Pada kategori interseksionalitas bahwa kebijakan harus menguraikan proses sosial,
memengaruhi tanggung jawab, kerentanan dan kekuatan pengambilan keputusan dari individu
dan kelompok (Sultana 2014; Valentine 2007 dalam Arandia dkk. 2016; Allwood 2020).
Pendekatan ini, berupaya mendapatkan dimensi sosial gender, identitas, kekuasaan, tata kelola
dan institusi, untuk kapasitas adaptasi perubahan iklim, dan rekonseptualisasi PUG dalam
merespon adanya kerentanan terhadap perubahan iklim, dengan memahami dan menganalisis
gender sebagai isu lintas sektoral, multidimensi yang saling memengaruhi dengan semua aspek
dari identitas masyarakat (Hall dkk. 2016; Reed dkk. 2014; Lamprell & Braithwaite 2017).
Pendekatan interseksionalitas, sebagai kritik terhadap gender biner menuju penjelasan yang
lebih kompleks (Hall dkk. 2016). Kajian biner laki-laki-perempuan, justru mengakibatkan
intervensi maladaptif dan bukan memperbaiki kerentanan (Carr & Thompson 2014).
Interseksionalitas menguraikan proses sosial dan praktik yang peka terhadap
ketidaksetaraan, berpotongan melintasi usia, kelas, etnis, gender, ruang, ras, status sosial
ekonomi, kebangsaan, kesehatan, orientasi seksual, pendidikan, norma budaya sebagai aspek
identitas, peran, dan tanggung jawab lainnya, yang harus dikaji secara komprehensif agar
efektif (Carr dkk. 2014; Pratiwi dkk. 2016; Jerneck 2017; Allwood 2020). Penelitian
mendalam tentang struktur sosial dan praktik individu diperlukan untuk memahami kausalitas
adaptasi akan mengatasi kemiskinan, ketidaksetaraan, kerawanan pangan, dan kesehatan yang
buruk secara simultan dan sinergis, sambil terus mempertimbangkan gender sebagai salah satu
institusi yang menentukan dalam konteks pertanian skala kecil, terutama dalam hal hak,
tanggung jawab, dan pencapaian strategis (Bowen dkk. 2012, h. 103 dalam Jerneck 2017, h.
403-416).
Selanjutnya, kategori perspektif analisa wacana. Generalisasi kerentanan dan kebajikan
perempuan, mengarahkan pada yang bukan persoalan mendasar, permasalahan sebenarnya
tidak terlihat, menghasilkan ketidaksetaraan, menyederhanakan kompleksitas kerentanan,
kemampuan adaptasi, meningkatkan risiko kebijakan dan tindakan gender (Terry 2009;
Jonsson 2011; Alston 2014; Jonsson & Sijapati 2017; Ampaire dkk. 2020). Penelitian yang
mengkritik bahwa PUG membawa depolitisasi dan birokratisasi gender dalam organisasi.
Narasi gender yang diarusutamakan dan didepolitisasi membuka ruang untuk diskusi narasi
lain atau diskursus tandingan tentang gender (Jonsson & Sijapati 2017). Wacana, mengacu
pada bentuk-bentuk pengetahuan yang relatif terbatas dan diproduksi secara sosial yang
menetapkan batasan pada apa yang mungkin untuk dipikirkan, ditulis, atau dibicarakan tentang
objek sosial tertentu (Bacchi dan Eveline, 2010).
Pandangan biner gender (perempuan versus laki-laki) dianggap menghalangi
pemahaman tentang pengalaman perempuan dan laki-laki dalam proyek, atau bagaimana
sumbu kekuasaan berpotongan (Jonsson & Sijapati 2017). Konsep gender yang tidak reflektif
dalam PUG tidak mengubah penindasan budaya patriarki, hegemoni maskulin dan tantangan
feminis, ada kemungkinan PUG mereproduksi daripada mengacaukan patriarki (Prugl 2010
dalam Alston 2014). Bacchi dan Eveline (2010) dalam Alston (2014) melacak
ketidakmampuan PUG mencapai perubahan radikal dalam relasi gender/kekuasaan pada
konseptualisasi politik gender, yaitu memahami apa masalahnya sebelum mengatasinya
sepenuhnya. Hubungan kekuasaan gender yang dibangun secara sosial berisiko terkait dalam
menghadapi bahaya perubahan iklim, yang dapat mengambil bentuk diskriminasi gender lebih
sulit untuk ditentang (Jonsson 2011).
Kulawik (2009, h. 266) mengusulkan konsep refleksifnya tentang politik bahwa proses
politik tidak direduksi menjadi seperangkat lembaga negara yang tetap dan aktor yang
memaksimalkan utilitas rasional. Tetapi diselidiki dari perspektif bahwa proses tersebut secara
inheren berfungsi sebagai batas, bekerja antara apa yang dianggap politis dan nonpolitis,