ke zaman Belanda. Dulu, ada Tarief van Justitie-Kosten en Salariesen in Burgerlijke Zaken
voor de Europeeschee Regtbanken in Indonesia, Staatblad 1951 No. 27. Sebelumnya, ada juga
Staatblad 1927 No. 598 tentang Peraturan Bantuan dan Perwakilan Para Pihak dalam Perkara
Perdata di Pengadilan Negeri. Berdasarkan aturan ini, advokat baru bisa menghitung biayanya
setelah perkara selesai. Seorang advokat lebih mengutamakan besarnya bayaran dari sebuah
perkara yang dibela. Sehingga muncul kesan, advokat lebih memilih mencari profit ketimbang
membantu masyarakat pencari keadilan. Kalau yang datang menemui adalah orang miskin,
advokat acapkali mencari-cari alasan untuk menghindar.
Seseorang pembesar diadili apalagi yang secara kasat mempunyai kekayaan yang
melimpah, katakanlah karena perkara korupsi, advokat terkesan berlomba-lomba untuk
membelanya. Dari sisi klien pun demikian. Klien yang ingin bebas dari tuduhan korupsi, akan
berusaha mendapatkan sebanyak mungkin advokat ternama. Dalam praktek, besar kecilnya
honorarium advokat tergantung pada banyak hal. Maklum output yang dihasilkan advokat
berbeda-beda. Meskipun output tersebut tidak bisa distandarisasi, dalam menentukan besarnya
honorarium, seorang advokat perlu dan harus menjelaskan kepada klien hal-hal yang
mempengaruhi besaran honorarium tadi. Bagaimanapun, honorarium advokat haruslah wajar.
Yang dimaksud wajar, menurut penjelasan pasal 21 ayat (2) UU Advokat adalah
memperhatikan resiko, waktu, kemampuan dan kepentingan klien.
Untuk menentukan besaran itu dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua
metode: penentuan secara kontijensi dan berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.
Sekarang, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang
dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien. Salah satu pihak dapat memutuskan perjanjian
yang telah dibuat, klien akan rugi waktu karena harus mencari advokat yang baru (pengganti)
dan akan cukup kesulitan untuk mendapatkannya. Kerugian bagi advokat adalah honorarium
yang sekiranya dapat diterima dari klien tidak dapat sepenuhnya diterima. Langkah untuk
menyelesaikannya yaitu, bagi klien, melaporkannya ke organisasi advokat karena advokat
telah menelantarkan klien dengan dasar Actio Paulina. Bagi advokat, dapat mengajukan
gugatan kepada klien dengan dasar telah wanprestasi dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Ada baiknya apabila klien dan Advokat berjalan sesuai “relnya” masing-masing untuk
mencegah terjadinya wanprestasi, karena bilamana salah satu pihak wanprestasi, maka
pelaksanaan perjanjian advokasi tidak akan terwujud.
Hubungan antara advokat dengan kliennya ini biasanya dituangkan dalam bentuk suatu
kontrak/perjanjian untuk mengatur kesepakatan/persetujuan yang terjadi di antara advokat dan
kliennya. Kontrak ini menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk lingkup
kerja yang harus dilakukan oleh advokat dan besarnya honorarium yang akan diterima
advokat. Di dalam kontrak tersebut juga bisa diatur mengenai penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul di kemudian hari antara klien dengan advokat, juga tentang uang jasa dan
kerugian yang mungkin ditanggung oleh klien. Atas dasar kontrak tersebut, klien dapat
menggugat advokat apabila di kemudian hari advokat tersebut tidak melaksanakan atau lalai
dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam kontrak sehingga akhirnya
mengakibatkan kerugian bagi klien.
Demikian pula sebaliknya, jika klien tidak memenuhi prestasinya untuk membayar
honorarium yang telah disepakati, advokat dapat menggugat kliennya (Pasal 1365 dan 1366
KUHPerdata). Biaya honorarium advokat yang terutang ini sifatnya seperti utang-piutang pada
hukum perdata karena didasarkan pada kesepakatan, sehingga memang harus dibayar/dilunasi.
Salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang indikator
perhitungan honorarium. Maka dari itu, seringkali honorarium yang diajukan Advokat ditawar
kembali oleh klien menjadi lebih rendah.