Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 36 -
Artikel Penelitian
Naskah dikirim: 22/03/2024Selesai revisi: 18/04/2024 Disetujui: 25/05/2024 Diterbitkan: 18/07/2024
Primordialisme dalam problematika childfree (studi kasus etnografi pada
Masyarakat Kelurahan Mlajah, Kabupaten Bangkalan)
Misbahul Afrisyah¹, Bima Kurniawan²
Universitas Trunojoyo Madura, Jl. Raya Telang Indah, Kamal, Bangkalan Madura
e-mail: afrisyah1105@gmail.com
Abstrak:
Masyarakat Madura dapat dikatakan sebagai etnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan
yang ada. Seperti halnya ketika keturunan Kyai dituntut untuk menikah dengan keturunan Kyai juga.
Penelitian ini memiliki fokus pada fenomena dimana kondisi Masyarakat Madura yang disebutkan memiliki
penolakan terhadap pemikiran-pemikiran baru seperti Childfree. Pada pengamatan awal peneliti di lokasi
penelitian yaitu di Kelurahaan Mlajah, Kabupaten Bangkalan terdapat kondisi dimana lingkungan tersebut
telah bertranformasi layaknya kehidupan masyarakat metropolitan dan ditemukan fakta bahwa terdapat
masyarakat disana yang memiliki paham mengenai konsep Childfree. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Social Cognitive Theory milik Albert Bandura. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan pendekatan studi kasus etnografi. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan paradigma post-positivisme. Teknik penentuan informan pada penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling, dimana peneliti menentukan syarat dan kriteria untuk seseorang dapat menjadi
informan penelitian. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini diantaranya terdapat, observasi,
wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Teknik keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan
model interaktif milik Miles and Huberman yang diantaranya terdapat, pengambilan data, reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Kata Kunci:
Nilai-Nilai Kebudayaan, Childfree, Madura.
PRIMORDIALISM IN CHILDFREE PROBLEMS (ethnographic case study on the Community of
Mlajah Village, Bangkalan Regency)
Abstract:
The Madurese people can be said to be an ethnic group that upholds existing cultural values.
Just like when Kyai's descendants are required to marry Kyai's descendants as well. This research focuses
on the phenomenon where the condition of the Madura community mentioned has a rejection of new ideas
such as Childfree. In the initial observation of the researcher at the research location, namely in Mlajah
Village, Bangkalan Regency, there was a condition where the environment had been transformed like the
life of the metropolitan community and it was found that there were people there who had an understanding
of the concept of Childfree. The theory used in this study is Albert Bandura's Social Cognitive Theory. This
type of research is qualitative with an ethnographic case study approach. The paradigm used in this study
uses the post-positivism paradigm. The technique for determining informants in this study uses a purposive
sampling technique, where the researcher determines the conditions and criteria for a person to become a
research informant. The data collection techniques in this study include observation, interviews,
documentation and literature studies. The data validity technique in this study uses Miles and Huberman's
interactive model, which includes, data collection, data reduction, data presentation and conclusion drawn.
Keywords:
Cultural Values, Childfree, Madura.
Hak Cipta©2024 Misbahul Afrisyah, Bima Kurniawa
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 CC BY-SA International License.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 37 -
1.
Pendahuluan
Pada saat ini perkembangan teknologi dan komunikasi berubah semakin pesat serta mengakibatkan
teknologi yang ada memiliki peran penting dalam praktik komunikasi khususnya pada masyarakat industri
yang kini bertransformasi menjadi masyarakat informasi. Melalui perkembangan teknologi dan
komunikasi tersebut menciptakan internet yang mendukung adanya media baru. Media baru tersebut dapat
memberikan kapasitas lebih luas yang memungkinkan individu dalam mendapatkan informasi dengan
kendali yang lebih luas pula untuk memberikan kriteria pada informasi yang diperolehnya. Media baru
pada saat ini dapat digunakan untuk melakukan praktik komunikasi dua arah yang interaktif dalam proses
pengumpulan dan pengiriman informasi, sehingga akan menciptakan implikasi yang berbeda-beda
(McQuail, 2011). Media baru tidak hanya dapat dijadikan sebagai medium untuk memperoleh informasi,
akan tetapi media baru juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk menyampaikan suatu ide, kritik,
aspirasi maupun gagasan seseorang. Adanya media baru dapat disinyalir mampu merubah paradigma
komunikasi yang ada dalam masyarakat. Bahkan media baru dapat menghilangkan status sosial yang
kerap kali menjadi faktor penghambat komunikasi.
Media baru juga merupakan faktor utama yang menciptakan media sosial untuk dapat dilakukannya
interaksi dengan lebih mudah. Komunikasi interpersonal dan komunikasi massa dalam media sosial
berhimpun menjadi satu. Pada saat individu menyalurkan pendapatnya kemudian ditanggapi oleh individu
yang lain, maka telah terjadi komunikasi interpesonal. Pada waktu yang bersamaan, hal yang disalurkan
oleh individu dalam media sosial dapat dikonsumsi oleh khalayak yang menjadikan proses tersebut
dikatakan sebagai komunikasi massa (Watie, 2011). Pada saat ini pula media sosial telah digunakan oleh
khalayak untuk melakukan interaksi sosial. Seperti halnya di Indonesia, berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2022 dikatakan
terdapat 89,15% pengguna media sosial dari jumlah penduduk Indonesia (APJII, 2022). Media sosial
dapat menjadi medium untuk individu berekspresi, hingga pada saat ini individu mampu menentukan
pilihan untuk berekspresi karena pengaruh informasi dari media sosial. Kebebasan berekspresi atau
berpendapat juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayau 3 yang mengacu pada suatu
hak untuk berbicara ataupun mengeluarkan pendapat secara bebas tanpa adanya pembatas, kecuali hal
tersebut melibatkan keburukan. Kebabasan tersebut juga merupakan bagian dari konsep Hak Asasi
Manusia (HAM). Manusia memiliki hak untuk menyatakan dan mempertimbangkan segala sesuatu, selain
itu manusia juga berkehendak dan memilih. Oleh sebab itu, manusia memiliki kapasitas untuk
menghendaki hal-hal yang disukai ataupun tidak.
Kebebasan untuk memilih tersebut juga meliputi pilihan hidup seorang individu, hal tersebut dapat
terjadi karena faktor informasi yang diterima oleh individu tersebut di media sosial. Terlebih lagi pada
perempuan yang saat ini telah menganut konsep emansipasi, yang artinya perempuan membebaskan diri
dari belenggu stigma masyarakat seperti konsep perempuan hanya sebagai Ibu Rumah Tangga sehingga
kebebasan yang dimiliki perempuan saat ini dinilai sama dengan laki-laki. Perempuan dapat menentukan
minat pendidikannya sendiri, memilih pekerjaan yang akan dilakukannya, memilih jalan hidup, memilih
dengan siapa ia memiliki hubungan pernikahan hingga menentukan untuk mempunyai anak berapa setelah
menikah, bahkan perempuan dapat memilih setelah menikah untuk tidak akan memiliki anak atau yang
dapat disebut dengan konsep childfree. Fenomena childfree saat ini tengah berkembang pesat dan cukup
ramai diperbincangkan di Indonesia. Menurut dictionary.cambridge.org, childfree adalah sebutan yang
digunakan untuk merujuk pada orang yang memilih untuk tidak memiliki anak maupun situasi tanpa anak.
Menurut CBOS dalam (Szymanska, 2013) pada wanita yang tidak berencana memiliki anak memiliki
alasan atas keputusan tersebut karena berada dalam situasi keuangan yang buruk dan beberapa dari mereka
berada pada keraguan atas tanggung jawab ketika memiliki anak. Terdapat tokoh yang kerap kali
menyampaikan pendapatnya melalui sosial media mengenai konsep childfree salah satunya Gita Savitri
dan Cinta Laura. Gita Savitri merupakan seorang Youtuber yang saat ini menetap di Jerman
menyampaikan melalui media sosial Youtube mengenai pilihan hidupnya untuk childfree.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 38 -
Begitupun pula Cinta Laura yang mengatakan dirinya memutuskan untuk childfree karena tidak
ingin didikte oleh konstruksi sosial masyarakat Indonesia. Fenomena childfree tidak hanya terjadi
dikalangan masyarakat yang tinggal di kota metropolitan, akan tetapi juga dianut oleh masyarakat yang
tinggal di daerah terpencil seperti halnya Pulau Madura. Masyarakat Madura daoat dikatakan sebagai etnis
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Seperti halnya ketika keturunan Kyai dituntut
untuk menikah dengan keturunan Kyai juga, sekalipun tindakan tersebut tidak digeneralisasi pada seluruh
keluarga Kyai yang ada. Pada pengamatan awal peneliti di lokasi penelitian yaitu di Kelurahan Mlajah,
Kabupaten Bangkalan terdapat kondisi dimana lingkungan tersebut telah bertransformasi leyaknya
kehidupan masyarakat metropolitan dan ditemukannya fakta bahwa terdapat masyarakat yang memiliki
paham mengenai konsep childfree. Salah satu alasan yang unik adalah seperti merasa kasihan terhadap
anak jika harus dibesarkan di lingkungan ini, akan tetapi ia pun tidak dapat keluar dari lingkungan tersebut.
2.
Kajian Pustaka
a) Social Cognitive Theory
Social Cognitve Theory adalah penamaan baru dari Social Learning Theory yang dikemukakan oleh
Albert Bandura. Ide pokok dari dari pemikiran Albert Bandura juga merupakan pengembangan dari ide
Miller dan Dollard mengenai Imitative Learning (Jones, M, R, 1962). Teori kognitif sosial merupakan
teori yang menunjukkan gagasan bahwa sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam suatu
lingkungan sosial. Dengan mengamati individu lain, manusia dapat memperoleh pengetahuan, aturan-
aturan, keterampilan-keterampilan, strategi- strategi, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap. Individu-
individu juga melihat model-model atau contoh-contoh untuk mempelajari fungsi dan persesuaian
perilaku-perilaku akibat dari perilaku yang direalisasikan. Kemudian mereka bertindak sesuai dengan
keyakinan mengenai kemampuan individu tersebut dan hasil yang diharapkan dari tindakan mereka (Dale,
2012).
Bandura mengembangkan teorinya untuk membahas cara-cara orang memiliki kendali atas
peristiwa dalam hidup mereka melalui pengaturan diri atas pikiran- pikiran dan tindakan mereka. Proses
dasarnya meliputi menentukan tujuan, menilai kemungkinan hasil dari tindakan-tindakan, mengevaluasi
kemajuan pencapaian tujuan, dan pengaturan diri atas pikiran, emosi, dan tindakan. Bandura menjelaskan
bahwa karakteristik khas lainnya dari Social Cognitive Theory merupakan peran utama yang di berikannya
pada fungsi-fungsi pengaturan diri. Orang berprilaku bukan sekedar untuk menyesuaikan diri dengan
kecendrungan-kecendrungan orang lain. Kebanyakan perilaku mereka dimotivasi dan diatur oleh standard
internal dan reaksi-reaksi terhadap tindakan meraka sendiri yang terkait dengan penilaian diri.
Perspektif Social Cognitive Theory lahir berdasarkan pada kritik terhadap teori yang dikembangkan
oleh ahli behavioristik. Menurut Albert Bandura, meskipun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan
dan meramalkan perilaku, akan tetapi prinsip tersebut harus memperhatikan suatu fenomena penting
yang diabaikan oleh paradigma behaviorisme yaitu bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
berpikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri. Bandura merumuskan Teori Belajar Sosial dengan
mengakomodasi kemampuan kognitif yang dimiliki manusia dalam berpikir dan belajar melalui
pengamatan sosial. Hal tersebut yang membuat Teori Belajar Sosial yang saat ini dikenal dengan Teori
Kognitif Sosial. Teori ini berlandaskan pada proposisi bahwa proses sosial dan kognitif merupakan pusat
bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi dan tindakan manusia.
Perspektif teori ini juga memandang perilaku manusia sebagai komponen dari suatu model yang
berinteraksi untuk saling mempengaruhi dengan suatu komponen situasi lingkungan, serta komponen
personal manusia yang meliputi afeksi ataupun emosi dan kognitif individu. Bandura (1986) melabeli
teorinya sebagai Teori Kognitif Sosial dilandasi pada beberapa alasan. Tidak hanya menempatkan
manusia memiliki kemampuan kognitif yang berkontribus pada proses motivasi, afeksi dan aksi, akan
tetapi juga bagaimana mereka memotivasi dan meregulasi perilaku mereka dan membuat sistem-sitem
sosial untuk mengorganisasi dan menstrukturasi kehidupan manusia.
b) Primordialisme
Primordialisme menurut Kun Maryati, dkk (2014) merupakan ikatan-ikatan seseorang dalam
kehidupan sosial yang sangat berpegang teguh terhadap hal-hal yang dibawanya sejak lahir baik berupa
suku bangsa, kepercayaan, ras, adat-istiadat, daerah kelahiran dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 39 -
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya primordialisme adalah suatu perasaan-perasaan yang
dimiliki oleh seseorang yang begitu menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma dan
kebiasaan masyarakat yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang
individu baru dilahirkan.
c) Problematika Childfree
Pada akhir abad 20 lahirlah istilah yang digunakan untuk menyebut orang dengan pilihan tidak
memiliki anak ini. Childfree merupakan sebutan yang menunjuk kepada orang ataupun pasangan dengan
pilihan untuk tidak memiliki anak. Childfree ini memiliki perbedaan dengan childless. Childless berarti
lebih kepada kondisi seseorang tanpa anak dikarenakan oleh keadaan. Sedangkan childfree adalah pilihan
yang diambil seseorang maupun pasangan. Dalam masyarakat di Indonesia, childless sepertinya lebih
mudah diterima atau ditoleransi dibandingkan dengan pilihan childfree. Menurut Grigoryeva (dalam
Bicharova, 2015: 926) konsep childfree ini pertama kali diperkenalkan oleh feminis Amerika Shirley Radl
dan Ellen Pek. Mereka menganggap istilah childfree sedikit menghina karena dengan tidak memiliki anak
adalah dianggap sebagai inferioritas. Oleh karena itu, untuk melindungi hak-hak individu yang tidak
memiliki anak, Sh. Radl dan E. Peck memulai sebuah komunitas childfree pertama dengan memberikan
nama “Organisasi Nasional untuk Non-Orang Tua. Organisasi childfree pertama tersebut hanya ada dalam
satu dekade, namun hal tersebut membuat dasar dari gerakan dunia.
Konsep childfree ini diperkenalkan pada tahun 1970-an, yang digunakan untuk menunjukan
penolakan orang usia subur dari fungsi reproduksi dan dengan hal tersebut diyakini bahwa kelahiran anak
akan membawa tragedi nyata bagi mereka karena tidak membutuhkan anak. Fenomena childfree awalnya
ditemukan oleh penelitian di Negara-negara yang makmur secara ekonomi. Valeryevna (2018: 146)
menjelaskan beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki anak atau childfree ini
adalah kebanyakan anak muda, yang memiliki pendidikan 30 tinggi, penduduk yang sukses secara
profesional di kota besar, memiliki kecenderungan yang kurang terhadap agama dan ketaatan pada sebuah
adat istiadat, memiliki kemakmuran secara materi, sadar terhadap bahaya dan ancaman masyarakat
modern, memiliki pikiran bahwa hidup hanya untuk kesenangan sendiri, serta memiliki sifat
individualisme dan egosentrisme yang tinggi. Selain itu juga, orang yang memilih childfree ini biasanya
aktif dalam media sosial dan forum internet.
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi pilihan childfree diantaranya seperti adanya
permasalahan personal, finansial, kekhawatiran akan tumbuh kembang anak, latar belakang keluarga,
hingga alasan emosional atau maternal instinct. Salah satu alasan yang menarik dari adanya pilihan
childfree ini adalah tentang alasan yang berkaitan dengan isu lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut,
saat ini populasi penduduk bumi sudah semakin meningkat, tetapi tidak sejalan dengan kesehatan bumi
dan ketersediaan pangan. Sehingga childfree dipilih beberapa orang sebagai langkah untuk mengatasi dan
dikatakan agar tidak menambah beban bumi. Istilah childfree ini masih terdengar asing di Indonesia. Hal
ini berbeda dengan beberapa negara maju karena childfree sudah tidak asing lagi dan banyak yang memilih
childfree sebagai pilihan hidup mereka.
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai jenis penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif,
peneliti harus dapat mengumpulkan data yang berupa kata-kata, kalimat-kalimat atau narasi-narasi baik
yang diperoleh dari observasi ataupun dari melakukan metode wawancara mendalam (Moleong, 2017).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan entografi. Etnografi merupakan suatu
bentuk penelitian yang memiliki fokus pada makna sosiologis melalui observasi lapangan tertutup dari
fenomena struktural (Emzir, 2011). Beberapa asumsi dasar penelitian etnografi yang dikemukakan oleh
Emzir (2011) yang pertama adalah etnografi mengabstraksikan kepentigan penelitian yang prinsip
utamanya dipengaruhi oleh pemahaman kulturan masyarakat. Kedua merupakan penelitian entografi yang
mengabstraksikan suatu kemampuan untuk mengindentifikasikan kelompok sosial yang selaras dengan
kepentingannya. Ketiga merupakan penelitian etnografi memerlukan peneliti untuk dapat
mengansumsikan serta memahami kelebihan kultural dari kelompok sosial yang diteliti seperti menguasai
bahasa ataupun jargon secara teknis yang berasal dari kebudayaan tersebut serta memiliki temuan yang
berdasarkan pada pengetahuan menyeluruh dari budaya tersebut. Peneliti memilih pendekatan etnografi
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 40 -
karena dirasa relevan dengan ungkapan kebudayaan dari kelompok sosial. Terutama pada kelompok sosial
yang menjadi objek penelitian ini yaitu masyarakat Kelurahan Mlajah, Kabupaten Bangkalan.
4.
Hasil dan Penelitian
Berpikir dan Mengamati Fenomena
Childfree
Konsep childfree yang dianut serta ditolak oleh informan penelitian ini, didasari pada proses
berpikir dan mengamati fenomena tersebut yang dilandasi oleh faktor lingkungan. Begitu pula pada
informan Lestari Dwi Ahyani yang pada awalnya memiliki perasaan takut jikalau melahirkan serta akan
berpengaruh pada tubuhnya. Ia juga beranggapan jika memiliki anak tidak dapat mengatur waktu sebab
emosi yang dimilikinya tidak stabil serta ia juga harus bekerja dan melayani pasangannya. Keputusannya
untuk tidak memiliki anak menurutnya merupakan keputusan yang tepat pada saat ini. Ia juga tidak
masalah jika dirinya dianggap menganut konsep childfree. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lestari Dwi
Ahyani sebagai berikut:
“Awalnya saya memiliki pikiran takut kalau melahirkan, yang mungkin juga akan
mempengaruhi bentuk tubuh saya juga nantinya. Toh juga kalau misalnya punya anak
takutnya saya juga belum stabil dalam mengatur waktu saya yang ingin berkarir juga
melayani suami. Sedangkan keputusan saya untuk menolak mempunyai anak menurut saya
adalah keputusan terbaik saya dengan pikiran saya saat ini. Kalau dibilang saya menganut
konsep childfree juga sah-sah aja sih karna juga mirip dengan kondisi saya saat ini”
(Sumber: Hasil Wawancara Dengan Informan Lestari Dwi Ahyani tanggal 7 Desember
2022).
Berdasarkan pernyataan Lestari Dwi Ahyani dapat dikatakan selaras dengan konsep childfree,
dimana konsep tersebut memilih untuk tidak memiliki anak. Ditinjau dalam Teori Kognitif Sosial juga
dapat dikatakan selaras sebab alasan yang diungkapkan oleh Lestari Dwi Ahyani melalui proses berpikir
dan mengamati fenomena childfree jika terjadi dilingkungannya sekalipun ia adalah seorang penganut
paham konsep childfree. Pernyataan yang diungkapkan oleh Lestari Dwi Ahyani memperoleh penolakan
dari Ahmad Gemilang. Ahmad Gumilang sangat menolak konsep childfree sebab yang ia yakini
berdasarkan pemahaman yang dianut oleh kebanyakan orang-orang Madura yang mengatakan “Banyak
anak, banyak rejeki” serta menurutnya konsep tersebut bertentangan dengan perintah agama sebab dalam
agama pernikahan adalah suatu hubungan untuk menambah keturunan. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ahmad Gemilang, sebagai berikut:
“Saya nolak banget mas untuk konsep itu karna apa yang saya yakini itu tidak begitu, yang
diyakini orang Madura itu kalau banyak anak banyak rejeki terus konsep itu tuh tidak
mengindahkan perintah agama menurut saya. Menikah itu untuk memiliki keturunan.”
(Sumber: Hasil Wawancara Dengan Informan Ahmad Gemilang tanggal 7 Desember 2022).
Pernyataan yang diungkapkan oleh Ahmad Gemilang dinyatakan selaras dengan konsep
primordialisme. Primordialisme merupakan pandangan seseorang yang memegang teguh hal-hal yang
dianutnya sejak kecil. Ajaran yang dianut oleh Ahmad Gemilang merupakan ajaran yang banyak diyakini
oleh kebanyakan masyarakat Madura, oleh sebab itu dirinya menolak konsep childfree yang menurutnya
juga tidak relevan dengan ajaran masyarakat Madura dan perintah agama. Kesimpulan dari sub bab ini
adalah, dimana konsep childfree yang diterapkan di lingkungan masyarakat Madura dinilai tidak relevan
dengan ajaran-ajaran yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Madura. Hal tersebut mendapatkan
penolakan meskipun terdapat individu yang menganut paham konsep childfree melalui proses berpikir
dan pengamatannya yang menurutnya relevan atas kehidupannya.
Afeksi, Emosi dan Kognitif Individu
Konsep childfree yang muncul tentunya juga berdasarkan perasaan, emosi dan kondisi mental yang
dimiliki oleh penganutnya. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Lestari Dwi Ahyani yang mengatakan
dirinya merasa takut akan tetapi childfree merupakan suatu hal yang relefan bagi dirinya sekalipun tidak
dengan lingkungannya. Dirinya juga merasakan sedih sebab lingkungannya dapat memberinya stigma
negatif pada dirinya dan ia juga menambahkan bahwa menganut konsep childfree merupakan kemauannya
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 41 -
yang sesuai dengan realitas hidupnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lestari Dwi Ahyani, sebagai
berikut:
“Awalnya sih mas saya takut tapi menurut saya itu adalah hal yang terbaik bagi saya
sekalipun lingkungannya seperti ini tapi lambat laun saya merasa bodo amat sih mas. Saya
juga sedih mas karena lingkungan saya menolak dan juga lingkungan saya ini suka
menjadikan sesuatu yang berbeda itu sebagai bahasan yang negatif seakan-akan saya itu
orang paling buruk tapi saya tetep bersikeras sama pendirian saya. Saya juga menilai
pikiran saya ini buat memilih untuk begitu juga karena ini kemauan saya mas dan juga ini
satu tujuan dengan kondisi saya mas” (Sumber: Hasil Wawancara Dengan Informan
Lestari Dwi Ahyani tanggal 7 Desember 2022).
Komponen yang terdapat pada Teori Kognitif Sosial yang meliputi komponen personal seperti
afeksi, emosi dan kognitif individu dapat dinyatakan selaras dengan pertanyaan yang diungkapan oleh
informan Lestari Dwi Ahyani. Dinyatakan demikian sebab dirinya mampu meregulasi hal-hal yang
menimpa dirinya ketika dirinya menganut paham konsep childfree yang menuai penolakan karena tidak
sesuai dengan lingkungannya. Berbeda dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ahmad Gemilang yang
mengatakan bahwa dirinya merasa kesal karena terdapat individu yang menganut konsep paham childfree
di lingkungannya. Dirinya menambahkan bahwa terdapat individu yang menikah sejak lama akan tetapi
tidak memiliki keturunan. Ahmad Gemilang mengatakan bahwa hal tersebut bertentangan dengan konsep
agama dan harus dibuang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad Gumilang, sebagai berikut:
“Saya kesal mas ada orang yang begitu, karna orang yang menikah itu kebanyakan pengen
punya anak. Ada orang yang menikah lama tapi gapunya anak lah ini malah gapengen
punya anak. Dan juga itu bertentangan mas sama konsep agama, saya rasa itu tidak tepat
dan harus dibuang konsep yang seperti itu” (Sumber: Hasil Wawancara Dengan Informan
Ahmad Gemilang tanggal 7 Desember 2022).
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam sub bab ini adalah konsep yang menurut seorang individu
relevan dengan kebutuhan hidupnya akan menuai penentangan sebab tidak selaras dengan konsep yang
banyak dianut dalam lingkungannya. Sekalipun konsep tersebut dinilai baik oleh penganutnya tetap akan
menuai penolakan sebab terdapat konsep yang lebih dahulu diyakini oleh kebanyakan individu dalam
lingkungannya.
5.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian rumusan masalah penelitian ini maka didapatkan kesimpulan berupa, latar
belakang mengenai pengalaman, budaya, pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki pada suatu
lingkungan menciptakan perbedaan makna antara informan yang satu dengan yang lainnya. Paham konsep
childfree menuai penolakan sekalipun konsep tersebut sesuai dengan realitas serta hal-hal yang dibutuhkan
oleh individu tersebut. Penolak tersebut juga memiliki alasan, dimana keyakinan yang telah lama dianut
oleh kelompok dominan pada suatu lingkungan yang juga sejak lahir dianutnya.
6.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2022). Profil Internet Indonesia 2022. Jakarta: APJII.
Bicharova, Mariya. Dkk. (2015). Russian Childfree Community: Reality and Illusions. Procedia Social
and Behavorial Sciences. Astrakhan State University.
Creswell, J, W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dale, H. Schunk. (2012). Learning Theories: An Education Perspective. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emzir. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Pusat.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 1, Juni 2024, page: 36-42
E-ISSN: 3026-4014
- 42 -
Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: PT. Gelora Aksara.
Jones, M.R. (1962). Nebraska Symposium on Motivation. Lincoln: University of Nebraska Press.
McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika.
Moleong, L, J. (2017). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
Sugiono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Szymanska, Joanna. (2013). The Childless by Choice in Perception of Young Adult. Wroclaw
University of Technology.
Valeryevna, Bolshunova Tatiana. (2018). Phenomena Childfree: Analisis Makrosiologi.
Teknologi dan Proses Sosial. Universitas Teknik Negeri Lipetsk.
Waite, Errika Dwi Setya. (2011). Komunikasi dan Media Sosial (Communication and Sosial Media).
The Messenger. 3(1): 71-73.