1. Pendahuluan
Konflik sosial merupakan salah satu fenomena yang tak terhindarkan dalam kehidupan
masyarakat, yang selalu muncul dalam berbagai kurun waktu. Konflik sering kali muncul akibat
adanya perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Pada dasarnya,
konflik adalah akibat dari keinginan manusia untuk menguasai sumber daya yang terbatas (resource
and positive scarcity), yang pada gilirannya memicu dinamika perubahan sosial dan politik.
Menurut Kurnia (2023), konflik dapat berfungsi sebagai pendorong utama perubahan dalam
masyarakat, namun seringkali konflik ini tidak hanya bersifat destruktif, tetapi juga konstruktif
apabila dikelola dengan baik. Dalam konteks ini, pengelolaan konflik menjadi aspek yang sangat
penting, dimana tujuannya adalah mereduksi kekerasan yang dihasilkan oleh konflik dan mengubah
konflik yang destruktif menjadi konstruktif. Salah satu contoh nyata dari konflik sosial yang
melibatkan masalah pertambangan adalah yang terjadi di Gunung Tumpang Pitu, sebuah lokasi
pertambangan emas yang terletak di wilayah Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Gunung Tumpang Pitu dikelola oleh PT Bumi Suksindo (PT
BSI) dengan luas area pertambangan mencapai 4.998 hektar. Lokasi ini menjadi pusat perhatian
masyarakat setempat karena potensi perubahan lingkungan yang signifikan akibat eksploitasi
sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Sejak diberikannya Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) oleh Bupati Banyuwangi pada tanggal 9 Juli 2012
dengan keputusan No. 188/547/KEP/429.011/2012, masyarakat mulai merasakan dampak dari
aktivitas pertambangan ini, yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial yang intensif antara
pihak perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat (Anwar, 2021). Konflik ini tidak hanya
mencakup masalah ekonomi, tetapi juga berimbas pada isu lingkungan, keberlangsungan sosial,
dan kehidupan budaya masyarakat setempat.
Keberadaan pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu membawa serta potensi perubahan
besar terhadap kondisi alam sekitar, khususnya di Desa Sumberagung dan sekitarnya. Gunung
Tumpang Pitu memiliki makna penting bagi masyarakat setempat karena merupakan benteng alami
yang melindungi mereka dari potensi bencana alam seperti tsunami, yang pernah terjadi pada tahun
1994. Oleh karena itu, bagi masyarakat lokal, keberadaan gunung ini bukan hanya sekedar aspek
ekologi, tetapi juga berhubungan langsung dengan keselamatan mereka. Selain itu, aktivitas
pertambangan yang dilakukan di kawasan ini berpotensi merusak ekosistem lokal, seperti fungsi
resapan air yang sangat vital bagi keberlangsungan pertanian dan kebutuhan air bersih masyarakat.
Salah satu kekhawatiran utama masyarakat adalah lokasi tambang yang hanya berjarak sekitar 3
km dari kampung nelayan Pancer, serta rencana pembangunan kolam penampungan limbah
tambang yang terletak sekitar 6,7 km dari tempat pelelangan ikan (TPI) Pancer. Hal ini
menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup para nelayan, yang
menggantungkan hidup mereka pada hasil laut yang dapat terkontaminasi oleh limbah
pertambangan (Budi, 2020).
Isu konflik ekonomi-lingkungan seperti yang terjadi di Banyuwangi, khususnya terkait
dengan eksploitasi pertambangan emas, semakin sering dibahas di tingkat global, baik dalam
konteks Indonesia maupun dunia. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, terutama dalam
industri pertambangan, telah terbukti dapat merusak lingkungan secara drastis dan merugikan
masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang. Dampak dari aktivitas penambangan tidak
hanya terbatas pada kerusakan fisik pada lingkungan, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan
sosial antara berbagai pemangku kepentingan. Kasus tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi
menjadi salah satu contoh nyata yang mencerminkan permasalahan ini. Aktivitas pertambangan
yang berlangsung tidak hanya berpotensi merusak ekosistem, tetapi juga membawa perubahan
sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan terkait kegiatan pertambangan emas ini menjadi aspek yang sangat penting
untuk dipertimbangkan. Partisipasi tersebut penting untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat
dilindungi dan kebutuhan mereka akan lingkungan yang sehat serta berkelanjutan dapat terpenuhi.