IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
42
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
Negara-negara Gagal di Pulau Jawa (Study Archeologi
Hukum tentang Sistem Hukum yang Meruntuhkan
Negara)
Agus Pandoman
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram, Kadipaten, Keraton, Kota Yogyakarta
Email: agus.pandoman@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 30 Agustus 2025
Direvisi: 17 September 2025
Disetujui: 20 Oktober 2025
Tersedia Daring: 1 November
2025
Keruntuhan monumental yang ditinggalkan oleh negara-negara
kerajaan di Pulau Jawa masa silam itu mencengkeram saya dengan daya
tarik romantis dari nenek moyang saya, yang lahir dan hidup di pulau
ini, namun mereka menjadi warga negara kerajaan yang mana karena
bangsa dan negara telah runtuh dan lenyap. Saya tertarik pada
keindahan reruntuhan puing-puing bangunan atau sisa tembok
bangunan monumental, yang seringkali spektakuler dan mencekam,
beserta misteri-misteri yang mereka hadirkan. Apakah keberadaan kita
sekarang, adalah bagian dari runtuhan-runtuhan itu dan yang tersisa
hanyalah monument-monumen kejayaan Negara masa silam.
Kehancuran Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram,
Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, Kerajaan Daha, sebagian besar
situs-situs kerajaan itu dapat dikatakan bukan sebuah Negara dan
bukan pemerintahan yang memiliki keagungan dan entitas politik.
Analisis artikel ini menggunakan pendekatan Archeologi hukum, dengan
hipotesis bahwa sistem hukum yang dibangun dengan struktur
kekuasaan melahirkan budaya hukum tanpa ada kepastian, keadilan,
dan ketertiban menuju pada runtuhnya negara dan lenyapnya kejayaan
bangsa dan negara itu. Analisis penelitian menggunakan pendekatan
Archeologi menunjukan bahwa runtuhnya sistem hukum melenyapkan
bangsa dan negara .
Kata Kunci:
Negara-Negara Gagal
Study Archeologi Hukum
Sistem Hukum
ABSTRACT
Keywords:
Failed States
Legal Archaeology Study
Legal System
The monumental ruins left behind by the royal states on the island of Java
in the past gripped me with the romantic appeal of my ancestors, who were
born and lived on this island, but who became citizens of which kingdom,
because the nation and state had collapsed and disappeared. I am drawn
to the beauty of the ruins of buildings or the remaining walls of
monumental structures, which are often spectacular and gripping, and the
mysteries they present. Are we, as we are now, part of those ruins and all
that remains are the monuments to the past glory of the State. The
destruction of the Majapahit Kingdom, the Demak Kingdom, the Mataram
Kingdom, the Kediri Kingdom, the Singasari Kingdom, the Daha Kingdom,
most of the royal sites can be said not to be a state and not a government
that has majesty and political entity. Analysis of this article, using a legal
anthropology approach, with the hypothesis that the legal system built
with the ambition of power, bringing down the nation and state, legal
culture without certainty, justice, and order leads to the collapse of the
state. The glory of the nation and state has been lost. Analysis of research
using the Anthropology approach shows that the collapse of the legal
system, eliminates the nation and state.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
43
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
©2025, Agus Pandoman
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Keruntuhan monumental yang ditinggalkan oleh negara-negara kerajaan di Pulau Jawa
masa silam itu mencengkeram saya dengan daya tarik romantis. Saya terkagum-kagum sewaktu
mengikuti pelajaran di sekolah dasar bahwa nenek moyangku bangsa pelaut gagah, berani,
sopan santun, adap asor dan gotong royong. Terasa sekali waktu kecil itu rasa bangga pada
masa silam karena terdapat keagungan dalam diri nenek moyang saya yang lahir dan hidup di
bumi pulau jawa (Fazrin, n.d.). Sewaktu saya dewasa saya berada dalam Negara Republik
Indonesia, dan nuansa ini digambarkan dalam bentuk filosofi bangsa Indoensia yaitu Pancasila,
yang juga diharuskan oleh Negara ini untuk mempelajari nya, bahwa suku-suku di Indonesia
adalah Bangsa Indonesia adalah orang yang keberadaanya memiliki jiwa Ketuhanan yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan/ perwakilan dan memiliki jiwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia seperti itulah jalan hidup (way of life) bangsa Indonesia.
Namun artefak filosofis itu menopang dan sekaligus mendera bangsa ini bagaimana jika
keagungan dalam diri manusia yang lahir dan hidup di Indonesia tidak memiliki hal-hal diatas,
bukankah semua himpunan kalimat-kalimat tersebut diatas telah dilakukan dan di jalanai oleh
Rejim berkuasa dalam wadah negara-negara Kerajaan di Pulau Jawa, dan terakhir adalah
Negara Republik Indonesia dimana kita sedang menjalaninya. Negara-negara Kerajaan di
pulau Jawa adalah sebuah tragedi wadah kehidupan bangsa masa silam yang suram, yang
dihadirkan bukan sebagai kemegahan negara Kerajaan seperti negara -negara Kerajaan di
Eropa, namun ketika saya sudah dewasa, merasakan semua telah menjadi monument
keruntuhan rejim-rejim terdahulu, Raja-Raja dan Presiden Republik Indonesia (Orde Lama dan
Orde Baru) mereka telah membangun artefak-artefak kekuasaanya. Saya adalah keturunan
mereka merasakan langsung peninggalan itu dalam agenda melancong, Borobudur, Candi
Prambanan, Monas, Monumen Yogya Kembali. Lubang Buaya. Keraton-Keraton, Kereta
Kencana, situs majapahit dan lain-lain. saya tertarik pada keindahan reruntuhan atau bangunan
monument, yang seringkali spektakuler dan mencekam, beserta misteri-misteri yang mereka
hadirkan .
Apakah keberadaan saya sekarang, adalah bagian dari runtuhan-runtuhan itu dan yang
tersisa hanyalah monument-monumen kejayaan Negara masa silam yang masih terselubung
rimba, ditengah pemukiman manusia pedesaan. Padahal dulu tempat-tempat itu merupakan
situs-situs peradaban Negara yang paling maju di Asia, dengan naskah-naskah tertulis panjang
yang telah berhasil dibaca. Bagaimana bisa Negara-negara itu runtuh, musnah, padahal
kehidupan ibukota dan warga Negara kerajaan itu bisa menyokong masyarakat perkotaan
didaerah-daerah yang kini hanya ditinggali segilintir petani yang susah payah bertahan hidup
(Muljana, 2005). Monument-monumen dan runtuhan kerajaan Majapahit, reruntuhan candi,
bangunan-bangunan candi membuat kita terkesan bukan karena peninggalan Arkeologi yang
beraura kecantikan dan penuh misteri, namun merupakan kehancuran perdaban, pusat
perkotaan yang lokasinya tidak lagi bernuansa ibu kota yang tertutupi rumah-rumah bangunan
para bangsawan, seperti layaknya ibu kota Negara. Kehancuran ibukota Majapahit, ibukota
kerajaan Demak, ibukota Kerajaan Mataram, ibukota kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari,
Kerajaan Daha, sebagian besar situs-situs kerajaan itu dapat dikatakan bukan sebuah Negara
dan bukan pemerintahan yang memiliki keagungan dan entitas politik hanya sebuah cerita yang
membuktikan bahwa saya keturunan dari negara gagal (Wahyudi, 2015).
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
44
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan arkeologi hukum, yaitu
pendekatan yang menelusuri lapisan-lapisan wacana hukum dalam sejarah untuk memahami
bagaimana sistem hukum pada berbagai periode di Pulau Jawa berkontribusi terhadap
melemahnya struktur negara hingga terjadinya kegagalan negara. Penelitian ini juga
menggunakan metode studi literatur, yaitu pengumpulan dan analisis data melalui berbagai
sumber tertulis, baik primer maupun sekunder. Sumber primer yang dikaji meliputi prasasti
hukum, naskah-naskah hukum tradisional Jawa, dokumen kolonial, piagam kerajaan, dan karya
filologis yang telah diterbitkan. Sementara itu, sumber sekunder mencakup buku-buku sejarah
politik Jawa, kajian arkeologi dan epigrafi, literatur hukum adat, serta teori-teori terkait
arkeologi pengetahuan, hukum kritis, dan konsep negara gagal.
3. Hasil dan Pembahasan
Entitas Negara Kerajaan Majapahit
Entitas politik Negara kerajaan Majapahit yang waktu itu, membentang dari yang kini
merupakan wilayah propinsi Jawa Timur membentang sampai :
a. Sumatera meliputi: Jambi, Palembang, Dharmasaraya, Kandis, Kahwas, Siak , Rokan
Mandailing, Panai, Kampe, Haru , Tamiang, Perlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan,
Lampung.
b. Kalimantan meliputi: Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas,
Lawai, Kandngan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung,
Selot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano.
c. Semenanjung tanah melayu meliputi: Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor,
Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai
d. Daerah Sebelah Timur pulau Jawa meliputi: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun
Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk,
Makasar, Buton, Banggawi,Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar ( Saparua), Solor,
Bima, Wandan (Banda), Ambon, atau Maluku, Wanin, Seran, Timor .
Wilayah itu lebih luas dari negara Republik Indonesia sekarang ini, menyiratkan
pengalaman masalah yang lebih besar dari negara masa silam, pada sisi skala wilayah dan sikap
pengelola negaranya, yang melibatkan kerusakan adalah sistem hukum yang dibuatnya.
Kerusakan tragis dari sistem hukum merupakan akibat tragis yang tidak terduga dan tidak
disengaja dari upaya-upaya pengelolaan pemerintahan terbaik mereka, sulit bagi para elite
menahan diri dalam memanen sumber kekuasaan bersama, yang menjadi tragedi perebutan
kekuasaan terhadap Negara, bukan karena bodoh dan primitive, masyarakat yang menjadi
penduduk di Negara itu. Tergolong masyarakat yang paling kreatif paling maju dan berhasil
pada jamannya misalnya seperti Kerajaan Majapahit bisa mencapai tujuan kemakmuran, yang
gemah ripah loh jinawai
Ibukota negeri yang luar biasa, membuat inovasi, efisiensi dan ketrampilan arsitektur
menunjukan kemampuan intelektual pada jamannya, membawa sensasi yang masih dirasakan
oleh para wisatawan yang terpikat pada reruntuhan bangunan istana itu. Namun sekarang ini
hanya dihuni oleh petani yang tidak berpengalaman mengolah pertanian, di tengah hiruk pikuk
kota modern (Setiawan, 2022). Saya sebagai peneliti, bertanya-tanya, datang dari mana para
petani yang menghuni areal ini, dan kemana para bangsawan dan satria itu pergi dan apa yang
menyebabkan konstruksi bangunan dan istana negara itu hancur beserta seluruh arsitektur,
seni lukis patung itu musnah, padahal dahulu pernah memperindah kehidupan ibu kota
Majapahit dan telah menjadi model kota kerajaan di Jawa. Namun sekarang ini, saat saya
berdiri disini keindahan itu hanyalah romatika masa lalu, dan hanyalah belantara tanah-tanah
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
45
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
kering di pelosok desa-desa yang sepi di Jawa, sementara orator kerajaan, prajurit, dan raja-
rajanya menghilang entah kemana.
Di temapat ini, di atas reruntuhan kerajaan, sudah tidak ada lagi hukum, meskipun hanya
untuk mencegah pencurian batu bernilai sejarah sekalipun, apalagi ambisi kekuasaan dan
kemuliaan sang raja semua telah sirna. Jika saya bayangkan masa lalu, keadaan ini, berbanding
terbalik, pada kurun waktu itu, negara kerjaan ini berdiri kokoh, mereka telah mendapatkan
momentum mewujudkan sistem hukum, sistem ekonomi dan politik, menjadi negara yang
sangat makmur di Asia Tenggara. Kini kejayaan negara itu telah hilang dan kita hanya tahu
reruntuhannya saja, sedangkan yang menandakan disini pernah berdiri negara besar adalah
puing-puing itulah sebagai fakta yang bisa berbicara sendiri tentang keberadaannya (Haryono,
1997).
Hampir dipastikan runtuhnya sistem hukum, ekonomi dan politik kerajaan, bersamaan
dengan itu pula ibukota dan istana negara pun lenyap, misalnya runtuhnya negara kerajaan
Demak, sampai hari ini, belum ditemukan dimana istana dan ibukota negara itu, yang masih
tersisa, hanyalah sebuah sosok bangunan religius yang berupa masjid agung Demak, sedangkan
sistem hukum, ekonomi dan politik, bagaikan dua jarum jam yang memutar, satu menuju
keangka puncak, yang satunya berganti waktu kembali berulang, pada titik yang sama
meruntuhkan negara. Sistem hukum negaranegara gagal itu sealtar dengan kohesi naluri
dinasti yang diturunkan genarasi berikutnya, kontur plagiasi masa lalu pada masa kini
menyelimuti kehidupan selanjutnya, yang selalu saja terkoneksi dengan budaya itu, politisasi
kekuasaan intrik, ambisi , intoleransi, menjungkir balikan sistem hukum dari hulu kehilihir dan
dari masa lalu ke masa kini, seakan-akan tidak pernah sepi dan bisa terhempas dari jiwa itu,
dimana hukum diproduksi dimana dinasti menganulirnya (Wahyudi, 2015).
Hiritage Dinasty
Sementara dinasti berikutnya, tiba-tiba telah berada dalam negara baru dan kemudian
mendirikan negara baru lagi, dengan sistem hukum yang modelnya tetap sama, kepastian,
keadilan dan ketertiban berpihak pada heritage dinasti. Demikian seterusnya siklus ini mendera
penghuni tanah jawa mewarisi kutukan turun temurun. Mereka membuat sistem hukum dan
sekaligus meruntuhkan negaranya. Seperti sekarang ini, tiba-tiba kehidupan ini berada dalam
wadah negara Republik Indonesia, jauh dari waktu ketika sistem hukum dan negara kerajaan
itu lenyap, menjadi artefak sejarah masa silam, namun sistem hukumnya dibangun dengan
sistem hukum yang memiliki jiwa (dassolen) yang tak akan pernah menjadi masa silam. Apakah
norma hukum itu tetap bersemayam pada di negara negara baru, yang lahir karena negara
masa silam yang gagal.
Negara-negara masa silam di tanah jawa ini, tidak mengenal keabadian, tiak seperti halnya
negara kerajaan Inggris, Jepang, Belanda dan Thailand. Negara-negara yang disebutkan itu,
tak lapuk di telan jaman, mereka tetap eksis sampai hari ini, namun bagi negara-negara yang
berdiri di tanah Jawa, keabadian tidak pernah berpihak padanya. Berapa banyak negara
negara di tanah ini berdiri dan runtuh mengukir masa silam menjadi negara gagal, meski telah
ditopang dengan sistem hukum, justru hukum itulah yang meruntuhkannya. Berpijak dari sistem
hukum yang meruntuhkan negara, kelahiran sebuah negara di tanah jawa gagal mewujudkan
kepastian, keadilan dan ketertiban ke dalam bentuk peraturan-peraturan kerajaan, karena
pengaruh legal yang di masukan dalam model peraturannya berbasis kasta isme atau hukum
berkelas-kelas. Tujuan utamanya adalah ketertiban untuk ke amanan raja dan dinastinya. Raja
tidak boleh di ganggu, dia berada pada kelas tertinggi. Plagiasi ini menjelma menjadi karakter
partai politik abad ini di negara ini, dinasti partai memiliki hak veto yang tak terbantahkan
sepanjang usia pemimpinnya.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
46
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
Rotasi Kekuasaan/ Politik
Rotasi kekuasan Raja (sekarang partai politik), bergulir diantara dinasti ke dinasti
berikutnya. Konteks dan teks hukum negara kerajaan cenderung terakumulasi oleh
keberpihakan norma pada dinasti, sebagai pendiri kerajaan (sekarang partai politik), memiliki
hak privilege /hak utama pada negaranya (sekarang partainya) adalah sebuah kenyataan bahwa
tentang keberadaan negara-negara gagal ini ditentukan oleh produk hukum para dinasti para
bangsawan (sekarang partai-partai), kedaulatan rakyat berada pada dinasti-dinasti raja.
Referensi-refensi sejarahwan dan arkeolog mecatat negara-negara ditanah Jawa meski
ditopang oleh sistem hukum, namun ber akhir bagai siklus seratus tahunan menyimpan kisah
tragis sebagai negara gagal dan musnah.
Negara gagal terus menerus berulang-ulang, para pendiri negara gagal ini lebih suka
menengok spion belakang, tak pernah bercermin pada spion depan, dimana sistem hukum
yang dibangun dari negara sebelumnya. kemudian negara baru berikutnya tetap menggunakan
sistem hukum terdahulu, misalnya negara Republik Indonesia sekarang ini. sistem hukum nya
dibangun dari masa silam kolonial Kerajaan Belanda. Sistem hukum kerajaan pada umumnya
adalah sangat possessive/anti tesis dinasti. Konsep ini menyebarkan anti tesis pada para
bangsawan (sekarang politisi) yaitu dengan cara memertahankan kekuasaan melalui proliferasi
(pengembang biakan kekuasaan) dengan membuka wilayah-wilayah baru dan penguasa-
penguasa barunya (sekarang dengan cara pemekaran daerah menciptakan para Gubernur baru
dan Bupati/Wali Kota baru).
Para penguasa-penguasa baru ini kemudian menstigmasi satu dengan lainya, untuk meraih
kekuasaan puncak. dan produk-produk hukum diprioritaskan untuk kepentingan stake
holdernya (dinasti/bangsawan-sekarang para politisi) sebagai bentuk penciptaan kekayaan baru.
Penciptaan kekayaan baru adalah harga yang diperoleh dari mendulang kekuasaan. Hukum di
kondosikan sebagai mandatory pengawasan kolusi, korupsi, dan nepotisme, melahirkan badan-
badan pengawasan, untuk memonitor terhadap penciptaan kekayaan baru, menisbikan legalitas
(hukum), perekutan mata-mata diseantero negara (sekarang alat bukti dengan penyadapan),
prioritas pembuktian kejahatan diutamakan, lebih memilih hukum daripada keadilan, Operasi
tangkap tangan menjadi mudah, sehingga tujuan hukum menjadi instrument pemangsa
memburu pemangsa (Anwari, 2015).
Hukum Meruntuhkan Negara
Sandiakalaning negara kerajaan Majapahit, identik dengan runtuhnya majapahit adalah
tak terlepas dari sistem hukum semacam ini, yang pernah mencapai ke emasanya pada rezim
pemerintahan Hayam Wuruk ( 1350-1389 M ), serta kehancuranya semasa pemerintahan
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya pada tahun 1527 M, dan yang masih dikenali oleh
arkeolog abad ini dari temuanya, diketahui bahwa disini terbentang sisa-sisa kejayaan Negara,
sebuah bangsa yang beradab, berbudaya dan memiliki hukum yang ditulis sebagai tata atruan
kehidupan bernegara yang telah melalui tahapan kehidupan bernegara dan berbangsa, yang
berkenanan dengan hidup dan jatuh bangunnya pemerintahan, mencapai masa ke emasan
bernegara, namun seiring perjalanan waktu lantas negara ini lenyap. Akhir wisata observasi saya
menjelajahi situs bekas ibu kota Negara Majapahit, yang sekelilingnya dihuni oleh orang-orang
desa dimana puing-puing, kanal-kanal dan garis lengkung pondasi dibawahnya ditanam batu
kokoh penyanggah tiang kerajaan yang runtuh, kemanapun saya bergerak melihat bukti selera
arsitektur elite kerajaan.
keahlian arsitektur mereka dalam sistem pengairan irigrasi semua menunjukan seperti
khayalan angan saya , disini bangsawan-bangsawan berkostum khas kerajaan membayangkan
mereka akhli dalam bidang hukum administrasi Negara dan tata kelola ekonomi yang dari sini
sebagai pusat kota menghidupi keseluruhan wilayah Negara. dibangun infrastruktur yang
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
47
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
harmoni bukankah ini karena keegoisan yang buta yang disadari dan keliru secara moral
menerapkan sistem hukum dalam mengelola negaranya sehingga mengalami keruntuhan.
Ditempat ini puing kerajaan hanyalah selimut belantara, yang sedang digali untuk
merekonstruksi romansah sejarah Negara besar yang pernah jaya di pulau jawa ini, tak ada yang
pernah membuat saya terkesan dari pada kota yang dahulu agung dan indah, namun kini
hanyalah sederetan tumpukan bata-bata yang dahulu menjulang tanpa batas terhempas masa,
hancur, hilang, ditelan pohon-pohon dan semak-semak tanpa komunitas tanpa pemukim dan
bahkan tanpa nama. Strata masyarakat di kerajaan Majapahit adalah Raja, bangsawan-
bangsawan kerajaan, prajurit satria, beserta seluruh keturunannya yang dahulu dikenal sebagai
komunitas elite politik Negara, adalah cahaya keagungan kerajaan sebagai jenis manusia yang
jatuh dari taman firdaus yang setibanya perjalanan di bumi, membangun Negara besar
dihadapkan pada alam yang memiliki daya dukung dan harmoni yang sempurna dibuatnya
sistem sosial diantaranya pengelompokan masyarakat yaitu bangsawan (wong gede atau dalam
litertur disebut priyayi ) dan rakyat jelata wong cilik /kawula alit, sistem hukum, prilaku
bernegara bagi penduduknya baik itu warga Negara maupun bukan warga Negara, menjalin
hubungan sosial ekonomi dalam rajutan hajat hidup diseluruh aspek kehidupan Negara
sehingga keberadaannya mendukung lahirnya negara yang gemah ripah loh jinawi.
Pada zaman Negara kerajaan Majapahit, sebagai arus balik peradaban yang berlangsung
dari wilayah bawah angin di Selatan ke Atas Angin di utara, Rakyatnya bagai hidup dikapal
pesiar Titanik super mewah abad 17, seperti apa yang ia riangkan, seperti kehidupan itulah
adanya. Identitas Rakyat sebagai warga Negara besar yang wilayah lautnya membentang
menguasai samudra raya sampai keujung cape town benua Afrika, yang secara budaya adalah
Negara maju di Asia Tenggara. Bahtera Negara ini dua ratus tahun kemudian, tenggelam
bersama dengan aspek kehidupan Negara, keruntuhannya adalah resiko bagi masyarakat-
masyarakat kecil yang hidup dikoloni Majapahit.
Bangsa-bangsa yang hidup pada era kerajaan di Pulau Jawa, berdasarkan pendekatan
kultur budaya atau pendekatan geografi. Pertama Pendekatan yang berkaitan kultur adalah
dengan memisahkan bahasa jawa (bahasa jawa panginyongan, bahasa jawa mataraman, dan
bahasa jawa pangarekan) hanya meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Jawa Timur. Kedua berdasarkan pendekatan geografi , area
ini dengan sebutan Jawa identik dengan Pulau Jawa, yang meliputi wilayah Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provini Banten, Privinsi Jawa Barat, dan Daerah
Khusus Ibukota.
Sistem Hukum Yang Gagal.
Para kepala Negara yang diuraikan diatas, bukanlah pengelola Negara yang payah dan
bodoh yang patut runtuh dan musnah, bukanlah oleh akhli sejarah yang maha tahu yang bisa
memecahkan masalah-masalah yang tidak bisa kita pecahkan kini. Mereka manusia seperti kita,
menghadapi masalah masalah yang secara umum mirip dengan yang kini kita hadapi. Mereka
dapat berhasil maupun gagal tergantung keadaan, mirip dengan yang membuat kita berhasil
ataupun gagal kini dengan yang dihadapi bangsa-bangsa silam, namun masih cukup ada
kesamaan sehingga kita bisa belajar dari masa lalu.
a. Sebagai makhluk secara biologis terdapat dua gender yaitu pria dan wanita, merupakan
sumber reproduksi penerus generasi kehidupan selanjutnya.
b. Memiliki ruang dan waktu, manusia berada pada ruang-ruang tertentu yang ditempatinya
membentuk negara dan penggalan-penggalan waktu untuk menjalani, memprtahankan
kehidupanya dalam putaran waktu siang dan malam.
c. Tersedianya daya dukung kehidupan sebagai sumber daya alam seperti pohon-pohonan,
hewan-hewan dan mineral-mineral.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
48
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
d. Cuaca merupakan situasional yang diperlukan untuk menghidupkan sumber daya alam
yang dibutuhkan bagi sumber kekayaan.
e. Ke lima penciptaan kekayaan, sebagai upaya menguasai kehidupan dan sumber daya alam
yang diwujudkan dalam bentuk peradaban-peradaban dari ruang dan waktu tertentu yang
ditulis oleh para pemenangnya yang disebut “sejarah”.
Kelima katagori itu adalah realita bahwa kerajaan-kerajaan itu memiliki hukum yang
mengatur kehidupan, yaitu sesuatu yang pasti sesuatu yang adil dan sesuatu yang tertib, yang
dapat diterangkan sebagai berikut ;
a. Sesuatu yang pasti bahwa kehidupan adalah secara biologis ada ruang dan waktu daya
dukung kehidupan, situasi kondisi kehidupan negara, dan untuk mempertahankan kehidupan
bernegara diperlukan penciptaan kekayaan. Jadi dengan demikian Jika negara ini kaya
maka kehidupan rakyat akan sejahtera ,dan negara akan mendistribusikan kekayaannya pada
rakyat, secara adil.
b. Sesuatu yang adil, siapa yang bisa mengolah dan menguasai penciptaan kekayaan ia adalah
pemenang ia akan mendapatkan kekayaan melebihi yang terkalahkan, sehingga si kaya akan
menopang si miskin.
c. Sesuatu yang tertib, adalah pusat kekuasaanlah yang harus mengatur dan menciptakan
keamanan bagi rakyatnya, agar distribusi kebutuhan hidup terjamin dapat tersalurkan pada
rakyat sebagai bentuk hukum yang dilahirkan oleh kekuasaan totalitarian, maka unsur pasti,
adil dan tertib, berada ditangan raja. Raja menorehkannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, sebagai implementasi, kepastian, keadilan dan ketertiban. Sedangkan
ciri norma yang membedakannya ialah antara peraturan perundang-undangan dengan
kepentingan negara lebih diutamakan melindungi kekuasaan raja, dari pada kepentingan
rakyatnya. Suksesi kepala negara berbasis pada putaran waktu seumur usia raja tak dibatasi
periodesisi kekuasaan.
Pengelolaan asset negara merupakan kepemilikan bersama ditangan garis keturunan raja
sebagai sumber daya kekuasaan Negara pada rakyat nya. Prilaku-prilaku penghuni wilayah
kerajaan adalah penggunaan tata aturan perundang-undangan kerajaan melalui rute lingkaran
kekuasaan raja yang tersamarkan oleh fluktuasi kepentingan penguasa. Sebagaimana dijelaskan
dimuka, hukum adalah seuatu yang pasti, sesuatu yang adil, dan seuatu yang tertib,
implementasi dari sesuatu yang adil, sesuatu yang pasti dan sesuatu yang tertib, dilakukan
oleh raja adalah membuat peraturan perundang-undangan nyaris dapat dikatakan legislatornya
adalah raja, tidak penting apakah dibuat oleh lembaga legislatf atau perorangan, karena
kedaulatan di tangan raja, maka raja dalam mempertahankan kekuasaanya menstimulasi
pandangan agamanya ( Hindu, Budha atau Islam ) tentang perbuatan atau prilaku mana yang
boleh atau tidak boleh, baik dan buruk, semua dituangkan dalam tata aturan berbasis pandangan
agamanya, dan rakyat memiliki kesempatan yang sama, sedangkan norma-norma hanya
memberikan petunjuk bagi kehidupan msyarakatnya yang mengikat baik hari ini, esok dan
kemarin.
Sistem hukum kerajaan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa dipengaruhi oleh filsafat kawula
gusti, artinya hanya rakyat lah yang menerima keadilan , sedangkan kepastian dan ketertiban
ditentukan oleh kekuasaan raja, misalnya tentang pajak, yang pasti membayar pajak adalah
rakyat, sedangkan para bangsawan dan keturunan raja tidak pasti membayar pajak. Demikian
juga sebaliknya bila keturunan raja tidak pasti ditetapkan sebagai wajib pajak, artinya ia boleh
secara suka rela atau serelanya memenuhi kewajiban mengisi pundi-pundi negara. Rakyat yang
tidak membayar pajak, ber-arti ia telah mencederai keadilan, maka ketertiban harus dipulihkan
maka raja akan menjatuhkan hukuman untuk memulihkan ketertiban.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
49
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
Pengaruh filosofi kawula gusti pada masyarakat di negara-negara kerajaan di pulau
Jawa, melahirkan legal opinion bahwa kepastian, keadilan, dan ketertiban , hanyalah berada
dalam lingkaran kehidupan rakyat, sedangkan penguasa tidak termasuk, mereka berada pada
lingkaran kehidupan bebas nilai, bagi lingkaran ini sesuatu yang pasti, adil dan tertib , jika rakyat
terkondisikan sebagai “kawula”. Kondisi kehidupan semacam itu, wujud sesuatu yang pasti,
adil dan tertib dalam bentuk peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang kemarin (
until yesterday ), mungkin kemarin dari sejuta tahun, mungkin dari dua puluh empat tahun,
atau bulan atau hari bahkan mungkin juga dari dua puluh empat jam yang lalu. Kemarin ,
membawa efek , ke kinian yang baru yang memiliki daya dukung dan harmoni yang sempurna
bagi “kawula- gusti ”. Misalnya kawula “…. telah …. salah, sedangkan bagi”gusti” (
pangeran ) ……..sebaliknya….
Jika “Gusti ……salah ia ( kerajaan ), berhenti tidak ada hari esok , maka negara akan
menghadapi “armageddon pertarungan hidup mati, antara kebaikan dan kejahatan. Gusti akan
bergerak melaksanakan tindakan menjauhkan kesalahan dari tujuan yang salah ( go wrong from
going wrong), dari masyarakat mengakibatkan kekurangan kebutuhan hidup, perang saudara,
dan kerusuhan massa, diantara orang yang berjumlah terlalu banyak, dengan memperebutkan
sumberdaya yang terlalu sedikit dan penggulingan elite pemerintahan oleh masa yang kecewa.
Pada akhirnya kekuasaan menurun dan masyarakatpun kehilangan sebagaian kompleksitas
politik, ekonomi dan budaya yang dikembangkan pada puncak kejayaanya.
Kesalahan Pengelolaan Negara
Kesalahan pengelolaan Negara adalah kondisi manusiawi dan bukan apa adanya menjadi
persoalan hukum, yang menjatuhkan keabsahaan tindakan dalam perang armagedon, kebaikan
dan kejahatan, oleh sebab penciptaan dari prilaku yang terkontaminasi dari penguasaan
kekayaan dan penguasa ( kawula-gusti ), siapa yang menciptakaan kejahatan dan kebaikan
adalah siapa yang berperan menegakan hukumnya go wrong from going wrong, adalah siapa-
siapa yang telah menyuntikan kebaikan dan kejahatan dalam kehidupan negara dari apa-apa
yang ia perbuat dalam mempertahankan dan mendapatkan kekayaan. Distribusi kekayaan yang
di atur oleh sang Raja sebagai kepala Negara bukanlah semata pemberian yang ditentukan
berdasarkan suka tidak suka sang Raja pada apa yang diberikannya baik kepada aparaturnya
maupun kepada keturunannya, bangsawan atau rakyat nya. Pada era ini, bahwa dibawah
kerumitan distribusi kekayaan sumberdaya alam, seringkali membuat sistem hukum yang
diterapkan dalam kehidupan masyarakat, menggantungkan pada seberapa besar kontribusi
rakyat terhadap raja ( kawula-gusti ), yang merupakan simpul keadilan dimana sang raja
seringkali membuat keputusan berbeda dengan kenyataan hati-hati dan tidak boleh memihak,
namun tidak jarang penegakan hukum sering berdasar asumsi untuk mendukung prilaku adil
terhadap rakyatnya .
Perhatikan ketentuan yang terdapat pada kitab Kutara Manawa pasal 259 dan 261
berbunyi "Barang siapa menelantarkan sawah dan ternaknya akan dikenakan denda atau
diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati. Konsep hukum dari peraturan itu
menunjukan perlindungan terhadap harta kekayaan rakyat, menjaga stabilitas pangan sehingga,
penggarapan sawah dan pemeliharaan ternak yang baik dapat mempengaruhi perekonomian
rakyat dan Negara. Salah satu faktor adalah ide hukum tentang proliferasi (pengembang biakan)
yang diterapkan dalam sistem hukum yang dibangunnya, misalnya kerajaan-kerajan terdahulu
sangat suka mengembang biakan keturunan raja, pengembang biakan (pemekaran) daerah-
daerah kekuasaan, membuat lembaga-lembaga negara yang diberikan kekuasaan untuk
mengambil kekayaan rakyatnya (pajak), pada akhirnya menjadikan peraturan-peraturan itu
tajam kebawah tumpul keatas, dan hanyalah artefak-artefak sistim hukum, berupa norma-norma
tentang kontribusi kekayaan rakyat terhadap penguasa.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
50
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
Kontribusi itu adalah rakit-rakit yang membawa sang pencipta kekayaan merengkuh
kesenangan melebihi penderitaan rakyatnya. Kemiskinan adalah penderitaan, dan kekalahan
selalu menerpa keadaan itu meruntuhkan segalanya, hanya hakekat kejayaan masa lalu yang
tersisa berupa monumen-monumen Tuhan yang mengaktualisasikan antara jagad kosmos
dengan raja dan kawula gusti dalam bentuk corak asali ajaran kebenaran, berupa peninggalan
Candi dan Masjid Agung. Monumen-monumen Ketuhanan, yang berbentuk Candi dan Masjid
Agung, merupakan bukti tempat ibadah yang menunjukan identitas religiusitas adalah
representasi adanya ruang antara yang memungkinkan interprestasi manusiawi, antara kota
Tuhan dan Kota duniawi antara agama dan negara, antara teks kitab suci dan konteks yang
spesifik, antara lembaga-lembaga perwakilan yang menghubungkan kosmos (imanan ) pada
suatu waktu ketika substansi yang mendasar diterima sebagai suatu yang normal dan alamiah,
suatu keadaan dimana kita harus kembali kepadanya. Dalam konteks terakhir ini, spiritualitas
dan religiusitas para pelaku antara raja, keluarga dan individu mewarnai dalam pengelolaan
dunia materi (sumber daya alam dan sumberdaya manusia) baik mikro maupun makro.
Ketika raja sengaja mengatur mekanisme pemungutan hasil bumi rakayat penggarap
dengan regulasi ketat untuk menciptakan kemenangan agar meraih kesenangan, bergulir
ditengah kalangan istana, hal ini menghilangkan dasar yuridis, rasionalitas, ataupun urgensi
kebijakannya. Pasalnya banyak faktor yang menjadi diterminan, hasil panenan dikendalikan
oleh pemerintah kerajaan, terutama pemungutan pajak hasil bumi yang mencekik rakyat kawula
gusti. Pada keadaan dan situasi tersebut raja secara otoriter, menerapkan proteksi negara
dengan membuat cakupan regulasi menguntungkan para elite/ bangsawan. Terciptalah bangun
kelas bangsawan/ priyayi yang besar dalam struktur berbelah-belah, dimana kekayaan dikuasai
oleh para bangsawan, sedangkan yang miskin lebih banyak menderita, terjadilah conflictual
scenario.
Peraturan yang di buat oleh raja jauh dari implementasi hukum. Perwujudan hukum sudah
terjerumus dalam monotonisme takut kehilangan kekuasaan, realitas keadaan ini, hukum
hanyalah sebagai alat untuk menghindari ketakutan serba (univers). Ketakutan miskin dari
kemiskinan, ketakutan sumber kekuasaan dari kekuasaan. Kontraksi kehidupan di masyarakat
saat itu, berada dalam lingkaran cinta dan kebohongan para elite kerajaan , baik terhadap rakyat
maupun terhadap raja nya. Kehidupan menjadi terpisah /sub ordinaat dari kekuasaan dan
politik. Kekuasaan adalah milik raja, dan politik adalah ditangan raja. Way of life semacam ini,
menciptakan keniscayaan wujud hukum. Penguasa adalah hukum. Peraturan perundang-
undangan tidak lagi sebagai perwujudan hukum (yang mengandung unsur kepastian,keadilan
dan ketertiban), namun hanyalah sebagai sarana penangkal potensi pembangkangan (
disobedience ), tercermin dari tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh pamong praja
terhadap orang yang tidak menaati peraturan, dapat dikatagorikan sebagai para pembangkang .
Esensi hukum merupakan rotasi terhadap sesuatu yang adil, sesuatu yang pasti dan
sesuatu yang tertib, yang secara mekanik adalah kerja alam yang berada pada unsur-unsur itu.
Implementasi dari unsu-unsur itu, selanjutnya kemudian diwujudkan oleh negara dalam bentuk
peraturan per undang-undangan. Tata aturan ini sebagai isntrumen atau alat dari negara yang
digunakan untuk mendistribusikan kekayaan Tuhan pada rakyatnya yang bertujuan untuk
mencapai kehidupan dari lebih buruk menjadi lebih baik. Mekanisme hukum tidak lain adalah
untuk membentuk hubungan sosial kemitraan dan kerjasama, hal ini telah ada dalam bentuk
tata aturan kerajaan, dan bukan persoalan rumit dalam kehidupan negara silam. Hubungan
sosial dalam bentuk transaski transaksi dagang , terbentang luas pada era kerajaan kerajaan
masa silam. Kontrak dagang sebagian besar dimulai dengan pola kedekatan penguasa dan
bangsawan. Tujuan utamanya adalah dalam rangka menghindari ke miskinan kurang pangan,
sandang, dan papan. Namun selalu saja ada kontrak dagang yang mendominasi, misalnya
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
51
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
tentang monopoli rempah-rempah. Regulasi nya ditentukan oleh investor asing yaitu VOC atau
Para pedagang dari Portugis dan Tiongkok.
4. Kesimpulan
a. Masa lalu perdagangan rempah-rempah menjadi sumber pendapatan kerajaan-kerajaan di
pulau jawa, tidak lepas dari kepentingan raja karena disamping regulasi pengendalian
harga dan penanaman di atur oleh pihak asing, disisi lain sarana-sarana perdagangan
seperti infrasturktur jalan untuk mengangkat hasil panenan, dikuasai langsung oleh
investor, sehingga praktis komoditi ini, sebagai tiang penyanggah dominasi non pribumi
dalam aspek kehidupan perekonomian negara, ia menguasai area lahan perkebunan yang
begitu luas, contohnya daerah parahyangan meliputi Batavia, pengusaha-pengusaha inilah
yang menetukan sumber daya manusianya dan sekaligus sumber daya pertahanan
(militer).
b. Salah satu faktor adalah para raja /penguasa mungkin tidak pernah menyadari bahwa
dengan tindakan koalisi itu melahirkan konsep mengembang biakan (proliferasi) terhadap
institusi negara dan instrument hukum berkenaan dengan masalah-masalah suksesi,
masalah kerjasama dengan negara tetangga, penggarapan lahan (Investasi perkebunan),
dan karenanya mungkin belum peka terhadap kemungkinan itu, sehingga ketika masalah
itu betul-betul tiba kepala negara (raja) gagal memahaminya. Kemudian ,setelah mereka
memahaminya mereka mungkin gagal menjalankan pemecahannya, bisa juga mereka
menggunakan kekuasaanya dengan operasi militer dan berkualisi dengan investor untuk
memulihkan ketertiban, namun justru upayanya menuai proliferasi kekuasaan. wilayah
kekuasaan kerajaan semakin menyempit dan terpecah-pecah,sedangkan investor semakin
luas.
c. Disisi lain proliferasi terjadi karena mengembang biakan penyedia (pengendali) kebutuhan
hidup bagi masyarakat, yang semula dikenadlikan oleh kalangan istana raja, tapi dengan
kebijakan proliferasi pola kedekatan pengusaha-penguasa menjadi sangat dominan,
dengan demikian kelangkaan dan ketersediaan yang dibutuhkan untuk bisa bertahan dan
menjalani kehidupan bernegara dikendalikan oleh pemilik modal, karena pemilik modal
ini diberi konsesi terhadap lahan-lahan perkebunan yang wilayahnya seluas propinsi
negara sekarang bukan hanya sekedar itu saja ia juga diberikan kebebasan menggunakan
sumber daya pertahanan yang direkutnya sendiri .Diskriminasi, dan kediktatatoran ditanah
kerajaan bagi rakyatnya melaju dengan terpksa menjalani kehidupan diatas api dan
belerang.
5. Daftar Pustaka
Anwari, I. R. M. (2015). Sistem perekonomian kerajaan majapahit. In Jurnal Kesejarahan.
academia.edu.
https://www.academia.edu/download/48627889/2_verleden_juni_2015_Ikhsan.pdf
Aji Krisna Bayu .dkk.2011, Ensklopedi Raja-Raja Jawa Dari Kalingga Hingga Kasultanan
Yogyakarta, araska .
Ensklopedia Nasional Indonesia jilid 12 , PT Delta Pamungkas ,1997
Fazrin, F. Z. (n.d.). Bonus Demografi Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Pulau Jawa. In Feb Uin
Jakarta.
IJLJ: Indonesian Journal of Law and Justice
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 42-52
E-ISSN: 3063-4350
52
Agus Pandoman (Negara-negara Gagal di Pulau...)
Haryono, T. (1997). Kerajaan Majapahit: Masa Sri Rajasanagara sampai Girindrawarddhana.
Humaniora. https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/download/1902/1707
Muljana, S. (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di
Nusantara. books.google.com.
https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=LHFaDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1
&dq=negara+negara+gagal+di+pulau+jawa&ots=gKVArxZr7B&sig=4dABXbLZckOa
bFv235L5UEURovw
Setiawan, Z. (2022). Sejarah Sosial Politik Kerajaan Majapahit. Jurnal Lanskap Politik.
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/JLP/article/view/8124/0
Wahyudi, D. Y. (2015). Kerajaan Majapahit: dinamika dalam sejarah Nusantara. In Jurnal
Sejarah dan Budaya. download.garuda.kemdikbud.go.id.
http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=357886&val=7688&title=
Kerajaan Majapahit Dinamika Dalam Sejarah Nusantara