1. Pendahuluan
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki ibu kota
di Kota Pontianak. Luas wilayahnya mencapai 146.807 km2, menjadikannya provinsi terluas
keempat setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Provinsi Kalimantan
Barat juga dikenal dengan keanekaragaman etnis dan budayanya. Beberapa kelompok etnis
yang mendiami wilayah ini meliputi etnis Dayak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan Madura.
Menurut sensus tahun 2010, kelompok etnis yang dominan di Kalimantan Barat adalah etnis
Dayak (49.91%), diikuti oleh etnis Melayu (16.50%), yang mayoritasnya bermukim di
pesisir. Secara umum, Melayu merupakan kelompok dominan di provinsi ini, dengan
perkiraan kasar jumlah mereka mencapai sekitar 40-50 persen dari total penduduk
Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, beragam budaya masyarakat di Kalimantan
Barat menciptakan ciri khas yang tercermin dalam budaya etnikal (Akbar & Sukmawati,
2019). Salah satu hal yang mencolok adalah keragaman etnik di wilayah ini, yang membuat
Kalimantan Barat dianggap sebagai miniatur Indonesia (Ramadhan et al., 2021). Hal ini
disebabkan oleh keberadaan hampir seluruh kelompok etnis Indonesia di sana. Banyak
kelompok etnis dari berbagai daerah datang ke Kalimantan Barat untuk mencari
penghidupan, tidak hanya karena luasnya wilayah dan potensi sumber daya alamnya yang
besar, tetapi juga karena penerimaan etnis lokal, khususnya etnis Melayu, yang kooperatif
dan terbuka terhadap pendatang. Prinsip utama yang dipegang oleh masyarakat pendatang
adalah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," atau dengan kata lain, "awak datang,
kami sambut" (Mustansyir, 2015).
Terkait istilah "Melayu," Alqadrie menyatakan bahwa istilah ini lebih merupakan alat
identifikasi daripada indikator kelompok etnik dalam arti ikatan primordial (Bahari, 2014).
Penelitian Bernard Nathofer tentang bahasa Melayu kuno di Kalimantan Barat
mengungkapkan bahwa wilayah ini merupakan tempat asal muasal bahasa Melayu kuno yang
menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Pulau Bangka, Pulau Sumatera, Semenanjung
Malay, Pulau Formosa (Taiwan), Batavia (Betawi), dan seluruh dunia Melayu (Ahyat, 2014).
Selain itu, Fatmawati mengemukakan bahwa istilah "Melayu" merujuk kepada individu
etnik Melayu yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Melayu, yang terikat oleh tradisi-
tradisi ke-Melayuannya (Bahari, 2014). Contohnya, mereka adalah Muslim, berbicara dalam
bahasa Melayu, menganut adat istiadat Melayu, dan memiliki nilai-nilai moral Islami. Salah
satu wilayah di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah keturunan suku
Melayu adalah Kabupaten Sambas (Akbar & Sukmawati, 2019). Kabupaten ini sudah ada
sejak tahun 1960 dan sebagian besar penduduknya adalah penganut Islam. Dapat dikatakan
bahwa hampir seluruh penduduk Melayu Sambas menganut agama Islam (Amarullah, 2018).
Budaya Melayu Sambas yang kuat dalam kerangka Islam tercermin dalam berbagai tradisi
seperti betangas, tepung tawar, bepapas, antar ajong, dan sebagainya. Oleh karena itu, kajian
tentang budaya Melayu di Kabupaten Sambas sangat erat hubungannya dengan budaya Islam
(Wahab et al., 2020).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam yang dibawa oleh para ulama pembaharu tidak
hanya mempengaruhi aspek politik, tetapi juga memainkan peran penting dalam aspek sosial
budaya masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Asriati dan Bahari (2010) tentang
Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada Masyarakat di Kalimantan Barat
(Asriati & Bahari, 2010), Kurniawan (2018) tentang Globalisasi, Pendidikan Karakter, dan
Kearifan Lokal yang Hybrid Islam pada Orang Melayu di Kalimantan Barat (Kurniawan,
2018), serta Yusriadi (2018) tentang Identitas Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat
(Yusriadi & others, 2019), semuanya menunjukkan bahwa masyarakat Melayu di Kalimantan
Barat secara luas menganut agama Islam. Dalam konteks ini, Melayu dan Islam memiliki
keterkaitan yang erat. Islam adalah ciri identitas kemelayuan seseorang, dan orang Melayu
merujuk pada masyarakat yang beragama Islam dan masih menjalankan tradisi atau adat