menjadi harta bersama setelah menikah, serta harta jiwa dana, yaitu pemberian orang tua
kepada anaknya sebelum menikah yang bersifat mutlak dan dapat dipindahtangankan tanpa
izin saudara-saudaranya.
Ketiga, harta bersama adalah harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan, yang
dalam hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini
ternyata belum ada keseragaman di Bali, dengan berbagai sebutan seperti guna kaya, maduk
sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih, dan sebagainya. Jika terjadi
perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya (druwe gabro) harus dibagi dua
sama rata. Menurut hukum adat, anak-anak merupakan golongan ahli waris yang terpenting,
sebab mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris. Oleh karena itu,
lain-lain anggota keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan
meninggalkan anak-anak. Dengan adanya anak-anak, kemungkinan lain-lain anggota
keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.
J. Adat Lahir dan Meninggal
Hingga saat ini, Bali tetap memegang teguh adat istiadat, budaya, dan kearifan lokal
meski perkembangan zaman semakin maju. Bali tetap menjaga adat istiadatnya dan
melestarikan berbagai upacara adat yang memiliki makna mendalam bagi umat Hindu. Setiap
upacara adat memiliki tujuan khusus, mulai dari pemujaan kepada Tuhan, bakti kepada
leluhur, hingga penghormatan terhadap alam semesta. Salah satu upacara adat yang penting
dalam siklus kehidupan anak adalah rangkaian keselamatan mulai dari dalam kandungan
hingga periode usia tertentu. Upacara ini meliputi berbagai prosesi seperti Magedong-
gedongan untuk ibu hamil, Nanem ari-ari untuk bayi yang baru lahir, Kepus pungsed ketika
tali pusar bayi sudah terlepas, dan Ngelepas Aon setelah bayi berusia 12 hari.
Upacara Magedong-gedongan dilakukan untuk bayi dalam kandungan usia 5-7 bulan,
bertujuan untuk penyucian dan menjaga keselamatan ibu dan janin. Nanem ari-ari adalah
upacara penanaman ari-ari yang dilakukan setelah bayi lahir, di mana ari-ari dibersihkan,
dibungkus, dan ditanam di pekarangan rumah dengan harapan keselamatan dan kesejahteraan
bayi. Kepus pungsed dilaksanakan saat tali pusar bayi mulai terlepas, di mana tali pusar
dibungkus dengan kain putih dan ditempatkan dalam ketupat sebagai simbol penjagaan oleh
Dewa Kumara. Sementara itu, Ngelepas Aon dilakukan setelah bayi berusia 12 hari untuk
memberikan nama dan mengganti nama empat saudara bayi, termasuk ari-ari.
Selain upacara kelahiran, Bali juga memiliki upacara adat untuk pemakaman jenazah
yang disebut Ngaben. Ngaben merupakan ritual pembakaran jenazah yang dilakukan sebagai
upacara Pitra Yadya, yaitu upacara untuk leluhur. Terdapat tiga jenis Ngaben berdasarkan
pangawaknya: Ngaben Sawa Wadana untuk orang baru meninggal, Ngaben Asti Wadana
untuk tulang belulang orang yang sudah lama meninggal, dan Ngaben Swasta untuk jenazah
yang ditemukan dalam bentuk simbolis (Sudarsana, 2018). Upacara Ngaben dirayakan
dengan meriah sebagai bentuk penghormatan dan keikhlasan keluarga, tanpa air mata
kesedihan, untuk memastikan bahwa roh yang telah tiada dapat melanjutkan perjalanan
spiritualnya dengan baik.
K. Sistem Kepercayaan
Masyarakat Bali memegang dua jenis kepercayaan: yang berasal dari zaman pra-Hindu
dan yang berasal dari zaman Hindu. Kepercayaan dari zaman pra-Hindu meliputi animisme
dan dinamisme, yang mengajarkan tentang roh dan kekuatan alam. Sedangkan kepercayaan
dari zaman Hindu, dikenal dengan sebutan panca cradha, mencakup lima ajaran utama yaitu
percaya akan adanya Tuhan, konsep atma (roh abadi), punarbhawa (kelahiran kembali),
hukum karmapala (buah dari perbuatan), dan moksa (kebebasan jiwa). Kepercayaan-
kepercayaan ini mencerminkan pandangan hidup yang mendalam dan spiritual dari
masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu (Wartayasa, 2018).