggung jawabnya kepada konsumen yang tidak memiliki jaminan garansi,
padahal pelaku usaha sendiri yang memperdagangkan barang tersebut tanpa jaminan garansi.
Pelaku usaha yang tidak memberikan jaminan garansi telah melakukan perbuatan melawan
hukum yang telah di atur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dengan melanggar Pasal 25 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta melanggar Pasal 2 ayat (1) Permendag Nomor 19/M-
Dag/Per/5/2009 yang mewajibkan produk telematika dan elektronika dilengkapi dengan kartu
jaminan/garansi purna jual. Oleh karena itu ketika konsumen menuntut ganti rugi terhadap
barang yang dibelinya, pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan
cara pengembalian uang atau penggantian produk yang sejenis atau setara nilainya dengan
disertai kartu jaminan/garansi purna jual.
5. Ucapan Terima Kasih
Dengan mengucap Syukur Kepada Allah SWT atas karunia serta kemudahan yang Engkau
berikan, akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan, serta skripsi ini
kupersembahkan kepada:
a. Bapak dan Ibuku, terima kasih atas doa, semangat, motivasi, nasehat serta kasih sayang
yang tidak pernah henti sampai saat ini.
b. Saudara saya yang memberikan dukungan dan semangat serta doa untuk kesuksesan saya.
c. Rekan-Rekan Seperjuangan
6. Daftar Pustaka
Abdul Halim. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran,
Ctk. Pertama. Nusa Media, Bandung, 2008.
Abdulkadir Muhammad. Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.
Ade Maman Suherman. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Bogor,
2005.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2011.
__________, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja
Grafindo Pustaka, Jakarta, 2011.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456
BW, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Kedua, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, 2005.
Andrian Sutedi. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2008.
International Journal of Law and Justice (IJLJ)
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 81-91
E-ISSN: 3063-4350
91
Angga Dwi Ambodo et.al (Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Yang.)
Z Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, Ctk. Pertama, Daya Wisya,
1999.
__________. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Edmon Makarim, dkk. Pengantar Hukum Telematika-Suatu Kompilasi Kajian, Badan Penerbit
FHUI, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Ghufron Ihsan. MA, Fiqh Muamalat, Prenada Media Grup, Jakarta, 2008.
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
Johanes Gunawan. Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, 1999.
Siahaan. Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta
Rei, Jakarta, 2005.
Sidharta. Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Gransindo, Jakarta, 2000.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996.
Sudaryatmo. Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ctk. Pertama, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Inosentius Samsul. Hukum Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Ctk Pertama, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2001.
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Tinjau Dari Hukum Acara
Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2011.
Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen & Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2009.