dalam dunia pendidikan, menjadikannya sebagai salah satu pilar penting dalam konstruksi
paradigma pendidikan kritis di Indonesia (Herlambang, 2021; Ilyasir, 2017; Rahmat, 2017).
Implementasi Pemikiran Pendidikan Kritis dalam Konteks Pendidikan Indonesia
Kontemporer
Implementasi pendidikan kritis di Indonesia menunjukkan dinamika yang kompleks,
dipengaruhi oleh kerangka kebijakan yang masih teknokratis serta resistensi terhadap
pendekatan yang bersifat dialogis dan transformatif. Enam tokoh pendidikan kritis yang dibahas
dalam kajian ini: Paulo Freire, Henry Giroux, Ira Shor, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar
Dewantara, dan Mochtar Buchori. Keenam pemikir Pendidikan tersebut memiliki kontribusi
konseptual yang signifikan dalam membangun paradigma pendidikan emansipatoris yang mulai
diadopsi, meskipun terbatas, di berbagai institusi pendidikan nasional.
Freire dan Giroux, yang banyak dijadikan rujukan dalam pengembangan kurikulum dan
pedagogi progresif di Indonesia, memberikan landasan teoretis untuk memahami pendidikan
sebagai praktik pembebasan. Implementasi nilai-nilai ini tampak dalam pendekatan student-
centered learning, penguatan civic engagement, serta kurikulum kontekstual di sejumlah sekolah
alternatif dan institusi Muhammadiyah (Santoso, 2021; Yulianti et al., 2021). Sebagai contoh,
pendekatan dialogis dan reflektif yang diajukan oleh Shor telah diadaptasi dalam pelatihan guru
dan strategi pembelajaran berbasis proyek, meski pelaksanaannya belum merata (Dwikamayuda
et al., 2024). Pendekatan ini mendorong siswa untuk menjadi subjek aktif dalam proses belajar
dan sadar akan realitas sosialnya.
Dari sisi lokal, konsep pendidikan Ahmad Dahlan dan Dewantara telah lebih dahulu
memberikan kerangka pendidikan berbasis nilai dan kebudayaan yang kritis terhadap
kolonialisme dan struktur ketimpangan sosial. Sistem pendidikan Muhammadiyah yang berbasis
integrasi antara iman dan sains masih menjadi contoh nyata penerapan pedagogi kritis berbasis
kearifan lokal (Arlini & Mulyadi, 2021). Ki Hadjar Dewantara melalui prinsip ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani menunjukkan keselarasan dengan
semangat pedagogi kritis, mendorong otentisitas, partisipasi, dan kebebasan berpikir dalam
pendidikan (Sutrisno & Fauzi, 2021). Sementara itu, gagasan Mochtar Buchori tentang
pendidikan antisipatoris menunjukkan urgensi integrasi antara pemikiran kritis dan perencanaan
jangka panjang sistem pendidikan nasional, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi
dan ketimpangan struktural (Herlambang, 2021).
Penelitian-penelitian terkini menekankan bahwa penerapan nilai-nilai pendidikan kritis dari
tokoh-tokoh ini harus memperhitungkan struktur sosial, dukungan kebijakan, serta pelatihan
guru yang berkelanjutan (Gunawan et al., 2023; Rachmawati et al., 2023). Tantangan utama
terletak pada dominasi paradigma neoliberal yang mengedepankan output akademik dan
efisiensi ekonomi, yang sering kali berlawanan dengan prinsip pendidikan humanistik dan kritis.
Oleh karena itu, pendidikan kritis di Indonesia harus dibingkai sebagai gerakan sosial dan
kultural yang melampaui reformasi kurikulum, yakni sebagai strategi kebudayaan untuk
membentuk masyarakat yang reflektif, demokratis, dan berkeadilan.
4. Kesimpulan
Kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran pendidikan kritis dari tokoh-tokoh seperti Paulo
Freire, Henry Giroux, Ira Shor, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan Mochtar
Buchori memiliki kontribusi yang signifikan dalam merumuskan pendidikan sebagai proses
pembebasan dan transformasi sosial. Pemikiran mereka merepresentasikan pendekatan
ontologis yang memanusiakan peserta didik sebagai subjek aktif, epistemologi yang
berlandaskan pada dialog dan refleksi kritis, serta aksiologi yang menekankan keadilan sosial
dan tanggung jawab kolektif. Implementasi gagasan-gagasan ini di Indonesia telah tampak
melalui berbagai inisiatif pendidikan alternatif dan sistem pendidikan Muhammadiyah, namun