JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
39
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi Suku Bali
di Pulau Dewata yang Menakjubkan
Alfian Fahrurrozhi
a,1
, Heri Kurnia
b,2
a
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
b
CV. Kurnia Grup
1
alfifian060@gmail.com;
2
herikurnia312@gmail.com
*
alfifian060@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 15 April 2024
Direvisi: 19 Mei 2024
Disetujui: 17 Juni 2024
Tersedia Daring: 18 Juli 2024
Penelitian ini adalah studi literatur yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman mendalam tentang tradisi adat dan kebudayaan
masyarakat suku Bali, kelompok etnis asli di pulau Bali, Indonesia.
Suku Bali dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang kaya,
termasuk dalam hal sistem kepercayaan, upacara adat, upacara ngaben,
dan cara hidup mereka yang unik. Studi literatur ini akan
mengumpulkan dan menganalisis berbagai sumber literatur, termasuk
buku, artikel jurnal, dan dokumen resmi yang relevan dengan tradisi
adat dan kebudayaan suku Bali. Data yang terkumpul akan dianalisis
untuk mengidentifikasi pola, perkembangan, dan aspek penting dari
kebudayaan Bali, serta bagaimana budaya mereka telah berinteraksi
dengan modernisasi dan perubahan sosial. Hasil dari studi literatur ini
diharapkan akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam
tentang keragaman budaya suku Bali.
Kata Kunci:
Suku
Adat
Bali
Budaya
ABSTRACT
Keywords:
Tribe
Custom
Bali
Culture
This research is a literature study aimed at providing an in-depth
understanding of the traditional customs and culture of the Balinese
people, an indigenous ethnic group from the island of Bali, Indonesia. The
Balinese are known for their rich cultural diversity, which includes their
belief systems, traditional ceremonies, ngaben (cremation ceremonies),
and unique way of life. This literature study will collect and analyze
various sources of literature, including books, journal articles, and official
documents relevant to Balinese traditions and culture. The collected data
will be analyzed to identify patterns, developments, and key aspects of
Balinese culture, as well as how their culture has interacted with
modernization and social change. The findings from this literature study
are expected to provide a deeper understanding of the cultural diversity
of the Balinese people.
©2024, Alfian Fahrurrozhi, Heri Kurnia
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam, termasuk kebiasaan unik
masyarakat di berbagai daerah, terutama dalam upacara-upacara tertentu. Bentuk-bentuk adat
dan tradisi ini mencakup upacara perkawinan, upacara adat, upacara kematian, dan banyak
lagi, termasuk upacara yang diadakan saat kelahiran anggota keluarga (Pujileksono, 2017).
Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia terletak pada penekanan pentingnya kesukubangsaan
yang tampak dalam berbagai komunitas suku dan penggunaan identitas kesukubangsaan
sebagai referensi jati diri. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang masing-masing
memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang unik. Seiring perkembangan, beberapa suku
bangsa telah mengalami kemajuan dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik serta mengenal
sistem pemerintahan. Salah satu contoh dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
40
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
adanya berbagai suku bangsa, seperti masyarakat Bali, yang tetap mempertahankan adat
istiadat dan kebudayaannya meskipun tidak berada di Pulau Bali (Ranjabar, 2016).
Di tengah kemajuan global yang kian pesat, terdapat sebuah pulau di Indonesia yang
masih memelihara kebudayaan kuno yang luar biasa pulau Bali. Suku Bali, dengan
keunikannya yang memukau, telah mempertahankan tradisi dan nilai budaya yang tidak hanya
bertahan melawan arus zaman tetapi juga berkembang menjadi magnet global bagi wisatawan
dan peneliti. Masyarakat Bali, dengan kekayaan ritual, seni, dan sistem sosialnya, menawarkan
jendela ke dunia yang hampir terlupakan di era modern ini. Namun, di balik pesona dan
keindahan yang dikenali oleh dunia luar, terdapat kompleksitas yang mungkin tidak terlihat
oleh mata biasa. Budaya Bali, yang sering kali dianggap seragam dan homogen, sebenarnya
adalah mozaik dari berbagai tradisi yang bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Dua
kelompok utama masyarakat Bali. Bali Aga dan Bali Majapahit menunjukkan betapa
dalamnya pengaruh sejarah terhadap budaya yang ada. Bali Aga, dengan keasliannya yang
keras kepala, dan Bali Majapahit, yang menyerap elemen dari peradaban Majapahit,
menciptakan sebuah dinamika budaya yang mencerminkan pergulatan dan penyesuaian
sepanjang sejarah. Konservasi budaya Bali tidak sekadar menjaga tradisi tetapi juga melawan
ancaman modernisasi yang berpotensi mengubah atau bahkan menghancurkan identitas
budaya yang telah ada selama berabad-abad. Upaya pelestarian yang dilakukan bukan hanya
sekedar upacara, tetapi merupakan pertempuran untuk memastikan bahwa warisan budaya ini
tetap hidup dan relevan.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang berfokus pada literatur, mengacu pada
berbagai referensi. Pengumpulan informasi dilakukan melalui penelaahan buku, artikel, dan
jurnal-jurnal yang relevan. Untuk mempermudah pencarian sumber, digunakan aplikasi
Publish or Perish. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber dicatat secara rinci untuk
memperkuat dasar teoritis penelitian. Dalam proses penelitian ini, diterapkan metode analisis
serta kriteria dan standar rujukan yang ketat, dengan mengikuti alur berpikir yang sistematis.
Metode riset kepustakaan ini memungkinkan pengumpulan data yang beragam dan kaya,
yang digunakan untuk memperdalam pemahaman mengenai topik penelitian(Fahrurrozhi et
al., 2023). Evaluasi kritis terhadap literatur memastikan informasi yang diperoleh akurat dan
relevan. Pendekatan ini juga membantu mengidentifikasi kekosongan dalam literatur yang ada
dan memberikan kontribusi baru melalui analisis mendalam. Penelitian ini bertujuan
memberikan gambaran yang komprehensif dan mendetail tentang topik yang dibahas, serta
menawarkan wawasan baru berdasarkan analisis literatur yang cermat.
3. Hasil dan Pembahasan
A. Letak dan Geografis Bali
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112
km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara geografis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang
Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian
Indonesia yang lain. Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung
berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada
di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana
yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran
rendah yang dialiri sungai-sungai.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan
yang memanjang dari barat ke timur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan
gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
41
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
Gunung Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut
menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama
yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan
dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan
datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam
(15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali
memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan
atau Bedugul, Buyan, Tamblingan, dan Batur. Alam Bali yang indah menjadikan pulau Bali
terkenal sebagai daerah wisata.
Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat
kesenian dan peristirahatan, terletak di Kabupaten Gianyar. Nusa Lembongan adalah sebagai
salah satu tempat menyelam (diving), terletak di Kabupaten Klungkung. Sedangkan Kuta,
Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan utama
pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan, spa, dan lain-lain, terletak di
Kabupaten Badung. Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas
8 kabupaten, 1 kotamadya, 55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan . Dikutip dari publikasi
Provinsi Provinsi Bali Dalam Angka 2021 yang dikeluarkan BPS, aspek demografi di
provinsi ini meliputi berbagai kondisi kependudukan. Jumlah penduduk Provinsi Bali adalah
4.317.404 juta jiwa , dengan laju pertumbuhan penduduk 1,01 persen. Sementara, kepadatan
penduduk Provinsi Bali adalah 746,95 jiwa per kilometer persegi Angka harapan hidup
mencapai 72,13 dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 75,50.
B. Karakteristik Pulau Bali
Suku Bali sebagaimana beberapa suku-suku lain di Indonesia terutama Indonesia bagian
barat termasuk ke dalam ras Malayan Mongoloid. Ciri fisik ras ini yakni mempunyai
rambut berwarna hitam yang lurus halus, dominan berwarna kulit sawo matang dengan
perawakan badan yang kecil. Tinggi rata-rata masyarakat 156 cm sampai 169 cm
bergantung kepada jenis kelaminnya. Bagian wajah memiliki bentuk sedikit lonjong. Ciri-
ciri lain dari nama-nama orang Bali adalah kata sandang untuk jenis kelamin atau gender
seseorang, ada sebutan I dan Ni untuk I adalah kata sandang untuk laki-laki sedangkan Ni
untuk kata sandang untuk perempuan, sebutan I dan Ni diletakkan pada nama paling depan
salah satu contohnya I Wayan Wijaya atau Ni Wayan Wijani.
Masyarakat Bali kebanyakan masih mempercayai unsure-unsur mistis yang ada pada
alam. Mereka yakin bahwa manusia tidak hanya berinteraksi dengan manusia atau makhluk
hidup lainnya, namun benda mati dan alam sekitar mereka ikut mempengaruhi kelancaran
dan kehidupan mereka sehari-hari. Makhluk halus atau roh pun sering berinteraksi dengan
mereka, katanya. Berbagai ritual dan upacara adat mereka rayakan berharap roh yang telah
mendahului mereka merestui kehidupan mereka di dunia dan mereka dapat hidup dengan
damai dan selamat dari bahaya. Ragam Indonesia sangat tampak di Bali, maka dari itu tiap
manusia patut untuk memiliki rasa hormat dan saling menghargai terhadap perbedaan yang
ada di sekeliling kita.
C. Sistem Kekerabatan, Bahasa dan Suku Bali
Provinsi Bali, sistem kekerabatan di Bali memiliki fungsi-fungsi tertentu yang meliputi
aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan religi baik dalam segi kehidupan
tradisional maupun segi kehidupan modern. Kelompok kekerabatan di Bali ini bermacam-
macam, antara lain: keluarga inti, keluarga luas, clan kecil dan clan besar. Keluarga inti ini
memiliki fungsi selain merupakan kesatuan tempat adanya hubungan yang mesra dan intim
juga merupakan kesatuan ekonomi yang mewujudkan suatu kesatuan rumah tangga,
kesatuan dalam pengasuhan, dan pendidikan anak. Upacara daur hidup adalah serentetan
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
42
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
upacara sebagai tingkah laku yang berpola tata kelakuan dan kepercayaan masyarakat yang
berkaitan dengan daur hidup tersebut. Menurut masyarakat Bali yang menganut agama
Hindu,upacara daur hidup tergolong sebagai upacara manusa yadnya (selama seseorang
masih hidup) dan upacara pitra yadnya (setelah seseorang meninggal). Jenis-jenis upacara
daur hidup ini misalnya: upacara saat kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara
mengantar anak menjadi dewasa, upacara potong gigi, upacara perkawinan, upacara
kematian (ngaben). Upacara daur hidup ini dilakukan sejak seseorang lahir, hingga tumbuh
menjadi dewasa kemudian meninggal. Masyarakat Bali masih mempertahankan tradisi ini
sampai sekarang karna masyarakat Bali beranggapan bahwa melaksanakan upacara ini
merupakan kewajiban untuk hubungan kekerabatan, terutama hubungan antara ayah dengan
anak.
Bahasa yang sering di tuturkan oleh mayoritas masyarakat Bali adalah bahasa Bali,
bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari
anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok
bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki
tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali
Kasar. Hal ini terjadi karena pengaruh bahasa Jawa menyebar ke Bali sejak zaman
Majapahit, bahkan sampai zaman Mataram Islam, meskipun kerajaan Mataram Islam tidak
pernah menaklukkan Bali. Bahasa yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya
dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah
dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah
misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh
orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di
Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau
Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi.
Selain itu Bahasa Osing, yaitu bahasa asli orang Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-
kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali
tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 3,3 juta jiwa berdasarkan data sensus
tahun 2000.
Suku Bali mayoritasnya memeluk agama Hindu. Di balik itu, penduduk asli Suku Bali
mempunyai beragam keunikan yang tidak bisa disamakan dengan suku-suku lainnya di
nusantara. Suku Bali Aga merupakan salah satu subsuku bangsa Bali yang menjadi salah
satu penduduk asli Bali. Penduduk Bali Aga hidup terisolasi di daerah pegunungan Desa
Trunyan. Istilah Bali Aga diakui sebagai orang gunung yang bodoh karena penduduk Suku
Bali Aga hidup di kawasan pedalaman yang belum terjamah oleh teknologi seperti sekarang
ini. Penduduk Suku Bali Aga menggunakan dialek bahasa Bali itu sendiri. Bahasanya juga
berbeda dengan wilayah satu dengan wilayah lainnya, seperti wilayah Desa Trunyan
dengan Desa Tengganan. Keduanya mempunyai dialek bahasa tersendiri. Bagi wisatawan
yang ingin berkunjung ke wilayah desa tersebut, disarankan untuk berhati-hati dengan
faktor geografis yang ada. Tidak hanya Suku Aga, Pulau Dewata juga menghadirkan Suku
Bali Majapahit. Suku ini berasal dari pendatang Jawa yang sebagian dari mereka tinggal di
pulau Bali Khususnya berada di dataran rendah. Penduduk Suku Bali Majapahit berasal dari
penduduk Jawa sejak kerajaan Majapahit yang menganut agama Hindu. Suku Bali
Majapahit juga mempunyai pengaruh dari sejarah Suku Bali. Mata pencaharian Suku Bali
Majapahit adalah bercocok tanam di sawah. Bahasa Suku Bali Majapahit sangat mirip
dengan bahasa Jawa, hanya sedikit perbedaannya yaitu logatnya.
D. Sistem Pranata Sosial atau Sistem Sosial/ Organisasi Sosial
Di Bali sendiri mengenal 4 macam tingkatan kasta, golongan kasta paling bawah adalah
kasta Sudra yang mana nama depannya seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, warga dari
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
43
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
kasta Sudra ini mayoritas penduduk orang Bali. Kemudian ada kasta Waisya diawali dengan
gelar Sang, Kompyang, Ngakan atau Si, mereka melakukan pekerjaan dibidang niaga dan
industri. Kasta Ksatria, mereka ini berasal dari kaum Bangsawan atau dari keluarga kerajaan,
pejabat militer, menteri ataupun abdi keraton nama depan yang disandang adalah Cokorde,
Anak Agung ataupun Gusti. Berikutnya kasta Brahmana, mereka berasal dari golongan
rohaniawan, seperti pendeta ataupun pemuka agama, gelar nama yang disandang adalah Ida
Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu/Dayu (untuk perempuan). Dari ciri-ciri nama yang disandang
maka orang tahu dari kasta mana mereka berasal. Nama orang Bali ini menjadi fakta yang
cukup menarik yang masih jarang diketahui orang luar.
Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di Weda,
wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak
lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal
masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal
pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.
Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit.
Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa
asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal
yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah
minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk
sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari
Majapahit.
Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para
panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa
militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit)
menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
1) Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai Brahmana.
2) Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna
Kesatria.
3) Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal
dari Jawa diberikan warna Waisya.
Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan
kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal dengan
istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra
Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Jaba setelah kehilangan
kekuasaan mereka. Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian
profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh
wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa
mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam
praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa
menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga
sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa
suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero.
Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai
aturan Paternalisme. Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam sistem penamaan
masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga
mereka.
E. Sistem Ekonomi atau Mata Pencaharian Hidup
Mata pencaharian utama orang Bali berpusat pada pertanian padi di sawah. Di daerah
pegunungan, orang membangun sawah-sawah dengan sistem teras. Orang mengenal suatu
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
44
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
organisasi pengairan yang sudah berlangsung sejak puluhan generasi yang lalu yaitu Subak.
Solidaritas antarwarga subak diperkuat dengan adanya upacara-upacara keagamaan yang
khusus diselenggarakan oleh para warga. Sebagian besar penduduk Bali menggantungkan
hidupnya dari sektor pariwisata karena memang daerah ini merupakan tujuan utama
pariwisata bagi wisatawan asing dan domestik. Sebagian juga memilih menjadi seniman.
Sebagian besar masyarakat Bali memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain padi,
pertanian yang lain yaitu palawija, kopi, dan kelapa. Peternakan di Bali juga maju, yaitu
ternak babi dan sapi. Selain itu juga dikembangkan peternakan kambing, kerbau, dan kuda.
1) Perikanan: dikembangkan perikanan darat dan laut, perikanan laut terdapat di pinggir
pantai. Para nelayan menggunakan jangkung (perahu penangkap ikan) untuk mencari ikan
tongkol, udang, dan cumi-cumi.
2) Di Bali juga banyak terdapat industri kerajinan, kerajinan yang dibuat meliputi: benda-
benda anyaman, kain tenun, pabrik rokok, dan tekstil. Selain itu juga banyak perusahaan
yang menjual jasa, seperti biro perjalanan, hotel, rumah makan, taksi, dan toko kesenian.
Tempat usaha terbesar terdapat di Gianyar, Denpasar, dan Tabanan.
F. Rumah Adat Bali
Dari mulai tradisi dan agama, Bali juga memiliki rumah adat dengan bentuk yang
sangat khas dan berbeda dengan wilayah lainnya. Bali atau yang biasa disebut dengan
sebutan Pulau Dewata ini memiliki bentuk rumah adat Bali yang unik, tidak seperti rumah
pada umumnya dan bisa dikatakan terlihat mewah meski sarat akan nilai nilai tradisional
yang terlihat seperti candi dengan bagian bagiannya tersendiri. Rumah adat Bali memiliki
beragam jenis dengan keunikan tersendiri. Salah satunya adalah Angkul Angkul yang
memiliki bentuk unik. Rumah adat ini umumnya memiliki pintu utama berupa gapura
dengan atap artistik dan tradisional seperti candi di bagian kiri dan kanan. Atap yang
menghubungkan dua sisi rumah juga dihiasi dengan ukiran artistik. Meskipun atap rumah
saat ini umumnya terbuat dari genteng, Angkul Angkul tradisional menggunakan atap dari
rumput kering.
Rumah adat Bali lainnya adalah Aling Aling. Ketika memasuki halaman rumah adat
Bali, terdapat bangunan kecil seperti pos ronda di bagian depan yang disebut Aling Aling.
Area ini digunakan pemilik rumah untuk berbagai aktivitas seperti mengukir patung,
persiapan alat upacara tradisional, atau menerima tamu. Aling Aling dikelilingi oleh
tembok pembatas bernama penyeker, yang berfungsi sebagai pembatas antara aura negatif
dan positif. Dulu, Aling Aling biasanya menggunakan kelangsah atau daun kelapa kering
dan kelabang mantri sebagai perlindungan dari kekuatan negatif, dengan sulaman atau
ulatan daun kelapa sebagai hiasan. Selanjutnya, Pamerajan atau pura keluarga merupakan
rumah adat Bali yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Mayoritas penduduk Bali yang
beragama Hindu memiliki pamerajan di dalam rumah, biasanya dibangun di sudut timur
laut rumah. Pamerajan adalah tempat sakral untuk upacara sembahyang dan doa harian,
dan terdiri dari beberapa bangunan dengan fungsi berbeda, seperti Kemulan, Penglurah,
Padmasaro, Taksu, Peliangan, dan Piyasan.
Bale Meten atau Bale Daja adalah ruangan untuk tidur kepala keluarga dan anak gadis
yang belum menikah. Ukuran Bale Meten ini sedang, tidak terlalu besar atau kecil, dan
umumnya dibangun menghadap utara, mencerminkan ciri khas rumah adat Bali. Bale
Dauh atau Bale Tiang Sanga merupakan bangunan unik lainnya. Seperti namanya, Bale
Tiang Sanga ini menggunakan sembilan tiang sebagai penyangga dan berfungsi untuk
menerima tamu. Bale Dauh biasanya dibangun di sebelah barat dengan bentuk persegi
panjang, dihiasi dengan ukiran kayu dan beberapa patung di setiap sudut ruangannya.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
45
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
G. Pakaian Adat Bali
Tidak hanya itu, pakaian adat Bali yang dikenakan sehari-hari oleh masyarakatnya
semakin menonjolkan kekentalan budaya Pulau Dewata. Pakaian adat Bali sangat
beragam, meskipun terlihat serupa secara kasat mata. Kebaya Bali adalah pakaian adat
yang dikenakan oleh perempuan Bali. Kebaya ini dapat dibuat dari berbagai jenis bahan,
dengan renda sebagai salah satu favorit. Kebaya Bali sering dipadukan dengan korset
yang dikenakan oleh perempuan Bali yang lebih tua. Warna-warna cerah yang menjadi
ciri khas kebaya Bali memiliki nilai filosofis yang menggambarkan keceriaan dan
keanggunan perempuan Bali. Dengan banyaknya upacara adat dan keagamaan di Bali,
kebaya menjadi pakaian yang penting dalam kehidupan perempuan Bali.
Baju Safari adalah pakaian adat yang dikenakan oleh pria Bali. Meskipun mirip
dengan kemeja biasa, baju safari memiliki makna mendalam. Setiap pria Bali yang
mengenakannya diharapkan menjaga kebersihan, kerapihan, dan kesopanan. Umumnya,
baju safari berwarna putih dengan kerah dan kancing, serta saku di bagian dada dan
bawah. Warna putih melambangkan kesucian dan kesakralan. Kain Kamen adalah kain
yang digunakan untuk menutupi bagian bawah tubuh pria Bali, mirip dengan sarung
namun dengan corak yang menonjol dan motif persegi. Bahan yang digunakan adalah
kain halus dan tipis. Kain kamen juga sering dikenakan oleh perempuan Bali.
Udeng Kepala adalah aksesori yang dikenakan oleh pria Bali dalam acara adat. Udeng
bukan hanya untuk menutupi kepala, tetapi juga dikenakan dalam berbagai acara
keagamaan oleh pria dewasa maupun anak laki-laki. Pembuatan udeng memerlukan
keahlian khusus dan biasanya terdiri dari dua jenis: udeng polos dan udeng bercorak.
Payas Agung adalah pakaian tradisional yang dikenakan saat upacara pernikahan atau
potong gigi. Pakaian ini terlihat mewah dan spesial, biasanya dipadukan dengan mahkota
tinggi dan kain berwarna-warni yang dikenakan oleh pengantin perempuan. Pengantin
perempuan juga memakai tapih panjang dari dada hingga kaki, dilapisi kemben dan
kamen prada yang menutupi hingga mata kaki. Payas Alit adalah pakaian adat yang lebih
sederhana dan bisa dikenakan dalam aktivitas sehari-hari. Payas Alit, yang berarti kecil
atau sederhana, lebih sederhana dibandingkan payas agung dan payas madya. Payas alit
untuk pria biasanya terdiri dari baju safari atau baju koko dengan udeng sebagai penutup
kepala, dan sering dikenakan untuk keperluan ibadah ke pura.
H. Adat Menikah
Bali sendiri menganut sistem perkawinan atau kekerabatan Patrilineal, dimana keturunan
dan hak waris diatur berdasarkan garis keturunan ayah atau laki-laki, sementara pihak wanita
dilepaskan hukumnya dari keluarganya. Namun, di masyarakat saat ini, terdapat juga
pernikahan yang ditarik dari garis keturunan ibu atau matrilineal. Pernikahan di Bali adalah
sebuah proses yang indah dan suci melalui upacara keagamaan yang sakral. Bagi masyarakat
yang ingin melaksanakan upacara pernikahan, persiapan dimulai dari awal, termasuk
pemilihan hari baik agar upacara berjalan lancar dan kehidupan baru sebagai suami istri
sesuai dengan harapan (Rahman, 2023).
Dalam tata cara pernikahan tradisional adat di Bali dalam agama Hindu, langkah pertama
adalah menentukan hari baik. Warga yang akan melaksanakan upacara pernikahan memilih
hari baik sesuai kalender Hindu, mulai dari calon mempelai pria datang untuk
memberitahukan (nyedek) hingga hari pernikahan yang disepakati oleh kedua keluarga.
Pemilihan hari baik diyakini mempengaruhi kelancaran upacara dan kehidupan mereka
sebagai suami istri. Tahap berikutnya adalah upacara ngekeb, dimana calon pengantin wanita
dipersiapkan dengan luluran menggunakan bahan-bahan seperti kunyit, beras, kenanga, dan
daun merak yang ditumbuk halus. Calon pengantin wanita tidak boleh keluar kamar hingga
calon mempelai pria dan keluarganya datang menjemput, bertujuan mempersiapkan mental
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
46
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
calon pengantin dan berdoa kepada Ida Sang Hyang Widi untuk kebahagiaan lahir dan batin
(Rahmawati, 2021).
Selanjutnya adalah penjemputan calon mempelai wanita. Keluarga mempelai pria
menjemput calon mempelai wanita yang sudah siap dengan pakaian adat Bali dan diselimuti
kain kuning tipis, simbol kesiapan meninggalkan masa lajang dan menyongsong kehidupan
baru Proses upacara berikutnya adalah mungkah lawang (buka pintu), dimana utusan dari
calon mempelai pria mengetuk pintu kamar calon pengantin wanita sambil diiringi tembang-
tembang Bali. Calon mempelai wanita kemudian dibawa ke rumah mempelai pria tanpa
diikuti oleh keluarganya, dengan cara digendong dan ditandu. Setelah itu, prosesi mesegeh
Agung dilakukan sebelum memasuki pekarangan rumah mempelai pria. Kain kuning yang
menutupi tubuh mempelai wanita dibuka oleh calon ibu mertuanya dan ditukar dengan uang
kepeng satakan, sebagai tanda menyambut dunia baru dan mengubur masa lalu.
Medengen-dengenan (mekala-kalaan) adalah prosesi berikutnya yang dipimpin oleh
pendeta atau pemangku adat. Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri kedua mempelai
melalui berbagai ritual seperti menyentuhkan kaki pada Kala Sepetan, jual beli antara
mempelai, menusuk tikeh dadakan oleh mempelai pria sebagai simbol kekuatan Lingga dan
Yoni, dan memutuskan benang yang terentang pada batang pohon dadap. Prosesi selanjutnya
adalah Mewidhi Widana, yang dipimpin oleh pendeta atau sulinggih. Upacara ini
menyempurnakan pernikahan dan membersihkan diri kedua mempelai setelah upacara
sebelumnya. Keduanya kemudian menuju sanggah atau pura merajan di pekarangan rumah,
memberitahukan kepada leluhur tentang keluarga baru, memohon izin dan restu untuk
kehidupan berkeluarga yang langgeng dan bahagia, serta memiliki keturunan yang baik.
Tahap terakhir adalah upacara Mejauman (Ma Pejati), yang juga dikenal sebagai "ngabe
tipat bantal" atau "meserah". Pada prosesi ini, wanita yang mengikuti suami kembali ke
keluarga wanita didampingi keluarga besar, kerabat, dan tetangga dari keluarga pria. Mereka
melakukan upacara mepamit di sanggah pekarangan atau merajan, memohon izin secara
niskala kepada leluhur keluarga wanita. Keluarga pria membawa panganan tradisional seperti
tipat dan bantal sebagai simbol kekuatan Lingga dan Yoni, serta panganan lainnya seperti
ketan kukus merah dan putih, sumping, apem, dan lainnya.
I. Adat Pembagian Waris
Harta warisan merupakan objek hukum waris yang berarti semua harta yang ditinggalkan
oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris). Pengertian harta dalam hal ini tidak saja
menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja, melainkan meliputi pula harta yang
mempunyai arti religius. Setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta atau kekayaan
keluarga berupa harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada
hubungannya dengan keagamaan atau upacara-upacara keagamaan, dan harta yang tidak
mempunyai nilai magis religius antara lain: harta akas kaya, harta jiwa dana, dan harta druwe
gabro (Indriani & Sutrisno, 2023).
Harta warisan menurut hukum adat dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama,
harta pusaka, yang mempunyai nilai magis religius dan lazimnya tidak dibagi-bagi. Proses
pewarisannya dipertahankan di lingkungan keluarga secara utuh dan turun temurun jangan
sampai keluar dari lingkungan keluarga. Di Bali, harta pusaka ini umumnya berkaitan dengan
tempat-tempat persembahyangan, sehingga keutuhannya tetap dipertahankan demi
kepentingan keagamaan dan bukan untuk kepentingan lain. Contoh harta pusaka di Bali
adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah bukti pemerajaan, laba pura, dan
druwe tengah. Kedua, harta bawaan, yaitu harta warisan yang asalnya bukan dari jerih payah
sendiri dalam perkawinan, melainkan merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih,
balas jasa, atau karena tujuan tertentu. Di Bali, harta bawaan ini disebut harta bebaktan, yang
terdiri dari harta akas kaya, yaitu harta yang diperoleh suami atau istri sebelum menikah dan
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
47
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
menjadi harta bersama setelah menikah, serta harta jiwa dana, yaitu pemberian orang tua
kepada anaknya sebelum menikah yang bersifat mutlak dan dapat dipindahtangankan tanpa
izin saudara-saudaranya.
Ketiga, harta bersama adalah harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan, yang
dalam hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini
ternyata belum ada keseragaman di Bali, dengan berbagai sebutan seperti guna kaya, maduk
sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih, dan sebagainya. Jika terjadi
perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya (druwe gabro) harus dibagi dua
sama rata. Menurut hukum adat, anak-anak merupakan golongan ahli waris yang terpenting,
sebab mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris. Oleh karena itu,
lain-lain anggota keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan
meninggalkan anak-anak. Dengan adanya anak-anak, kemungkinan lain-lain anggota
keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.
J. Adat Lahir dan Meninggal
Hingga saat ini, Bali tetap memegang teguh adat istiadat, budaya, dan kearifan lokal
meski perkembangan zaman semakin maju. Bali tetap menjaga adat istiadatnya dan
melestarikan berbagai upacara adat yang memiliki makna mendalam bagi umat Hindu. Setiap
upacara adat memiliki tujuan khusus, mulai dari pemujaan kepada Tuhan, bakti kepada
leluhur, hingga penghormatan terhadap alam semesta. Salah satu upacara adat yang penting
dalam siklus kehidupan anak adalah rangkaian keselamatan mulai dari dalam kandungan
hingga periode usia tertentu. Upacara ini meliputi berbagai prosesi seperti Magedong-
gedongan untuk ibu hamil, Nanem ari-ari untuk bayi yang baru lahir, Kepus pungsed ketika
tali pusar bayi sudah terlepas, dan Ngelepas Aon setelah bayi berusia 12 hari.
Upacara Magedong-gedongan dilakukan untuk bayi dalam kandungan usia 5-7 bulan,
bertujuan untuk penyucian dan menjaga keselamatan ibu dan janin. Nanem ari-ari adalah
upacara penanaman ari-ari yang dilakukan setelah bayi lahir, di mana ari-ari dibersihkan,
dibungkus, dan ditanam di pekarangan rumah dengan harapan keselamatan dan kesejahteraan
bayi. Kepus pungsed dilaksanakan saat tali pusar bayi mulai terlepas, di mana tali pusar
dibungkus dengan kain putih dan ditempatkan dalam ketupat sebagai simbol penjagaan oleh
Dewa Kumara. Sementara itu, Ngelepas Aon dilakukan setelah bayi berusia 12 hari untuk
memberikan nama dan mengganti nama empat saudara bayi, termasuk ari-ari.
Selain upacara kelahiran, Bali juga memiliki upacara adat untuk pemakaman jenazah
yang disebut Ngaben. Ngaben merupakan ritual pembakaran jenazah yang dilakukan sebagai
upacara Pitra Yadya, yaitu upacara untuk leluhur. Terdapat tiga jenis Ngaben berdasarkan
pangawaknya: Ngaben Sawa Wadana untuk orang baru meninggal, Ngaben Asti Wadana
untuk tulang belulang orang yang sudah lama meninggal, dan Ngaben Swasta untuk jenazah
yang ditemukan dalam bentuk simbolis (Sudarsana, 2018). Upacara Ngaben dirayakan
dengan meriah sebagai bentuk penghormatan dan keikhlasan keluarga, tanpa air mata
kesedihan, untuk memastikan bahwa roh yang telah tiada dapat melanjutkan perjalanan
spiritualnya dengan baik.
K. Sistem Kepercayaan
Masyarakat Bali memegang dua jenis kepercayaan: yang berasal dari zaman pra-Hindu
dan yang berasal dari zaman Hindu. Kepercayaan dari zaman pra-Hindu meliputi animisme
dan dinamisme, yang mengajarkan tentang roh dan kekuatan alam. Sedangkan kepercayaan
dari zaman Hindu, dikenal dengan sebutan panca cradha, mencakup lima ajaran utama yaitu
percaya akan adanya Tuhan, konsep atma (roh abadi), punarbhawa (kelahiran kembali),
hukum karmapala (buah dari perbuatan), dan moksa (kebebasan jiwa). Kepercayaan-
kepercayaan ini mencerminkan pandangan hidup yang mendalam dan spiritual dari
masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu (Wartayasa, 2018).
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
48
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
Masyarakat Bali juga melaksanakan berbagai upacara keagamaan yang dikenal sebagai
pancawadnya, yaitu Manusa yadnya (upacara untuk manusia), Pitra yadnya (upacara untuk
leluhur), Dewa yadnya (upacara untuk dewa-dewa), Resi yadnya (upacara untuk resi atau
pendeta), dan Bhuta yadnya (upacara untuk roh-roh halus). Kepercayaan dan sistem religi
masyarakat Bali secara keseluruhan bersumber dari ajaran Hindu yang mereka anut, dan
upacara-upacara ini masih dilaksanakan hingga saat ini sebagai bentuk pelestarian tradisi
spiritual yang kuat.
Pura-pura di Bali, sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu-Bali, memiliki fungsi dan
lokasi yang spesifik sesuai dengan kepercayaan mereka. Pura Puseh atau Pura Segara, yang
merupakan tempat bersemayam Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta, biasanya
terletak di selatan desa dengan menghadap pantai. Sementara Pura Dalem adalah tempat
bersemayamnya Dewa Siwa dan biasanya dibangun menghadap ke arah barat daya. Tiga jenis
pura utama di Bali adalah Pura Besakih yang bersifat umum dan terbuka untuk semua
golongan, Pura Desa yang khusus untuk masyarakat setempat, dan Pura Sanggah yang
didedikasikan untuk leluhur. Keberagaman fungsi dan lokasi pura mencerminkan kekayaan
spiritual dan struktur sosial masyarakat Bali.
L. Kesenian Bali
Sampai saat ini, Bali masih melestarikan tarian sakral sebagai bagian integral dari tradisi
dan kehidupan spiritual masyarakatnya. Tarian ini dianggap sangat penting, karena
masyarakat percaya bahwa meninggalkannya dapat mendatangkan malapetaka. Tarian sakral
ini memiliki hubungan erat dengan upacara keagamaan dan dipandang sebagai sarana untuk
menyampaikan harapan serta memenuhi kebutuhan hidup baik untuk individu maupun
komunitas (Kayansa & Adikampana, 2017). Dalam pandangan masyarakat Bali, menarikan
tarian sakral adalah bentuk persembahan dan pemujaan kepada Tuhan, yang diharapkan
memberikan perlindungan, keselamatan, kekuatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup.
Contoh tarian sakral Bali yang terkenal adalah Tari Kecak, yang melibatkan puluhan
penari laki-laki yang duduk melingkar dengan pola tertentu sambil menyerukan "cak, cak,
cak" dan mengangkat kedua lengan. Menurut buku "Keanekaragaman Seni Tari Nusantara"
karya Resi Septiana Dewi, para penari mengenakan kain khas Bali bermotif kotak-kotak dan
memerankan tokoh-tokoh seperti Rama, Shinta, Rahwana, dan Hanoman. Selain itu, Tari
Pendet juga merupakan tarian sakral yang awalnya dipertunjukkan di pura sebagai bentuk
pemujaan, namun kini telah bertransformasi menjadi tarian "ucapan selamat datang" yang
tetap mengandung unsur sakral-religius.
Selain keindahan tarian, Bali juga dikenal dengan kekayaan seni musiknya. Musik
memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Bali, dari hiburan hingga upacara adat.
Lagu-lagu daerah Bali seperti Macepet-Cepetan, yang menggambarkan masyarakat yang
sigap dan tanggap, Meyang-Meyong yang bercerita tentang kucing memburu tikus, dan Putri
Cening Ayu yang menceritakan percakapan antara ibu dan anak, menunjukkan betapa musik
berfungsi sebagai media ekspresi budaya dan penghubung dalam berbagai aspek kehidupan
sehari-hari masyarakat Bali.
M. Senjata Suku Bali
Bali hingga kini masih melestarikan berbagai senjata tradisional sebagai bagian penting
dari warisan budaya mereka. Keberadaan senjata-senjata ini mencerminkan kekayaan budaya
dan identitas masyarakat Bali yang kuat, serta nilai-nilai tradisional yang masih
dipertahankan. Salah satu contoh adalah Keris Bali, yang meskipun berasal dari Jawa, telah
menjadi bagian dari budaya Bali setelah pengaruh Kerajaan Majapahit pada tahun 1343. Keris
Bali memiliki ukuran yang berbeda dari keris Jawa, biasanya lebih besar dan mencerminkan
adaptasi budaya lokal.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
49
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
Selain Keris Bali, Trisula Bali juga merupakan senjata tradisional yang memiliki makna
mendalam dalam budaya Bali. Trisula, yang berarti "tombak tiga" dalam bahasa Sansekerta,
memiliki tiga ujung mata yang sangat runcing. Senjata ini tidak hanya berfungsi dalam
pertarungan tangan kosong tetapi juga sebagai simbol ketajaman dan kekuatan. Keunggulan
Trisula terletak pada ketajamannya yang sangat tajam, menjadikannya efektif dalam berbagai
situasi.
Senjata tradisional lainnya termasuk Wedhung, yang melambangkan kesetiaan seorang
bawahan kepada atasan atau majikan mereka. Wedhung dianggap sebagai simbol ikrar setia,
dan biasanya digunakan dalam upacara-upacara penting. Pisau Tiuk Bali adalah alat kecil
yang bernilai seni tinggi dan sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti memasak
dan mengolah bahan makanan. Terakhir, Kandik, yang berasal dari bahasa Bali untuk
"kapak," digunakan untuk menebang pohon atau memotong kayu. Kandik yang besar dan
berat memerlukan tenaga ekstra dalam penggunaannya, menunjukkan peran pentingnya
dalam aktivitas berat sehari-hari masyarakat Bali.
N. Makanan khas Bali
Bali dikenal sebagai destinasi wisata kuliner favorit, menarik baik wisatawan lokal
maupun mancanegara dengan berbagai tempat wisata yang menawarkan pantai, belanja, alam,
budaya, dan tentunya makanan tradisional. Salah satu hal yang wajib dicoba saat berkunjung
ke Bali adalah menikmati ragam makanan khas yang terkenal enak. Di antara makanan
tradisional Bali yang patut dicoba adalah Bebek Betutu, Babi Guling, Serombotan, dan Sate
Lilit. Masing-masing hidangan ini memiliki keunikan dan kelezatannya tersendiri,
menjadikannya pilihan utama bagi pengunjung yang ingin merasakan cita rasa asli Bali.
Bebek Betutu adalah salah satu makanan khas Bali yang sangat populer. Proses
pembuatannya memerlukan waktu lama, di mana bebek yang telah dibumbui dan dipijat
hingga bumbu meresap kemudian dibungkus dengan daun pinang atau daun pisang dan
dipanggang dalam sekam (Johana & Pravitasari, 2023). Bebek Betutu sering disajikan pada
upacara keagamaan atau acara adat lainnya. Jika Anda tidak terlalu menyukai daging bebek,
Ayam Betutu bisa menjadi alternatif yang lezat. Salah satu tempat terkenal untuk menikmati
Bebek Betutu adalah di Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar.
Babi Guling juga merupakan makanan tradisional Bali yang sangat terkenal, terutama
pada acara adat. Terbuat dari babi muda yang perutnya diisi dengan sayuran dan bumbu, Babi
Guling dipanggang dengan cara digulingkan di atas api (Sulistyawati, 2023). Makanan ini
kini dapat dengan mudah ditemukan di berbagai restoran, rumah makan, dan hotel di Bali.
Sementara itu, Serombotan adalah hidangan sayuran yang mirip dengan urapan, terdiri dari
kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah, dan mentimun, yang diberi bumbu kalas dari
santan dan rempah-rempah. Untuk rasa yang lebih pedas, cabai merah bisa ditambahkan,
memberikan citarasa yang lebih nikmat. Sate Lilit adalah sate khas Bali yang biasanya terbuat
dari daging ikan, meskipun sekarang juga bisa menggunakan daging ayam, babi, atau sapi.
Proses pembuatan Sate Lilit melibatkan pencampuran daging dengan tepung dan bumbu khas
Bali, lalu dililitkan pada batang serai, memberikan aroma harum yang khas. Sate Lilit dibakar
hingga matang dan disajikan dengan nasi putih hangat serta sambal. Banyak tempat di Bali
yang menjual Sate Lilit, sehingga Anda tidak akan kesulitan mencicipi hidangan ini selama
berkunjung ke sana.
4. Kesimpulan
Pulau Bali memiliki beragam kekayaan alam, budaya, dan sejarah yang menarik untuk
dikaji. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal penting
mengenai Pulau Bali. Secara geografis, Pulau Bali terletak di 8°25'23" LS dan 115°14'55" BT.
Pulau ini memiliki kondisi alam yang indah dengan titik tertinggi Gunung Agung setinggi
3.148 meter. Kondisi topografi Pulau Bali membuatnya dibagi menjadi dua wilayah utama,
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 2, No. 1, Mei 2024, page: 39-50
E-ISSN: 3031-2957
50
Alfian Fahrurrozhi et.al (Memahami Kekayaan Budaya dan Tradisi.)
yakni Bali Utara dan Bali Selatan. Mayoritas penduduk Pulau Bali berasal dari Suku Bali
yang memeluk agama Hindu. Mereka melestarikan budaya leluhur, seperti sistem
kekerabatan, penamaan berdasarkan kasta, serta bahasa Bali. Perekonomian utama bersumber
dari sektor pertanian dan pariwisata. Beberapa mata pencaharian lainnya adalah perikanan,
industri kerajinan, serta jasa. Budaya khas Bali tercermin dari rumah adat, pakaian tradisional,
upacara adat seperti pernikahan, dan pola pewarisan patrilineal. Pulau Bali juga menjadi salah
satu tujuan wisata utama di Indonesia yang memberikan kontribusi devisa cukup besar.
Dengan demikian, Pulau Bali memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan serta
dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa yang memiliki nilai konservasi tinggi.
5. Daftar Pustaka
Fahrurrozhi, A., Kurnia, H., & Basuki, A. (2023). PENGARUH MEDIA PEMBELAJARAN
TERHADAP MINAT SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN. Jurnal PPKn: Penelitian dan .
https://jurnal.ppkn.org/index.php/jppkn/article/view/8882
Indriani, A. A., & Sutrisno, M. Y. (2023). KEDUDUKAN AHLI WARIS SETELAH
BERPINDAH AGAMA MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI. Kultura: Jurnal
Ilmu Hukum, Sosial, dan . http://jurnal.kolibi.org/index.php/kultura/article/view/485
Johana, A., & Pravitasari, P. K. (2023). Eksistensi Betutu Pada Tradisi Kuliner Masyarakat
Bali Di Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Jurnal Socia
Logica. http://jurnal.anfa.co.id/index.php/JurnalSociaLogica/article/view/785
Kayansa, I., & Adikampana, I. M. (2017). Persepsi wisatawan nusantara terhadap
penyelenggaraan pesta kesenian bali sebagai daya tarik wisata. In Jurnal Destinasi
Pariwisata. ojs.unud.ac.id.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/destinasipar/article/download/43315/26342
Pujileksono, S. (2017). Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Budaya. In Malang:
Intrans Publishing.
Rahman, A. (2023). NYENTANA: SISTEM PERKAWINAN SUKU BALI DI DESA URASO
KECAMATAN MAPPEDECENG KABUPATEN LUWU UTARA. Jurnal Pendidikan
Dasar dan Sosial Humaniora.
https://www.bajangjournal.com/index.php/JPDSH/article/view/5044
Rahmawati, N. N. (2021). Budaya Bali dan Kedudukan Perempuan Setelah Menikah
(Perspektif Hukum Waris Hindu). Satya Dharma: Jurnal Ilmu Hukum.
https://www.ejournal.iahntp.ac.id/index.php/satya-dharma/article/view/709
Ranjabar, J. (2016). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar (Edisi 3). In Bogor:
Ghalia Indonesia.
Sudarsana, I. K. (2018). Ngaben Warga Dadya Arya Kubontubuh Tirtha Sari Desa Ulakan
Karangasem (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Jayapangus Press Books.
http://book.penerbit.org/index.php/JPB/article/view/310
Sulistyawati, A. (2023). The History Of Babi Guling In The Tradition Of Banten To Become A
Typical Balinese Culinary. Journey: Journal of Tourismpreneurship . http://ojs-
journey.pib.ac.id/index.php/art/article/view/154
Wartayasa, I. K. (2018). Kebudayaan Bali dan Agama Hindu. Ganaya: Jurnal Ilmu Sosial dan
. https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/ganaya/article/view/97