Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 115 -
Artikel Penelitian
Naskah dikirim: xx/xx/20xxSelesai revisi: xx/xx/20xx Disetujui: xx/xx/20xx Diterbitkan:xx/xx/20xx
Tradisi Bersih Desa Dan Sedekah Bumi Desa Sindurejo
Anggun Eko Ferianto
1
, Wahono Widodo
2
, Nurul Istiq’faroh
3
1,2,3
Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
e-mail: 24010855018@mhs.unesa.ac.id
Abstrak:
Bersih desa dan sedekah bumi merupakan suatu tradisi yang dilakukan untuk membersihkan desa
dari bala musibah yang awal mula dilaksanakan tradisi ini dikarena di Desa Sindurejo terjadi pagebluk atau
wabah penyakit yang menyerang warga dan mensyukuri hasil bumi telah diberikan oleh Tuhan. Tradisi
bersih desa dan sedekah bumi yang dilestarikan di Desa Sindurejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten
Malang ini dilakukan setiap bulan suro dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah
berjasa dan juga dianggap sebagai media untuk berkumpul, berembuk memperkuat solidaritas kepada
sesama. Penelitian ini memiliki tujuan, yakni: 1) untuk mendeskripsikan sejarah, bentuk, dan makna dari
kearifan lokal tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo, 2) untuk mendeskripsikan nilai-nilai
yang terkandung pada kearifan lokal tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo, dan 3) untuk
mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo sebagai
sumber belajar IPS. Penelitian ini menggunakan metode kajian lapangan (field research), yaitu berupa
metode wawancara, dokumentasi dan observasi (pengamatan). Metode ini untuk menemukan informasi
yang berhubungan dengan tradisi Bersih desa dan sedekah bumi. Peneliti menyusun data dengan
menggunakan metode kualitatif.
Kata kunci:
Bersih Desa, Sedekah Bumi, Tradisi
Tradition Of Village Cleaning And Earth Offering In Sindurejo Village
Abstract:
Village cleaning and earth almsgiving are traditions carried out to cleanse the village from
calamities. This tradition was initially implemented because a plague or epidemic struck the residents of
Sindurejo Village, and it is also a way to express gratitude for the bountiful harvests provided by God. The
tradition of village cleansing and earth offering preserved in Sindurejo Village, Gedangan District, Malang
Regency, is carried out every month of Suro and is considered a form of respect to the ancestors who have
contributed and is also seen as a medium for gathering, deliberating, and strengthening solidarity among
fellow villagers. This research has the following objectives: 1) to describe the history, form, and meaning
of the local wisdom of the village clean-up and earth donation tradition in Sindurejo Village, 2) to describe
the values contained in the local wisdom of the village clean-up and earth donation tradition in Sindurejo
Village, and 3) to describe the values of local wisdom of the village clean-up and earth donation tradition
in Sindurejo Village as a source for social studies learning. This research uses field research methods,
including interviews, documentation, and observation. These methods are used to find information related
to the village clean-up and earth donation tradition. The researcher organizes the data using qualitative
methods..
Keywords
: Village Cleanliness, Earth Charity, Tradition
Hak Cipta©2024 Anggun Eko Ferianto, Wahono Widodo, Nurul Istiq’faroh
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 CC BY-SA International License.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 116 -
1. Pendahuluan
Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat,
2015). Pengertian ini menggambarkan bahwa budaya adalah perilaku yang dihasilkan oleh manusia
secara sistematik melalui proses pemikiran dan pembelajaran dari lingkungan hidupnya. Lebih lanjut
menurut Koentjaraningrat mengatakan sistem budaya adalah konsep abstrak yang dianggap baik dan
yang amat bernilai dalam hidup, dan yang menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam kehidupan
suatu masyarakat. Budaya sebagai satu keseluruhan sistem yang kompleks mengandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan, undang- undang, adat istiadat, serta kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta
dari masyarakat (Soemardjan & Soemardi. 1974). Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian
dari norma sosial, nilai sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan menjadi suatu ciri khas masyarakat (Eppink. 2013).
Kebudayaan merupakan suatu warisan turun-temurun yang mengandung seluruh nilai dari
norma sosial, ilmu pengetahuan, dan struktur-struktur religius, bersifat dapat dipelajari dan hidup
ditengah-tengah masyarakat (Muzakkir, 2021). Kebudayaan juga bisa berupa sistem pengetahuan
yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak (Syakhrani & Kamil 2022). Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. (Wahyuni, Tias, & Sani, 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan sangat berguungan dengan kehidupan
Masyarakat. Arus globalisasi telah merubah segala aspek kehidupan masyarakat dunia, bahkan
Indonesia mengalami dampak dari adanya globalisasi tersebut. Dampak dari globalisasi dapat dikaji
melalui sudut pandang positif maupun negatif, terutama dalam aspek pendidikan. Dalam sudut
pandang positif, globalisasi telah mempermudah segala aktivitas masyarakat yang semula
menggunakan teknologi sederhana/tradisional menjadi teknologi modern yang canggih. Contoh kecil
dari hal tersebut adalah penggunaan gawai sebagai alat komunikasi jarak jauh maupun dalam
menemukan informasi. Dalam dunia pendidikan globalisasi telah merubah sistem pendidikan yang
semula konvensional menjadi berbasiskan pada digital, sehingga inovasi baru terus bermunculan,
baik dari segi sumber belajar yang digunakan maupun media pembelajarannya. Akan tetapi, disisi
lain dampak globalisasi dalam dunia pendidikan telah menjadikan peserta didik mudah dalam
menerima budaya asing, akibatnya perilaku yang dilakukan oleh peserta didik tidak sesuai dengan
karakteristik maupun kepribadian bangsa Indonesia. Pengaruh globalisasi telah berdampak pada
aspek pendidikan dimana pola pikir (pandangan), pola sikap (tabiat), dan tindakan (respon) yang
dilakukan oleh masyarakat Indonesia berubah ke arah gaya hidup kebarat-baratan (Sakman 2016).
Mengadopsi nilai-nilai bangsa lain akan berakibat pada hilangnya jati diri bangsa Indonesia karena
tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Untuk mengatasi masalah pergeseran budaya, pendidikan
memiliki peran penting untuk membentuk karakter, pola pikir, dan perilaku peserta didik yang sesuai
dengan identitas bangsa Indonesia. Melalui pendidikan, segala budaya asing yang diterima oleh
peserta didik dapat disaring dan dicegah, sehingga permasalahan terkait pergeseran budaya dapat di
minimalisir. Maka dari itu, pengintegrasian kearifan lokal ke dalam pembelajaran adalah salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai karakter bangsa. Kearifan lokal adalah
perwujudan nilai-nilai karakteristik dari suatu masyarakat tertentu yang dibentuk melalui suatu
pengetahuan dan kebiasaan yang kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya (Wijaya, dkk.
2021). Kearifan lokal berkaitan dengan tatanan nilai kehidupan yang merupakan warisan dari nenek
moyang dan memiliki kebaikan bagi setiap individu ataupun kelompok (Jati, 2022). Kearifan lokal
selalu dikaitkan dengan pola hubungan sosial (antara individu dengan individu lain), hubungan
dengan alam (antara manusia dengan alam), dan hubungan dengan Tuhan (antara manusia dengan
Tuhan) (Jati, 2022). Dengan demikian, kearifan lokal dimaknai sebagai pedoman hidup bagi
masyarakat yang didalamnya mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan, terutama
dalam membentuk karakter seseorang untuk menjadi pribadi yang budiman.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 117 -
Pembelajaran yang terintegrasi dengan kearifan lokal akan menjadi lebih bermakna, sebab
peserta didik tidak hanya memahami pembelajaran hanya sebatas mengingat dan menghafal ataupun
penguasaan teori, namun peserta didik dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pembelajaran yang terintegrasi dengan kearifan lokal bisa menumbuhkan rasa
nasionalisme, menjaga budayanya, dan membentuk karakter, pola pikir, serta perilaku yang sesuai
dengan identitas nasional bangsa Indonesia. Mata pelajaran IPS adalah salah satu mata pelajaran yang
memiliki keterkaitan dengan kearifan lokal, sebab antara IPS dan kearifan lokal sama-sama
membahas tentang aktivitas budaya dari suatu masyarakat. Sapariya (2012) dalam (Susilaningtiyas &
Falaq, 2021: 45) menyampaikan bahwa, ruang lingkup mata pelajaran IPS ada dalam beberapa aspek,
yakni: 1) manusia, tempat, dan lingkungan, 2) waktu, keberlanjutan, dan perubahan, 3) sistem sosial
budaya masyarakat, dan 4) perilaku ekonomi. Dari peryataan tersebut, dapat diartikan bahwa
pembelajaran pada mata pelajaran IPS bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat,
sehingga dalam hal ini kearifan lokal dapat menjadi sumber belajar bagi peserta didik di sekolah.
Sumber belajar IPS akan lebih menarik dan berpotensi dapat menumbuhkan keterlibatan aktif peserta
didik, apabila lingkungan sosial-budaya sekitar peserta didik dilibatkan dalam pembelajaran. Salah
satu kearifan lokal yang membuat peneliti tertarik untuk mengkajinya sebagai sumber belajar IPS
adalah tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo.
Tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo adalah salah satu ritual simbolik
keagamaan yang sarat akan nilai-nilai sosial, religius, dan ekologis. Tradisi ini mengajarkan untuk
menjaga keselarasan dan keharmonisan dengan sesama manusia, alam, nenek moyang atau leluhur,
dan sang pencipta (Ardhani & Suhardiyanto, 2024). Maka dari itu, tidak heran apabila ritual yang
dilaksanakan selain menyerahkan hasil bumi kepada alam, namun adapula ritual yang dilaksanakan
untuk menghormati para leluhur yang sudah tiada. Dari sekian banyak kebudayaan Jawa, bersih desa
dan sedekah bumi Desa Sindurejo adalah salah satu kebudayaan yang mengalami akulturasi. Dalam
tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo, kebudayaan yang bercampur adalah Hindu-
Budha dengan Islam. Dengan demikian, pelaksanaan dalam tradisi bersih desa dan sedekah bumi
Desa Sindurejo masih menganut tradisi ritual dalam ajaran agama Hindu-Budha dan animisme,
namun dicampurkan dengan nilai-nilai Islam. Dalam pelaksanaan bersih desa dan sedekah bumi Desa
Sindurejo, setiap daerah di Jawa tidak sama, akan tetapi umumnya tradisi bersih desa dan sedekah
bumi Desa Sindurejo dilakukan di bulan suro pada kalender Jawa atau bulan muharam dalam kalender
Islam.
Penelitian yang membahas tentang nilai-nilai ataupun makna tradisi bersih desa dan sedekah
bumi Desa Sindurejo belum banyak dilakukan. Meskipun demikian, tradisi bersih desa dan sedekah
bumi Desa Sindurejo dikatakan layak untuk dijadikan sebagai sumber belajar IPS, lantaran banyak
nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya yang dapat membentuk pribadi peserta didik sesuai
dengan identitas bangsa. Dengan kata lain, tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo dapat
mengatasi masalah tentang pergeseran budaya pada peserta didik. Maka dari itu, penelitian ini
memiliki tujuan, yakni: 1) untuk mendeskripsikan sejarah, bentuk, dan makna dari kearifan lokal
tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo, 2) untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang
terkandung pada kearifan lokal tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo, dan 3) untuk
mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo
sebagai sumber belajar IPS.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif berupa
wawancara,dokumentasi, dan observasi (pengamatan). Tahapan pengumpulan data dalam penelitian
ini sebagai berikut pertama, peneliti menentukan 4 informan yang berasal dari unsur pemerintahan
dan masyarakat desa Sindurejo, terdiri dari Kepala Desa, Modin desa, sesepuh desa, dan satu orang
warga Desa Sindurejo yang terlibat dalam proses bersih desa dan sedekah bumi yang dilaksanakan
setiap bula suro. Kedua peneliti melakukan wawancara dengan narasumber yaitu informan mengenai
bersih desa dan sedekah bumi di Desa Sndurejo Kecamatan Gedangan. Ketiga peneliti membuat
catatan hasil dari wawancara dengan para informan. Keempat peneliti membuat analisis terhadap
hasil wawancara. Kelima peneliti menulis hasil wawancara yang telah dianalisis secara deskriptif.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 118 -
3. Hasil dan Pembahasan
Sejarah awal dilaksanakan bersih Desa dan sedekah Bumi Desa Sindurejo
Warga Desa Sindurejo kecamatan Gedangan Kabupaten Malang lestarikan budaya leluhur
pada bulan suro setiap tahunnya. Desa yang mempunyai Pantai yang bernama pantai Ngudel ini masih
kental dengan ajaran leluhurnya, mitos-mitos yang tak boleh dilanggar dan adat istiadat yang masih
lestari hingga kini. Bertepatan dengan bulan Suro, warga Desa Sindurejo Kecamatan Kabupaten
Malang lestarikan budaya leluhur yakni kirab suro dengan berjalan kaki dimulai dari Balai desa
Sindurejo menuju sebuah tempat dataran yang lebih tinggi atau bukit yang dinamakan dengan Punden
yang letaknya di dusun pundesari Desa Sindurejo. Kegiatan kirab suro dengan tujuan bersih desa dan
sedekah bumi ini dilaksanakan rutin setiap tahunnya yaitu dihari dan tanggal yang sudah dipilih dan
ditentukan oleh para sesepuh Desa di Bulan Suro.
Awal mula kebudayaan ini ada disaat warga desa sindurejo terserang wabah penyakit atau
orang dahulu menamakan terjadinya pagebluk di desa Sindurejo. Pagebluk adalah istilah dalam
bahasa Jawa yang mengacu pada wabah penyakit yang menyebar secara luas dan cepat, menyebabkan
banyak korban jiwa dalam waktu singkat, ini terjadi ketika desa sindurejo di pimpin oleh kepala desa
Bapak Ngadi utomo Rejo perkiraan pada tahun 1900an. Istilah ini sering dikaitkan dengan penyakit
yang sangat menular dan mematikan, seperti pandemi. Konon ada salah satu tokoh atau sesepuh desa
yang diutus langsung oleh bapak kepala desa Ngadi utomo rejo mencari orang pintar atau ahli spiritual
ke daerah yang sekarang di namakan Bululawang, supaya pagebluk ini bisa hilang dari desa sindurejo,
dari hasil datang ke orang pintar tersebut diberikan syarat tertentu yaitu diberi sebuah batu kecil dan
diminta untuk mencari tempat yang tinggi di desa sindurejo dan letaknya di tengah-tengah desa untuk
tempat dipendamnya batu tersebut dan saat memendam batu tersebut harus dengan mengucapkan kata
nyai pandansari, dan dengan dilaksanakan kegiatan itu, lambat laun pagebluk tersebut mulai hilang
dari desa Sindurejo.
Tempat yang digunakan untuk memendam batu tersebut sampai saat ini dinamakan pundesari
dan dijadikan salah satu nama dusun yang ada di desa Sindurejo. Ditempat tersebut tumbuh sebuah
pohon beringin besar dan juga terdapat 2 makan suami istri yang menurut cerita warga setempat
bahwa 2 tokoh tersebut adalah mbah Singat dan istrinya yang awal mula adalah pemilik tanah tersebut
sebelum tanah dihibahkan kepada pemerintah desa Sindurejo. Tempat ini merupakan bentuk
akulturasi dari budaya Hindu-Buddha, peninggalan ini berbentuk anak tangga. Pada zaman dahulu
berfungsi sebagai pemujaan arwah nenek moyang dan dianggap suci. Hal ini memberikan anggapan
bahwa nenek moyang berada di puncak gunung yang menunjukkan tingkat perjalanan roh nenek
moyang ke dunia arwah. Menurut Pak Slamet salah satu tokoh masyarakat setempat menyampaikan
bahwa fungsi utama punden di sini setelah terjadi cerita pagebluk dahulu adalah sebagai sarana
memuja serta menghormati roh leluhur, namun setelah masuknya Islam pemujaan tersebut diubah
menjadi panjatan doa. Menurut kepercayaan masyarakat, praktik mendoakan roh leluhur menjadi
wasilah agar tercegah dari bencana seperti wabah.
Makna bersih Desa dan Sedekah Bumi Desa Sindurejo
Menurut Kepala Desa Sindurejo, Bapak Misnan, bersih desa dan sedekah bumi yang dilakukan
di Desa Sindurejo ini dilaksanakan setahun sekali dengan mengadakan syukuran hasil panen dan
selamatan bersih desa supaya terhindar dari musibah yang pernah terjadi di desa sindurejo tidak
terulang. Tradisi ini selalu dilaksanakan setiap bulan suro dalam kalender jawa. Secara turun temurun
dilakukan mulai dari zaman kepala desa ke 2 Bapak Ngadi utomo Rejo tahun 1841 (Wawancara pada
3 Oktober 2024). Menurut Modin Desa Sindurejo, Bapak Slamet, bersih desa dan sedekah bumi
dilakukan untuk nylameti desa atau menyedekahi desa dan nylameti lemah/tanah. bersih desa dan
sedekah bumi dilaksanakan di bulan suro atau muharam di hari baik menurut hitungan jawa
(Wawancara pada 6 oktober 2024).
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 119 -
Prosesi Bersih Desa dan Sedekah Bumi Desa Sindurejo
Ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan sebelum acara bersih desa dan sedekah bumi.
Menurut Bapak Misnan selaku Kepala Desa Sindurejo, sebelum acara bersih desa dan sedekah bumi
warga harus melaksanakan kegiatan-kegiatan agar bersih desa dan sedekah bumi berjalan lancar tanpa
hambatan apa pun. Diadakan gugur gunung atau kerja bakti, doa bersama malam hari sebelum acara
bersih desa, ziarah kubur, slametan di sumber mata air dan gunung atau bukit yang berada di desa
sindurejo dan pagelaran wayang setelah acara bersih desa dan sedekah bumi (Wawancara pada 3
Oktober 2024).
Gugur Gunung
Sebelum para warga desa melaksanakan puncak tradisi bersih desa dan sedekah bumi, warga
akan membersihkan lingkungan dan area balai desa dan juga punden sebagai tempat dilaksanakan
acara tersebut. Hal ini lah yang disebut dengan istilah gugur gunung (Maksum, 2015: 17). Kegiatan
ini dilakukan untuk menyambut acara bersih desa dan sedekah bumi. Semangat gotong royong dan
konsep manunggaling kawula-gusti (MKG) itu dalam budaya Jawa biasa dipakai dalam konteks
sosio-politik dan sosio-kultural (Sujamto, 1997: 143). Gugur gunung di Desa Sindurejo ini adalah
contoh dari pelaksanaan gotong royong dan konsep manunggaling kawula-gusti. Dalam konteks
sosio-politik yaitu melibatkan pihak atasan dan pihak bawahan. Pihak atasan meliputi Kepala Desa
Sindurejo dan segenap jajarannya dan pihak bawahan terdiri dari Warga Desa/ Rakyat (wong cilik)
yang pada jaman dahulu disebut kawula. Kegiatan ini membutuhkan partisipasi dan kekompakan dari
warga desa. Jika warga desa memilki semangat kekompakan yang tinggi maka gugur gunung akan
berhasil begitu juga sebaliknya. Dengan adanya gugur gunung ini para warga dapat saling merekatkan
tali silaturahmi untuk memperkuat persatuan dan kemajuan lingkungan desa.
Doa Bersama
Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan malam sebelum acara sedekah bumi adalah
diadakannya doa bersama yang di ikuti oleh 2 agama yaitu Islam dan agama budha, untuk yang
beragam Islam melaksanakan Istiqosah dan yang beragaman Budha sesuai dengan do’a umat Budha
yang dilaksanakan bersama di balai Desa Sindurejo dengan tujuan mengungkapkan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan hasil panen yang diperoleh desa selama setahun,
memohon perlindungan dan keselamatan bagi seluruh warga desa dari berbagai bencana dan
ancaman, berdoa untuk kesejahteraan dan kemakmuran desa, baik dalam aspek ekonomi, sosial,
maupun lingkungan, memperkuat rasa kebersamaan dan persatuan antar warga desa, menghilangkan
perpecahan dan konflik, menghormati dan mendoakan arwah para leluhur dan anggota komunitas
yang telah meninggal, mengajak warga untuk berkomitmen dalam menjaga dan merawat lingkungan
serta budaya desa, menyampaikan harapan dan cita-cita bersama untuk perkembangan desa yang lebih
baik di masa mendatang.
Ziarah Kubur dan Tabur Bunga
Tabur bunga dilaksanakan pagi sebelum puncak tradisi bersih desa dan sedekah bumi dilakukan
ke seluruh makam yang ada di desa Sindurejo yaitu makam dusun krajan, makam dusun
sumberwinong, makam banjarsari, dan makam blumbang tujuannya mendoakan kepada seluruh para
leluhur desa sindurejo yang di ikuti oleh perangkat desa dan Masyarakat desa Sindurejo.
Do’a di Bukit dan Sumber Air
Setelah kegiatan ziarah kubur juga diadakan doa di gunung puring dan gunung perkul yang
merupakan gunung yang berada di desa sindurejo serta diadakan doa di sumber mata air Sadikromo
untuk memohon dan rasa syukur untuk selalu diberikan air yang melimpah.
Puncak Acara
Kirab suro dalam rangka bersih desa dan sedekah bumi dilaksanakan pukul 14.00-17.00 WIB
diikuti oleh para tokoh masyarakat setempat, aparat desa dan warga sekitar, muspika Kecamatan
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 120 -
Gedangan. Kelestarian budaya ini, warga sekitar membawa lebih dari 5 jenis sesajen. Jenis sesajen
yang dibawa pun beragam, seperti: Padi, jagung, kelapa, tebu, ketela pohon, buah-buahan, sayur
sayuran dll (hasil bumi yang ada di Desa Sindurejo), Nasi Tumpeng yang di siapkan oleh pihak desa
dan juga ada yang dari inisiatif warga sendiri di arak dari balai Desa Sindurejo menuju Punden Dusun
Pundensari Desa Sindurejo. Seluruh warga yang ikut berpartisipasi memakai pakaian adat jawa yang
di pimpin langsung oleh Kepala Desa dan di iringi oleh kesenian Al-Banjari. Adapun susunan acara
yang dilaksanakan di Punden yaitu diawali dengan sambutan dari Kepala Desa, ujub atau doa
menggunakan bahasa jawa dilanjutkan dengan doa islam, hasil sedekah bumi dibagikan kepada warga
yang ikut hadir dan menyaksikan, dan ditutup dengan acara makan bersama.
Nanggap Wayang
Tradisi bersih desa dan sedekah bumi di Desa Sindurejo rasanya tidak lengkap jika hanya
diadakan dengan slametan dan kirab. Anggapan Masyarakat yang sudah terpatri dengan pernyataan
bahwa harus ada pertunjukkan wayang kulit, menjadi faktor pendorong adanya acara “Nanggap
Wayang” itu. Entah itu mitos yang mengatakan bahwa jika tidak Nanggap Wayang maka akan terjadi
hal yang tidak memuaskan atau hanya anggapan masyarakat yang sudah menjadi aturan tak tertulis
mengenai hal itu. Nanggap Wayang dilakukan pada malam hari dihari yang sama. Di dalam cerita
pewayangan bukan hanya ada tontonan tetapi juga ada tuntunan dan hiburan. Wayang menjadi
tontonan karena memilki nilai keindahan pada bagian cerita dan wujudnya yang diceritakan oleh
dalang. Setelah itu kita dapat mengambil hikmah apa yang bisa kita dapatkan dari cerita pewayangan.
Pesan cerita itu bisa menjadi tuntunan dalam berbuat dan memikirkan sesuatu. Dalam pewayangan
tidak hanya terdapat nilai moral saja tetapi juga nilai hiburan yang dapat meluweskan pikiran kita.
4. Simpulan dan Saran
Tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo bertujuan membersihkan desa agar dijauhkan
dari musibah dan wabah penyakit serta menyedekahi desa dan nylameti lemah/tanah setahun sekali. Tradisi
ini selalu dilaksanakan setiap bulan suro atau muharam. Secara turun temurun dilakukan prosesi acara
bersih desa dan sedekah bumi ada dua yaitu kegiatan yang dilaksanakan sebelum acara dan kegiatan yang
dilaksanakan ketika tepat pada hari yang sudah disepaktai. Kegiatan yang dilaksanakan sebelum acara
terdiri dari gugur gunung: kegiatan bersih desa, dan membersihkan lingkungan punden. Sedangkan kegiatan
ketika acara terdiri dari membaca doa bersama sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta dengan
membawa beberapa makanan tradisional, dan Nanggap Wayang: hiburan pertunjukkan wayang kulit.
Masyarakat memandang tradisi bersih desa dan sedekah bumi Desa Sindurejo memiliki beberapa fungsi
dan manfaat bagi masyarakat setempat. Di antaranya fungsi keagamaan, yaitu sebagai wujud rasa syukur
manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi moral, dengan adanya tradisi bersih desa dan sedekah bumi
Desa Sindurejo maka parawarga akan berkumpul dan berembug serta bertegur sapa meningkatkan
silaturahmi dan berbagi makanan ketika acara dilaksanakan. Serta fungsi hiburan, yaitu wayang
mengandung nilai seni yang indah, ketika dilihat karena sebagai budaya bangsa. Wayang juga dapat
memberi tuntunan untuk kita dalam bersikap tindak.
5. Daftar Pustaka
Eppink. 2013. The Eppink Model and Psychological analysis of Calture.
Hetarion, B. D. ., Hetarion, Y., & Makaruku, V. (2020). Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Lokal Cuci Negeri dalam Pembelajaran IPS. JTP: Jurnal Teknologi Pendidikan, 22(1).
https://doi.org/https://doi.org/10.21009/jtp.v22i1.15328
Koentjaraningrat. (2002). Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Journal of Contemporary Issues in Primary Education (JCIPE)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 115-121
E-ISSN: 3026-4014
- 121 -
Maksum, M. (2015). Tradisi Gugur gunung Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus Lunturnya Tradisi Gugur
gunung di Desa Mundusewu, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang). Trisula, 1(1), 17-17.
Rachmadyanti, P. (2021). Studi Litearatur: Kearifan Lokal Masyarakat Using sebagai Sumber Belajar IPS
di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 6(9).
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.17977/jptpp.v6i9.15010
Sakman. (2016). Peran Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi Dalam Mencegah Degradasi
Moral. Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (JPIPS), 6(2). Diambil dari https://e-
journal.upr.ac.id/index.php/JP-IPS/article/view/3198
Soemardjan. S dan Soemardi. S. 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Yayasan Badan penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Sujamto. (1997). Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara prize.
Susilaningtiyas, D. E., & Falaq, Y. (2021). Internalisasi Kearifan Lokal Sebagai Etnopedagogi: Sumber
Pengembangan Materi Pendidikan IPS Bagi Generasi Millenial. Sosial Khatulistiwa: Jurnal
Pendidikan IPS, 1(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.26418/skjpi.v1i2.49391
Wijaya, A. A., Syarifuddin, & Dhita, A. N. (2021). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Rumah Adat Kajang Lako
di Jambi. Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah, 10(1). https://doi.org/10.36706/JC.V10I1.11488
Muzakkir, M. (2021). Pendekatan Etnopedagogi Sebagai Media Pelestarian Kearifan Lokal. JURNAL
HURRIAH: Jurnal Evaluasi Pendidikan dan Penelitian, 2(2), 28-39.
Syakhrani, A. W., & Kamil, M. L. (2022). Budaya dan kebudayaan: Tinjauan dari berbagai pakar, wujud-
wujud kebudayaan, 7 unsur kebudayaan yang bersifat universal. Cross-border, 5(1), 782-791.
Wahyuni, A., Tias, A. A. W., & Sani, B. (2013, November). Peran etnomatematika dalam membangun
karakter bangsa. In Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Prosiding,
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta: UNY (Vol. 1, No. 1, pp. 114-118).
Jati, I. M. (2022). Nilai-nilai Kearifan Lokal Tradisi Nyadran Sebagai Sumber Belajar IPS. Journal
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, 14(2), 246-258.
Ardhani, D. O., & Suhardiyanto, A. (2024). Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Nyadran Dusun
Kembaran Desa Sedayu Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Unnes Civic Education
Journal, 9(2).