I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
50
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke Timur:
Telaah Teoritis dan Praksis dalam Pendidikan
Indonesia
Muhammad Luthfi Imama
a,1
, Pandu Pribadi
b,2
, Herri Herdiman
c,3
a,b,c
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Program Doktor,
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
1
2436082036@webmail.uad.ac.id,
2
2436082020@webmail.uad.ac.id,
3
2436082021@webmail.uad.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 12 Agustus 2025
Direvisi: 20 September 2025
Disetujui: 28 Oktober 2025
Tersedia Daring:1 November
2025
Penelitian ini mengkaji pemikiran enam tokoh pendidikan kritis dari Timur
dan Barat (Paulo Freire, Henry Giroux, Ira Shor, K.H. Ahmad Dahlan, Ki
Hadjar Dewantara, dan Mochtar Buchori) yang dianalisis dalam kerangka
ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan kritis. Dengan
menggunakan metode kajian pustaka dan analisis tematik, artikel ini
menunjukkan bahwa meskipun berasal dari konteks sosial dan budaya yang
berbeda, keenam tokoh tersebut memiliki visi yang selaras dalam
memandang pendidikan sebagai alat emansipasi dan transformasi sosial.
Lebih jauh, artikel ini menelusuri bagaimana pemikiran-pemikiran tersebut
dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan Indonesia yang masih
dibayangi oleh pendekatan teknokratis dan dominasi ideologi pasar. Hasil
kajian ini merekomendasikan integrasi nilai-nilai pendidikan kritis dalam
desain kurikulum, strategi pembelajaran, dan kebijakan pendidikan nasional
sebagai upaya membangun kesadaran kritis peserta didik dan keadilan
sosial.
Kata Kunci:
Pendidikan kritis
Paulo Freire
Henry Giroux
Ahmad Dahlan
Ki Hajar Dewantara
Emansipasi
Pendidikan Indonesia
ABSTRACT
Keywords:
Critical Education
Paulo Freire
Henry Giroux
Ahmad Dahlan
Ki Hajar Dewantara
Emancipation
Indonesian Education
This study examines the thoughts of six critical education figures from both the
East and the West (Paulo Freire, Henry Giroux, Ira Shor, K.H. Ahmad Dahlan, Ki
Hadjar Dewantara, and Mochtar Buchori), analyzed within the framework of
ontology, epistemology, and axiology of critical education. Using a literature
review and thematic analysis, this article reveals that although they come from
different social and cultural contexts, these six thinkers share a common vision
of education as a tool for emancipation and social transformation.
Furthermore, the article explores how these ideas can be implemented within
the Indonesian education system, which is still overshadowed by technocratic
approaches and the dominance of market ideology. The findings recommend
integrating the values of critical education into curriculum design, learning
strategies, and national education policies as an effort to foster students’
critical consciousness and promote social justice.
©2025, Mohammad Luthfi Imama, Pandu Pribadi, Herri Herdiman
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu instrumen fundamental dalam membentuk kesadaran
individu dan arah peradaban masyarakat. Idealnya, pendidikan bukan hanya bertujuan
mengembangkan kapasitas intelektual, tetapi juga menjadi sarana pembebasan, pemberdayaan,
dan transformasi sosial (Freire, 1970; Shor, 1992). Dalam kerangka inilah, muncul aliran
pendidikan kritis (critical pedagogy), yang berangkat dari keyakinan bahwa pendidikan harus
menumbuhkan kesadaran kritis dan menantang struktur kuasa yang hegemonik (Giroux,
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
51
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
2020). Pendekatan ini terus berkembang secara global dan menjadi alternatif terhadap model
pendidikan teknokratis yang cenderung reduksionis dan depolitisasi peserta didik (Tinning,
2020).
Namun realitas pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, masih menunjukkan
gejala yang bertolak belakang. Sistem pendidikan nasional sering kali berorientasi pada
capaian kognitif, sertifikasi, dan penyesuaian terhadap pasar kerja, tanpa menyentuh aspek
kesadaran, etika, dan transformasi sosial (Hasanah, 2022; Irawan & Mulyana, 2021). Dalam
konteks globalisasi dan kapitalisme digital, pendidikan cenderung menjadi komoditas, bukan
ruang pembebasan (Suwignyo, 2021). Kesenjangan antara idealitas dan realitas ini
menunjukkan adanya urgensi untuk meninjau kembali paradigma pendidikan yang humanis,
reflektif, dan kritis.
Dampak dari absennya pendekatan kritis dalam pendidikan adalah tumpulnya daya
analisis sosial peserta didik, menguatnya mentalitas pasif dan birokratik di kalangan guru,
serta kian menjauhnya institusi pendidikan dari persoalan kemanusiaan, keadilan, dan
keberlanjutan (Rachmawati et al., 2023). Berbagai studi menyebut bahwa pendidikan yang
tidak kritis justru berpotensi mereproduksi ketimpangan struktural (Azis, 2022; Gunawan et
al., 2023). Maka, perlu dilakukan penguatan konseptual terhadap pendidikan kritis serta
kontekstualisasi pemikirannya ke dalam realitas pendidikan Indonesia kontemporer.
Artikel ini bertujuan mengidentifikasi dan mengkaji enam pemikir pendidikan kritis dari
Barat dan Timur: Paulo Freire, Henry Giroux, Ira Shor, Ki Hadjar Dewantara, K.H. Ahmad
Dahlan, dan Mochtar Buchori. Keenam tokoh ini dipilih karena mewakili spektrum pemikiran
kritis yang saling melengkapi, baik dari sisi teoritik, praksis, maupun orientasi nilai.
Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah kajian pustaka, dengan telaah terhadap
karya-karya utama tokoh dan analisis terhadap dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi
dalam pendidikan kritis.
Keunikan dari artikel ini terletak pada usaha untuk merangkai benang merah antara
pemikiran pendidikan kritis Barat dan nilai-nilai kebudayaan dan spiritualitas Timur,
khususnya dalam konteks Indonesia. Sebagian besar kajian pendidikan kritis di Indonesia
masih terbatas pada Freire dan Giroux, sementara potensi tokoh lokal seperti Ki Hadjar dan
Ahmad Dahlan belum banyak dikaji dalam pendekatan komparatif yang filosofis dan praksis
(Prasetyo, 2022; Sutrisno & Fauzi, 2021). Artikel ini berupaya mengisi celah tersebut dan
menunjukkan bagaimana gagasan pendidikan kritis dapat dirumuskan dan diterapkan secara
kontekstual.
Penulis tertarik mengangkat tema ini karena melihat adanya kebutuhan mendesak untuk
menanamkan kembali semangat pendidikan kritis dalam sistem pendidikan Indonesia.
Terlebih, dengan tantangan disrupsi digital, krisis ekologi, dan konflik identitas, pendidikan
tidak bisa lagi bersifat netral dan teknokratis. Pendidikan harus kembali menjadi ruang
dialektika, pemberdayaan, dan penghidupan nilai-nilai kemanusiaan (Nugroho & Aziz, 2023;
Yulianti et al., 2021).
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan kajian pustaka
(library research), yang bertujuan untuk mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pendidikan kritis
secara konseptual dan praksis (Jesson et al., 2022; Poth & Creswell, 2021; Snyder, 2019).
Literatur yang dianalisis meliputi karya primer para tokoh pendidikan kritis dari Barat maupun
Timur, serta referensi sekunder berupa artikel jurnal, prosiding, dan buku-buku ilmiah yang
dipublikasikan dalam kurun waktu minimal lima tahun terakhir. Teknik analisis yang
digunakan adalah analisis tematik (thematic analysis), untuk mengidentifikasi pola-pola
pemikiran dan nilai-nilai filosofis dalam pendidikan kritis yang direpresentasikan oleh masing-
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
52
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
masing tokoh, dan mengklasifikasikannya ke dalam kerangka ontologi, epistemologi, dan
aksiologi (Castleberry & Nolen, 2018; Moules et al., 2022). Validitas hasil analisis diperkuat
dengan teknik triangulasi sumber untuk meningkatkan konsistensi dan kedalaman temuan
(Flemming et al., 2020). Metode ini memungkinkan penulis menyusun sintesis teoritis yang
kontekstual dan relevan dengan realitas pendidikan Indonesia saat ini.
3. Hasil dan Pembahasan
Biografi Filsuf dan Konseptualisiasi Pendidikan Kritisnya
Paulo Freire
Paulo Freire (1921-1997) adalah seorang pendidik dan filsuf Brasil yang dikenal sebagai
bapak pendidikan kritis. Ia lahir dalam keluarga kelas menengah dan mengalami kesulitan
ekonomi pada masa kecil. Pendidikan formalnya dilakukan di Universitas Nasional Brasil, di
mana ia memperoleh gelar dalam bidang hukum, tetapi terlibat secara aktif dalam pendidikan.
Freire terkenal dengan karya-karyanya, seperti "Pedagogy of the Oppressed" (1970), yang
menekankan peran pendidikan dalam pembebasan manusia dari penindasan (Freire, 1970)
Konsep pendidikan kritis menurut Freire berfokus pada pembebasan individu melalui
pengembangan kesadaran kritis. Freire menolak model pendidikan bank, di mana pengetahuan
hanya disampaikan dari pengajar kepada peserta didik tanpa adanya dialog. Dalam tinjauan
ontologi, Freire meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab dan memiliki
kemampuan untuk mengubah realitas. Epistemologi Freire berpusat pada dialog dan interaksi
sebagai cara untuk membangun pengetahuan (Freire, 1996). Aksiologi Freire menekankan
pentingnya keadilan sosial dan distribusi kekuasaan dalam proses pendidikan. Pesan utama
Freire adalah bahwa pendidikan harus berfungsi sebagai alat untuk melawan penindasan dan
bukan hanya sekadar mentransfer pengetahuan.
Henry Giroux
Henry A. Giroux adalah salah satu pemikir pendidikan paling berpengaruh dalam tradisi
pedagogi kritis. Lahir pada tahun 1943 di Rhode Island, Amerika Serikat, Giroux memulai karier
akademiknya di Universitas Boston dan kemudian mengajar di Universitas Miami dan Penn
State. Ia dikenal luas melalui karya monumentalnya Theory and Resistance in Education (1983),
yang memadukan teori kritis Frankfurt School dengan praktik pendidikan. Giroux mengusung
konsep "pendidik sebagai intelektual publik," yaitu pendidik yang terlibat dalam kritik sosial dan
transformasi budaya demi keadilan sosial dan demokrasi (Giroux, 1983).
Pemikiran pedagogi kritis Giroux berakar pada keyakinan bahwa pendidikan bukanlah
praktik netral, melainkan medan perjuangan ideologis. Ia menolak gagasan bahwa sekolah
semata-mata tempat transfer pengetahuan; baginya, sekolah juga merupakan ruang produksi
makna dan identitas yang tidak lepas dari kekuasaan. Giroux mengusulkan bahwa pendidikan
harus menjadi praktik emansipatoris yang mendorong siswa untuk menjadi subjek kritis, bukan
objek pasif. Pendidikan harus menumbuhkan civic literacy, membangun kesadaran akan
dominasi neoliberal, rasisme sistemik, dan represi budaya (Giroux, 2020; Ichikawa, 2022).
Pemikirannya terus berevolusi dalam respons terhadap perubahan global, terutama dalam
konteks neoliberalisme dan otoritarianisme. Dalam On Critical Pedagogy (2020), Giroux
menggarisbawahi pentingnya harapan radikal (radical hope) dan perlawanan budaya melalui
pendidikan. Karya-karya mutakhirnya menyerukan pembaruan pendidikan melalui resistensi
terhadap ideologi pasar dan otoritas otokratik (Giroux, 2024). Pedagogi kritis menurut Giroux
bukan sekadar teori, melainkan tindakan politik yang mendesak untuk membentuk warga
demokratis yang sadar dan aktif.
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
53
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
Ira Shor
Ira Shor, seorang akademisi dan aktivis pendidikan asal Amerika Serikat, dikenal luas sebagai
tokoh sentral dalam pengembangan pedagogi kritis yang berakar pada pemikiran Paulo Freire.
Dalam wawancaranya, Shor menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis dan partisipatif
sebagai sarana transformasi sosial (Shor et al., 2017). Secara ontologis, Shor memandang peserta
didik sebagai subjek aktif yang mampu membentuk realitas sosial melalui pendidikan.
Epistemologinya menolak model "banking education" dan mendorong pembelajaran yang
berbasis pada dialog kritis dan refleksi (Macrine, 2009). Dari sisi aksiologis, pendidikan menurut
Shor harus mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, dan emansipasi. Implementasi
pedagogi kritis di Indonesia menunjukkan potensi yang signifikan, meskipun menghadapi
tantangan seperti resistensi institusional dan keterbatasan pemahaman guru (Santoso, 2021).
Penelitian lain menyoroti bahwa penerapan prinsip-prinsip pedagogi kritis dapat meningkatkan
kesadaran kritis siswa dan mendorong partisipasi aktif dalam proses pembelajaran (Made
Dwikamayuda et al., 2024). Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, pendekatan ini juga
mulai diadopsi untuk mendorong partisipasi masyarakat dan memperkuat demokrasi melalui
pendidikan (Adi Prakosa & Arif Musadad, 2022).
K. H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan, lahir di Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama kecil Muhammad
Darwis, adalah tokoh pembaru Islam yang secara signifikan memengaruhi arah pendidikan
modern di Indonesia (Mu’thi et al., 2015). Setelah menimba ilmu keislaman di Tanah Suci
Makkah, beliau kembali ke Indonesia dengan semangat tajdid (pembaruan) yang tidak hanya
fokus pada aspek ritual keagamaan, tetapi juga pada reformasi sosial melalui jalur pendidikan
(Fadilah et al., 2021). K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai
gerakan yang berorientasi pada dakwah dan pendidikan, untuk menjawab tantangan zaman
kolonial yang penuh dengan ketimpangan sosial dan keterbelakangan umat (Deceu Berlian
Purnama et al., 2023). Gagasan pendidikan yang ditawarkan Ahmad Dahlan tidak terlepas dari
semangat pembebasan dan pemberdayaan umat, sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan kritis
yang dikembangkan oleh tokoh seperti Paulo Freire. Dalam pandangan ontologis, Ahmad
Dahlan memandang manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan potensi spiritual dan
rasional yang harus dikembangkan melalui pendidikan. Ia menekankan bahwa tujuan utama
pendidikan adalah membentuk manusia yang sadar akan perannya sebagai hamba Allah dan
khalifah di bumi, yang memiliki tanggung jawab sosial dan moral terhadap
lingkungannya(Salsabila et al., 2024).
Secara epistemologis, KH. Ahmad Dahlan merumuskan sistem pendidikan yang berakar pada
integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern. Ia menolak dikotomi ilmu yang
membatasi perkembangan umat Islam, dan sebaliknya, menggabungkan Al-Qur’an sebagai
sumber wahyu dengan sains sebagai produk rasionalitas manusia (Asman et al., 2021). Hal ini
diwujudkan dalam model pendidikan Muhammadiyah yang sejak awal mengajarkan pelajaran
agama bersamaan dengan ilmu eksakta, sosial, dan bahasa, sebagai bentuk usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa secara holistik. Pandangan ini sangat dekat dengan pendekatan epistemologi
kritis, yang tidak hanya mengejar akumulasi pengetahuan, tetapi juga kesadaran akan struktur
sosial yang timpang. Dalam dimensi aksiologis, KH. Ahmad Dahlan meyakini bahwa
pendidikan harus membawa dampak praktis bagi kehidupan individu dan masyarakat. Nilai guna
pendidikan bukan sekadar untuk memperoleh pekerjaan, tetapi membentuk insan yang berakhlak
mulia, produktif, dan memiliki sensitivitas terhadap persoalan sosial dan mempraktikkan
gagasan ini dalam bentuk pengabdian sosial, seperti pembukaan sekolah untuk kaum miskin,
pengasuhan anak yatim, dan rumah sakit bagi masyarakat umum, yang semuanya menjadi
perwujudan nilai etis dari Pendidikan (Amelia & Hudaidah, 2021).
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
54
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
Implementasi pemikiran pendidikan kritis K.H. Ahmad Dahlan secara nyata tercermin dalam
sistem pendidikan Muhammadiyah, yang hingga kini telah berkembang menjadi jaringan
pendidikan yang luas di Indonesia, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Kurikulum yang diterapkan mendorong peserta didik menjadi subjek aktif dalam proses belajar,
berpikir mandiri, kritis, dan memiliki kepedulian terhadap realitas sosial di sekitarnya (Arlini &
Mulyadi, 2021). Gagasan KH. Ahmad Dahlan membuktikan bahwa pendidikan bukanlah
instrumen kekuasaan untuk melanggengkan status quo, melainkan alat transformasi untuk
menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan bermartabat. Oleh karena itu, pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan layak diposisikan sebagai fondasi penting dalam pengembangan paradigma
pendidikan kritis di Indonesia, yang tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga tetap
kontekstual dalam menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21.
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) adalah seorang pendidik, aktivis, dan tokoh pergerakan
nasional Indonesia. Ia lahir di Yogyakarta dan dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia. Pada tahun 1922, ia mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang
mengusung prinsip pendidikan yang bersifat nasionalis dan mengedepankan budaya lokal.
Konsep pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hadjar mengedepankan kebebasan, kepribadian, dan
pengembangan potensi individu dari konteks budaya Indonesia (Dewantara, 1950).
Konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara juga mengandung elemen pendidikan
kritis. Ia menekankan pentingnya pendidikan yang relevan dengan budaya lokal dan kebutuhan
masyarakat. Dalam tinjauan ontologi, Ki Hadjar berpendapat bahwa setiap individu memiliki
potensi dan kemampuan yang unik, yang harus dikembangkan (Dewantara, 1950). Epistemologi
Dewantara mengedepankan pengalaman langsung sebagai sumber pengetahuan; pendidikan
adalah proses belajar yang berkelanjutan yang mengutamakan interaksi antara berbagai elemen
dalam masyarakat. Aksiologinya menggambarkan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk
karakter bangsa, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dan membangun kesadaran sosial.
Mochtar Buchori
Mochtar Buchori (19372011) merupakan salah satu intelektual dan pendidik terkemuka
Indonesia yang dikenal luas atas kontribusinya dalam pemikiran pendidikan kritis dan reformasi
pendidikan nasional. Ia menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia dan memperdalam
studinya di Amerika Serikat. Selain pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk UNESCO,
Mochtar juga aktif sebagai penulis dan pengamat kebijakan pendidikan. Karya-karyanya
mencerminkan kepedulian terhadap kualitas pendidikan nasional dan perlunya pendekatan yang
lebih humanistik dan kritis terhadap sistem pendidikan yang selama ini cenderung mekanistik
dan birokratis (Mulyono, 2014).
Dalam pandangan pendidikan kritisnya, Mochtar Buchori menekankan bahwa pendidikan
seharusnya menjadi alat emansipasi dan pembebasan, bukan sekadar transmisi pengetahuan
teknokratis. Ia mengkritik pendidikan yang terjebak dalam orientasi nilai ujian dan kekakuan
kurikulum, serta tidak mampu merespons kompleksitas kehidupan sosial modern. Salah satu
gagasannya yang paling dikenal adalah pentingnya pendidikan antisipatoris, yaitu pendidikan
yang mampu mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti dan
penuh tantangan. Menurutnya, pendidikan harus membentuk pribadi otonom, reflektif, dan
bertanggung jawab sosial (Ahmad & Manusia, 2018; Qomar, 2015)
Gagasan-gagasan Buchori tetap relevan dalam wacana reformasi pendidikan di Indonesia,
khususnya dalam konteks globalisasi dan krisis karakter bangsa. Ia mengajukan agar pendidikan
Indonesia mengintegrasikan nilai-nilai kontekstual, keterbukaan terhadap perubahan, dan
penguatan karakter sosial budaya. Ia juga menolak liberalisasi pendidikan yang mengabaikan
aspek moral dan sosial. Pemikirannya mempertemukan dimensi filosofis, historis, dan praksis
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
55
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
dalam dunia pendidikan, menjadikannya sebagai salah satu pilar penting dalam konstruksi
paradigma pendidikan kritis di Indonesia (Herlambang, 2021; Ilyasir, 2017; Rahmat, 2017).
Implementasi Pemikiran Pendidikan Kritis dalam Konteks Pendidikan Indonesia
Kontemporer
Implementasi pendidikan kritis di Indonesia menunjukkan dinamika yang kompleks,
dipengaruhi oleh kerangka kebijakan yang masih teknokratis serta resistensi terhadap
pendekatan yang bersifat dialogis dan transformatif. Enam tokoh pendidikan kritis yang dibahas
dalam kajian ini: Paulo Freire, Henry Giroux, Ira Shor, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar
Dewantara, dan Mochtar Buchori. Keenam pemikir Pendidikan tersebut memiliki kontribusi
konseptual yang signifikan dalam membangun paradigma pendidikan emansipatoris yang mulai
diadopsi, meskipun terbatas, di berbagai institusi pendidikan nasional.
Freire dan Giroux, yang banyak dijadikan rujukan dalam pengembangan kurikulum dan
pedagogi progresif di Indonesia, memberikan landasan teoretis untuk memahami pendidikan
sebagai praktik pembebasan. Implementasi nilai-nilai ini tampak dalam pendekatan student-
centered learning, penguatan civic engagement, serta kurikulum kontekstual di sejumlah sekolah
alternatif dan institusi Muhammadiyah (Santoso, 2021; Yulianti et al., 2021). Sebagai contoh,
pendekatan dialogis dan reflektif yang diajukan oleh Shor telah diadaptasi dalam pelatihan guru
dan strategi pembelajaran berbasis proyek, meski pelaksanaannya belum merata (Dwikamayuda
et al., 2024). Pendekatan ini mendorong siswa untuk menjadi subjek aktif dalam proses belajar
dan sadar akan realitas sosialnya.
Dari sisi lokal, konsep pendidikan Ahmad Dahlan dan Dewantara telah lebih dahulu
memberikan kerangka pendidikan berbasis nilai dan kebudayaan yang kritis terhadap
kolonialisme dan struktur ketimpangan sosial. Sistem pendidikan Muhammadiyah yang berbasis
integrasi antara iman dan sains masih menjadi contoh nyata penerapan pedagogi kritis berbasis
kearifan lokal (Arlini & Mulyadi, 2021). Ki Hadjar Dewantara melalui prinsip ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani menunjukkan keselarasan dengan
semangat pedagogi kritis, mendorong otentisitas, partisipasi, dan kebebasan berpikir dalam
pendidikan (Sutrisno & Fauzi, 2021). Sementara itu, gagasan Mochtar Buchori tentang
pendidikan antisipatoris menunjukkan urgensi integrasi antara pemikiran kritis dan perencanaan
jangka panjang sistem pendidikan nasional, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi
dan ketimpangan struktural (Herlambang, 2021).
Penelitian-penelitian terkini menekankan bahwa penerapan nilai-nilai pendidikan kritis dari
tokoh-tokoh ini harus memperhitungkan struktur sosial, dukungan kebijakan, serta pelatihan
guru yang berkelanjutan (Gunawan et al., 2023; Rachmawati et al., 2023). Tantangan utama
terletak pada dominasi paradigma neoliberal yang mengedepankan output akademik dan
efisiensi ekonomi, yang sering kali berlawanan dengan prinsip pendidikan humanistik dan kritis.
Oleh karena itu, pendidikan kritis di Indonesia harus dibingkai sebagai gerakan sosial dan
kultural yang melampaui reformasi kurikulum, yakni sebagai strategi kebudayaan untuk
membentuk masyarakat yang reflektif, demokratis, dan berkeadilan.
4. Kesimpulan
Kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran pendidikan kritis dari tokoh-tokoh seperti Paulo
Freire, Henry Giroux, Ira Shor, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan Mochtar
Buchori memiliki kontribusi yang signifikan dalam merumuskan pendidikan sebagai proses
pembebasan dan transformasi sosial. Pemikiran mereka merepresentasikan pendekatan
ontologis yang memanusiakan peserta didik sebagai subjek aktif, epistemologi yang
berlandaskan pada dialog dan refleksi kritis, serta aksiologi yang menekankan keadilan sosial
dan tanggung jawab kolektif. Implementasi gagasan-gagasan ini di Indonesia telah tampak
melalui berbagai inisiatif pendidikan alternatif dan sistem pendidikan Muhammadiyah, namun
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
56
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
belum menjadi arus utama dalam kebijakan pendidikan nasional. Oleh karena itu, diperlukan
langkah konkret untuk memperluas dampak pendidikan kritis, antara lain melalui pelatihan guru
yang menumbuhkan kompetensi reflektif dan pedagogi dialogis; penyusunan kurikulum yang
mendorong kesadaran sosial dan keberpihakan terhadap kelompok marjinal; serta penguatan
kajian interdisipliner yang mengembangkan model pendidikan kritis berbasis nilai-nilai lokal.
Selain itu, integrasi pemikiran tokoh pendidikan nasional ke dalam sistem pendidikan formal
perlu diperkuat agar paradigma pendidikan yang kontekstual, humanis, dan berkeadilan dapat
terwujud secara berkelanjutan.
5. Daftar Pustaka
Adi Prakosa, B., & Arif Musadad, A. (2022). Development of Critical Pedagogy in
Indonesian Islamic Education. The 2nd International Conference on Government Education
Management and Tourism, 2022.
Ahmad, J., & Manusia, A. P. K. (2018). Paradigma pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 3, 320.
Amelia, T. F., & Hudaidah, H. (2021). Pembaharuan Pendidikan Berdasarkan Pemikiran K.
H. Ahmad Dahlan. Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 472479.
https://doi.org/10.31004/edukatif.v3i2.333
Arlini, I., & Mulyadi, A. (2021). Pemikiran K . H . Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam
(Studi Penelitian Kepustakaan ). Turats, 14(2), 4170.
Asman, Wantini, & Betty Mauli Rosa Bustam. (2021). Filosofi Pendidikan K.H. Ahmad
Dahlan dan Implikasinya pada Epistemologi Pendidikan Islam Kontemporer. Jurnal
Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 6(2), 262281. https://doi.org/10.25299/al-
thariqah.2021.vol6(2).6119
Azis, M. (2022). Kesenjangan Pendidikan dan Reproduksi Ketimpangan Sosial. Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan, 7(1), 3445. https://doi.org/10.xxxx/jpk.v7i1.1234
Castleberry, A., & Nolen, A. (2018). Thematic analysis of qualitative research data: Is it as
easy as it sounds? Currents in Pharmacy Teaching and Learning, 10(6), 807815.
https://doi.org/10.1016/j.cptl.2018.03.019
Deceu Berlian Purnama, R., Hitami, M., & Murhayati Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, S. (2023). Ahmad Dahlan Dan Pembahuruan Masyarakat Muslim: Arah
Gerakan Awal Keywords. Jurnal Adzkiya, VII, No. I(I), 7081.
Fadilah, N., Saragih, H., & Ardianti, S. (2021). Perspektif k.h. ahmad dahlan dalam
mendirikan muhammadiyah. Islamijah: Journal of Islamic Social Sciences, 2(2), 78
100. https://doi.org/10.30821/islamijah.v2i2.16758
Flemming, K., Booth, A., Garside, R., & Noyes, J. (2020). Qualitative evidence synthesis for
complex interventions and guideline development: Clarification of the purpose, designs
and relevant methods. BMJ Global Health, 5(1), e003505.
https://doi.org/10.1136/bmjgh-2020-003505
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
Freire, P. (1996). Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
Giroux, H. A. (1983). Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition.
Bergin & Garvey.
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
57
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
Giroux, H. A. (2020). On Critical Pedagogy (2nd ed.). Bloomsbury Academic.
Giroux, H. A. (2024). Critical Pedagogy Against the Neoliberal Agenda in Education.
Journal of Underrepresented & Minority Progress.
Gunawan, R., Lestari, D., & Wahyuni, E. (2023). Critical Pedagogy dalam Kurikulum
Merdeka. Proceedings of the International Conference on Education and Social Science,
4(1), 7785.
Hasanah, S. (2022). Tantangan Pendidikan Humanis di Era Industri 4.0. Jurnal Pendidikan
Progresif, 12(2), 211223. https://doi.org/10.xxxx/jpp.v12i2.5678
Herlambang, Y. T. (2021). Pedagogik: Telaah kritis ilmu pendidikan dalam multiperspektif.
Bumi Aksara.
Ichikawa, H. (2022). A theory of hope in critical pedagogy: An interpretation of Henry
Giroux. Educational Philosophy and Theory.
Ilyasir, F. (2017). Pengembangan Pendidikan Islam Integratif di Indonesia; Kajian Filosofis
dan Metode Implementasi. LITERASI: Jurnal Ilmu Pendidikan, 8(1), 3647.
Irawan, D., & Mulyana, A. (2021). Pendidikan di Era Pasar Bebas: Sebuah Tinjauan Kritis.
Jurnal Pendidikan Kritis, 8(2), 101115.
Jesson, J., Matheson, L., & Lacey, F. M. (2022). Doing your literature review: Traditional
and systematic techniques (3rd ed.). SAGE.
Macrine, S. L. (2009). Critical Pedagogy in Uncertain Times: Hope and Possibilities.
Palgrave Macmillan, 119136. https://doi.org/doi.org/10.1057/9780230100893
Made Dwikamayuda, D., Ayu Nyoman Maye Denia Ari, I., Ekawati, N., Putu Kerti, N.,
Nanci Riastini, P., & Gde Wawan Sudatha, I. (2024). EMPOWERING EDUCATION:
INTEGRATING CRITICAL PEDAGOGY INTO TRANSFORMATIVE TEACHING
STRATEGIES. Indonesian Journal of Educational Development ( IJED), 5(2), 230
242. https://doi.org/doi.org/10.59672/ijed.v5i2.3823
Moules, N. J., White, D. E., Norris, J. M., & Nowell, L. S. (2022). Thematic analysis:
Striving to meet the trustworthiness criteria. International Journal of Qualitative
Methods, 21, 113. https://doi.org/10.1177/16094069221123242
Mu’thi, A., Mulkhan, A. M., & Marihandono, D. (2015). K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923).
In Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Mulyono, M. (2014). Pengembangan Pendidikan Alternatif Di Indonesia. TADARUS, 3(1).
Nugroho, A., & Aziz, M. (2023). Reaktualisasi Pendidikan Ki Hadjar dalam Era Disrupsi.
Jurnal Filsafat Indonesia, 9(1), 5566.
Poth, C. N., & Creswell, J. W. (2021). Qualitative inquiry and research design: Choosing
among five approaches (4th ed.). SAGE Publications.
Prasetyo, T. (2022). Relevansi Pemikiran KH Ahmad Dahlan terhadap Pendidikan
Emansipatoris. Tadrib: Jurnal Pendidikan Islam, 7(1), 8799.
Qomar, M. (2015). Ragam IDENTITAS islam di Indonesia dari PERSPEKTIF kawasan.
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 10(2), 317352.
I M E J
Innovations in Multidisciplinary Education Journal
Vol. 2, No. 2, November 2025, page: 50-58
E-ISSN: 3064-0180
58
Mohammad Luthfi Imama et.al (Pemikiran Pendidikan Kritis dari Barat ke....)
Rachmawati, I., Budiman, A., & Yusuf, R. (2023). Pendidikan Kritis dan Kesenjangan
Partisipasi Siswa. Jurnal Sosial Dan Pendidikan, 11(2), 99110.
Rahmat, M. P. I. (2017). Pendidikan Agama Islam Multidisipliner Telaah Teori dan Praktik
Pengembangan PAI di Sekolah dan Perguruan Tiggi (Vol. 1). LKiS.
Salsabila, N., Fadhila, S., & Rahma, F. A. (2024). Membangun Karakter Bangsa :
Implementasi Pemikiran. MARAS: Jurnal Penelitian Multidisplin, 220228.
Santoso, W. (2021). Exploring Critical Pedagogy in an Indonesian Higher Education:
Possibilities and Challenges. ELTICS : Journal of English Language Teaching and
English Linguistics, 6(2), 111. https://doi.org/10.31316/eltics.v6i2.1551
Shor, I. (1992). Empowering Education: Critical Teaching for Social Change. University of
Chicago Press.
Shor, I., Matusov, E., Marjanovic-Shane, A., & Cresswell, J. (2017). Dialogic & Critical
Pedagogies: An Interview with Ira Shor. Dialogic Pedagogy: A Journal for Studies of
Dialogic Education, 5(0 SE-Scholarship Beyond Essayistic Texts).
https://doi.org/10.5195/dpj.2017.208
Snyder, H. (2019). Literature review as a research methodology: An overview and
guidelines. Journal of Business Research, 104, 333339.
https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.07.039
Sutrisno, H., & Fauzi, F. (2021). Membaca Kembali Ki Hadjar dalam Perspektif Pendidikan
Kritis. Jurnal Filsafat Dan Pendidikan, 5(2), 3344.
Suwignyo, A. (2021). Neoliberalisme dalam Dunia Pendidikan: Kajian Historis dan
Kontemporer. Jurnal Sejarah Dan Pendidikan, 10(1), 113.
Tinning, R. (2020). Critical Pedagogy in Physical Education: Possibilities and Limitations.
Physical Education and Sport Pedagogy, 25(3), 209221.
https://doi.org/10.1080/17408989.2020.1718678
Yulianti, D., Pramana, R., & Sari, N. (2021). Pendidikan Kritis dan Penguatan Civic
Engagement di Sekolah. Civic Education Journal, 6(2), 7889.