JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
1
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
Profil melayu Sambas dalam konteks asal-usul,
tradisi dan budaya di Kalimantan Barat
Lisa Ranti Mardiyanti
a,1
, Iwan Ramadhan
b,2
, Heri Kurnia
c,3
a,b
Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura
C
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
*1
lisa.ranti10@gmail.com;
2
iwan.ramadhan@untan.ac.id;
3
herikurnia312@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 5 Januari 2023
Direvisi: 14 Februari 2023
Disetujui: 24 April 2023
Tersedia Daring: 1 Mei 2023
Masyarakat Melayu Sambas adalah kelompok penduduk asli
Kalimantan Barat yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten
Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang. Budaya Melayu
Sambas ini memiliki akar sejak didirikannya Kesultanan Sambas, mirip
dengan kerajaan Islam lainnya di Kalimantan yang juga termasuk
dalam kelompok Melayu. Artikel ini menggunakan metode studi
pustaka dengan tujuan untuk menyelidiki perkembangan kelompok
etnik Melayu di Kalimantan Barat. Hubungan kekerabatan di antara
masyarakat Melayu Sambas di Kalimantan Barat sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti lokasi tempat tinggal, komunikasi, aspek
emosional, dan lain sebagainya. Sebagian besar masyarakat Melayu
Sambas di Kalimantan Barat memiliki beragam mata pencaharian,
salah satunya adalah pertanian padi. Di beberapa wilayah Sambas,
penduduk Melayu Sambas bergantung pada pertanian padi sebagai
sumber pendapatan utama keluarga mereka. Adat istiadat dan budaya
dalam komunitas etnik Melayu Sambas di Kalimantan Barat mencakup
berbagai tradisi seperti betangas, tepung tawar, bepapas, antar ajong,
dan lain sebagainya.
Kata Kunci:
Melayu Sambas
Perkembangan
Tradisi
ABSTRACT
Keywords:
Development
Melayu Sambas
Tradition
The Sambas Malay Community is a group of indigenous people from West
Kalimantan who inhabit most of the Sambas Regency, Bengkayang
Regency and Singkawang City. Sambas Malay culture has its roots since
the founding of the Sambas Sultanate, similar to other Islamic kingdoms
in Kalimantan which are also included in the Malay group. This article
uses a literature study method with the aim of investigating the
development of the Malay ethnic group in West Kalimantan. Kinship
relations among the Sambas Malay community in West Kalimantan are
greatly influenced by factors such as location of residence,
communication, emotional aspects, and so on. Most of the Malay Sambas
people in West Kalimantan have a variety of livelihoods, one of which is
rice farming. In some areas of Sambas, the Malay population of Sambas
depends on rice farming as the main source of income for their families.
Customs and culture in the Sambas Malay ethnic community in West
Kalimantan include various traditions such as betangas, plain flour,
bepapas, antar ajong, and so on.
©2023, Lisa Ranti Mardiyanti, Iwan Ramadhan, Heri Kurnia
This is an open access article under CC BY-SA license
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
2
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
1. Pendahuluan
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki ibu kota
di Kota Pontianak. Luas wilayahnya mencapai 146.807 km2, menjadikannya provinsi terluas
keempat setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Provinsi Kalimantan
Barat juga dikenal dengan keanekaragaman etnis dan budayanya. Beberapa kelompok etnis
yang mendiami wilayah ini meliputi etnis Dayak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan Madura.
Menurut sensus tahun 2010, kelompok etnis yang dominan di Kalimantan Barat adalah etnis
Dayak (49.91%), diikuti oleh etnis Melayu (16.50%), yang mayoritasnya bermukim di
pesisir. Secara umum, Melayu merupakan kelompok dominan di provinsi ini, dengan
perkiraan kasar jumlah mereka mencapai sekitar 40-50 persen dari total penduduk
Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, beragam budaya masyarakat di Kalimantan
Barat menciptakan ciri khas yang tercermin dalam budaya etnikal (Akbar & Sukmawati,
2019). Salah satu hal yang mencolok adalah keragaman etnik di wilayah ini, yang membuat
Kalimantan Barat dianggap sebagai miniatur Indonesia (Ramadhan et al., 2021). Hal ini
disebabkan oleh keberadaan hampir seluruh kelompok etnis Indonesia di sana. Banyak
kelompok etnis dari berbagai daerah datang ke Kalimantan Barat untuk mencari
penghidupan, tidak hanya karena luasnya wilayah dan potensi sumber daya alamnya yang
besar, tetapi juga karena penerimaan etnis lokal, khususnya etnis Melayu, yang kooperatif
dan terbuka terhadap pendatang. Prinsip utama yang dipegang oleh masyarakat pendatang
adalah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," atau dengan kata lain, "awak datang,
kami sambut" (Mustansyir, 2015).
Terkait istilah "Melayu," Alqadrie menyatakan bahwa istilah ini lebih merupakan alat
identifikasi daripada indikator kelompok etnik dalam arti ikatan primordial (Bahari, 2014).
Penelitian Bernard Nathofer tentang bahasa Melayu kuno di Kalimantan Barat
mengungkapkan bahwa wilayah ini merupakan tempat asal muasal bahasa Melayu kuno yang
menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Pulau Bangka, Pulau Sumatera, Semenanjung
Malay, Pulau Formosa (Taiwan), Batavia (Betawi), dan seluruh dunia Melayu (Ahyat, 2014).
Selain itu, Fatmawati mengemukakan bahwa istilah "Melayu" merujuk kepada individu
etnik Melayu yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Melayu, yang terikat oleh tradisi-
tradisi ke-Melayuannya (Bahari, 2014). Contohnya, mereka adalah Muslim, berbicara dalam
bahasa Melayu, menganut adat istiadat Melayu, dan memiliki nilai-nilai moral Islami. Salah
satu wilayah di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah keturunan suku
Melayu adalah Kabupaten Sambas (Akbar & Sukmawati, 2019). Kabupaten ini sudah ada
sejak tahun 1960 dan sebagian besar penduduknya adalah penganut Islam. Dapat dikatakan
bahwa hampir seluruh penduduk Melayu Sambas menganut agama Islam (Amarullah, 2018).
Budaya Melayu Sambas yang kuat dalam kerangka Islam tercermin dalam berbagai tradisi
seperti betangas, tepung tawar, bepapas, antar ajong, dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian
tentang budaya Melayu di Kabupaten Sambas sangat erat hubungannya dengan budaya Islam
(Wahab et al., 2020).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh para ulama pembaharu tidak
hanya mempengaruhi aspek politik, tetapi juga memainkan peran penting dalam aspek sosial
budaya masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Asriati dan Bahari (2010) tentang
Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada Masyarakat di Kalimantan Barat
(Asriati & Bahari, 2010), Kurniawan (2018) tentang Globalisasi, Pendidikan Karakter, dan
Kearifan Lokal yang Hybrid Islam pada Orang Melayu di Kalimantan Barat (Kurniawan,
2018), serta Yusriadi (2018) tentang Identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat
(Yusriadi & others, 2019), semuanya menunjukkan bahwa masyarakat Melayu di Kalimantan
Barat secara luas menganut agama Islam. Dalam konteks ini, Melayu dan Islam memiliki
keterkaitan yang erat. Islam adalah ciri identitas kemelayuan seseorang, dan orang Melayu
merujuk pada masyarakat yang beragama Islam dan masih menjalankan tradisi atau adat
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
3
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
Melayu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Artikel ini bertujuan untuk menggali
perkembangan etnik Melayu di Kalimantan Barat, dengan fokus pada perkembangan etnik
Melayu Sambas, termasuk mata pencaharian, struktur kekerabatan, adat istiadat, dan budaya
dalam komunitas Melayu yang berada di Kalimantan Barat.
2. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah metode studi pustaka, yang
melibatkan analisis buku-buku, literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang relevan
dengan permasalahan yang ingin diinvestigasi (Nazir, 2011). Teknik ini digunakan untuk
memperoleh informasi dasar dan pandangan yang tertulis, dan dilakukan dengan cara
menyelidiki berbagai sumber literatur yang berkaitan dengan isu yang sedang diteliti
(Sugiyono, 2019). Studi pustaka dalam konteks ini mencakup pengumpulan data dengan
merujuk pada berbagai sumber seperti buku ilmiah, literatur, catatan-catatan, dan referensi
tertulis, baik dalam bentuk cetak maupun elektronik, yang relevan dengan topik penelitian,
yaitu perkembangan dan tradisi etnik Melayu Sambas di Kalimantan Barat.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Asal Mula Etnik Melayu Sambas di Kalimatan Barat
Menurut pandangan Raden Kesuma Sambas, etnik Melayu di Kalimantan Barat memiliki
latar belakang campuran (asisimilasi) antara kelompok Dayak dan Melayu. Orang Melayu
pertama kali datang dari Sumatera ke Kalimantan Barat sekitar abad ke-5 hingga 7 M,
kemudian berinteraksi dengan suku Dayak Iban di pesisir pulau tersebut, menghasilkan
komunitas baru di pesisir yang saat itu sebagian besar ditempati oleh orang-orang Dayak.
Proses asimilasi antara Melayu dan Dayak ini membentuk generasi awal dari etnik Melayu di
Kalimantan Barat, termasuk Melayu Sambas (yang berada di sepanjang Sungai Sambas) dan
Melayu Ketapang (yang berada di sepanjang Sungai Pawan).
Dari sudut pandang lain, proses terbentuknya etnik Melayu sebagai salah satu kelompok
asli di Kalimantan Barat dimulai dengan penyebaran agama Islam yang dibawa oleh orang
Melayu dari Semenanjung Malaka dan Sumatera (Ramadhan, Iwan; Firmansyah, Haris;
Wiyono, 2022). Orang Melayu ini telah lama beragama Islam, dan adat istiadat mereka juga
memiliki pengaruh dari Islam. Pengaruh agama Islam, terutama dari dunia Arab, sangat
dominan dalam budaya masyarakat Melayu dibandingkan dengan pengaruh bangsa-bangsa lain
seperti India dan Tiongkok. Oleh karena itu, sering kali digunakan istilah "Dunia Melayu
Dunia Islam" untuk menggambarkan hubungan erat antara identitas Melayu dan agama Islam
(Mustansyir, 2015).
Melayu Sambas adalah kelompok penduduk asli Kalimantan Barat yang mendiami
sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, dan Kota Singkawang.
Budaya Melayu Sambas bermula sejak berdirinya Kesultanan Sambas, yang mirip dengan
kerajaan Islam lainnya di Kalimantan yang termasuk dalam kelompok Melayu. Melayu Sambas
juga merupakan bagian dari rumpun suku Dayak Melayik, yang berbagi sejarah dengan suku
Dayak lainnya seperti Banjar, Dayak Iban, dan Dayak Kanayatn (Kristianus, 2017). Seringkali,
suku Sambas diklasifikasikan sebagai sub-suku Dayak yang memelihara budaya Melayu atau
termasuk dalam kelompok rumpun Dayak Malayik (Hendarta, 2018).
Asal usul masyarakat yang sekarang dikenal sebagai Melayu Sambas melibatkan
asimilasi berbagai suku bangsa di Nusantara. Ini mencakup kedatangan Orang Melayu dari
Sumatera sekitar abad ke-5 hingga 9 M selama periode Kerajaan Malayu atau awal Kerajaan
Sriwijaya, serta interaksi dengan Orang Dayak yang telah lama mendiami Sungai Sambas dan
wilayah sekitarnya. Selain itu, ada kontribusi dari Orang Jawa, yang merupakan keturunan
bangsawan Majapahit yang melarikan diri dari perang internal di Majapahit pada awal abad ke-
15 M dan mendirikan sebuah Panembahan di wilayah Sungai Sambas, serta Orang Bugis, yang
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
4
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
membentuk perkampungan Bugis dan bekerja untuk Sultan-Sultan Sambas di masa awal dan
pertengahan Kesultanan Sambas.
Bagi penduduk di daerah-daerah Sambas, identitas sebagai Melayu sering kali identik
dengan agama Islam. Effendy menyatakan bahwa melayu Sambas adalah mereka yang
berkomunikasi dalam bahasa Melayu, hidup dalam tradisi Melayu, menganut agama Islam, dan
tinggal di wilayah Sambas (Akbar & Sukmawati, 2019). Bahasa Melayu Sambas adalah variasi
bahasa Melayu dengan dialek Sambas yang digunakan di Kabupaten Sambas, Kota
Singkawang, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi
dialek dalam bahasa Melayu Sambas antara komunitas (misalnya, antar desa), terutama dalam
hal pengucapan.
Dalam perspektif sejarah, suku Melayu Sambas pada awalnya merupakan bagian dari
kelompok suku Dayak, khususnya Dayak Melayik. Ini terkait dengan identitas Dayak yang
diadopsi oleh orang-orang pribumi (Melayu) pada masa itu sebagai bentuk perlawanan
terhadap penindasan. Selain itu, terdapat persamaan antara bahasa Melayik dan bahasa Melayu
di Kalimantan Barat yang memiliki akar yang sama, budaya yang serupa, dan asal-usul yang
sama, sebelum mengalami perkembangan dalam bentuk yang dikenal saat ini. Proses ini
mencakup berbagai perubahan dalam aspek bunyi, dialek, ritme, dan elemen lainnya, yang
kemudian membentuk bahasa yang kita kenal sekarang.
Pada masa Kesultanan Sambas, masyarakat Melayu Sambas terkenal sebagai komunitas
yang sangat religius dan bahkan dikenal sebagai "Serambi Makkah Kalimantan Barat"
(Sikwan, 2021). Pada saat itu, ulama-ulama Islam dari Kesultanan Sambas memiliki reputasi
internasional yang sangat baik.
3.2 Sistem Kekerabatan Etnik Melayu Sambas di Kalimatan Barat
Etnik Melayu Sambas di Kalimantan Barat memiliki ikatan kekerabatan yang erat dengan
suku Melayu di Malaysia dan Brunei Darussalam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
saat Hari Raya Idul Fitri, banyak penduduk Malaysia dan Brunei Darussalam yang melakukan
kunjungan ke Kalimantan Barat. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat tali silaturahmi
dan mengunjungi makam leluhur atau datok mereka.
Selain itu, kedekatan dalam hubungan kekerabatan di antara etnik Melayu Sambas sangat
bergantung pada berbagai faktor, seperti jarak tempat tinggal, tingkat komunikasi, ikatan
emosional, dan lain sebagainya. Budaya Melayu juga mengenal hierarki dalam hubungan
kekerabatan, yang tercermin dalam penggunaan sebutan berdasarkan garis keturunan atau
kedudukan dalam keluarga. Contohnya, panggilan "Nek Aki" untuk orang tua laki-laki, baik
ayah atau ibu. "Nek Wan" untuk orang tua perempuan, ayah atau ibu. "Pak Tuak" untuk
saudara laki-laki ayah atau ibu, dan "Mak Tuak" untuk saudara perempuan ayah atau ibu.
Panggilan untuk "Pak Tuak" juga bergantung pada urutan kelahiran, sehingga anak pertama
disebut "Pak Along" (yang sulung), anak kedua "Pak Angah" (yang tengah), dan yang terakhir
"Pak Usu" (yang bungsu). Demikian pula untuk saudara perempuan, mereka dipanggil "Mak
Along," "Mak Angah," dan "Mak Usu." Jika jumlah saudara lebih dari tiga orang, mereka
biasanya dikenal berdasarkan warna kulit.
Selain itu, istilah dalam hubungan kekerabatan juga dapat merujuk pada ciri-ciri fisik
seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki badan kecil saat lahir, dia bisa dipanggil
"Pak Acik." Jika badannya panjang, bisa dipanggil "Pak Anjang." Dan jika badannya gemuk,
bisa dipanggil "Pak Amok." Jika ada istilah khusus untuk orang dewasa, biasanya ada juga
istilah yang sesuai untuk anak-anak. Sebagai contoh, sepupu sering kali digunakan untuk
merujuk kepada anak dari "Pak Tuak" dan "Mak Tuak."
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Melayu Sambas di Kalimantan Barat umumnya
menggunakan sistem kekerabatan bilineal atau paternal-maternal relative. Ini berarti bahwa
garis keturunan dari ayah dan ibu tidak dibedakan secara signifikan. Setiap individu dalam
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
5
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
masyarakat Melayu menganggap dirinya memiliki ikatan kekerabatan yang sama kuat dan
penting dengan kerabat dari sisi ayah dan ibunya. Sistem kekerabatan ini tampaknya
mencerminkan pandangan Islam bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan,
memiliki kedudukan yang setara di mata Tuhan. Namun, dalam hal pembagian warisan, anak
laki-laki umumnya mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan dengan anak
perempuan. Dalam budaya Melayu, kelompok kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, dan anak-
anak, dan ketiga elemen ini membentuk keluarga inti.
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Melayu juga melibatkan kelompok keluarga besar
yang melibatkan dua atau tiga generasi, baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal.
Kelompok ini berperan penting dalam melestarikan tradisi dan adat istiadat
3.3 Mata Pencaharian Etnik Melayu Sambas di Kalimantan Barat
Mata pencaharian orang Melayu Sambas secara umum tergolong beragam, dan salah satu
di antaranya adalah melibatkan diri dalam kegiatan pertanian padi. Di beberapa wilayah di
Sambas, orang Melayu Sambas mengandalkan sawah atau kebun, terutama untuk menopang
keuangan keluarga mereka.
Dahulu, komunitas orang Melayu Sambas menetap di sepanjang tepian sungai. Seiring
berjalannya waktu, mereka mulai mempertimbangkan untuk membuka lahan pertanian, seperti
orang Melayu yang sebelumnya tinggal di sekitar Sungai Tapah dan wilayah hulu Sambas yang
kemudian berpindah ke daerah Seburing dan Sepadu untuk mengembangkan lahan pertanian.
Pada masa itu, sarana transportasi utama masih bergantung pada sampan atau perahu.
Meskipun beberapa telah beralih ke peralatan pertanian yang lebih modern, sistem
pertanian di Sambas saat ini masih sebagian besar bersifat tradisional. Selain itu, proses
bercocok tanam padi di Sambas memakan waktu sekitar 4 hingga 5 bulan, mulai dari tahap
awal membuka lahan hingga panen. Tahap pertama ini dimulai dengan aktivitas yang disebut
"bumme," yang melibatkan pembersihan lahan dari sisa-sisa batang padi setelah panen selesai.
3.4 Adat Istiadat dan Budaya pada Etnik Melayu Sambas di Kalimantan Barat
Ajaran Islam dijadikan sebagai landasan utama yang membimbing perilaku orang-orang
Melayu, sehingga cara hidup mereka mencerminkan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa adat istiadat orang Melayu sebenarnya merupakan bagian integral
dari Islam dan keduanya sulit dipisahkan (Aslan, 2017; Mun’in & Munin, 2017).
Selain aspek adat istiadat, budaya yang ada di kalangan etnik Melayu Sambas di
Kalimantan Barat juga merupakan bagian dari identitas budaya Melayu secara lebih luas.
Beberapa tradisi yang khas bagi Melayu Sambas di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
1) Betangas
Di Sambas, tradisi seperti pernikahan, kelahiran, dan sejenisnya masih sangat
terjaga. Salah satu contoh tradisi yang berlangsung di kalangan masyarakat Melayu
Sambas adalah tradisi sebelum pernikahan yang dikenal sebagai "betangas." Bagi orang
Melayu Sambas, betangas merupakan tahap yang harus dijalani oleh calon mempelai
perempuan sebelum pernikahan (Martin & Elmansyah, 2020). Tradisi betangas memiliki
manfaat positif, seperti membersihkan tubuh dari bau keringat dan memberikan wangi
pada calon mempelai wanita. Pria yang akan menikahi juga dapat mengikuti tradisi
betangas di rumah mereka sendiri, meskipun tidak diwajibkan (Mentari & Yuhaswita,
2022).
Betangas memiliki beragam manfaat, terutama dalam hal kesehatan, yang serupa
dengan mandi uap atau terapi sauna. Ketika dilakukan oleh wanita, betangas dapat
membantu merapatkan saluran peranakan bagi wanita yang sudah tidak menstruasi lagi,
mengencangkan rahim yang sudah turun, meredakan ketidaknyamanan setelah buang air
kecil, membersihkan organ intim wanita, mengatasi masalah keputihan, dan menjaga
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
6
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
kelembapan alami organ intim. Tradisi betangas ini juga memiliki dampak positif dalam
memperkuat hubungan kekeluargaan di antara masyarakat Melayu Sambas. Ketika proses
betangas berlangsung, biasanya keluarga berkumpul untuk menyaksikan dan saling
membantu. Ini menciptakan ikatan yang erat antara keluarga, tetangga, dan masyarakat
secara keseluruhan. Suasana kebersamaan dan kekeluargaan adalah salah satu nilai positif
yang dihasilkan dari tradisi ini.
2) Tepung Tawar
Tepung tawar adalah sebuah tradisi yang memiliki tujuan untuk memohon
keselamatan dan perlindungan dari Tuhan, agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan
bencana. Tradisi ini melibatkan penggunaan tepung yang terbuat dari beras yang
dihaluskan secara tumbuk, yang dalam bahasa Melayu Sambas disebut "tawar" (Batubara,
2022; Khairani & Siregar, 2018), yang berarti tidak memiliki rasa yang khusus seperti
manis, asam, asin, atau pahit. Dalam konteks Melayu Sambas, kata "tawar" serupa dengan
"jampi" atau "mantra," yang merujuk pada air yang telah diberkati oleh para tetua
kampung melalui doa (Jastika Bohari & Maulana Magiman, 2021).
Tepung tawar juga memiliki makna sebagai obat atau perlindungan dari penyakit dan
berbagai bentuk bencana. Dengan demikian, esensi dari tepung tawar adalah penggunaan
tepung beras yang tidak memiliki rasa khusus untuk memberikan perlindungan,
penyembuhan, dan doa agar seseorang dapat hidup dengan selamat, bahagia, serta
terhindar dari penyakit dan bencana dalam kehidupannya. Selain itu, upacara adat tepung
tawar ini juga memiliki tujuan untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya Melayu
sebagai bagian penting dari warisan yang diwariskan dari generasi ke generasi (Hemafitria,
2019; Purnama, 2020).
3) Bepapas
Tradisi bepapas mulai dikenal sejak agama Hindu tersebar di Indonesia, dan
mencapai puncaknya dalam penyebaran agama Hindu di daerah Kalimantan, termasuk
daerah Sambas. Pada saat yang sama, pengikut agama Hindu mulai memperkenalkan ritual
tradisi bepapas ini, dan masyarakat setempat mulai mengikutinya. Pada periode tersebut,
mayoritas penduduk setempat belum memeluk agama Hindu atau Islam (Rino et al., 2022).
Bepapas adalah salah satu tradisi adat Melayu yang telah dikenal oleh orang Melayu
Sambas selama berabad-abad. Tradisi ini biasanya dilakukan pada hari Jumat. Di Sambas,
ritual ini melibatkan mengecap kening dan tangan menggunakan ramuan yang disiapkan
oleh masyarakat setempat yang berkomitmen untuk melestarikan warisan nenek moyang
ini (Kurniawan, 2015).
4) Antar Ajong
Antar ajong adalah sebuah upacara adat yang dilakukan setiap tahun saat musim
bercocok tanam, khususnya di daerah Tanah Hitam, Kecamatan Paloh, Kabupaten
Sambas oleh masyarakat Melayu Sambas (Kurniawan & Suratman, 2018). Upacara ini
diyakini oleh penduduk setempat dapat melindungi tanaman padi dari serangan hama dan
penyakit, sehingga hasil panen menjadi melimpah, meningkatkan kemakmuran di desa.
Pelaksanaan Antar Ajong biasanya berlangsung setiap pertengahan tahun, sekitar
bulan Juni atau Juli, seiring dengan waktu penanaman padi. Upacara adat ini telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat setempat (Hadri, 2022).
Antar ajong adalah tradisi yang spesifik bagi orang Melayu Sambas, terutama di
daerah Tanah Hitam. Tradisi ini dilakukan ketika akan memulai penanaman padi atau
saat selesai memanen kacang, mengingat di desa Tanah Hitam terdapat dua musim, yaitu
musim padi dan musim kacang, dan upacara ini hanya dilaksanakan satu kali dalam
setahun. Upacara ini dipimpin oleh sejumlah individu yang dihormati oleh penduduk
desa, yang sering disebut sebagai "pawang." Pawang ini dipercayai memiliki kemampuan
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
7
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
magis untuk mengusir roh-roh jahat yang telah dianggap mengganggu tanaman padi dan
kacang pada tahun sebelumnya (Kartini et al., 2020).
Tujuan utama dari tradisi atau ritual Antar Ajong adalah untuk mengusir roh-roh
jahat yang bisa mengganggu tanaman padi, sehingga padi yang ditanam menjadi bebas
dari ancaman hama dan penyakit menurut keyakinan spiritual mereka
4. Kesimpulan
Etnik Melayu Sambas, yang mendiami wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten
Bengkayang, dan Kota Singkawang di Kalimantan Barat, merupakan penduduk asli dan
memiliki akar budaya yang terkait erat dengan berdirinya Kesultanan Sambas, mirip dengan
kerajaan Islam lainnya di Kalimantan yang juga termasuk dalam kelompok Melayu.
Hubungan kekerabatan di antara etnik Melayu Sambas sangat bergantung pada berbagai
faktor seperti kedekatan geografis tempat tinggal, frekuensi komunikasi, ikatan emosional,
dan faktor-faktor lainnya. Secara umum, mata pencaharian orang Melayu Sambas sangat
beragam, namun salah satunya adalah melalui kegiatan pertanian, khususnya dalam budidaya
padi. Di beberapa wilayah di Sambas, masyarakat Melayu Sambas bergantung pada pertanian
padi, baik di sawah maupun kebun, sebagai sumber utama pendapatan keluarga mereka.
Selain itu, budaya dan tradisi etnik Melayu Sambas di Kalimantan Barat mencakup praktik-
praktik seperti betangas, tepung tawar, bepapas, antar ajong, dan lain sebagainya.
5. Daftar Pustaka
Ahyat, I. S. (2014). The dynamics of Malay culture in West Kalimantan in the 20th century.
Journal of Education and Learning (EduLearn), 8(3), 273280.
Akbar, R., & Sukmawati, U. S. (2019). Tradisi Kemponan dan JappeDalam Masyarakat
Melayu Sambas Kalimantan Barat. Dalam Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat, 15.
Amarullah, Z. (2018). Tradisi Cukuran Bayi Masyarakat Muslim Seberang Kota Jambi
Menurut Hukum Islam. UIN Sulthan Thaha Saifuddin.
Aslan, A. (2017). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya Pantang Larang Suku Melayu
Sambas. Jurnal Ilmu Ushuluddin, 16(1), 11. https://doi.org/10.18592/jiiu.v16i1.1438
Asriati, N., & Bahari, Y. (2010). Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada
Masyarakat di Kalimantan Barat. MIMBAR: Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 26(2),
147158.
Bahari, Y. (2014). Model komunikasi lintas budaya dalam resolusi konflik berbasis Pranata
Adat Melayu dan Madura di Kalimantan Barat. Jurnal Ilmu Komunikasi, 6(1), 112.
Batubara, T. (2022). Tradisi Tepung Tawar: Integrasi Agama dan Kebudayaan pada
Masyarakat Melayu di Sumatera Utara. 9499, 1016.
Hadri, H. (2022). NILAI-NILAI KEHIDUPAN DALAM TRADISI ANTAR AJONG DI
DESA TANAH HITAM KABUPATEN SAMBAS. JURNAL PENELITIAN SEJARAH
DAN BUDAYA, 8(2), 269284.
Hemafitria, H. (2019). Nilai karakter berbasis kearifan lokal tradisi tepung tawar pada etnis
melayu sambas. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2), 121132.
Hendarta, B. (2018). Toponimi sambas: legenda persaudaraan abadi orang dayak dengan
orang melayu sambas.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
8
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
Jastika Bohari, S., & Maulana Magiman, M. (2021). Simbol Dan Pemaknaan Ritual Adat
Tepung Tawar Dalam Perkahwinan Masyarakat Melayu Sarawak Symbols and Meanings
Indigenous Ritual Tepung Tawar Wedding Sarawak Malays. Jurnal Komunikasi Borneo,
9, 22892859.
Kartini, K., Triani, S. N., & Zulfahita, Z. (2020). Struktur, Fungsi dan Makna Mantra Antar
Ajong Di Desa Medang Kabupaten Sambas. CAKRAWALA LINGUISTA, 3(1), 3036.
Khairani, S., & Siregar, P. (2018). Tepung tawar dalam masyarakat melayu langkat tanjung
pura, Sumatera Utara. Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.
Kristianus, K. (2017). Nasionalisme Etnik Di Kalimantan Barat. Masyarakat Indonesia, 37(2),
147176.
Kurniawan, S. (2015). Tradisi dan kepercayaan umat Islam di Kalimantan Barat: sebuah
deskripsi tentang kearifan lokal umat Islam Kalimantan Barat. Samudra Biru.
Kurniawan, S. (2018). Globalisasi, Pendidikan Karakter, Dan Kearifan Lokal Yang Hybrid
Islam Pada Orang Melayu Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian, 12(2), 317354.
Kurniawan, S., & Suratman, B. (2018). Bertani Padi Bagi Orang Melayu Sambas: Kearifan
Lokal, Nilai-Nilai Islam, dan Character Building. Analisis: Jurnal Studi Keislaman, 18(2),
190191.
Martin, M., & Elmansyah, T. (2020). Penguatan Nilai-nilai Tradisi Pernikahan Melayu
Sambasdan Implementasinya dalam Bimbingan dan Konseling Keluarga (Model Hipotetik
BK Keluarga). Jurnal PIPSI (Jurnal Pendidikan IPS Indonesia), 5(1), 17.
Mentari, G., & Yuhaswita, Y. (2022). The Spread of Tradisi Mandi Uap as a Track
Identification of Spices in Indonesia. Indonesian Journal of Social Science Education
(IJSSE), 4(1), 4050.
Munin, F., & Munin, F. (2017). Eksistensi Tradisi Pembacaan Assalai/Asyrakal Dan Makan
Besaprah Pada Pesta Pernikahan Masyarakat Melayu Kabupaten Sambas Perspektif
Ekonomi Islam. Khatulistiwa, 7(2), 118.
Mustansyir, R. (2015). Keraifan local masyarakat melayu sambas dalam tinjauan filosofis.
Universitas Gadjah Mada.
Nazir, M. (2011). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Purnama, S. (2020). Tepung Tawar as a Moral Symbol in Malay Community of North
Sumatera, Indonesia. Proceedings of the 1st International Conference on Folklore,
Language, Education and Exhibition (ICOFLEX 2019).
https://doi.org/https://doi.org/10.2991/assehr.k.201230.014
Ramadhan, Iwan; Firmansyah, Haris; Wiyono, H. (2022). Kearifan Lokal dan Kajian Etnis Di
Kalimantan Barat. Lakeisha.
Ramadhan, I., Imran, I., & Wiyono, H. (2021). Agrowisata Balek Kampoeng (Studi kasus
dampak pembangunan agrowisata Balek Kampoeng pada perubahan sosial budaya
ekonomi masyarakat). Gulawentah:Jurnal Studi Sosial, 6(1).
https://doi.org/10.25273/gulawentah.v6i1.9163
Rino, R., Imran, I., Ramadhan, I., & Dewantara, J. A. (2022). Analisis Rasionalisasi Nilai-Nilai
Mitos Tradisi Bepapas Pada Masyarakat Melayu Sambas di Desa Tempapan Hulu
Kabupaten Sambas. Jurnal Kewarganegaraan, 6(2), 30513065.
JISBI: Jurnal Ilmu Sosial dan Budaya Indonesia
Vol. 1, No. 1, Mei 2023, page: 1-9
9
Lisa Ranti Mardiyanti et.al (Profil melayu Sambas dalam....)
Sikwan, A. (2021). Adaptasi masyarakat pendatang (etnik Madura Sambas) dengan penduduk
asli. Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora, 12(1). https://doi.org/10.26418/j-
psh.v12i1.46321
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Wahab, Erwin, & Purwanti, N. (2020). Budaya saprahan melayu sambas: asal usul, prosesi,
properti dan pendidikan akhlak. Arfannur: Journal of Islamic Education, 1(1), 7586.
Yusriadi, Y., & others. (2019). Identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat. Handep, 1(2),
116.