Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
78
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam
Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim Di Indonesia
Dwi Wahyu Handayani
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
Alamat: Jl. Prof. Sumantri Brojonegoro No 1, Kota Bandar Lampung 35141, Indonesia.
Email dwi.wahyu@fisip.unila.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 18 Agustus 2024
Direvisi: 23 September 2024
Disetujui: 15 November 2024
Tersedia Daring: 1 Desember 2024
Krisis air global, hubungan bencana-konflik, dan dampak berbagai krisis
terhadap Kesehatan mental dan kesejahteraan perempuan,
membutuhkan pendekatan kebijakan pengarusutamaan gender (PUG)
dalam perubahan iklim. Penerapan pendekatan PUG membutuhkan
ruang publik bagi perempuan, sebagai ruang otonomi menyuarakan
persoalan, sehingga menghasilkan kebijakan yang selaras dengan
kepentingan perempuan. Artikel ini, mengkaji bagaimana ruang publik
dapat hadir di antara bahasan mengenai pengarusutamaan gender
dalam perubahan iklim. Tujuan artikel ini, adalah elaborasi mengenai
ruang publik yang akan memaknai pengarusutamaan gender terhadap
perubahan iklim. Metode pada artikel ini, menggunakan studi pustaka
(library research) yaitu metode pengumpulan data dengan cara
memahami dan memelajari teori dari berbagai literatur. Hasil penelitian
adalah bahwa ruang publik menggabungkan demokrasi diskursif dan
rasionalitas pemecahan masalah yang kompleks, yaitu bukan
perencanaan terpusat, melainkan sebuah masyarakat terbuka demi
mewujudkan kebijakan. Wacana pengarusutamaan gender (PUG) dapat
dimanfaatkan oleh kelompok perempuan yang kapasitas
pengetahuannya semakin baik, melalui ruang publik untuk membahas
kepentingannya terkait dengan perubahan iklim. Ruang publik di
Indonesia adalah dengan memanfaatkan musyawarah perencanaan
pembangunan (MUSRENBANG), dari level daerah hingga nasional.
Kata Kunci:
Ruang Publik
Pengarusutamaan Gender
Kebijakan
Perubahan Iklim
ABSTRACT
Keywords:
Public Space
Gender Mainstreaming
Policy
Climate Change
The global water crisis, disaster-conflict linkages, and the impact of
various crises on women's mental health and well-being require a
gender-mainstreaming policy approach to climate change. The
implementation of a gender mainstreaming approach requires a public
space for women, as a space for autonomy to voice issues and produce
policies that are in line with women's interests. This article examines
how public space can be present in discussions on gender
mainstreaming in climate change. This article aims to elaborate on the
public sphere that will interpret gender mainstreaming of climate
change. The method in this article uses library research, which collects
data by understanding and studying theories from various literatures.
The research results in the public sphere combining discursive
democracy and complex problem-solving rationality, which is not
centralized planning but an open society to realize policies. The
discourse of gender mainstreaming can be utilized by women's groups
whose knowledge capacity is improving through public space to discuss
their interests related to climate change. The public space in Indonesia
uses the development planning deliberation (MUSRENBANG) from the
local to the national level.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
79
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
©2024, Dwi Wahyu Handayani
This is an open access article under CC BY-SA license
1.
Pendahuluan
Indonesia, dalam konteks ancaman perubahan iklim berdasarkan The World Risk Report
tahun 2024, menghadapi risiko bencana alam ekstrem seperti gempa bumi, tsunami, banjir,
dan kekeringan. Indonesia memiliki risiko bencana tertinggi secara keseluruhan. Laporan ini
mengkaji krisis air global, hubungan bencana-konflik, dan dampak berbagai krisis terhadap
kesehatan mental dan kesejahteraan perempuan, sehingga diperlukannya pendekatan terpadu
terhadap analisis risiko dan manajemen krisis. Ketidaksetaraan gender dan dampak perubahan
iklim semakin meningkatkan kerentanan perempuan (Handayani, D. W. 2021). Indeks risiko
menunjukan penduduk tanpa kapasitas ketahanan, kapasitas mengatasi, dan adaptasi
menempati wilayah ekstrem atau terdampak negatif karena perubahan iklim, yang dipengaruhi
juga oleh faktor sosial, kondisi politik, dan struktur ekonomi (Bündnis Entwicklung Hilft/
IFHV, 2023).
Kebijakan dan strategi yang berupaya mengurangi kerentanan untuk meningkatkan
kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim harus mempertimbangkan isu-isu spesifik gender
(Nelson et al., 2002 dalam Shabib & Khan 2014). Tujuannya adalah mampu menghadapi
ancaman perubahan iklim, dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan, yang juga
diadopsi di tingkat pemerintah daerah dan lokal (Björnberg & Hansson 2013). Adaptasi
sebagai salah satu respon utama terhadap perubahan iklim selain mitigasi (The
Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC 2007 dalam Fu, Gomaa, Deng, & Peng
2016). Adaptasi perubahan iklim sebagai pelibatan kemampuan atau potensi penyesuaian
untuk mengurangi kerentanan masyarakat dan wilayah terhadap perubahan dan variabilitas
iklim. Dalam konteks adaptasi terhadap perubahan iklim, cara pandang PUG telah digunakan
oleh banyak pihak. Pembangunan setiap sektor berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat
secara adil dan merata bagi laki-laki dan perempuan.
Adaptasi perubahan iklim menjadi fokus pemerintah Indonesia sejak tahun 2013, dengan
diterbitkannya Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Selanjutnya
RAN API dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
periode 2015-2019. RAN-API dengan inklusi menjadi kebutuhan dalam pengurangan risiko
bencana (PRB), agar kondisi hidup yang buruk, infrastruktur tidak memadai, kurangnya
diversifikasi pendapatan, layanan terbatas terutama pendidikan dan informasi, memastikan
bahwa masyarakat termiskin dan paling terpinggirkan tidak terpengaruh secara proporsional
oleh bencana tersebut. Komitmen untuk mengatasi penyebab dan meningkatkan kemampuan
serta memfasilitasi pemberdayaan harus menjadi titik kuat dalam hal inklusi sosial dalam
konteks PRB.
Pemerintah pusat berinisiatif melakukan percontohan adaptasi perubahan iklim berbasis
RAN-API di daerah rawan, berdasarkan kajian kerentanan oleh kementerian/ lembaga, mitra
pembangunan dan organisasi masyarakat sipil, bekerjasama dengan pemerintah daerah.
Percontohan RAN API meliputi 15 wilayah yaitu Provinsi Bali, Kota Semarang, Kota
Pekalongan, Provinsi Jawa Barat, Kota Blitar, Kota Bandar Lampung, Provinsi Jawa Timur,
Kabupatean Malang, Kota Batu, Kota Malang, Provinsi NTB, Pulau Lombok, Kota Tarakan,
Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Sumatera Utara (Bappenas 2014).
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
80
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Pada policy paper PUG dalam adaptasi perubahan iklim di Indonesia (Bappenas 2014),
disebutkan bahwa aksi adaptasi perubahan iklim harus mempertimbangkan kebutuhan,
aspirasi, potensi, pengalaman laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, sehingga RAN-API
disusun dengan mempertimbangkan pengaruh perubahan iklim terhadap gender. Pertimbangan
ini menjadi tepat, melihat data Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia tahun 2024
menunjukkan keterwakilan perempuan di parlemen, tingkat pendidikan, kesehatan, dan akses
ketenagakerjaan telah mengalami perbaikan kondisi dibandingkan laki-laki. Pada 2023, Indeks
Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia sebesar 0,447 turun sebanyak 0,012 poin dibandingkan
sebelumnya yang sebesar 0,459. Penurunan sebesar 0,012 poin tahun ini sedikit lebih kecil
dibandingkan penurunan IKG pada 2020, yaitu sebesar 0,016 poin. Selain itu, penurunan IKG
Indonesia pada tahun 2023 ini melanjutkan perbaikan yang telah dicapai sejak 2019. Dengan
demikian, selama lima tahun terakhir, IKG Indonesia secara konsisten mengalami penurunan
dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia terus
mengalami peningkatan. Sejak 2018, IKG Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,010 poin
per tahun sehingga totalnya mencapai 0,052 poin selama lima tahun terakhir.
Dimensi pemberdayaan dibentuk oleh 2 (dua) indikator yang dibagi menurut gender,
yaitu persentase anggota legislatif dan persentase penduduk 25 tahun ke atas yang
berpendidikan SMA ke atas. Pada 2023, jumlah anggota parlemen perempuan meningkat
sebesar 0,40 persen poin dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 22,14 persen. Sebaliknya,
jumlah anggota parlemen laki-laki mengalami penurunan menjadi 77,86 persen. Kondisi ini
menyiratkan bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi
lebih setara dibandingkan sebelumnya. Indikator selanjutnya dari dimensi pemberdayaan
adalah persentase penduduk usia 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas. Indikator
ini mengalami peningkatan pada 2023 baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Persentase penduduk laki-laki usia 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas sebesar
42,62 persen, sedangkan perempuan sebesar 37,60 persen. Dibandingkan dengan 2022, kedua
jenis kelamin menunjukkan peningkatan yang luar biasa, dengan masing-masing 0,56 persen
poin dan 0,65 persen poin untuk laki-laki dan perempuan (BPS 2023, h. 3-4).
Kondisi capaian kesetaraan gender di Indonesia, yang salah satu indikatornya
ditunjukkan dengan peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan, dan penurunan
indeks kesenjangan gender, menjadi modal bagi kebijakan adaptasi perubahan iklim. Oleh
sebab itu, kajian akademis keterkaitan antara pengarusutamaan gender dan perubahan iklim,
perlu terus dilakukan. Dalam artikel ini, penulis mengungkap sebuah alternatif kajian yaitu
mengenai ruang publik bagi perempuan, sebagai strategi meningkatkan makna adanya
pengarusutamaan gender dalam menghadapi perubahan iklim. Rumusan masalah dalam artikel
ini adalah: ‘Bagaimana ruang publik dapat hadir di antara bahasan mengenai pengarusutamaan
gender dalam perubahan iklim?’. Tujuan artikel ini, adalah elaborasi mengenai ruang publik
yang akan memaknai pengarusutamaan gender terhadap perubahan iklim.
2.
Metode
Metode pada artikel ini menggunakan studi pustaka (library research) yaitu metode
pengumpulan data dengan cara memahami dan memelajari teori dari berbagai literatur
mengenai topik penelitian. Langkah penelitian ini adalah menyiapkan sejumlah literatur terkait
pengarusutamaan gender dan perubahan iklim, baik berupa jurnal, buku, dan dokumen secara
online terkait kebijakan perubahan iklim. Penulis membaca, mengkategorikan berdasarkan
aspek telaah literatur mengenai upaya membangun ruang publik. Selanjutnya, penulis
melakukan analisa kritis atas bahan pustaka dari berbagai referensi tersebut, agar dapat
mendukung argumen yang telah dibangun oleh penulis.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
81
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
3.
Hasil dan Pembahasan
Keragaman Kajian: PUG Terhadap Perubahan Iklim
Penelitian sebelumnya mengenai PUG dalam adaptasi perubahan iklim telah hadir
dengan keragaman pendekatan teori. Penulis mengkategorikan ada empat pendekatan, yaitu
penelitian yang fokus mengenai perempuan sebagai objek, yang menyatakan perubahan iklim
berdampak pada kerentanan perempuan. Pendekatan selanjutnya adalah institusionalisme
feminis, interseksionalitas, dan analisa wacana. PUG yang fokus pada soal kerentanan
perempuan, peneliti kategori ini menganggap betapa perempuan berada pada posisi rentan
ketika dibandingkan dengan laki-laki. Kerentanan dari faktor manusia, sosial dan budaya
menjadi alternatif kajian penelitian PUG terhadap kebijakan adaptasi perubahan iklim
(Hiwasaki dkk. 2015). Perempuan merupakan bagian terbesar dari masyarakat termiskin,
menjadi salah satu paling terpukul pada perubahan iklim, tidak memiliki posisi sosial, hukum
dan ekonomi yang baik (Morrow 2017).
Kerentanan perempuan terhadap dampak perubahan iklim meningkat dibandingkan laki-
laki, karena kerugian relatif perempuan dalam hal akses ke sumber daya, kepemilikan tanah,
pendidikan, tanggung jawab perawatan, kurangnya kekuatan politik, pola pembagian kerja,
pola budaya (Dankelman 2010; Björnberg & Hansson 2013), institusi sosial, norma perilaku
dan atribut fisiologis (Shabib & Khan 2014, h. 329-335). Kerentanan tersebut adalah paling
nyata bagi perempuan di negara berkembang, tetapi juga di negara-negara industri, sehingga
umumnya memiliki kapasitas lebih rendah daripada laki-laki untuk mengatasi dampak
perubahan iklim (Hemmati 2005 dalam Björnberg & Hansson 2013). Perempuan dan anak
perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan seksual, eksploitasi dan pelecehan,
perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga selama bencana (International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies-IFRC, 2005 dalam Shabib & Khan 2014,
h. 329-335).
Selain kajian yang berfokus pada perempuan, ada juga literatur bahwa perempuan tidak
dapat dianggap sebagai korban tak berdaya dari perubahan iklim (MacGregor 2017 dalam
Allwood 2020). Penelitian MacGregor tersebut mendukung penjelasan Arandia (2016) bahwa
kerentanan adalah produk marginalitas masyarakat. Walby (2005) juga menjelaskan PUG
menjadi inisiatif global tetapi tidak dikembangkan secara merata dan global, karena
melingkupi isu-isu rezim internasional, globalisasi, politik transnasional dan praktik transfer
politik dan kebijakan dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Walby (2005) mengutip Bacchi (1999)
dan Verlo (2005) bahwa PUG dipandang sebagai penanda kosong yang diisi berbagai konten
yang hampir tidak terbatas sebagai hasil konstruksi sosial dari fenomena ini. Konten PUG
dibangun secara sosial dalam berbagai cara sesuai dengan teori yang mendasari hubungan
gender dan konteks politik nasional.
Pada kebijakan PUG dalam adaptasi perubahan iklim, penulis memandang bahwa
generalisasi tentang kerentanan dan kebajikan perempuan menyebabkan pengalihan perhatian
dari masalah, yaitu ketidaksetaraan gender dan kekuasaan pengambilan keputusan dalam
pengelolaan lingkungan. Ketidaksetaraan gender yang ada sebagian direproduksi dalam proses
penerjemahan norma-norma internasional ke dalam kebijakan nasional dan subnasional,
dimana implementasinya sebagian besar terjadi (Acosta dkk. 2019).
Kajian PUG dengan menggunakan pendekatan institusionalisme feminis, berfokus pada
konstruksi, melalui peran, proses, praktik kelembagaan dalam menolak perubahan maupun
memperkuat ide dan norma kesetaraan gender (Rao & Kellner 2005, Krook & Mackay 2011
dalam Allwood 2013, h.43-44). Dalam implementasinya, PUG menghadapi ide-ide arus utama
(Bretherton 2001 dalam Allwood 2013, h. 43). Institusionalisme feminis menjadi kajian yang
dominan, sementara analisa wacana masih membutuhkan pengembangan penelitian.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
82
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Pada kategori interseksionalitas bahwa kebijakan harus menguraikan proses sosial,
memengaruhi tanggung jawab, kerentanan dan kekuatan pengambilan keputusan dari individu
dan kelompok (Sultana 2014; Valentine 2007 dalam Arandia dkk. 2016; Allwood 2020).
Pendekatan ini, berupaya mendapatkan dimensi sosial gender, identitas, kekuasaan, tata kelola
dan institusi, untuk kapasitas adaptasi perubahan iklim, dan rekonseptualisasi PUG dalam
merespon adanya kerentanan terhadap perubahan iklim, dengan memahami dan menganalisis
gender sebagai isu lintas sektoral, multidimensi yang saling memengaruhi dengan semua aspek
dari identitas masyarakat (Hall dkk. 2016; Reed dkk. 2014; Lamprell & Braithwaite 2017).
Pendekatan interseksionalitas, sebagai kritik terhadap gender biner menuju penjelasan yang
lebih kompleks (Hall dkk. 2016). Kajian biner laki-laki-perempuan, justru mengakibatkan
intervensi maladaptif dan bukan memperbaiki kerentanan (Carr & Thompson 2014).
Interseksionalitas menguraikan proses sosial dan praktik yang peka terhadap
ketidaksetaraan, berpotongan melintasi usia, kelas, etnis, gender, ruang, ras, status sosial
ekonomi, kebangsaan, kesehatan, orientasi seksual, pendidikan, norma budaya sebagai aspek
identitas, peran, dan tanggung jawab lainnya, yang harus dikaji secara komprehensif agar
efektif (Carr dkk. 2014; Pratiwi dkk. 2016; Jerneck 2017; Allwood 2020). Penelitian
mendalam tentang struktur sosial dan praktik individu diperlukan untuk memahami kausalitas
adaptasi akan mengatasi kemiskinan, ketidaksetaraan, kerawanan pangan, dan kesehatan yang
buruk secara simultan dan sinergis, sambil terus mempertimbangkan gender sebagai salah satu
institusi yang menentukan dalam konteks pertanian skala kecil, terutama dalam hal hak,
tanggung jawab, dan pencapaian strategis (Bowen dkk. 2012, h. 103 dalam Jerneck 2017, h.
403-416).
Selanjutnya, kategori perspektif analisa wacana. Generalisasi kerentanan dan kebajikan
perempuan, mengarahkan pada yang bukan persoalan mendasar, permasalahan sebenarnya
tidak terlihat, menghasilkan ketidaksetaraan, menyederhanakan kompleksitas kerentanan,
kemampuan adaptasi, meningkatkan risiko kebijakan dan tindakan gender (Terry 2009;
Jonsson 2011; Alston 2014; Jonsson & Sijapati 2017; Ampaire dkk. 2020). Penelitian yang
mengkritik bahwa PUG membawa depolitisasi dan birokratisasi gender dalam organisasi.
Narasi gender yang diarusutamakan dan didepolitisasi membuka ruang untuk diskusi narasi
lain atau diskursus tandingan tentang gender (Jonsson & Sijapati 2017). Wacana, mengacu
pada bentuk-bentuk pengetahuan yang relatif terbatas dan diproduksi secara sosial yang
menetapkan batasan pada apa yang mungkin untuk dipikirkan, ditulis, atau dibicarakan tentang
objek sosial tertentu (Bacchi dan Eveline, 2010).
Pandangan biner gender (perempuan versus laki-laki) dianggap menghalangi
pemahaman tentang pengalaman perempuan dan laki-laki dalam proyek, atau bagaimana
sumbu kekuasaan berpotongan (Jonsson & Sijapati 2017). Konsep gender yang tidak reflektif
dalam PUG tidak mengubah penindasan budaya patriarki, hegemoni maskulin dan tantangan
feminis, ada kemungkinan PUG mereproduksi daripada mengacaukan patriarki (Prugl 2010
dalam Alston 2014). Bacchi dan Eveline (2010) dalam Alston (2014) melacak
ketidakmampuan PUG mencapai perubahan radikal dalam relasi gender/kekuasaan pada
konseptualisasi politik gender, yaitu memahami apa masalahnya sebelum mengatasinya
sepenuhnya. Hubungan kekuasaan gender yang dibangun secara sosial berisiko terkait dalam
menghadapi bahaya perubahan iklim, yang dapat mengambil bentuk diskriminasi gender lebih
sulit untuk ditentang (Jonsson 2011).
Kulawik (2009, h. 266) mengusulkan konsep refleksifnya tentang politik bahwa proses
politik tidak direduksi menjadi seperangkat lembaga negara yang tetap dan aktor yang
memaksimalkan utilitas rasional. Tetapi diselidiki dari perspektif bahwa proses tersebut secara
inheren berfungsi sebagai batas, bekerja antara apa yang dianggap politis dan nonpolitis,
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
83
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
merumuskan kembali konsep-konsep analitis, dengan fokus pada keterkaitan pengaturan
kelembagaan, konstelasi aktor, dan wacana politik. Oleh sebab itu analisa wacana membantu
mengkonseptualisasikan kembali hubungan antara struktur peluang politik dan agensi.
Keberadaan objektif” dari struktur peluang tidak menentukan strategi aktual yang dikejar oleh
aktor, tetapi bagaimana peluang ini dirasakan (Kulawik 1992; Naumann 2005 dalam Kulawik
2009, h. 265-270).
Argumennya, adanya pandangan bahwa selama ini kebijakan adalah upaya terbaik
pemerintah untuk menangani 'masalah', pemerintah terlihat bereaksi terhadap 'masalah' yang
tetap dan diidentifikasi yang bersifat eksogen (di luar) proses kebijakan. Dampaknya, fokus
analisis adalah terbatas pada cara bersaing untuk 'memecahkan' masalah kebijakan. Langkah
penelitian yang akan dilakukan adalah, pertama, berupaya memproblematisasikan PUG yaitu
mengidentifikasi 'masalah apa yang diwakili?' sehingga dapat memahami 'masalah' untuk
menjadi jenis 'masalah' tertentu. Kebijakan, merupakan (atau memberi bentuk) 'masalah'.
Kedua, mengungkap relasi kuasa dan pengetahuan yang beroperasi pada kebijakan PUG
terhadap adaptasi dampak perubahan iklim.
Pelembagaan PUG dalam tujuan ekonomi tidak lepas dari arus utama tujuan
pembangunan suatu negara, yang dianggap mendepolitisasi kesetaraan gender (Vida 2020).
Pencapaian upaya mendorong ekonomi, daya saing, dan pertumbuhan yang kuat, dengan
pelembagaan PUG yang melibatkan masyarakat dan berlangsung demokratis (True 2003).
Pertumbuhan ekonomi atau pengurangan kemiskinan lingkungan Eropa, dibingkai secara
instrumental melalui pelembagaan PUG (Debusscher 2012). Bentuk khas kapitalisme dan
mengembangkan persaingan global ekonomi daerah melalui koordinasi gender secara inklusi
sosial (Walby 2004). Sarana efisien dengan tujuan ekonomi menunjukan pergeseran normatif
dari transformasi kesetaraan gender pada program Horizon 2020 Uni Eropa (Repo 2015 dalam
Vida 2020).
Sisi lainnya, PUG menjadi alat pemerintahan dengan tujuan neoliberal daripada pilihan
radikal untuk perubahan, lebih mendukung masyarakat berbasis pasar, tanggung jawab
individu dan bukan kolektif atas ketidaksetaraan, kehilangan kontak dengan tujuan keadilan
sosial dan sifat kompleks gendernya (Wittman 2010, h. 57 dalam Alston 2014). Pemerintahan
neoliberal mengacu pada rasionalitas dan praktik pemerintahan dalam kalkulus ekonomi
dengan perluasan nilai pasar ke dalam nilai dan praktik sehari-hari, yang menumbuhkan
kekecewaan dalam literatur feminis tentang realisasi potensi transformatif PUG, tidak dapat
diterjemahkan ke dalam praktik dalam mencapai kesetaraan gender dan kurangnya kemauan
politik, kekuatan apropriasi kapitalis dan kendala kelembagaan (Lombardo & Meier 2008;
Mazur 2007; Walby 2011 dalam Vida 2020). PUG dalam konteks ketenagakerjaan
menunjukkan peningkatan kemampuan kerja perempuan, tetapi tanpa partisipasi atau
perdebatan di tingkat lokal, yang membatasi sifat transformatif dari PUG (Hermida & Lorenzo
2019).
Penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi atau pengurangan kemiskinan,
individualisme, dan kepercayaan pada pasar adalah sasaran tujuan kebijakan PUG, dianggap
tidak adanya tujuan yang tepat untuk mengurangi ketidaksetaraan gender (Verloo 2005;
Debusscher 2012; Holmgren & Jonsson 2014). Persaingan global ekonomi daerah menjadi
tujuan politik kesetaraan gender dan mobilisasi perempuan di UE (Walby 2004). Peningkatan
produktivitas perempuan dalam mata pencaharian, bukan pergeseran fokus efisiensi ke agenda
pemberdayaan dalam PUG (Chanamuto & Hall 2015). PUG menjadi alat pemerintahan dengan
tujuan neoliberal daripada pilihan radikal untuk perubahan (Alston 2014). Perubahan iklim dan
ketidaksetaraan gender dengan demikian tergeser dari bidang politik ke bidang ekonomi,
terkait dengan kebutuhan industri, kepemilikan dan keuntungan hutan pribadi, bukan dengan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
84
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
pengambilan keputusan publik dan kolektif. Nilai-nilai yang mendasari representasi ini adalah
pertumbuhan ekonomi, individualisme, dan kepercayaan pada pasar. Penekanan pada produksi
tidak berbeda dengan kebijakan kehutanan sebelumnya, yang sampai tahun 1993 terutama
berorientasi pada produksi kayu (Holmgren & Jonsson 2014).
Isu dan analisa gender diarahkan pada desain proyek peningkatan produktivitas
perempuan dalam produksi, bukan oleh kesadaran hubungan gender dalam masyarakat,
meningkatkan efisiensi sistem mata pencaharian rumah tangga, meningkatkan status
perempuan, dan untuk menciptakan proyek yang lebih berkelanjutan. Pendekatan yang
diharapkan untuk pergeseran dari fokus pada efisiensi ke agenda pemberdayaan yang
mengarah pada PUG sejati (Chanamuto & Hall 2015). Keberhasilan PUG mempertimbangkan
penerjemahan kebijakan di seluruh, di antara bidang dan skala kebijakan, bagaimana gender
direpresentasikan dalam paradigma PUG dan tujuan yang ditetapkan justru dikaburkan,
memiliki efek menutup perdebatan makna gender dan peran relasi kekuasaan dalam
melanggengkan ketidaksetaraan gender (Payne 2014).
Pelembagaan PUG juga dilakukan dengan menempatkan hak azasi manusia. Hak asasi
perempuan dan laki-laki sebagai pusat perhatian sistem perlindungan iklim yang berkeadilan
gender (Terry 2009). Wacana HAM global dipergunakan pada persoalan kekerasan terhadap
perempuan, secara simultan sebagai sumber kekuatan, memfasilitasi transendensi perbedaan
antara perempuan, dan memberikan akses ke PBB, namun memiliki keterbatasan karena
pergeseran daripada fokus pada dominasi dan penindasan di balik persoalan kekerasan. HAM
sebagai komitmen tata kelola pemerintah untuk emansipasi perempuan di Afrika Selatan
(Beall 1998). Implementasi instrumen HAM secara konsisten menjadi mekanisme untuk
memotivasi dan memobilisasi pemerintah, masyarakat dan terutama perempuan itu sendiri
(Mahapatro 2014). PUG memberikan fokus memastikan hak, kebutuhan perempuan ditangani
dan hubungan gender yang tidak adil ditantang selama dan setelah bencana iklim (Alston
2014).
Negara 'mengkooptasi' maksud feminis mengenai PUG, memisahkannya dari asal-usul
dan potensi feminis radikalnya, untuk memperkuat struktur normatif laki-laki dalam
pengaturan lokal melalui budaya di mana patriarki dilembagakan. Hegemoni maskulin
mendominasi dan menjadi tantangan feminis, bahwa, PUG mereproduksi ketidaksetaraan
daripada mengacaukan patriarki (Alston 2006; Prugl 2010 dalam Alston 2014). Negara
seringkali berwajah janus, terlibat dalam reproduksi ketidaksetaraan gender sekaligus
menantangnya dalam bentuk feminisme negara (Alston 2014). Keterwakilan perempuan dalam
organisasi meningkat, namun, peran perempuan terus dibatasi, karena adanya budaya yang
belum direformasi yang tetap sangat maskulin (Srivastava 2019). Proporsi partisipasi
perempuan masih lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki pada program desa tangguh
bencana di Aceh (A Disaster-Resilient Village Programme in Aceh - program Destana), dan
menyimpulkan tidak akan responsif gender sampai budaya patriarki dibongkar (Suryani dkk.
2021, h. 1-9).
Ruang publik sebagai operasi pengetahuan kebijakan PUG dalam adaptasi perubahan
iklim
Kajian kebijakan harus dipandu oleh prinsip-prinsip demokrasi diskursif, sehingga
analisis kebijakan dapat berhenti menjadi agen dominasi dan menjadi kekuatan material untuk
emansipasi. Oleh sebab itu, bagian artikel ini mengelaborasi dasar pemikiran alternatif
kebijakan yang dapat diterapkan dalam kebijakan PUG pada perubahan iklim. Penulis
mengajukan perspektif mengenai membangun ruang publik, yang mendukung keterkaitan
PUG dalam perubahan iklim. Dalam teori kritis, analisis kebijakan menjadi wilayah yang
diperdebatkan dalam pertarungan antara sistem dan kehidupan. Harold Lasswell (1951)
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
85
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
menggabungkan demokrasi dan rasionalitas pemecahan masalah melalui ilmu kebijakan.
Namun, karakterisasi ilmu kebijakan Lasswellian tetaplah karakterisasi teknokratis, bahwa
komitmen demokratis apa pun hanyalah masalah preferensi tentang tujuan akhir kebijakan dan
dengan demikian "tidak ada tempat bagi ketidakobjektifan" (Lass, 1951, h. 11 dalam Dryzek
1990, h. 113). Namun, Lasswell juga menggagas dialog kritis dan partisipasi yang bermakna
sebagai bagian integral dari proses analisis (Torgerson, 1985; Bobrow dan Dryzek, 1987, h.
172-4 dalam Dryzek 1990, h. 113).
Secara ringkas, menurut Dryzek (1990, h. 115) analisis kebijakan arus utama adalah
sebagai berikut:
1. Mendahului perdebatan politik dengan memaksakan penilaian nilai yang meragukan,
seperti efisiensi ekonomi;
2. Memperlakukan akhir dalam bentuk yang sederhana, yang dapat diperbaiki sebelum
melakukan konfrontasi terhadap masalah dan menindaklanjutinya;
3. Memahami politik dalam hal manipulasi teknologi dari sistem kausal oleh elit yang terdiri
dari, atau disarankan oleh, para analis;
4. Memperkuat gagasan hirarkis dan birokratis tentang kontrol terhadap manusia; dan
5. Mengedepankan konsensus yang tidak bermasalah mengenai nilai-nilai, dan dengan
demikian terlalu mudah tergelincir ke dalam pembelaan atas nama status quo ideologis.
Karl Popper (1966, 1972a dalam Dryzek 1990, h. 7) berpendapat bahwa bentuk
organisasi sosial yang paling efektif untuk memecahkan masalah bukanlah perencanaan
terpusat atau birokrasi Weberian, melainkan sebuah masyarakat terbuka di mana para
rasionalis instrumentalis dapat dengan bebas mengkritik rancangan satu sama lain. Foucault
(1980) melihat dalam wacana yang beralasan hanya jebakan dan penindasan dengan berbagai
macam kehalusan. Teori-teori tentang politik dan sistem pemikiran (atau apa yang disebutnya
"wacana") secara umum pada dasarnya adalah penjara yang mendisiplinkan para pengikutnya.
Foucault menaruh perhatian pada formasi sosial di masa lalu dan masa kini, keterlibatan para
ilmuwan sosial di dalamnya, dan rasionalitas mereka terhadap kritik tanpa ampun. Sedangkan,
Dryzek (1990) menyatakan bahwa rasionalitas instrumental akan selalu ada, tetapi perlu
dibatasi pada domain yang lebih terbatas daripada yang saat ini ia tempati. Objektivisme,
bagaimanapun juga, dapat ditiadakan sama sekali. Ruang-ruang yang dikosongkan itu
kemudian dapat diisi oleh jenis rasionalitas yang berbeda, yang bersifat diskursif dan
demokratis, bukan instrumental dan otoriter. Rasionalitas yang bersifat diskursif dan
demokratis ini dapat mengatur sisa-sisa rasionalitas yang bersifat instrumental dan
menggantikan objektivisme (Dryzek 1990, h. 9).
Dryzek menekankan aspek wacana publik yang otentik dan masuk akal. Wacana
semacam itu telah terkikis selama berabad-abad oleh rasionalitas instrumental yang
dimanifestasikan dalam hirarki, administrasi, dan teknokrasi, oleh upaya kaum liberal untuk
menemukan dasar-dasar objektivis yang kokoh (Dryzek 1990, h. 14-15). Tindakan-tindakan
yang didasarkan pada rasionalitas instrumental secara eksklusif memiliki kemampuan yang
sangat terbatas dalam lingkungan yang kompleks. Demokrasi diskursif dapat memberikan
kontribusi yang lebih besar terhadap penyelesaian masalah-masalah sosial yang kompleks
(Dryzek 1990, h. 57).
Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran ulang cara berbicara tentang 'masalah', dan
memberi interpretasi tertentu pada masalah tersebut. Inilah, yang menantang rasionalisme
instrumental Max Weber. Praktik ini mengungkap batas-batas historis kekuasaan dan
pengetahuan melalui disipasi (energi yang hilang dari suatu sistem, tapi berubah pada bentuk
lain yang tidak sesuai dengan tujuan sistem) kontra-historis identitas modern, mengacaukan
sejarah linier 'kemajuan' modern melalui pemaparan disparitas asal-usul sejarah dan keturunan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
86
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
sejarah yang beroperasi pada tingkat mikro, bekerja melawan semua narasi besar untuk
mengungkap batas-batas tatanan modern. Dalam hal ini, Foucault menjelaskan penolakan
penyebaran meta-historis dari makna ideal dan teleologi (ajaran yang menerangkan bahwa
segala sesuatu dan kejadian menuju tujuan tertentu) tak terbatas (Foucault, 1977, 140 dalam
Gane 2002, h. 86). Foucault menyatakan bahwa hubungan kekuasaan memiliki kaitan
langsung pada tubuh, yang menginvestasikannya, menandainya, melatihnya, menyiksanya,
memaksanya melakukan tugas, melakukan upacara untuk memancarkan tanda (Foucault 1977
dalam Özer 2010, h. 19).
Perkembangan ilmu pengetahuan manusia sebagai pengetahuan yang seharusnya
menangani masalah-masalah berkaitan dengan tenaga kerja, pertukaran dan bahasa (Rabinow
1984, h. 3-29 dalam Özer 2010, h. 19). Pengetahuan yang lebih terorganisir atau dipikirkan
secara teknis, semakin dekat dengan teknologi politik tubuh (Horrocks 1997 dalam Özer 2010,
h. 19). Disiplin ilmu baru seperti penologi, kriminologi, demografi, dan kedokteran sosial
merupakan indikasi yang jelas dari perkembangan panoptisisme, yang mengacu pada
pengejaran untuk menjaga kontrol total atas lingkungan manusia (Foucault 1970; Turner 1992
dalam Özer 2010, h. 19). Panoptikon Benthamian, subjek yang diawasi tidak pernah menyadari
ketika diawasi dan dengan demikian secara efektif mengawasi diri sendiri. Proses ini adalah
penempatan benda-benda dalam ruang dalam hubungannya satu sama lain (Horrocks 1997
dalam Özer 2010, h. 19). Prinsip-prinsip pengembangan dan reformasi kelembagaan ini,
mencari pemikiran ulang melalui penerapan bentuk-bentuk baru pengetahuan dan
kepercayaan, atas disiplin dan organisasi tubuh rezim sebelumnya, yang berusaha
memaksimalkan efisiensi dan pengawasan (Turner 1992, h. 126 dalam Özer 2010, h. 19).
Selanjutnya, dalam penjelasan Dryzek (1990) bahwa wacana berlangsung di antara para
aktor dengan derajat kompetensi komunikatif yang setara. Situasi ini tidak dibatasi dalam arti
bebas dari dominasi, penipuan, dan interaksi strategis. Karena diskusi tidak terbatas, maka
dapat dibayangkan bahwa seluruh jumlah pengalaman manusia dapat disimpulkan. Setiap
konsensus yang dicapai dalam situasi ini, baik mengenai pertanyaan-pertanyaan empiris
tentang kebenaran atau masalah-masalah normatif tentang keadilan, memiliki kualitas rasional.
Situasi percakapan yang ideal tentu saja tidak lebih dari realisasi penuh dari prinsip-prinsip
rasionalitas komunikatif yang sifatnya beragam (Dryzek 1990, h. 36).
Rasionalisasi komunikatif dan situasi bicara yang ideal dapat diterapkan pada semua
ranah kehidupan sosial. Aspek politiknya secara khusus muncul dalam gagasan tentang ruang
publik, sebuah konsep yang digunakan secara longgar dalam teori kritis dan teori politik secara
umum. Keane (1984, h. 2-3 dalam Dryzek 1990 h. 37) mendefinisikan ruang publik terbentuk
ketika dua atau lebih individu. berkumpul untuk menginterogasi interaksi mereka sendiri
dan hubungan yang lebih luas dari kekuasaan sosial dan politik di mana mereka akan dan telah
tertanam di dalamnya. Melalui asosiasi otonom ini, para anggota ruang publik
mempertimbangkan apa yang mereka lakukan, menentukan bagaimana mereka akan hidup
bersama, dan menentukan bagaimana mereka dapat bertindak secara kolektif (Dryzek 1990, h.
37).
Ruang publik sebagai langkah menuju ilmu kebijakan partisipatoris yang rasional dan
demokratis, adalah menciptakan dan mempertahankan kondisi dan institusi untuk wacana
demokrasi yang bebas, interaksi tidak akan disensor, peserta didorong bebas mengungkapkan
ide dan saling mengkritisi ide, dan forum menjadi proyek jangka panjang, dengan jaringan
masyarakat yang meluas (Lasswell, 1963, h. 99-120 dalam Dryzek 1990 h. 126). Hal ini
berkaitan dengan peran fasilitator pihak ketiga dari desain diskursif. Peran kreatif dan
berkelanjutan seperti ini dicontohkan oleh kasus di Alaska, sebagai reaksi terhadap dampak
negatif dari Undang-Undang Pemukiman tahun 1971, pada tahun 1983, Konferensi Inuit
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
87
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Circumpolar (sebuah organisasi non-pemerintah yang beranggotakan orang Inuit dari
Greenland, Alaska, dan Kanada) membentuk sebuah badan yang disebut Komisi Peninjauan
Penduduk Asli Alaska (Alaska Native Review Commission).
Thomas Berger, seorang hakim dan pengacara Kanada, diundang untuk mengepalai
komisi tersebut. Komisi melakukan penyelidikan terhadap dampak dari Undang-Undang 1971
dengan tujuan untuk merekomendasikan kebijakan untuk menangani masalah yang
teridentifikasi. Berger membawa komisi tersebut ke enam puluh desa dan sejumlah kamp
nelayan di seluruh pedesaan Alaska. Idenya adalah untuk memberikan kesempatan kepada
setiap penduduk asli Alaska untuk berpartisipasi dalam penyelidikan, dan 1.450 dari mereka
(dari total populasi sekitar 60.000 orang) memilih untuk berbicara. Tetapi Berger tidak hanya
mendengarkan, karena stafnya menyediakan materi informasi dan pendidikan bersamaan
dengan setiap dengar pendapat, dan dia berdebat dengan para saksi yang tidak sependapat
dengannya (Berger, 1985 dalam Dryzek 1990, h. 129). Berger telah menciptakan sebuah ruang
publik di mana penduduk asli dapat mengembangkan, mengekspresikan, dan berbagi
pandangan mereka. Ruang ini berada di luar institusi pemerintahan; komisi ini tidak dibiayai
atau didukung oleh pemerintah negara bagian atau federal. Pendanaannya berasal dari yayasan,
gereja, beberapa perusahaan daerah penduduk asli, dan satu pemerintah daerah yang
dikendalikan oleh penduduk asli.
Ruang publik semacam ini antara individu dan negara merupakan tempat pelembagaan
ilmu kebijakan demokrasi partisipatoris, yang melibatkan wacana dan eksperimen holistik,
juga merupakan model praktik yang terinspirasi oleh gagasan tentang ruang publik. Kasus
Alaska Native Review Commission, membantu membentuk komunitas politik yang mampu
memetakan masa depannya sendiri, mungkin menebus janji yang tersirat dalam ide prototipe
Lasswell, tetapi dalam skala besar. Komisi ini menyediakan forum untuk resolusi konflik
dalam komunitas tersebut melalui mekanisme yang telah dipostulatkan sebelumnya, yaitu
transformasi norma-norma privat menjadi norma-norma publik melalui diskusi yang
berkelanjutan.
Laporan Berger (1985) berdasarkan keputusan kolektif tentang apa yang akan terjadi
selanjutnya dalam cara memandang dunia kita (Berger, 1985, h. 118 dalam Dryzek 1990).
Salah satu hambatan praktis untuk menghilangkan analisis kebijakan dari negara dan menjadi
ruang publik yang terpisah terletak pada kepentingan profesional para analis kebijakan itu
sendiri. Birokrasi pemerintah menawarkan pekerjaan, keuangan, dan penerimaan politik
kepada mereka. Tetapi para analis yang berbasis di universitas atau lembaga pemikir
independen dapat dengan mudah menghindari negara dan memilih ruang publik (meskipun
tidak ada alasan untuk menganggap bahwa lembaga- lembaga ini sebenarnya merupakan ruang
publik). Imbalan intelektual dari jaringan seminar keputusan Lasswellian yang berkontribusi,
tetapi tidak mendominasi, ruang publik dapat membantu mengkompensasi kerugian ini. Para
ilmuwan kebijakan demokrasi partisipatoris dapat memberikan kontribusi di dalam ruang
publik dan juga memfasilitasi penciptaannya.
Ruang Publik di Indonesia
Ruang publik bagi pengarusutamaan gender dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim
sangat penting diwujudkan, karena keragaman persoalan dan kebutuhan warga. Keragaman
persoalan warga ketika dilihat dengan perspektif kesetaraan gender, memiliki kompleksitas
ketika aspek gender bersinggungan dengan latar belakang status ekonomi, etnis, agama,
bahasa, usia, kondisi disabilitas, dan sebagainya. Perempuan nelayan yang miskin,
menghadapi kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Ancaman dampak perubahan
iklim, sangat dirasakan oleh nelayan, yang membatasi berlayar karena cuaca tidak menentu.
Demikian juga petani perempuan menghadapi keterbatasan air untuk kebutuhan lahannya.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
88
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Meskipun menghadapi ancaman yang sama, tetapi membentuk pengalaman yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan. Maka, kebijakan pemerintah membutuhkan keragaman
pengalaman untuk merumuskan suatu kebijakan. Perempuan yang menghadapi kerentanan
terhadap dampak perubahan iklim, menjadi pihak yang berkepentingan pada ruang publik.
Kapasitas perempuan yang semakin baik, memberikan peluang terbentuknya kebijakan
mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim. Demikian juga, perempuan yang memiliki
pengetahuan politik akan memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik
(Nurhayati, D., & Nuryadi, M. H. 2023).
Selanjutnya, ruang publik di Indonesia, adalah dengan memanfaatkan musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang), sesuai dengan Undang-Undang nomor 25 tahun
2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Musrenbang adalah forum
antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana
pembangunan daerah. Pada rapat besar skala nasional umumnya yang menyelenggarakan
yakni Menteri dan Kepala Bappeda. Musrenbang tidak hanya dilakukan di tingkat nasional
namun juga di tingkat provinsi, musrenbang tingkat kota/kabupaten, musrenbang tingkat
kecamatan, dan musrenbang tingkat Kelurahan/ Desa. Pada pasal 11 UU tersebut bahwa
musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP), diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dan mengikutsertakan masyarakat.
Tujuannya agar aspirasi dan kebutuhan masyarakat dapat terakomodasi ke dalam proses
perencanaan untuk tahun berikutnya yang dilakukan pemerintah setempat. Kegiatan
musrenbang umumnya membahas isu strategis yang ada, proses-proses yang telah dijalani
pada tahun tersebut, capaian-capaian target dan sasaran dari pemerintah kota/kabupaten
setempat. Setelah itu baru menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). RKPD itulah
yang kemudian akan digunakan untuk penyusunan KUA (Kebijakan Umum APBD) dan PPAS
(Plafon Prioritas Anggaran Sementara) menurut (Ardeno Kurniawan 2022).
4.
Kesimpulan
Kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa analisa kebijakan yang didasarkan pada
rasionalitas instrumental secara eksklusif memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam
lingkungan yang kompleks. Analisis kebijakan bukan agen dominasi, namun emansipasi, yang
menggabungkan demokrasi diskursif dan rasionalitas pemecahan masalah, yaitu bukan
perencanaan terpusat, melainkan sebuah masyarakat terbuka. Demokrasi diskursif dapat
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penyelesaian masalah-masalah sosial yang
kompleks. Hubungan antara individu dan negara merupakan tempat pelembagaan ilmu
kebijakan demokrasi partisipatoris, yang melibatkan wacana dan eksperimen holistik.
Hubungan kekuasaan berdasarkan keyakinan atas pengetahuan yang berlangsung pada
pendisiplinan tubuh. Oleh sebab itu, perkembangan ilmu pengetahuan manusia sebagai
pengetahuan yang menangani masalah, seharusnya tidak dibatasi, dalam arti bebas dari
dominasi, penipuan, dan interaksi strategis. Seluruh jumlah pengalaman manusia dapat
disimpulkan sebagai konsensus tentang keadilan, dan memiliki kualitas rasional. Oleh sebab
itu, membutuhkan gagasan adanya ruang publik. Ruang publik adalah asosiasi otonom, yang
mempertimbangkan apa yang mereka lakukan, menentukan bagaimana mereka akan hidup
bersama, menentukan bagaimana mereka dapat bertindak secara kolektif, interaksi tidak akan
disensor, peserta didorong bebas mengungkapkan ide dan saling mengkritisi ide, dan forum
menjadi proyek jangka panjang, dengan jaringan masyarakat yang meluas.
Ruang publik di Indonesia adalah dengan memanfaatkan musyawarah perencanaan
pembangunan (musrenbang), dari level daerah hingga nasional. Wacana Pengarusutamaan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
89
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
gender (PUG) dapat dimanfaatkan oleh kelompok perempuan melalui ruang publik, untuk
membahas kepentingannya terkait dengan perubahan iklim.
5.
Daftar Pustaka
Jurnal
Acosta, M., Van Bommel, S., Van Wessel, M., Ampaire, E. L., Jassogne, L., & Feindt, P. H.
(2019). Discursive Translations of Gender Mainstreaming Norms: The case of Agricultural
and Climate Change Policies in Uganda. Women’s Studies International Forum, 74, 919.
DOI: 10.1016/j.wsif.2019.02.010
Alston, Margaret. (2014). Gender Mainstreaming and Climate Change. Women's Studies
International Forum Volume 47 (2014) DOI: 10.1016/j.wsif.2013.01.016.
Allwood, Gill. (2013). Gender Mainstreaming and Policy Coherence for Development:
Unintended Gender Consequences and EU Policy. Women's Studies International Forum
39 (2013) 4252, journal homepage:www.elsevier. com /locate/ wsif
Allwood, Gill. (2020) Mainstreaming Gender and Climate Change to Achieve a Just Transition
to a Climate‐Neutral Europe. JCMS: Journal of Common Market Studies, 58(S1), 173
186. Portico. https://doi.org/10.1111/jcms.13082.
Ampaire, Edidah L., Mariola Acosta, Sofia Huyer, Ritah Kigonya, Perez Muchunguzi, Rebecca
Muna, Laurence Jassogne. (2020). Gender in Climate Change, Agriculture, and Natural
Resource Policies: Insights from East Africa. Climatic Change (2020) 158:4360
https://doi.org/10.1007/s10584-019-02447-0.
Arandia, Irene Iniesta., Federica Ravera, Stephanie Buechler, Isabel Díaz-Reviriego, María E.
Fernández-Giménez, Maureen G. Reed, Mary Thompson-Hall, Hailey Wilmer, Lemlem
Aregu, Philippa Cohen, Houria Djoudi, Sarah Lawless, Berta Martin-Lopez, Thomas
Smucker, Grace B. Villamor, Elizabeth Edna Wangui. (2016). A Synthesis of Convergent
Reflections, Tensions and Silences in Linking Gender and Global Environmental Change
Research. Ambio, Vol. 45, Supplement 3: Gender Perspectives in Resilience, Vulnerability
and Adaptation to Global Environmental Change (2016), pp. S383-S393, Springer on
behalf of Royal Swedish Academy of Sciences.
Beall, Jo. (1998). Trickle-Down or Rising Tide? Lessons on Mainstreaming Gender Policy From
Colombia and South Africa. Social Policy & Administration, vol 32, no 5 December 1998,
pp. 513-534.
Björnberg, Karin Edvardsson., Sven Ove Hansson. (2013). Gendering Local Climate Adaptation.
Local Environment: The International Journal of Justice and Sustainability, 18:2, 217-
232, DOI: 10.1080/13549839.2012.729571.
Carr, Edward R., Mary C. Thompson. (2014). Gender and Climate Change Adaptation in
Agrarian Settings: Current Thinking, New Directions, and Research Frontiers. Geography
Compass volume 8, issue 3 (2014) DOI: 10.1111/gec3.12121.
Chanamuto, Nicola J.C., Stephen J.G. Hall. (2015). Gender Equality, Resilience to Climate
Change, and The Design of Livestock Projects for Rural Livelihoods. Gender &
Development, volume 23, issue 3, DOI: 10.1080/13552074.2015.1096041.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
90
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Debusscher, Petra. (2012). Mainstreaming Gender in European Union Development Policy in
the European Neighborhood. Journal of Women, Politics & Policy, 33:322344, Taylor &
Francis Group, DOI: 10.1080/1554477X.2012.722427.
Fu, Xinyu., Gomaa, Mohammed., Deng, Yujun., and Peng, Zhong-Ren. (2016). Adaptation
Planning for Sea Level Rise: A Study of US Coastal Cities. Journal of Environmental
Planning and Management, 2016. http://dx.doi.org/10.1080/096 40 568. 2016.1151771.
Routledge.
Hall, Mary Thompson., Edward R. Carr, Unai Pascual. (2016). Enhancing and Expanding
Intersectional Research for Climate Change Adaptation in Agrarian Settings. Ambio,
45(Suppl. 3):S373S382DOI 10.1007/s13280-016-0827-0.
Handayani, D. W. (2021, December). The Meaning of Masculine Subjectivity in Responding to
the Impact of Climate Change. In 2nd International Indonesia Conference on
Interdisciplinary Studies (IICIS 2021) (pp. 87-92). Atlantis Press.
Hermida, Paula Otero, Ramón Bouzas Lorenzo. (2019). Gender Mainstreaming in Spain: Policy
Instruments, Influencing Factors, and The Role of Local Government. Local Government
Studies. DOI: 10.1080/03003930.2019.1682556, pp. 1-24.
Hiwasaki, Lisa,. Emmanuel Luna, Syamsidik, José Adriano Marçal. (2015). Local and
Indigenous Knowledge on Climate-Related Hazards of Coastal and Small Island
Communities in Southeast Asia. Climatic Change, 128:3556 DOI 10.1007/s10584-014-
1288-8.
Holmgren, Sara., Seema Arora-Jonsson. (2014). The Forest Kingdom With What Values for
The World? Climate Change and Gender Equality in a Contested Forest Policy Context.
Scandinavian Journal of Forest Research, DOI: 10.1080/02827 581.2014.1002216.
Jerneck, Anne. (2017). Taking Gender Seriously in Climate Change Adaptation and
Sustainability Science Research: Views From Feminist Debates and Sub-Saharan Small-
Scale Agriculture. Sustainability Science, 13 (2), 403-416, DOI: 10.1007 /s11625-017-
0464-y.
Jonsson, Seema Arora. (2011). Virtue and Vulnerability: Discourses on Women, Gender and
Climate Change. Global Environmental Change 21 (2011) 744751, journal homepage:
www.elsevier.com/locate/gloenvcha.
Jonsson, Seema Arora., Bimbika Basnett Sijapati. (2017). Disciplining Gender in Environmental
Organizations: The Texts and Practices of Gender Mainstreaming. Gender, Work &
Organization, 25(3), 309-325 (2017) DOI: 10.1111/gwao.12195.
Kulawik, Teresa. (2009). Staking the Frame of a Feminist Discursive Institutionalism. Politics
& Gender 6 Vol. 5; Iss. 2, doi:10.1017/S1743923X09 00021X, pp. 265-270.
Lamprell, G., J. Braithwaite. (2017). Mainstreaming Gender and Promoting Intersectionality in
Papua New Guinea’s Health Policy: A Triangulated Analysis Applying Data-Mining and
Content Analytic Techniques. International Journal for Equity in Health, DOI
10.1186/s12939-017-0555-5, pp. 16:65.
Mahapatro, Meerambika. (2014). Mainstreaming Gender: Shift from Advocacy to Policy. Vision
18(4) 309315, Sage Publications Los Angeles, London, New Delhi, Singapore,
Washington DC, DOI: 10.1177/0972262914551663 http://vision.sagepub. com.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
91
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Nurhayati, D., & Nuryadi, M. H. (2023). Peran Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik Dalam
Meningkatkan Partisipasi Politik Pemilih Perempuan Melalui Pendidikan Politik Di
Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik, 1(2), 80-89.
Özer, Ögr. Gör. Dr. Bugra. (2010). Commonalities and Differences Between Max Weber and
Michael Foucault on the Theme of “Rationalization of the Body”. Yönetim ve Ekonomi
17/2, Celal Bayar Üniversitesi I.I.B.F. Manisa.
Payne, Sarah. (2014). Gender Mainstreaming as A Global Policy Paradigm: Barriers to Gender
Justice in Health. Journal of International and Comparative Social Policy, 30:1, DOI:
10.1080/21699763.2014.886609, pp. 28-40.
Pratiwi, Nila Ardhyarini H., Yovi Dzulhijjah Rahmawati, Ivo Setiono. (2016). Mainstreaming
Gender in Climate Change Adaptation in Cirebon, Indonesia. International Institute for
Environment and Development, http://www.jstor.com /stable/resrep17947,
http://pubs.iied. org/10791iieD.html. ISBN 978-1-78431-369-2, 2-5.
Reed, Maureen G., Alyssa Scott, David Natcher, Mark Johnston. (2014) Linking Gender,
Climate Change, Adaptive Capacity, and Forest-Based Communities in Canada. Canadian
Journal of Forest Research, vol. 44: 9951004, dx.doi.org/ 10.1139/cjfr-2014-0174.
Shahib, Dalia., Shusmita Khan. (2014). Gender-Sensitive Adaptation Policymaking in
Bangladesh: Status and Ways Forward for Improved Mainstreaming. Climate and
Development, 6:4, 329-335, DOI: 10.1080/17565529.2014.951017.
Srivastava, Devyani. (2019). Position of Women in Police in India: Policy Gaps and The Need
for Gender Mainstreaming. Jindal Global Law Review, 10(2),
https://doi.org/10.1007/s41020-019-00095-0, pp. 157171.
Suryani, Rina Suryani., Oktari Suraiya, Kamaruzzaman, Fatimahsyam, Sofia Sofia, Desrita
Karmelia Sari. (2021). Gender Mainstreaming in A Disaster-Resilient Village Programme
in Aceh Province, Indonesia: Towards Disaster Preparedness Enhancement Via An Equal
Opportunity Policy. International Journal of Disaster Risk Reduction 52, 101974, journal
homepage: http://www.elsevier.com/locate/ijdrr pp. 1-9.
Terry, Geraldine. (2009). No Climate Justice Without Gender Justice: An Overview of The
Issues, Gender & Development, 17:1, DOI: 10.1080/13552070802696839, pp. 5-18.
True, Jacqui. (2003). Mainstreaming Gender in Global Public Policy. International Feminist
Journal of Politics, 5:3, 368-396, DOI: 10.1080/1461674032000122740.
Verloo, Mieke. (2005). Mainstreaming Gender Equality In Europe: A Critical Frame Analysis
Approach. Επιθεώρηση Κοινωνικών Ερευνών, 117, pp. 11-34.
Vida, Bianka. (2020). Policy Framing and Resistance: Gender Mainstreaming in Horizon 2020.
European Journal of Women’s Studies, 116, sagepub.com/journals-permissions, DOI:
10.1177/1350506820935495 journals.sagepub.com/home/ejw
https://doi.org/10.1177/1350 506820935495.
Walby, Sylvia. (2004). The European Union and Gender Equality: Emergent Varieties of Gender
Regime. Social Politics, vol 11, number 1, Oxford University Press, Spring, DOI:
10.1093/sp/jxh024, pp. 4-29.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 78-92
E-ISSN: 3025-9843
92
Dwi Wahyu Handayani (Ruang Publik Pengarusutamaan Gender Dalam….)
Walby, Sylvia. (2005). Introduction: Comparative Gender Mainstreaming in a Global Era.
International Feminist Journal of Politics, 7:4, 453-470, DOI:
10.1080/14616740500284383.
Buku
Ardeno Kurniawan, S. E. (2022). Politik dan Akuntansi Keperilakuan: Membuka Kotak Pandora
Perilaku Korupsi Politik dari Dimensi Multidisiplin Ilmu. Penerbit Andi.
Bacchi, Carol., Joan Eveline. (2010). Mainstreaming Politics: Gendering Practices and Feminist
Theory, Australia: University of Adelaide Press.
Dryzek, J. S. (1990). Discursive democracy: Politics, policy, and political science. Cambridge
University Press.
Gane, Nicholas. (2002). Max Weber and Postmodern Theory: Rationalization versus Re-
enchantment, New York: Palgrave.
Morrow, Karen. (2017). Integrating Gender Issues Into The Global Climate Change Regime
dalam Understanding Climate Change through Gender Relations. Routledge.
Laporan
Bappenas. (2014). Perkembangan Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia 2010-2014,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas).
Bappenas. (2018). Policy Brief Sektor Pesisir Kaji Ulang Rencana Aksi Nasional Adaptasi
Perubahan Iklim (RAN-API) 2018, Kementerian PPN/Bappenas.
Badan Pusat Statistik. (2023). Berita Resmi Statistik: Indeks Ketimpangan Gender (IKG) 2023.
Bündnis Entwicklung Hilft/IFHV (2023): WeltRisikoBericht 2023. Berlin: Bündnis
Entwicklung Hilft.