1. Pendahuluan
Korupsi merupakan ancaman laten yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia, merusak tatanan ekonomi, sosial, dan politik, serta menghambat
kemajuan pembangunan nasional. Pemberantasan korupsi adalah aspek krusial dalam
pembangunan negara yang berkelanjutan dan adil (Nakesya Raihana Ismawan, 2013), karena
selain merugikan ekonomi, korupsi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah
dan institusi negara. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, mulai dari
pembentukan lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga
penguatan kerangka hukum melalui peraturan perundang-undangan. Namun, perjalanan
pemberantasan korupsi di Indonesia tidaklah mudah. Dinamika politik dan hukum, serta
kompleksitas modus operandi korupsi, menuntut strategi yang adaptif dan sinergis.
Salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah dalam merespons tantangan
tersebut adalah pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor)
Polri. Inisiasi pembentukan Kortas Tipikor ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk
mengoptimalkan pemberantasan korupsi melalui sinergi dan koordinasi yang lebih baik antar
lembaga penegak hukum. Kortas Tipikor diharapkan dapat menjadi motor penggerak dalam
upaya pemberantasan korupsi, bersama-sama dengan KPK dan lembaga penegak hukum
lainnya. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari Jubir KPK (Antara, 2024) bahwa
pembentukan Kortas Tipikor Polri tidak akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan,
melainkan sinergi yang memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia, sejalan dengan
pandangan bahwa upaya pemberantasan korupsi memerlukan kolaborasi multi-instansi untuk
mencapai tujuan bersama. Hal tersebut juga diperkuat dengan gagasan dalam RUU Polri agar
menekankan urgensi pengawasan dan kontrol terhadap kepolisian untuk mencegah
penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM, serta pentingnya transparansi dan
akuntabilitas dalam proses penegakan hukum, termasuk dalam pemberantasan korupsi
(Badan Keahlian DPR RI, 2024).
Padahal, akhir ini lembaga yang memiliki tugas dan fungsi sejenis seperti Kejaksaan
Agung mengalami penguatan secara internal sehingga mendapatkan dukungan masyarakat
yang cukup tinggi. Hal tersebut diperkuat dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia
(LSI) menunjukkan peningkatan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung sebesar 74
persen, yang dipicu oleh langkah tegas Kejaksaan dalam mengungkap kasus korupsi berskala
besar, seperti kasus di PT Timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun, serta
keterlibatan sejumlah figur publik, sehingga publik menilai keberanian dan keseriusan
Kejaksaan dalam menindak kasus-kasus penting (Hanan, 2024). Selain itu, terdapat instruksi
Jaksa Agung kepada seluruh jaksa (Tim Detikcom, 2021) untuk mengedepankan hati nurani
dan profesionalisme dalam tugasnya, selaras dengan asas oportunitas yang memberi jaksa
kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara berdasarkan kepentingan
umum, sesuai dengan Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004, serta Putusan MK No.
29/PUU-XIV/2016 yang menjamin keadilan dan perlakuan hukum yang sama; Angka 6 butir
(1) Pedoman Jaksa Agung 3/2019, jaksa juga dapat mengajukan tuntutan bebas jika
kesalahan terdakwa tidak terbukti, unsur tindak pidana tidak terpenuhi, atau bukti yang
diajukan tidak sah atau kurang kuat (AdminICJR, 2024; Munawaroh, 2024).
Tentu saja tidak sedikit yang meragukan urgensi pembentukan Kortas Tipikor di mata
publik. Misalnya, IM57+ Institute (Aslendra, 2024) meragukan efektivitas Kortas Tipikor
Polri dalam memberantas korupsi internal, mengingat lambannya penanganan kasus dugaan
pemerasan yang melibatkan mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, dan minimnya hasil dari
penanganan kasus korupsi oleh Polri sebelumnya, sehingga menantang Kortas Tipikor untuk
membuktikan kinerjanya tanpa melemahkan KPK dan mengembalikan kepercayaan publik
terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sisi lain, terdapat dukungan JAN