IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
132
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
Perjanjian Advokasi Antara Advokat dengan Klien
dan Penentuan Besaran Honorarium
Yudhi Widyo Armono
Fakultas Hukum, Universitas Surakarta
Email: yudhi@yahoo.co.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 18 Agustus 2024
Direvisi: 7 September 2024
Disetujui: 21 Oktober 2024
Tersedia Daring: 1 November 2024
Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat, advokat dalam
merealisasikan perjanjian, wajib berpedoman pada Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan 4 syarat: (1). Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
(2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. (3). Suatu hal tertentu.
(4). Suatu sebab yang halal. Berdasarkan Pasal 21 UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat, advokat berhak menerima honorarium atas jasa
hukum yang telah diberikan kepada kliennya tetapi besarnya nominal
honorarium advokasi tidak ada aturan bakunya. Maka besaran nominal
honorarium advokasi tergantung dari (1). Senioritas, akanlah tidak
mungkin konsumen akan memberikan dananya sebagai honorarium
advokasi yang besarannya sama dengan advokat pemula. Kualitas
seorang advokat dapat pula dilihat dari kredibilitasnya di masyarakat.
(2). Tingkat kesulitan, semakin sulit suatu perkara akan berdampak
pada semakin tingginya honorarium advokasi yang harus dibayarkan
kepada advokat. (3). Daerah wilayah perkara, honorarium yang
diberikan klien advokasi harus dilihat pula pada cakupan wilayah suatu
perkara yang terjadi. (4). Nilai obyek sengketa, nilai obyek sengketa
yang tinggi berbanding lurus dengan besaran nominal honorarium
yang diberikan klien kepada advokat.
Kata Kunci:
Perjanjian
Advokat
Honorarium
ABSTRACT
Keywords:
Agreement
Certificate
Honorarium
Under Law No. 18 Year 2003 concerning advocates, advocates in
realizing the agreement, shall be guided by Article 1320 of the Civil Code
Act, namely: For the validity of a treaty required four conditions: (1).
Agreements that bind them. (2). Ability to make an engagement. (3). A
certain thing. (4). A cause that is kosher. Pursuant to Article 21 of Law
No. 18 Year 2003 concerning advocates, advocates entitled to receive a
royalty on legal services has been given to their clients, but the
magnitude of nominal honorarium advocacy no default rule. Then the
nominal amount of honorarium advocacy depends on (1). Seniority, it
would not be possible consumers will provide funds as advocacy
honorarium amount equal to the Advocate beginners. Lawyer quality can
also be seen from its credibility in the community. (2). The level of
difficulty, the more difficult a case will have an impact on the increasing
advocacy honorarium to be paid to the advocate. (3). Territory area case,
honorarium given client advocacy should be seen also in the coverage
area of a case that happened. (4). The value of the disputed object, the
high value of the disputed object is directly proportional to the amount of
nominal honorarium provided by the client to the advocate.
©2024, Yudhi Widyo Armono
This is an open access article under CC BY-SA license
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
133
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
1. Pendahuluan
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan
demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena
kedua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung
jawab merupakan hal yang penting, disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum
lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat
menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan
masyarakat yang mencari keadilan, termasuk hak-hak dasar mereka di depan hukum. Dengan
kata lain, kedudukan advokat merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum
dan hak asasi manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlibat di jalur profesi di luar
pengadilan atau non ligitasi. Kebutuhan jasa hukum advokat di luar proses peradilan pada saat
sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum
masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan modern seperti saat ini. Melalui pemberian
jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak dagang, profesi advokat ikut
memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum
nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.
Pasal 1313 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata dalam Bab Kedua Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Rumusan dalam Pasal 1313 tersebut menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan
seseorang mengikatkan dirinya dengan orang lain. Dari perjanjian lahirlah prestasi dari satu
atau lebih pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Ini
memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak,
dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah
pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Guna dari perjanjian adalah untuk
memudahkan dan meringankan beban tiap pihak untuk mencapai tujuannya secara bersama-
sama. Suatu hal apabila dikerjakan secara bersama-sama dengan orientasi yang sama akanlah
dapat menghemat tenaga, biaya, pikiran dan sebagainya.
Perjanjian yang dibuat oleh advokat dan klien dalam perjanjian advokasi termasuk
perjanjian timbal balik, klien mengedepankan hak dan wajib memberikan kewajibannya.
advokat, juga mengedepankan hak dan merealisasikan kewajibannya. Bagaimana advokat
membuat dan melaksanakan suatu perjanjian advokasi kepada kliennya? Yaitu melalui
perjanjian kerja antar kedua belah pihak. Advokat menentukan besaran hak yang diinginkan
dan kesediaan klien untuk memenuhi hak advokat yang harus mempertanggung jawabkan
kuasa yang diberikan untuk melakukan tindakan-tindakan advokasi karena advokat berhak
menerima hak-haknya seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003
tentang advokat.
Perikatan terlahir dan tercipta dari perjanjian. Sebagai perikatan yang dibuat dengan
sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati,
disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki
oleh mereka yang mengikatkan diri. Unsur-unsur dalam Perjanjian, yaitu:
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
134
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
a. Unsur Esensialia dalam Perjanjian
Unsur Esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-
prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan
sifat dari perjanjian-perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsipal dari
jenis perjanjian lainnya. Unsur esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam
memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. Jadi jelas bahwa
unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam surat perjanjian, bahwa tanpa
keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan
diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak
sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak.
b. Unsur Naturalia dalam Perjanjian
Unsur naturalia adalah suatu unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,
yaitu setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Dalam hal ini, maka
berlakulah ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”.
c. Unsur Aksidentalia dalam Perjanjian
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan
ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai
dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan
secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada
hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau
dipenuhi oleh para pihak. Misalnya dalam jual beli adalah ketentuan mengenai tempat
dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli.
Dalam hal menjalankan profesi sebagai advokat, seorang advokat wajib melaksanakan
kewajiban yang diamanatkan yaitu pemberian jasa hukum dan bantuan hukum. Jasa hukum
dan bantuan hukum yang keduanya wajib dilakukan oleh advokat Indonesia, memiliki
perbedaan yang cukup jelas, baik dari perbedaan dasar hukum yang menjadi dasar untuk
melaksanakan jasa hukum dan bantuan hukum sampai pada perbedaan yang sifatnya mutlak
dan nyata terlihat diantara kewajiban seorang advokat dalam melaksanakan jasa hukum dan
dalam melaksanakan bantuan hukum. Adapun beberapa perbedaan lain yang memperjelas
perbedaan antara bantuan hukum dan jasa hukum.
Perbedaan antara jasa hukum dengan bantuan hukum apabila dibedakan secara sederhana
adalah ketika membicarakan mengenai imbalan yang diterima setelahnya, dimana dalam
bantuan hukum pelayanan tersebut merujuk kepada pelayanan hukum yang dilakukan oleh
seorang advokat dengan cuma-cuma. Sedangkan jasa hukum adalah pelayanan hukum yang
dilakukan oleh seorang advokat dengan hak untuk mendapatkan honorarium.
Maka perbedaan antara jasa hukum dan bantuan hukum bila dilihat melalui dasar hukum
yang mengaturnya memiliki perbedaan yang nyata. Keduanya memiliki dasar hukum yang
berbeda yang bertujuan lebih memerinci perbedaan yang ada. Dasar hukum yang mengatur
mengenai jasa hukum ada pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang advokat pada
Pasal 1 angka (2), bahwa jasa hukum adalah jasa yang dilakukan oleh advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Masih di
Undang-undang yang sama, bantuan hukum juga diterangkan di dalam Pasal 1 angka (9),
bahwa bantuan hukum sesungguhnya adalah jasa hukum yang dilakukan oleh advokat dengan
tanpa memungut honorarium atas apa yang telah dilakukannya kepada klien yang tidak
mampu. Terkait dengan bantuan hukum sebagai kewajiban lain advokat Indonesia, pemerintah
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
135
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
mengeluarkan peraturan perundangan lain, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum. Undang-undang ini menjelaskan tentang apa saja yang harus
dilaksanakan dan dipenuhi oleh seorang advokat dalam rangka menjalankan kewajibannya
untuk memberikan bantuan hukum kepada klien yang tidak mampu.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Pasal 1 angka (7),
bahwa advokat berhak mendapatkan honorarium atas jasa hukum yang telah dilakukannya.
advokat berhak untuk mendapatkan honorarium yang pantas, agar kewajibannya dalam
melaksanakan jasa hukum sebagai advokat yang merupakan pekerjaan profesi dapat berjalan
seimbang dengan apa yang Advokat dapatkan yang menjadi haknya.
Honorarium merupakan hak advokat yang diatur di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun
2003 tentang advokat, maka hal tersebut bukanlah hal yang dapat dikategorikan sebagai
penoda dari officium nobile. Adanya pihak yang beranggapan bahwa ketika seorang advokat
menuntut haknya atas honorarium adalah tindakan yang menodai kemuliaan dari profesi
advokat itu sendiri, sesungguhnya diakibatkan oleh masa lalu yang buruk, terkait dengan
sejarah keberadaan advokat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda yang berimbas hingga
masa kini.
Sebelum Indonesia merdeka, saat itu mata rantai yang dapat menghubungkan antara
hukum yang berkembang dalam masyarakat Indonesia tradisional adalah
pokrol/procureur/zaakwaarnemer/advocaat enproceurers yang merupakan orang-orang
Indonesia yang lahir di kota-kota besar yang kemudian mengabdi kepada pelayanan
administrasi pemerintah Belanda, pengadilan pemerintah dan sekolah-sekolah hukum.
Perubahan mengenai hal ini mulai terjadi pada awal 1900, saat Pemerintah Hindia Belanda
menerapkan kebijakan etik yang memberikan kesempatan lebih besar bagi orang Indonesia
untuk mengenyam pendidikan. Lambat laun, meski dengan jumlah yang masih sedikit, di
tahun 1940 masyarakat Indonesia yang mendapatkan gelar ahli hukum di Belanda mencapai
sekitar 300 orang dan itu belum termasuk dengan jumlah masyarakat Indonesia yang
menempuh sekolah rechtskundingen dan ahli hukum keturunan Tionghoa.
Namun sayangnya berkembangnya profesi advokat di Indonesia tidak selamanya
berkembang kearah yang positif. Perkembangan profesi advokat di Indonesia juga diwarnai
dengan perkembangan yang negatif. Dikarenakan keterbatasan kemampuan hukum yang
dimiliki oleh pokrol, maka bantuan hukum yang lebih banyak dilakukan oleh pokrol adalah
bantuan lobi yang tidak menerapkan pengetahuan hukum yang mereka miliki. Mulai dari
sinilah citra buruk seorang pokrol yang mengkomersialisasikan bantuan hukum yang
diberikannya kepada masyarakat dimulai. Dengan memanfaatkan hubungan yang mereka
miliki dengan pejabat pemerintahan dan kondisi masyarakat yang buta mengenai hukum,
pokrol melaksanakan bantuan dengan mengatasnamakan bantuan hukum demi kepentingan
pribadi.
Pada dasarnya, pokrol dapat dijelaskan dengan pengertian yang sederhana, yaitu orang
Indonesia yang dalam perkara perdata berhak mengajukan perkara di pengadilan pemerintah
secara resmi. Namun, tidak hanya mengajukan perkara saja, pokrol bambu juga dapat
melakukan perbuatan resmi lainnya seperti memohon penundaan perkara di pengadilan dan
sebagainya, sehingga dalam beberapa hal, kewenangan yang dimiliki pokrol hampir
menyerupai kewenangan yang dimiliki seorang advokat saat ini. Dulu pokrol memiliki citra
negatif, dikarenakan orang-orang yang tergabung di dalam pokrol terdiri atas :
a. Mantan panitera pengadilan, termasuk pensiunan hakim yang tidak memiliki gelar
penuh namun memiliki hubungan erat dengan pengadilan
b. Mahasiswa hukum yang tidak lulus, yang dapat memiliki klien dan mempunyai
pengalaman atas perkara yang ditanganinya
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
136
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
c. Generalis amatir yang sering juga disebut sebagai ahli yang memiliki kepribadian luar
biasa karena dia harus siap menghadapi pejabat tinggi
Citra pokrol yang sangat buruk juga ditunjukkan oleh masyarakat tradisional yang tidak
menyukai kinerja ataupun cara kerja pokrol. Berbeda dengan jalan mediasi yang disediakan
oleh pemerintah di pengadilan-pengadilan negeri yang menyelesaikan persengketaan dengan
meminimalisasi timbulnya dendam di kemudian hari, cara kerja pokrol lebih kepada menekan
salah satu pihak, baik dengan jalan hukum maupun tidak, untuk mengganti rugi kepada pihak
yang lain. Hal ini yang membuat masyarakat tradisional jarang menggunakan cara penegakkan
hukum melalui pengadilan negeri. Karena selalu ada pokrol yang bertindak layaknya seoranga
advokat dalam kasus tersebut,. Masyarakat Indonesia tradisional pada masa itu pun merasa,
ketika membawa persengketaan ke pengadilan, hasil ganti rugi yang diterima atas menangnya
sebuah kasus tidak lebih besar dari pada biaya proses pengadilan itu sendiri. Kebencian
masyarakat tradisional kepada pokrol membuat banyak desa yang tidak menerima pokrol
untuk tinggal di desa yang bersangkutan. Dengan sejarah buruk terkait pokrol yang
mengutamakan kepentingan pribadi dengan memainkan jalur hukum. Jangan sampai status
officium nobile dari seorang advokat menjadi tercemar hanya dikarenakan permasalahan
honorarium dan juga disamping itu secara bersamaan tetap menegakkan hak dari seorang
advokat.
Dengan kewajiban, tugas dan juga martabat yang cukup berat yang harus dijunjung oleh
seorang advokat, hanya sedikit yang peduli dengan hak yang memang seharusnya diterima
oleh seorang advokat. Seorang advokat tidak diperkenankan memilih sembarang kasus apalagi
hanya memilih memberikan pelayanan hukum yang menghasilkan cukup banyak pengasilan
atas pelayanan hukum yang diberikannya. Advokat dilarang untuk memilih-milih pekerjaan
pelayanan hukum yang “nyaman” dan tidak mau mengerjakan pelayanan hukum yang tidak
ada uangnya. Karena jika hal ini terjadi maka hal berikutnya yang akan menyusul adalah
kemerosotan moral dari diri advokat sendiri sebab fokus menjalankan profesi tidak lagi
penegakan hukum di Indonesia, namun justru bagaimana caranya dapat memenangkan suatu
perkara dengan tujuan meraup keuntungan yang sebanyak banyaknya. Seorang advokat selalu
dituntut untuk sepenuhnya melaksanakan pelayanan hukum tidak hanya untuk membela
kepentingan kliennya namun juga mengemban tugas untuk menegakkan hukum.
Jika tidak ingin citra profesi advokat yang dahulu sempat buruk menjadi semakin buruk,
maka perilaku yang tidak pantas dari diri advokat sebagai seorang profesional, haruslah
dihilangkan. Hal tersebut pun membawa pertanyaan, apakah Undang-undang tentang advokat,
yang merupakan perangkat peraturan yang mengatur etika dan tata laku advokat yang
ditetapkan oleh negara, sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan advokat dalam
kehidupan profesionalnya dalam dunia hukum di Indonesia? Atau kesalahan yang terjadi
sebenarnya tidak terletak dari norma atau peraturan perundangan yang ada, melainkan karena
kompleksitas penerapan ketentuan mengenai honorarium itu sendiri yang menjadi bumerang
bagi diri advokat itu sendiri? Hal yang bisa jadi terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut
diatas adalah dikarenakan kemajuan jaman dan tuntutan globalisasi dunia juga menyentuh
dunia hukum di Indonesia. Dampak dari arus globalisasi dunia kepada dunia hukum di
Indonesia ditandai dengan semakin banyaknya kantor hukum yang menjadi tempat bagi para
advokat Indonesia untuk menjalankan kegiatan profesionalnya. Memiliki peran sebagai tempat
untuk menjalankan kegiatan profesional bagi seorang advokat.
2. Metode
Dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian yang dirancang untuk menyusun hasil
penelitian secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode ini bertujuan
memastikan bahwa setiap langkah penelitian dilakukan secara terstruktur sehingga dapat
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
137
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
memberikan hasil yang valid dan relevan. Jenis penulisan yang digunakan adalah jenis
penulisan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang memadukan analisis hukum dengan kajian
fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Pendekatan ini dipilih karena mampu
menggambarkan hubungan antara norma hukum yang berlaku dengan realitas yang ada di
lapangan. Penelitian ini juga bersifat deskriptif, yang berarti bahwa fokusnya adalah
memberikan gambaran yang detail dan mendalam mengenai objek penelitian berdasarkan data
yang diperoleh. Dengan menggunakan metode ini, diharapkan hasil penelitian tidak hanya
memberikan pemahaman teoritis, tetapi juga dapat menjadi acuan praktis dalam menganalisis
permasalahan yang relevan.
3. Hasil dan Pembahasan
Sudah jamak terjadi apabila klien sama sekali buta hukum, maka dari itu pengguna jasa
atau klien membutuhkan bantuan hukum dari advokat. Tugas advokat adalah membantu klien
dalam hal hukum baik didalam maupun diluar Pengadilan. Advokat mendapat kepercayaan
penuh dari klien untuk melakukan hal-hal yang menjadi tujuan akhir klien yaitu kemenangan
berperkara. Sebelum mencapai dan mendapatkan kemenangan, terlebih dulu kedua belah pihak
tersebut harus membuat perjanjian bersama, sebagai salah satu cara awal untuk mencapai
tujuan akhir.
Advokat dalam merealisasikan perjanjian, wajib berpedoman pada Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, supaya kedepannya perjanjian advokasi yang dibuat itu sah
dan berkekuatan hukum, yaitu :
a. Antar pihak harus sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain, yang dimaksud disini
adalah saling mengedepankan hak dan memenuhi kewajiban masing-masing pihak.
b. Advokat dalam membuat perjanjian advokasi melihat dulu klien yang sekiranya akan
membuat perjanjian, sebagai contoh, bilamana klien berumur di bawah 18 tahun dan
belum menikah, maka perjanjian tersebut tidak bisa terealisasi. Kalaupun tetap terjadi
perjanjian advokasi, perjanjian tersebut tidak akan sah dan dapat dibatalkan menurut
hukum, karena melibatkan orang yang tidak cakap didalamnya.
c. Perjanjian yang sekiranya akan dibuat mengandung orientasi tujuan yang akan dicapai
secara bersama-sama. Dengan kata lain, adanya suatu hal tertentu yang menjadi tujuan
bersama untuk dicapai juga secara bersama-sama melalui perjanjian advokasi tersebut.
d. Orientasi tujuan dari perjanjian advokasi tersebut bersifat halal adanya. Sebagai contoh,
klien menggunakan jasa advokasi bertujuan supaya semua hutangnya di Bank dapat
“diputihkan”. Perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum, karena ada sesuatu yang tidak
halal.
Dalam perjanjian advokasi tentunya menyangkut lebih dari satu pihak, yaitu antara
advokat dengan klien. Antara advokat dengan klien memiliki hak dan kewajiban yang berbeda
pula.
Perjanjian yang dibuat oleh advokat dan klien dalam perjanjian advokasi termasuk
perjanjian timbal balik, klien mengedepankan hak dan wajib memberikan kewajibannya,
begitu pula advokat. Dikarenakan sudah ada kata sepakat antara advokat dan klien, maka
perjanjian tersebut sudah berasas Konsensualis dengan dilandasi dengan itikad baik. Untuk
asas Pacta Sun Servanda dapat dilihat dari apa yang diperjanjikan antar kedua belah pihak.
Isi dari suatu perjanjian digunakan sebagai undang-undang untuk mengatur, mengikat dan
memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Semua
pihak yang membuatnya wajib mentaati, memenuhi dan konsekuen apa yang menjadi isi dan
inti dari perjanjian yang dibuat. Perjanjian adalah persetujuan antara kedua belah pihak, maka
apabila akan ditarik kembali atau dibatalkan adalah wajar, bilamana disetujui oleh kedua belah
pihak pula, kecuali salah satu pihak wanprestasi.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
138
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
Secara garis besar hal yang menentukan besaran honorarium dari suatu perjanjian
advokasi terletak pada 4 indikator, yaitu ;
a. Senioritas Advokat
Senioritas dapat terlihat dari :
1. Sudah seberapa lama seorang advokat menjalankan profesinya sebagai advokat
2. Sudah seberapa banyak advokat telah menghadapi dan menyelesaikan suatu kasus
Hal ini cukup relevan karena akanlah tidak mungkin konsumen akan memberikan
dananya sebagai honorarium advokasi yang besarannya sama dengan advokat “kemarin
sore”. Kualitas advokat dapat pula dilihat dari kredibilitasnya di masyarakat.
b. Tingkat kesulitan suatu perkara
Semakin sulit suatu perkara akan berdampak pada semakin tingginya honorarium
advokasi yang harus dibayarkan kepada advokat. Besaran honorarium advokasi untuk
suatu penyelesaian perkara pada tingkat I tentu tidak akan sama dengan penyelesaian
perkara pada tingkat banding dan kasasi. Dalam realisasi kerjanya, sudah menjadi hukum
ekonomi bahwa semakin rumit suatu hal sudah pasti memerlukan pemikiran dan ketelitian
tinggi, serta referensi buku yang semakin banyak. Sebagai contoh, perkara yang
menyangkut likuidasi suatu Bank dengan perceraian, tentunya muatan tingkat kesulitan
didalamnya tidak seimbang dan tidak dapat disamakan dalam besaran honorariumnya.
c. Daerah wilayah suatu perkara
Honorarium yang diberikan klien advokasi harus dilihat pula pada wilayah suatu perkara
yang terjadi. Memerlukan biaya yang lebih besar apabila berperkara pada tingkat I,
daripada tingkat Banding atau Kasasi. Hal ini dikarenakan pada tingkat Banding dan
Kasasi, Advokat hanya membuat (Kontra) Memori Banding atau (Kontra) Memori Kasasi,
yang selanjutnya dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, tanpa
harus menghadiri Sidang, advokat akan mendapat putusan dari Majelis Hakim yang
bersangkutan. Dengan kata lain justru di Pengadilan tingkat I yang memerlukan biaya
berperkara yang terbesar. Besaran nominal honorarium untuk perjanjian advokasi advokat
untuk pengurusan perkara di Pengadilan tingkat Banding atau Kasasi, pada umumnya
lebih kecil dibandingkan besaran honorarium advokasi pada tingkat I.
d. Nilai Obyek Sengketa
Nilai obyek sengketa yang tinggi berbanding lurus dengan besaran nominal honorarium
yang diberikan klien kepada advokat. Honorarium advokat dalam kaitannya dengan nilai
obyek sengketa adalah menurut persentase dari brutto (nilai obyek sengketa).
Dalan aplikasi kerjanya besaran nominal honorarium advokasi merupakan “rahasia
perusahaan” masing-masing advokat. Tidak etis bagi seorang advokat untuk memberitahukan
kepada pihak III (pihak diluar pengguna jasa atau klien) perihal berapa Rupiahkah advokat itu
menerima imbalan jasa, karena besaran nominal honorarium advokasi bersifat sangat privat.
Seorang advokat berhak untuk tidak menginformasikan perihal besaran nominal honorarium
yang diterimanya kepada orang lain, terlebih bagi orang yang tidak berkepentingan.
Hukum menjadi landasan aplikasi kerja seorang advokat, akan tetapi empathy bagi
seorang advokat biasa dan mutlak digunakan, advokat dapat “menyelami” dengan keadaan
klien. Karena tidak ada pedoman pasti tentang besaran nominal honorarium advokasi, maka
seorang advokat dapat membuat penyesuaian dalam besaran nominal honorarium. Karena
advokat dalam advokasinya berpedoman, semua orang berkedudukan sama dalam Hukum,
maka tiap orang berhak mendapatkan bantuan advokasi, dalam hal ini adalah dari advokat.
Seorang advokat dalam aplikasi kerjanya tidak boleh mencampur-adukkan masalah personal
didalamnya, karena bukan obyektifitas advokasi yang akan didapat melainkan subyektifitas.
Prestasi cenderung lebih banyak dibebankan kepada advokat, tetapi bukan berarti advokat
tidak memiliki hak. Hak personal yang dimiliki advokat adalah menerima honorarium dari jasa
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
139
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
advokasi yang sudah diberikan kepada klien. Seorang klien wajib membuat dan menanda-
tangani surat perjanjian tentang pemberian besaran nominal honorarium kepada advokat
sebagai langkah awal dalam pelaksanan perjanjian advokasi.
Advokat tentu harus mempertanggung jawabkan kuasa yang diberikan untuk melakukan
tindakan-tindakan advokasi karena Advokat berhak menerima sejumlah uang sebagai
imbalannya atau honorarium seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat.
Honorarium disini yang dimaksud adalah imbalan untuk Advokat baik untuk pribadi
maupun biaya untuk berperkara dan imbalan untuk kemenangan perkara yang dibelanya.
Imbalan kemenangan berperkara dapat timbul apabila klien sangat puas dengan kinerja
Advokat dan sebagai penghargaan atas keberhasilannya, honorarium Advokat akan
ditambahkan
Besaran honorarium jasa tidak/kurang dapat ditentukan jumlahnya secara nominal, karena
suatu perkara tidaklah bersifat stagnan, dari waktu ke waktu suatu perkara dapat berkembang.
Dengan kata lain perkara “X” tidak dapat dipukul rata dengan besaran nominal “Y”. Dari
pihak klien seharusnya sudah dapat menilai sendiri berapa besaran nominal yang sekiranya
harus dibayarkan kepada Advokat. Besaran honorarium Advokat yang sudah punya “nama”
tentu akan berbeda dengan Advokat yang sedang “mencari nama”. Pihak pengguna jasa akan
menyanggupi, menanda-tangani dan melaksanakan isi dari Surat Pernyataan Pemberian Fee
dan Success Fee, begitu juga dengan Advokat, Advokat akan melaksanakan bantuan hukum
dengan semestinya.
Didalam surat perjanjian pemberian honorarium tersebut disertakan adanya kesediaan
klien untuk memberikan sejumlah uang sebagai honorarium kepada advokat, entah perkara
tersebut akan berakhir dengan kemenangan ataupun kekalahan berperkara. Didalam Surat
tersebut juga dikenal adanya Success Fee, yaitu janji klien untuk memberikan penghargaan
atas keberhasilan advokat dalam mencapai kemenangan berperkara. Success Fee lebih
condong pada suatu bentuk nyata kepuasan klien terhadap kinerja advokat.
Jamak pula terjadi pada berbagai situasi bahwa pengguna jasa melimpahkan semua biaya
penyelenggaraan perkara dan honorarium diberikan kemudian hari setelah perkara tersebut
telah tuntas. Bilamana demikian adanya, advokat harus mengeluarkan biaya dari kas
pribadinya untuk menutup semua biaya penyelenggaraan perkara terlebih dahulu. Advokat
berhak mengajukan dan mengedepankan honorarium sebagai haknya, selain telah tercantum
dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, honorarium juga sebagai sarana
awal dari pelaksanaan perjanjian advokasi.
Suatu perjanjian advokasi akan mustahil terealisasi apabila sebelumnya tidak tercapai
adanya kesepakatan, persetujuan dan kesanggupan dalam penuntutan hak dan pemenuhan
kewajiban antara klien dengan advokat. Bilamana sebelumnya sudah terjalin adanya
kesepahaman, pengertian dan kesadaran berperkara antar pihak, niscaya perjanjian advokasi
dapat dengan mudah terealisasi, untuk mencapai tujuan bersama.
Tidak jarang pula pengguna jasa atau klien tidak mengetahui atau menyadari kelemahan
posisi hukumnya. Pengguna jasa seringkali hanya berorientasi bahwa dengan honorarium
besar yang akan dan sudah diberikan kepada Advokat, perkaranya pasti akan berhasil, padahal
tidak demikian adanya. Seperti yang sudah tercantum dalam kode etik Advokat pada Bab III
Hubungan Dengan Klien Pasal 4 c, yang isinya : “Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada
kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang”. Setelah mempelajari perkaranya,
Advokat dapat membuat perkiraan perihal apa dan bagaimana posisi pengguna jasa atau klien
dalam berperkara. Setiap orientasi pengguna jasa adalah kemenangan tetapi Advokat tidak
berhak mematok hasil kemenangan, tinggal bagaimana kebesaran hati pengguna jasa atau
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
140
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
klien menerima hasil akhir dari perkara yang diajukannya. Dengan kata lain, jumlah nominal
honorarium yang besar tidak berbanding lurus dengan kemenangan berperkara.
Seorang advokat dalam menjalankan profesinya selalu dilandasi dengan aturan hukum,
namun pada praktek kerjanya tidak hanya faktor hukum yang menjadi pegangan profesinya,
faktor ekonomi, sosial, budaya dan psikologis sangat perlu dimiliki oleh seorang advokat. Bila
dalam praktek kerjanya advokat hanya berpegang pada aturan hukum yang berlaku, niscaya
akan terasa sangat kaku dalam segala tindakannya. Bila orientasi kerjanya lebih pada sisi
ekonomi, maka advokat bisa saja menarik honorarium yang cukup besar, sedangkan sisi
hukumnya dikesampingkan. Dalam praktek kerjanya advokat harus seimbang dalam
merealisasikan yang mengacu pada faktor-faktor tersebut untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan. Seorang advokatpun harus menggunakan emphaty dalam menghadapi para
pengguna jasanya, tidak serta merta semua orang yang menggunakan jasanya harus ditarik
pembayaran, advokat harus bisa memilahkan mana yang perlu ditarik pembayaran jasa sebagai
honorarium atau tidak. Berikut ini adalah hambatan-hambatan yang timbul dalam perjanjian
advokasi antara Advokat dengan klien, beserta dengan penyelesaiannya :
a. Untuk melakukan perjanjian advokasi tentunya klien terlebih dahulu memerlukan peran
serta advokat didalamnya. Dalam penunjukkannya sering kali klien bingung atau tidak
mengetahui siapa yang sekiranya akan menjadi penasehat hukumnya. Penunjukkan ini
hanya dapat dilakukan dengan cara mouth to mouth, satu atau beberapa pihak yang
capable akan menyarankan dan merekomendasikan seorang advokat untuk menjadi
penasehat hukum klien. Dengan begitu niscaya hambatan dalam penunjukkan advokat
akan dapat teratasi dengan mudah, yang selanjutnya akan semakin mempermudah dalam
pelaksanaan perjanjian advokasi.
b. Menurut Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 18 : “Advokat tidak
dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang
berwenang dan atau masyarakat”. Pengguna jasa atau klien telah menaruh kepercayaan
penuh kepada advokat dalam perjanjian advokasi yang telah dibuat, tetapi advokat tidak
diperbolehkan “muncul” di depan seolah-olah dia adalah si klien.
c. Tidak jarang klien tidak mengetahui secara pasti kapasitas seorang advokat dalam
memberikan bantuan hukum. Banyak kasus yang mengetengahkan bahwa klien terlalu
“masuk” dalam urusan bantuan hukum yang telah dilimpahkan kepada advokat melalui
Surat Kuasa yang timbul dari perjanjian advokasi. Ada baiknya apabila masing-masing
pihak bekerja dalam kapasitasnya masing-masing untuk mencapai kemenangan
berperkara.
d. Tidak jarang pula klien tidak mengetahui atau menyadari kelemahan posisi hukumnya.
Klien seringkali hanya berorientasi bahwa dengan honorarium besar yang akan dan sudah
diberikan kepada advokat, perkaranya pasti akan berhasil, padahal tidak demikian adanya.
Seperti yang sudah tercantum dalam kode etik Advokat pada Bab III Hubungan Dengan
Klien Pasal 4 c, yang isinya: Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya
bahwa perkara yang ditanganinya akan menang”. Setelah mempelajari perkaranya,
advokat dapat membuat perkiraan perihal apa dan bagaimana posisi klien dalam
berperkara. Setiap orientasi klien adalah kemenangan tetapi advokat tidak berhak
mematok hasil kemenangan, tinggal bagaimana kebesaran hati klien menerima hasil akhir
dari perkara yang diajukannya. Dengan kata lain, jumlah nominal honorarium yang besar
tidak berbanding lurus dengan kemenangan berperkara.
e. Dilain hal, seorang advokat wajib dan berhak menolak perkara yang diajukan pengguna
jasa atau klien apabila dirasa tidak sesuai dengan hati nuraninya. Bukan besaran
honorarium yang ditawarkan klien yang dirasa kurang sesuai tetapi posisi hukum yang
dirasa kurang mempunyai landasan. Dapat pula dikatakan, bukan karena jumlah
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
141
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
honorarium advokasi yang dirasa besar lalu serta merta seorang advokat langsung
menerima dan menangani perkara pengguna jasa atau klien. Seperti yang sudah tercantum
dalam kode etik advokat pada Bab III Hubungan Dengan Klien Pasal 4 g, yang isinya:
“Advokat harus menolak mengurus perkara yang menuntut keyakinannya tidak ada dasar
hukumnya”.
f. Apabila karena terjadi ketidak-sesuaian tentang besaran nominal honorarium advokasi,
seorang advokat berhak memutuskan untuk tidak menangani perkara tersebut. Bila hal itu
terjadi, advokat akan merekomendasikan advokat yang lain untuk menangani perkara
klien, tanpa menyinggung perasaannya. Pelimpahan penanganan perkara yang seperti ini
biasanya diberikan kepada advokat junior. Karena sebagai mereka harus menambah “jam
terbangnya” untuk kredibilitasnya, maka berapapun besaran nominal honorarium advokasi
yang diajukan klien, pada umumnya advokat junior tidak terlalu memikirkan hal tersebut.
g. Bantuan hukum advokat tidak hanya dalam beracara dalam Pengadilan (litigasi), tetapi
diluar juga (non litigasi), niscaya pemberian nasehat, saran, masukan, pemberitahuan,
pengetahuan dan sebagainya dirasa tidak perlu adanya timbal balik dengan besaran
nominal honorarium advokasi yang harus diberikan klien. Kalaupun itu terjadi dalam
beracara, advokat tidak harus serta merta menarik honorarium advokasi secara “pukul
rata”, disesuaikan dengan kemampuan per individu dan kerumitan perkaranya.
Kesemuanya itu dikarenakan tidak semua klien advokasi mampu untuk membayar jasa
advokasi. Dalam kode etik Advokat pada Bab III Hubungan dengan Klien Pasal 4 d, yang
isinya: “Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan
kemampuan klien”.
h. Lain halnya apabila untuk perkara-perkara yang mewajibkan seorang advokat menangani
perkara tanpa adanya pemberian nominal honorarium advokasi dari pengguna jasa atau
klien. Hal ini juga bisa terjadi apabila Negara menunjuk advokat untuk menangani suatu
perkara klien dalam perkara Pidana, karena seorang advokatpun harus tunduk pada
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada Bab VI, Pasal 22, yang isinya:
“Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan
yang tidak mampu”.
i. Dalam kode etik Advokat pada Bab III Hubungan dengan Klien Pasal 4 f, yang isinya:
Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama
seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa”. Seorang advokat telah diberi
kewajiban oleh negara untuk menegakkan keadilan, advokatpun harus tunduk pada aturan
dan etika profesi advokat yang berlaku berdasarkan landasan hukum yang berlaku. Dalam
praktek kerjanya, yang dimaksud dengan cuma-cuma disini adalah advokat tidak akan
menerima sejumlah uang sebagai imbalan jasa dari klien.
j. Kode etik Advokat pada Bab VII tentang Ketentuan-ketentuan lain Tentang Kode Etik
Pada Pasal 8 b dan f, yang isinya: “Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik
perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan
atau bentuk yang berlebih-lebihan”. Pasal 8 f: “Advokat tidak dibenarkan melalui media
massa mencari publisitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat
mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau
telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan
untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap
Advokat”. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perkara hukum oleh orang yang
kurang mampu menyelenggarakannya, secara tidak langsung advokat dapat menggunakan
moment tersebut untuk berpromosi perihal eksistensinya atau lebih dikenal dengan nama
simbiosis mutualisme. Klien merasa tertolong dengan bantuan hukum cuma-cuma yang
diberikan advokat, sedang untuk advokat dengan kasus yang ditanganinya, advokat akan
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
142
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
semakin mendapat sorotan publik yang berimbas pada semakin diakuinya eksistensinya di
bidang hukum.
k. Wanprestasi (cidera janji atau kealpaan), seorang kreditur (klien) dan debitur (advokat)
dapat berupa empat (4) macam, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Tidak ada ketentuan mengenai penetapan biaya jasa hukum oleh advokat. Tidak ada
komponen yang pasti ataupun persentase penghitungan biaya. Pada prinsipnya mengenai biaya
penanganan suatu perkara merupakan kesepakatan antara advokat dengan klien. Tiga (3)
klasifikasi honorarium yaitu :
1. Lawyer fee, yang umumnya dibayar di muka sebagai biaya profesional sebagai
advokat
2. Operational fee, yang dikeluarkan klien selama penanganan perkara oleh advokat
3. Success fee, persentasenya ditentukan berdasarkan perjanjian antara advokat dengan
klien. Success fee dikeluarkan klien saat perkaranya menang, tapi jika kalah, advokat
tidak mendapat success fee.
Honorarium merupakan hak dari advokat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1)
UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat. Besaran honorarium, termasuk cara pembayaran
dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara advokat dengan klien. Jumlah honorarium
yang telah disepakati harus dibayar oleh klien tanpa digantungkan dengan menang atau
tidaknya kasus, kecuali untuk success fee.
Daluwarsa penagihan piutang seseorang menjadi hapus setelah 30 tahun (Pasal 1967
KUHPerdata). Akan tetapi, hampir tidak masuk logika rasanya advokat tidak menagih
honorarium yang menjadi haknya hingga melebihi 30 tahun. Jika advokat telah memenuhi
prestasinya sebagaimana telah diatur dalam kontrak penggunaan jasa advokat, namun
kemudian klien tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar honorarium advokat, hal
ini dapat menjadi dasar bagi advokat untuk menggugat atas dasar wanprestasi (Pasal 1243
KUHPerdata) tanpa melihat berapa lama telah lewat waktu sejak pekerjaan tersebut dilakukan.
Jadi, honorarium merupakan hak dari advokat dan dapat disepakati dengan klien berapa
besarannya. Jumlah honorarium yang telah disepakati harus dibayar oleh klien tanpa
digantungkan dengan menang atau tidaknya suatu kasus.
Klien jika sudah memastikan menggunakan jasa advokat, ada satu hal yang mesti
dikalkulasi dengan jelas yaitu honorarium advokat. Jika klien tidak memastikannya sejak awal,
bukan mustahil terjadi adu argumen dikemudian hari. Klien dikatakan pelit terhadap Advokat
atau sebaliknya, klien mencurigai si advokat yang tidak-tidak karena terus menerus meminta
menggelontorkan dana untuk berbagai keperluan. Muncul pertanyaan, berapa idealnya tarif
Advokat yang dipilih? Jawabannya tentu sulit. Meskipun sebagian besar honorarium advokat
diperjanjikan secara tertulis dengan klien, para advokat cenderung menutup informasi
berapahonrarium yang mereka dapatkan.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang advokat sedikit menyinggung honorarium.
Honorarium atau jasa hukum ditetapkan sebagai hak advokat. Soal besarannya berapa,
tergantung kesepakatan klien dan advokat. Asalkan, penetapan besaran honorarium tadi
dilakukan secara wajar. Begitu syarat yang disebut pasal 21 UU tentang Advokat.
Ketidakjelasan penetapan besarnya honorarium advokat memang bisa berimbas pada
pengeluaran-pengeluaran yang tidak jelas. Rumusan yang terlalu sederhana menyulitkan orang
menggunakan parameter apa saja yang dipakai untuk menghitung jasa seorang advokat.
Sebelum Undang-undang No. 18 Tahun 2003 terbit, aturan honorarium advokat bisa ditelusuri
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
143
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
ke zaman Belanda. Dulu, ada Tarief van Justitie-Kosten en Salariesen in Burgerlijke Zaken
voor de Europeeschee Regtbanken in Indonesia, Staatblad 1951 No. 27. Sebelumnya, ada juga
Staatblad 1927 No. 598 tentang Peraturan Bantuan dan Perwakilan Para Pihak dalam Perkara
Perdata di Pengadilan Negeri. Berdasarkan aturan ini, advokat baru bisa menghitung biayanya
setelah perkara selesai. Seorang advokat lebih mengutamakan besarnya bayaran dari sebuah
perkara yang dibela. Sehingga muncul kesan, advokat lebih memilih mencari profit ketimbang
membantu masyarakat pencari keadilan. Kalau yang datang menemui adalah orang miskin,
advokat acapkali mencari-cari alasan untuk menghindar.
Seseorang pembesar diadili apalagi yang secara kasat mempunyai kekayaan yang
melimpah, katakanlah karena perkara korupsi, advokat terkesan berlomba-lomba untuk
membelanya. Dari sisi klien pun demikian. Klien yang ingin bebas dari tuduhan korupsi, akan
berusaha mendapatkan sebanyak mungkin advokat ternama. Dalam praktek, besar kecilnya
honorarium advokat tergantung pada banyak hal. Maklum output yang dihasilkan advokat
berbeda-beda. Meskipun output tersebut tidak bisa distandarisasi, dalam menentukan besarnya
honorarium, seorang advokat perlu dan harus menjelaskan kepada klien hal-hal yang
mempengaruhi besaran honorarium tadi. Bagaimanapun, honorarium advokat haruslah wajar.
Yang dimaksud wajar, menurut penjelasan pasal 21 ayat (2) UU Advokat adalah
memperhatikan resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan klien.
Untuk menentukan besaran itu dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua
metode: penentuan secara kontijensi dan berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.
Sekarang, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang
dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien. Salah satu pihak dapat memutuskan perjanjian
yang telah dibuat, klien akan rugi waktu karena harus mencari advokat yang baru (pengganti)
dan akan cukup kesulitan untuk mendapatkannya. Kerugian bagi advokat adalah honorarium
yang sekiranya dapat diterima dari klien tidak dapat sepenuhnya diterima. Langkah untuk
menyelesaikannya yaitu, bagi klien, melaporkannya ke organisasi advokat karena advokat
telah menelantarkan klien dengan dasar Actio Paulina. Bagi advokat, dapat mengajukan
gugatan kepada klien dengan dasar telah wanprestasi dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Ada baiknya apabila klien dan Advokat berjalan sesuai “relnya” masing-masing untuk
mencegah terjadinya wanprestasi, karena bilamana salah satu pihak wanprestasi, maka
pelaksanaan perjanjian advokasi tidak akan terwujud.
Hubungan antara advokat dengan kliennya ini biasanya dituangkan dalam bentuk suatu
kontrak/perjanjian untuk mengatur kesepakatan/persetujuan yang terjadi di antara advokat dan
kliennya. Kontrak ini menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk lingkup
kerja yang harus dilakukan oleh advokat dan besarnya honorarium yang akan diterima
advokat. Di dalam kontrak tersebut juga bisa diatur mengenai penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul di kemudian hari antara klien dengan advokat, juga tentang uang jasa dan
kerugian yang mungkin ditanggung oleh klien. Atas dasar kontrak tersebut, klien dapat
menggugat advokat apabila di kemudian hari advokat tersebut tidak melaksanakan atau lalai
dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam kontrak sehingga akhirnya
mengakibatkan kerugian bagi klien.
Demikian pula sebaliknya, jika klien tidak memenuhi prestasinya untuk membayar
honorarium yang telah disepakati, advokat dapat menggugat kliennya (Pasal 1365 dan 1366
KUHPerdata). Biaya honorarium advokat yang terutang ini sifatnya seperti utang-piutang pada
hukum perdata karena didasarkan pada kesepakatan, sehingga memang harus dibayar/dilunasi.
Salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang indikator
perhitungan honorarium. Maka dari itu, seringkali honorarium yang diajukan Advokat ditawar
kembali oleh klien menjadi lebih rendah.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 1, No. 2, November 2024, page: 132-144
E-ISSN: 3063-4350
144
Yudhi Widyo Armono et.al (Perjanjian Advokasi Antara Advokat....)
4. Kesimpulan
Advokat dalam merealisasikan suatu perjanjian advokasi dengan klien, wajib berpedoman
pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat : a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. b) Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan. c) Suatu hal tertentu. d) Suatu sebab yang halal. Hak klien yaitu
mendapat bantuan hukum dan kewajiban klien adalah memenuhi hak advokat. Saat klien telah
memutuskan menggunakan bantuan hukum advokat, selanjutnya membuat suatu perjanjian
advokasi yang diaplikasikan kedalam Surat Kuasa dari klien kepada advokat, untuk
menetapkan isi perjanjian. Perjanjian advokasi mustahil terealisasi bila sebelumnya tidak
tercapai kesepakatan, persetujuan dan kesanggupan dalam penuntutan hak dan kewajiban
antara klien dengan advokat.
Secara garis besar hal yang menentukan besaran honorarium dari perjanjian advokasi
terletak pada 4 (empat) indikator, yaitu ; senioritas advokat, tingkat kesulitan suatu perkara,
daerah wilayah suatu perkara dan nilai obyek sengketa. Nilai besarnya honorarium setiap
advokat berbeda-beda, yang terpenting ada persetujuan yang jelas antara advokat dengan calon
kliennya. Seorang calon klien berhak untuk mengundurkan diri dari pembicaraannya jika ia
merasa tidak akan sanggup untuk membayar fee kepada advokat. Demikian pula advokat
berhak untuk menentukan sikapnya menyangkut fee yang akan diterimanya dari calon
kliennya. Advokat selalu berusaha menuliskan, mencatat dan membuat perjanjian resmi
menyangkut besarnya honorarium yang akan diterimanya, yang ditanda-tangani secara
bersama-sama. Di dalamnya memuat berbagai hal atas prestasi yang akan dikerjakan dengan
segala akibatnya.
5. Daftar Pustaka
Artikel Arif Yusuf Amir: Jangan Gadaikan Reputasi Advokat dengan Membohongi Klien
Satrio. Hukum Perikatan, Alumni/1999/ Bandung, 1999
Sarmadi, Sukris, Advokat Litigasi dan Non Litigasi Pengadilan, Pustaka Prima, 2007
Shidarta. Moralitas Profesi Hukum. Refika Aditama. Bandung. 2006
Nadapdap, Binoto. Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat. Jala Permata. Jakarta. 2008
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2013
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 12 Tahun 2013
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Kode Etik Advokat
Tarief van Justitie-Kosten en Salariesen in Burgerlijke Zaken voor de Europeeschee
Regtbanken in Indonesia
Staatblad 1927 No. 598 tentang Peraturan Bantuan dan Perwakilan Para Pihak dalam Perkara
Perdata di Pengadilan Negeri
www.hukumonline.com