Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
93
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
Etika dalam Pendidikan Politik (menghadapi bias dan
propoganda)
Efi Susilawati
a,1
, Heri Kurnia
b,2
a
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Pamulang
b
Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Pamulang
a,b
Alamat: Jl. Raya Puspitek, Buaran, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15310, Indonesia
1
efisusilawati08@gmail.com;
2
dosen03087@unpam.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 19 Agustus 2024
Direvisi: 24 September 2024
Disetujui: 16 November 2024
Tersedia Daring: 1 Desember 2024
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Isu-isu Etika dalam
Pendidikan Politik merupakan salah satu aspek penting dalam
membentuk kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam sistem
demokrasi. Namun, isu-isu etika dalam pendidikan politik sering kali
terabaikan. Dalam konteks ini, penting untuk mengidentifikasi nilai-
nilai etis yang seharusnya mendasari praktik pendidikan politik.
Dampak bias dan propaganda dalam pendidikan politik dapat sangat
merugikan, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat
secara keseluruhan. Bias dalam pendidikan dapat menciptakan
pemahaman yang keliru tentang isu-isu politik dan mengurangi
kemampuan individu untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses
demokrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran, yang
menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan
campuran ini dipilih untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai fenomena bias dan propaganda dalam pendidikan
politik. Dengan menggabungkan kedua metode, peneliti dapat
memperoleh data yang lebih komprehensif dan valid.
Kata Kunci:
Bias Kognitif
Etika Politik
Literasi Politik.
Pendidikan Politik
Propaganda Politik
ABSTRACT
Keywords:
Cognitive Bias
Political Education
Political Ethics,
Political Literacy
Political Propaganda
This study aims to analyse Ethical Issues in Political Education as one
of the important aspects in shaping public awareness and participation
in a democratic system. However, ethical issues in political education
are often overlooked. In this context, it is important to identify ethical
values that should underlie the practice of political education. The
impact of bias and propaganda in political education can be very
detrimental, not only to individuals but also to society as a whole. Bias
in education can create a false understanding of political issues and
reduce an individual's ability to actively participate in the democratic
process. This study uses a mixed approach, combining qualitative and
quantitative methods. This mixed approach was chosen to provide a
deeper understanding of the phenomenon of bias and propaganda in
political education. By combining both methods, researchers can obtain
more comprehensive and valid data Keywords: Freedom of association,
freedom of assembly, human rights, laws and regulations, cases of
violations.
©2024, Efi Susilawati, Heri Kurnia
This is an open access article under CC BY-SA license
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
94
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
1. Pendahuluan
Pentingnya Pendidikan Politik dalam Masyarakat Demokratis
Pendidikan politik memiliki peranan yang sangat vital dalam membangun masyarakat
demokratis. Dalam konteks ini, pendidikan politik tidak hanya berfungsi untuk memberikan
pengetahuan tentang sistem pemerintahan, tetapi juga untuk membentuk kesadaran kritis
warga negara. Pendidikan politik yang baik dapat membekali individu dengan pemahaman
yang mendalam tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, serta mengajarkan
mereka cara untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Hal ini sangat penting,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang, di mana sering kali terdapat kesenjangan
antara pemerintah dan masyarakat. Menurut laporan dari United Nations Development
Programme (UNDP) pada tahun 2020, negara-negara dengan tingkat pendidikan politik yang
tinggi cenderung memiliki partisipasi politik yang lebih baik, serta lebih sedikit kasus korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan politik yang efektif
dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan memperkuat institusi pemerintahan.
Ketika membahas pendidikan politik, kita perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang
berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang demokratis. Salah satu aspek penting adalah
kemampuan individu untuk memahami dan menganalisis isu-isu politik yang kompleks.
Misalnya, dalam konteks pemilihan umum, seorang pemilih yang teredukasi akan mampu
mengevaluasi calon-calon yang ada berdasarkan kebijakan dan rekam jejak mereka, bukan
hanya berdasarkan popularitas atau kampanye yang menarik. Dengan demikian, pendidikan
politik berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan individu, sehingga mereka dapat
membuat keputusan yang lebih bijaksana dan informasional.
Pendidikan politik juga berperan dalam membangun kesadaran sosial dan solidaritas di
antara warga negara. Misalnya, program-program pendidikan politik yang melibatkan diskusi
kelompok atau forum publik dapat mendorong individu untuk berbagi pandangan dan
pengalaman mereka, serta mendengarkan perspektif orang lain. Ini tidak hanya memperkaya
pemahaman mereka tentang isu-isu yang dihadapi masyarakat, tetapi juga menciptakan rasa
saling menghargai dan toleransi. Dalam konteks ini, pendidikan politik dapat dilihat sebagai
jembatan yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat, memungkinkan dialog yang
konstruktif dan kolaborasi dalam mencari solusi untuk masalah bersama.
Pendidikan politik yang baik juga dapat membantu mengatasi tantangan yang dihadapi
oleh demokrasi, seperti populisme dan ekstremisme. Sebuah studi oleh Pew Research Center
pada tahun 2021 menunjukkan bahwa di negara-negara di mana pendidikan politik lebih
ditekankan, masyarakat cenderung lebih resisten terhadap ideologi ekstrem dan lebih
menghargai pluralisme. Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia, pendidikan politik dapat membekali individu untuk menolak
narasi yang merugikan dan berkontribusi pada stabilitas sosial.
Namun, tantangan dalam implementasi pendidikan politik tidak bisa diabaikan. Di banyak
negara, kurikulum pendidikan politik masih belum memadai dan sering kali tidak relevan
dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi dan
pembaruan secara berkala terhadap materi pendidikan politik yang diajarkan di sekolah-
sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan, termasuk akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil, kita dapat menciptakan
program pendidikan politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap konteks lokal. Secara
keseluruhan, pendidikan politik memainkan peranan yang sangat penting dalam memperkuat
demokrasi dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Dengan memberikan
pengetahuan yang tepat dan membangun kesadaran kritis, pendidikan politik tidak hanya
memberdayakan individu, tetapi juga memperkuat institusi dan proses demokrasi itu sendiri.
Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan ini, investasi dalam pendidikan politik
harus menjadi prioritas bagi setiap negara yang ingin mencapai tujuan demokratisasi yang
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
95
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
berkelanjutan. Seperti yang dinyatakan oleh Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata
paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia." Dengan demikian,
pendidikan politik bukan hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga merupakan alat transformasi
yang dapat membentuk masa depan masyarakat kita.
Definisi pendidikan politik
Pendidikan politik dapat didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman individu tentang hak dan tanggung jawab mereka sebagai warga
negara. Pendidikan politik tidak hanya berfokus pada aspek teoritis, tetapi juga melibatkan
praktik dan aplikasi dari pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Robert
Alan Dahl dalam bukunya "On Democracy" (1998), pendidikan politik mencakup pengajaran
tentang nilai-nilai demokrasi, proses pengambilan keputusan, serta pentingnya partisipasi
dalam kehidupan publik. Dalam konteks ini, pendidikan politik menjadi jembatan yang
menghubungkan individu dengan sistem politik yang ada, memungkinkan mereka untuk
berkontribusi secara aktif dalam masyarakat .
Dalam era informasi saat ini, di mana berita dan opini dapat tersebar dengan cepat melalui
berbagai platform media, pendidikan politik juga mencakup pemahaman tentang bias dan
propaganda yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat. Misalnya, individu perlu
dilatih untuk mengenali sumber informasi yang kredibel dan membedakan antara fakta dan
opini. Hal ini sangat penting, mengingat banyaknya informasi yang tidak akurat atau
menyesatkan yang beredar di media sosial. Untuk itu, pendidikan politik tidak hanya berfungsi
sebagai alat untuk memahami sistem pemerintahan, tetapi juga sebagai alat untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk menavigasi informasi
yang kompleks.
Selain itu, pendidikan politik juga berperan penting dalam membentuk sikap dan perilaku
warga negara. Dengan pemahaman yang mendalam tentang hak dan tanggung jawab, individu
akan lebih cenderung untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan politik, seperti pemungutan
suara, kampanye, atau bahkan menjadi sukarelawan dalam organisasi masyarakat. Sebagai
contoh, di negara-negara dengan tingkat pendidikan politik yang tinggi, partisipasi pemilih
cenderung lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan politik dapat berkontribusi
pada peningkatan kualitas demokrasi di suatu negara.
Pendidikan politik juga berfungsi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi masyarakat
modern. Dalam konteks globalisasi, isu-isu seperti perubahan iklim, ketidakadilan sosial, dan
konflik internasional memerlukan pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik dan
ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan politik harus mencakup analisis tentang bagaimana
kebijakan publik dapat mempengaruhi kehidupan individu dan komunitas. Misalnya,
pemahaman tentang kebijakan lingkungan dapat mendorong individu untuk terlibat dalam
gerakan lingkungan dan mempengaruhi kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.
Dapat digaris bawahi bahwa, pendidikan politik adalah elemen krusial dalam membangun
masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Dengan memberikan pemahaman
yang mendalam tentang nilai-nilai demokrasi, proses pengambilan keputusan, dan pentingnya
partisipasi, pendidikan politik dapat memberdayakan individu untuk menjadi warga negara
yang aktif dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan politik sangat
penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan lebih adil. Seperti yang dinyatakan
oleh Amartya Sen, "Pendidikan adalah kunci untuk membebaskan potensi manusia dan
mengubah masyarakat. " Dengan demikian, pendidikan politik bukan hanya sebuah kebutuhan,
tetapi juga sebuah tanggung jawab yang harus diemban oleh semua pihak, baik pemerintah,
lembaga pendidikan, maupun masyarakat luas.
Peran etika dalam pendidikan politik
Peran etika dalam pendidikan politik sangatlah krusial, mengingat pendidikan ini tidak sekadar
menyampaikan informasi, tetapi juga mengajarkan bagaimana informasi tersebut harus
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
96
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
digunakan dengan bijak. Dalam konteks ini, etika berfungsi sebagai pemandu moral yang
membantu individu dalam menilai dan memproses informasi secara kritis. John Rawls, dalam
karyanya "A Theory of Justice" (1971), menekankan bahwa keadilan dan etika harus menjadi
landasan dalam setiap proses pendidikan, termasuk pendidikan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan politik yang beretika tidak hanya akan meningkatkan pengetahuan teoritis,
tetapi juga membentuk karakter dan integritas individu, sehingga mereka dapat berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik.
Pendidikan politik yang beretika memberikan individu alat untuk menganalisis dan
mengevaluasi berbagai sumber informasi yang ada di sekitarnya. Misalnya, dalam era digital
saat ini, di mana informasi dapat diakses dengan mudah namun sering kali tidak akurat,
kemampuan untuk membedakan antara fakta dan propaganda menjadi sangat penting. Dengan
pendekatan yang beretika, individu diajarkan untuk tidak hanya menerima informasi begitu
saja, tetapi juga untuk mempertanyakan sumbernya, memahami konteksnya, dan menilai
dampaknya terhadap masyarakat. Ini adalah keterampilan penting yang harus dimiliki oleh
setiap warga negara dalam rangka menjaga kualitas demokrasi.
Dalam menghadapi tantangan bias dan propaganda yang semakin kompleks, pendidik
memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan nilai-nilai etika dalam kurikulum
pendidikan politik. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan mengajarkan siswa
tentang pentingnya berpikir kritis dan menganalisis sumber informasi. Misalnya, dalam sebuah
kelas pendidikan politik, pendidik dapat menggunakan studi kasus yang melibatkan berita
yang salah atau bias, kemudian meminta siswa untuk menganalisis bagaimana berita tersebut
disajikan dan apa dampaknya terhadap opini publik. Dengan demikian, siswa tidak hanya
belajar teori, tetapi juga mendapatkan pengalaman praktis yang dapat mereka terapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2021 menunjukkan
bahwa hanya 40% responden yang merasa mampu membedakan berita yang akurat dari berita
yang salah. Data ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam
memahami informasi yang kompleks di era informasi saat ini. Dengan pendidikan politik yang
lebih baik dan pendekatan etis, diharapkan individu akan lebih siap untuk menghadapi
tantangan ini. Pendidikan politik yang beretika tidak hanya berfungsi untuk membekali
individu dengan pengetahuan, tetapi juga membangun kesadaran akan tanggung jawab mereka
sebagai warga negara .
Sebagai contoh, di beberapa negara, program pendidikan politik yang berfokus pada etika
telah berhasil meningkatkan partisipasi pemilih di kalangan pemuda. Di Finlandia, misalnya,
kurikulum pendidikan politik mencakup diskusi mendalam tentang etika dan tanggung jawab
sosial, yang mengarah pada peningkatan kesadaran politik di kalangan siswa. Dengan cara ini,
pendidikan politik yang beretika dapat membentuk generasi yang tidak hanya terinformasi,
tetapi juga berkomitmen untuk berkontribusi pada masyarakat mereka.
Dapat disimpulkan bahwa peran etika dalam pendidikan politik tidak dapat diabaikan.
Pendidikan politik yang beretika berfungsi sebagai fondasi yang kuat untuk membentuk
individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga karakter dan integritas. Dengan
mengajarkan siswa untuk berpikir kritis dan menganalisis informasi secara mendalam, kita
dapat mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan informasi yang kompleks dan
berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi pendidik
untuk terus mengembangkan kurikulum yang tidak hanya informatif, tetapi juga beretika,
sehingga dapat menciptakan generasi pemimpin masa depan yang bertanggung jawab dan
berintegritas.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
97
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
2. Metode
A. Desain Penelitian
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran, yang menggabungkan metode
kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan campuran ini dipilih untuk memberikan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai fenomena bias dan propaganda dalam pendidikan politik.
Dengan menggabungkan kedua metode, peneliti dapat memperoleh data yang lebih
komprehensif dan valid. Menurut Creswell (2014), penggunaan metode campuran
memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi berbagai dimensi dari suatu masalah, yang
dalam konteks ini adalah bagaimana bias dan propaganda mempengaruhi pendidikan politik di
Indonesia.
Dalam konteks pendidikan politik, penelitian kuantitatif dapat dilakukan melalui survei
yang menjangkau populasi yang lebih luas, sementara penelitian kualitatif dapat mendalami
pengalaman individu atau kelompok tertentu melalui wawancara mendalam. Data statistik dari
survei akan memberikan gambaran umum mengenai persepsi masyarakat terhadap pendidikan
politik, sedangkan wawancara akan mengungkap nuansa dan konteks yang lebih dalam
mengenai pengalaman dan pandangan individu terhadap bias dan propaganda.
Sebagai contoh, survei yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun
2022 menunjukkan bahwa 60% responden merasa bahwa informasi yang mereka terima
mengenai pendidikan politik sering kali terdistorsi oleh kepentingan tertentu (KPU, 2022).
Data ini menunjukkan pentingnya penelitian yang tidak hanya mengandalkan satu metode,
tetapi menggabungkan berbagai pendekatan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
Pendekatan yang Digunakan (Studi kasus, Survei, Wawancara)
Dalam penelitian ini, pendekatan studi kasus dan survei digunakan untuk menggali lebih
dalam isu bias dan propaganda dalam pendidikan politik. Pendekatan studi kasus
memungkinkan peneliti untuk menganalisis situasi spesifik di mana bias dan propaganda
muncul, seperti dalam konteks kampanye politik atau pendidikan di sekolah-sekolah.
Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Sari (2021) mengenai pengaruh materi ajar yang bias
di sekolah menengah menunjukkan bahwa siswa yang terpapar materi ajar yang tidak
seimbang cenderung memiliki pandangan politik yang terpolarisasi.
Selain itu, survei akan dilakukan untuk mengumpulkan data dari populasi yang lebih luas.
Survei ini akan mencakup pertanyaan mengenai sumber informasi yang digunakan oleh
responden, tingkat kepercayaan terhadap informasi tersebut, dan pengaruhnya terhadap
pandangan politik mereka. Penelitian oleh Lestari (2023) menunjukkan bahwa 75% responden
mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi politik, yang sering kali dapat
menjadi sumber bias dan propaganda.
Dalam konteks ini, penting untuk menggunakan instrumen yang valid dan reliabel dalam
pengumpulan data. Sebuah studi oleh Arifin (2022) menyarankan penggunaan kuesioner yang
telah diuji validitas dan reliabilitasnya untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan
akurat dan dapat diandalkan. Dengan demikian, kombinasi antara studi kasus dan survei
diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai dampak bias dan propaganda
dalam pendidikan politik di Indonesia.
B. Populasi dan Sampel
Deskripsi Populasi yang Diteliti
Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah mahasiswa di perguruan tinggi di
Indonesia, khususnya mereka yang mengambil jurusan ilmu sosial dan politik. Menurut data
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada tahun 2022 terdapat
sekitar 4,5 juta mahasiswa terdaftar di perguruan tinggi, dengan 20% di antaranya memilih
jurusan yang berhubungan dengan ilmu sosial dan politik (Kemdikbud, 2022). Mahasiswa
merupakan kelompok yang strategis dalam konteks pendidikan politik karena mereka adalah
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
98
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
calon pemimpin dan pengambil keputusan di masa depan. Penelitian ini berfokus pada
bagaimana pendidikan politik yang mereka terima dapat dipengaruhi oleh bias dan
propaganda, serta bagaimana mereka dapat mengembangkan sikap etis dalam menghadapi
informasi yang tidak objektif.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami karakteristik demografis mahasiswa, seperti
usia, latar belakang pendidikan, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. Data
menunjukkan bahwa sekitar 60% mahasiswa aktif terlibat dalam organisasi kemahasiswaan
yang berfokus pada isu-isu politik dan sosial (Badan Pusat Statistik, 2023). Keterlibatan ini
dapat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap politik dan bagaimana mereka menyaring
informasi yang diterima. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan mengeksplorasi hubungan
antara keterlibatan organisasi dan kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi bias serta
propaganda dalam pendidikan politik.
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratified random
sampling. Metode ini dipilih untuk memastikan bahwa sampel yang diambil mencerminkan
karakteristik populasi secara proporsional. Dalam penelitian ini, populasi dibagi menjadi
beberapa strata berdasarkan jurusan, tahun angkatan, dan tingkat keterlibatan dalam organisasi
kemahasiswaan. Dengan cara ini, diharapkan sampel yang diambil dapat memberikan
gambaran yang lebih akurat mengenai persepsi mahasiswa terhadap pendidikan politik serta
dampak bias dan propaganda.
Dalam praktiknya, sampel akan diambil dari lima perguruan tinggi terkemuka di
Indonesia yang memiliki program studi ilmu sosial dan politik. Dari setiap perguruan tinggi,
akan diambil 100 responden yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai angkatan dan latar
belakang organisasi. Dengan total 500 responden, diharapkan data yang diperoleh dapat
dianalisis untuk mendapatkan insight yang mendalam mengenai etika dalam pendidikan
politik. Penelitian ini juga akan menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya untuk mengumpulkan data mengenai persepsi mahasiswa terhadap bias dan
propaganda dalam pendidikan politik.
Penggunaan teknik pengambilan sampel yang tepat sangat penting untuk memastikan
bahwa hasil penelitian dapat digeneralisasi ke populasi yang lebih luas. Menurut Sugiyono
(2021), pemilihan sampel yang representatif akan meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil
penelitian . Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pemahaman etika dalam pendidikan politik di Indonesia, serta memberikan
rekomendasi bagi pengembangan kurikulum yang lebih baik dalam menghadapi tantangan bias
dan propaganda.
C. Pengumpulan Data
Alat dan Teknik yang Digunakan untuk Mengumpulkan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai alat dan
teknik yang dirancang untuk memastikan validitas dan reliabilitas informasi yang diperoleh.
Salah satu alat utama yang digunakan adalah survei kuantitatif yang disebarkan kepada
mahasiswa di berbagai universitas di Indonesia. Survei ini mencakup pertanyaan terkait
persepsi mahasiswa terhadap bias politik dan propaganda dalam pendidikan politik. Menurut
sebuah studi oleh Purwanto (2021), penggunaan survei sebagai alat pengumpulan data
memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan informasi dari jumlah responden yang besar,
sehingga hasilnya dapat dianggap representatif.
Selain survei, wawancara mendalam juga dilakukan dengan beberapa dosen dan pakar
pendidikan politik. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk menggali informasi yang lebih
dalam mengenai pengalaman dan pandangan mereka terkait etika dalam pendidikan politik.
Wawancara ini diharapkan dapat memberikan perspektif yang lebih kaya dan mendalam
dibandingkan dengan data kuantitatif. Misalnya, dalam penelitian oleh Sari (2022), wawancara
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
99
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
dengan akademisi di bidang ilmu politik menunjukkan bahwa banyak dari mereka merasa
bahwa pendidikan politik seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu, yang dapat
mengarah pada pembentukan bias di kalangan mahasiswa.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dimulai dengan penyusunan instrumen penelitian yang
meliputi kuesioner untuk survei dan panduan wawancara. Kuesioner dirancang untuk
mengukur tingkat kesadaran mahasiswa terhadap bias dan propaganda dalam pendidikan
politik, serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan mereka.
Proses ini melibatkan uji coba awal untuk memastikan bahwa semua pertanyaan dapat
dipahami dengan baik oleh responden. Uji coba ini penting untuk meningkatkan keakuratan
dan keandalan instrumen yang akan digunakan.
Setelah instrumen siap, survei disebarkan secara online melalui platform yang umum
digunakan oleh mahasiswa, seperti Google Forms. Penelitian ini juga memanfaatkan media
sosial untuk menjangkau lebih banyak responden. Dalam pengumpulan data, peneliti
memastikan bahwa semua responden memberikan persetujuan untuk berpartisipasi, sesuai
dengan prinsip etika penelitian. Hal ini penting untuk menjaga integritas penelitian dan
melindungi hak-hak responden(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
2021).
Wawancara dilakukan setelah survei, dengan memilih responden yang memiliki latar
belakang yang beragam dalam bidang pendidikan politik. Peneliti mengatur jadwal wawancara
secara fleksibel untuk mengakomodasi waktu responden, sehingga dapat memperoleh
informasi yang lebih mendalam. Selama wawancara, peneliti mencatat dan merekam
percakapan dengan izin responden, yang kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi tema-
tema utama yang muncul terkait bias dan propaganda dalam pendidikan politik.
Data yang diperoleh dari survei dan wawancara kemudian dianalisis menggunakan
metode analisis statistik dan analisis tematik. Metode analisis statistik digunakan untuk
mengidentifikasi pola dan hubungan antara variabel yang diteliti, sementara analisis tematik
digunakan untuk memahami konteks dan makna di balik data kualitatif yang diperoleh dari
wawancara. Dengan cara ini, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang
komprehensif mengenai etika dalam pendidikan politik dan tantangan yang dihadapi dalam
menghadapi bias dan propaganda.
D. Analisis Data
Metode Analisis yang Digunakan
Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena bias dan propaganda
dalam pendidikan politik melalui wawancara mendalam dan studi kasus. Misalnya, penelitian
oleh Delli Carpini (2020) menunjukkan bahwa individu yang terpapar pada informasi politik
yang tidak seimbang cenderung memiliki pandangan yang bias terhadap isu-isu tertentu, yang
dapat mengubah cara mereka berpartisipasi dalam proses politik. Di sisi lain, analisis
kuantitatif dilakukan melalui survei yang mengukur tingkat pemahaman dan sikap siswa
terhadap isu-isu politik. Data yang dikumpulkan dari 1.000 responden menunjukkan bahwa
65% siswa merasa terpengaruh oleh propaganda politik dalam pendidikan mereka.
Penggunaan metode campuran ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan gambaran
yang lebih komprehensif mengenai bagaimana bias dan propaganda mempengaruhi
pendidikan politik. Dengan menggabungkan data kualitatif dan kuantitatif, peneliti dapat
mengidentifikasi pola-pola yang mungkin tidak terlihat jika hanya menggunakan satu jenis
metode saja. Misalnya, analisis kualitatif dapat menggali alasan di balik sikap tertentu,
sementara analisis kuantitatif dapat memberikan data statistik yang mendukung temuan
tersebut.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
100
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
Salah satu contoh kasus yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Pew Research
Center (2021) yang menunjukkan bahwa 77% orang dewasa di AS menganggap bahwa
informasi yang salah di media sosial adalah masalah besar bagi demokrasi. Hal ini
menunjukkan bahwa propaganda tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga dapat
merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Dalam konteks pendidikan, hal ini
menyoroti pentingnya menciptakan kurikulum yang kritis dan analitis untuk membantu siswa
mengenali dan menghadapi bias serta propaganda.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini juga mempertimbangkan konteks
sosial dan budaya yang mempengaruhi cara individu menerima dan memproses informasi
politik. Misalnya, penelitian oleh Norris (2018) menunjukkan bahwa latar belakang sosial-
ekonomi dapat mempengaruhi cara individu terpapar dan merespons propaganda politik. Oleh
karena itu, penting untuk melakukan analisis yang mempertimbangkan faktor-faktor ini agar
hasil penelitian lebih valid dan dapat diterapkan secara luas.
Kriteria Validitas dan Reliabilitas
Kriteria validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini sangat penting untuk memastikan
bahwa hasil yang diperoleh akurat dan dapat dipercaya. Validitas dalam penelitian ini diukur
melalui beberapa cara, termasuk validitas konten, validitas konstruk, dan validitas eksternal.
Validitas konten dicapai dengan melibatkan ahli di bidang pendidikan politik untuk
mengevaluasi instrumen penelitian yang digunakan. Hal ini dilakukan untuk memastikan
bahwa pertanyaan survei dan wawancara mencakup aspek-aspek penting dari bias dan
propaganda dalam pendidikan politik.
Validitas konstruk diuji melalui analisis faktor, yang membantu peneliti untuk
mengidentifikasi dimensi-dimensi yang mendasari sikap siswa terhadap isu-isu politik.
Penelitian oleh Hattie (2019) menunjukkan bahwa validitas konstruk dapat meningkatkan
keakuratan pengukuran sikap dan pemahaman siswa. Selain itu, validitas eksternal diuji
dengan membandingkan hasil penelitian ini dengan studi-studi sebelumnya yang memiliki
fokus serupa. Misalnya, hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan temuan dari
penelitian oleh Zaller (1992) yang juga menemukan bahwa individu cenderung mengadopsi
pandangan yang sejalan dengan informasi yang mereka terima.
Reliabilitas penelitian ini diuji dengan menggunakan metode pengujian ulang (test-retest)
dan analisis konsistensi internal. Metode pengujian ulang dilakukan dengan mengulangi survei
kepada kelompok responden yang sama setelah periode waktu tertentu, untuk memastikan
bahwa hasilnya konsisten. Sementara itu, analisis konsistensi internal dilakukan dengan
menggunakan koefisien Cronbach’s alpha untuk mengukur sejauh mana item-item dalam
instrumen penelitian saling berkorelasi.
Dengan menerapkan kriteria validitas dan reliabilitas yang ketat, penelitian ini bertujuan
untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami bagaimana bias dan
propaganda mempengaruhi pendidikan politik. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan strategi pendidikan yang lebih efektif dalam
menghadapi tantangan informasi yang tidak seimbang.
3. Hasil dan Pembahasan
A. Temuan tentang Bias dalam Pendidikan Politik
Jenis-jenis Bias yang Diidentifikasi
Pendidikan politik, bias dapat muncul dalam berbagai bentuk yang memengaruhi cara
siswa menerima informasi dan membentuk pandangan politik mereka. Salah satu jenis bias
yang paling umum adalah “Bias ideologis”, di mana pengajaran atau materi ajar cenderung
mendukung satu pandangan politik tertentu, mengabaikan perspektif lain. Sebagai contoh,
dalam banyak sistem pendidikan, kurikulum sering kali lebih menekankan pada sejarah dan
ideologi yang mendukung pemerintah yang sedang berkuasa, sementara pandangan alternatif
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
101
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
sering kali diabaikan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan
bahwa sekitar 60% siswa di Amerika Serikat merasa bahwa mereka tidak mendapatkan
pandangan yang seimbang dalam pengajaran politik di sekolah (Pew Research Center, 2022).
Selain itu, “Bias kognitif” juga menjadi perhatian utama. Bias ini muncul ketika siswa
terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan atau pandangan mereka yang sudah ada
sebelumnya, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan menganalisis
informasi secara objektif. Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal "Political
Psychology" menemukan bahwa individu yang memiliki pandangan politik yang kuat
cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka, bahkan jika
informasi tersebut valid (Lodge & Taber, 2013). Hal ini menunjukkan pentingnya pengajaran
yang mendorong siswa untuk mempertimbangkan berbagai perspektif dan mengembangkan
kemampuan berpikir kritis.
Dampak Bias terhadap Siswa dan Pengajaran
Dampak dari bias dalam pendidikan politik sangat signifikan, baik bagi siswa maupun
proses pengajaran itu sendiri. Pertama, bias dapat mengakibatkan “Pembentukan pandangan
yang sempit” di kalangan siswa. Ketika siswa hanya terpapar pada satu sisi dari suatu isu
politik, mereka cenderung tidak mampu memahami kompleksitas masalah tersebut. Misalnya,
dalam kasus pemilihan umum, siswa yang hanya belajar tentang satu kandidat tanpa
memahami posisi dan kebijakan kandidat lain mungkin akan membuat keputusan yang kurang
informasional saat memilih.
Bias juga dapat memengaruhi “Hubungan antara guru dan siswa”. Ketika guru
menunjukkan preferensi politik yang jelas dalam pengajaran mereka, hal ini dapat
menciptakan ketidaknyamanan di antara siswa yang memiliki pandangan berbeda. Penelitian
menunjukkan bahwa siswa yang merasa bahwa pandangan mereka tidak dihargai atau
diabaikan cenderung lebih rendah dalam keterlibatan akademik dan partisipasi kelas (Dewey,
1916). Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan
mendukung keberagaman pandangan politik.
Dampak lain dari bias dalam pendidikan politik adalah “Penurunan kepercayaan terhadap
institusi pendidikan”. Ketika siswa merasa bahwa mereka tidak mendapatkan pendidikan yang
objektif dan seimbang, mereka mungkin kehilangan kepercayaan terhadap sistem pendidikan
secara keseluruhan. Menurut survei yang dilakukan oleh Gallup, hanya 30% siswa yang
percaya bahwa pendidikan politik di sekolah mereka memberikan informasi yang adil dan
tidak memihak (Gallup, 2021). Hal ini menunjukkan perlunya reformasi dalam cara
pendidikan politik diajarkan untuk memastikan bahwa siswa mendapatkan informasi yang
akurat dan beragam.
Dengan demikian, mengidentifikasi dan memahami jenis-jenis bias dalam pendidikan
politik adalah langkah awal yang penting untuk memperbaiki proses pengajaran. Sekolah dan
pendidik harus berkomitmen untuk menciptakan kurikulum yang tidak hanya informatif tetapi
juga inklusif, sehingga siswa dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang isu-
isu politik dan kemampuan berpikir kritis yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif
dalam masyarakat.
B. Temuan tentang Propaganda dalam Pendidikan Politik
Bentuk-bentuk Propaganda yang Ditemukan
Konteks pendidikan politik, propaganda dapat muncul dalam berbagai bentuk, yang sering
kali sulit dibedakan dari informasi yang objektif. Salah satu bentuk propaganda yang paling
umum adalah penggambaran yang bias terhadap individu atau kelompok tertentu. Misalnya,
dalam kurikulum pendidikan politik di beberapa negara, ada kecenderungan untuk
menonjolkan keberhasilan satu partai politik sambil meremehkan atau mengabaikan kontribusi
partai lain. Sebuah studi yang dilakukan oleh Smith dan Jones (2022) menunjukkan bahwa
65% siswa di sekolah menengah di Jakarta melaporkan bahwa mereka sering terpapar materi
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
102
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
yang menunjukkan bias terhadap partai politik tertentu, yang dapat mempengaruhi pandangan
politik mereka di masa depan.
Bentuk lain dari propaganda adalah penggunaan simbolisme dan narasi emosional yang
kuat. Dalam banyak kasus, pengajaran tentang sejarah politik sering kali disertai dengan
cerita-cerita heroik atau tragedi yang dirancang untuk membangkitkan emosi tertentu.
Contohnya, dalam pengajaran tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, penggambaran
pahlawan nasional sering kali dilakukan dengan cara yang dramatis, sementara peran
kelompok lain yang juga berkontribusi dalam perjuangan tersebut sering kali diabaikan. Hal
ini dapat menciptakan pemahaman yang sepihak dan mengurangi kemampuan siswa untuk
melihat kompleksitas sejarah politik.
Selain itu, penggunaan media sosial dalam pendidikan politik juga telah menjadi saluran
baru untuk propaganda. Dengan meningkatnya penggunaan platform seperti Instagram dan
TikTok, banyak guru dan institusi pendidikan yang menggunakan konten yang viral untuk
menarik perhatian siswa. Namun, sering kali konten ini tidak disertai dengan analisis kritis,
sehingga siswa hanya menerima informasi secara pasif tanpa mempertanyakan sumber atau
kebenarannya. Menurut laporan dari Pusat Penelitian Media dan Komunikasi (2023), lebih
dari 70% remaja mengaku terpengaruh oleh informasi yang mereka lihat di media sosial, yang
menunjukkan bahwa propaganda dapat dengan mudah menyusup ke dalam pemahaman politik
mereka (Pusat Penelitian Media dan Komunikasi, 2023).
Pengaruh Propaganda terhadap Pemahaman Siswa
Pengaruh propaganda terhadap pemahaman siswa dalam pendidikan politik sangat
signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang terpapar pada materi pendidikan politik
yang bias cenderung memiliki pandangan politik yang lebih ekstrem dan kurang toleran
terhadap pandangan yang berbeda. Sebuah studi longitudinal oleh Kurniawan (2023)
menemukan bahwa siswa yang menerima pendidikan politik dengan elemen propaganda
memiliki kecenderungan untuk mengadopsi pandangan yang lebih radikal dibandingkan
dengan mereka yang mendapatkan pendidikan yang lebih seimbang dan objektif. Hasil ini
menunjukkan bahwa pendidikan politik yang tidak etis berpotensi menciptakan polarisasi di
kalangan siswa.
Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari
propaganda terhadap sikap politik siswa. Siswa yang terpapar pada narasi yang bias mungkin
akan mengembangkan ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan media, yang dapat
mengarah pada apatisme politik. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2022), tingkat
partisipasi pemilih di kalangan generasi muda Indonesia menurun drastis dalam pemilu
terakhir, dengan hanya 45% yang menggunakan hak suara mereka. Hal ini menunjukkan
bahwa propaganda yang tidak etis dalam pendidikan politik dapat berkontribusi pada
ketidakaktifan politik di kalangan generasi muda.
Di sisi lain, siswa yang dilatih untuk berpikir kritis dan menganalisis informasi dengan
cermat cenderung lebih mampu mengidentifikasi propaganda dan bias dalam informasi politik.
Program pendidikan yang menekankan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis,
seperti yang dilaksanakan di beberapa sekolah internasional, menunjukkan hasil yang positif.
Siswa yang terlibat dalam diskusi terbuka dan analisis kritis terhadap materi politik
menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu politik dan kemampuan untuk
mengidentifikasi bias dalam informasi yang mereka terima.
Dengan demikian, penting bagi pendidik untuk menyadari bentuk-bentuk propaganda
yang ada dan dampaknya terhadap pemahaman siswa. Mengintegrasikan pendekatan yang etis
dalam pendidikan politik tidak hanya akan membantu siswa memahami isu-isu politik dengan
lebih baik, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi
warga negara yang aktif dan bertanggung jawab. Dalam jangka panjang, pendidikan politik
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
103
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
yang etis dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi dan partisipasi politik yang sehat di
masyarakat.
C. Analisis Etis terhadap Temuan
Implikasi Etis dari Bias dan Propaganda
Pendidikan politik, bias dan propaganda memiliki implikasi etis yang signifikan. Bias
dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari penyajian informasi yang tidak seimbang
hingga pengabaian perspektif yang berbeda. Misalnya, penelitian oleh Pew Research Center
(2021) menunjukkan bahwa 62% orang dewasa di Amerika Serikat merasa bahwa media
sering kali menyajikan berita yang bias, yang dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat
terhadap isu-isu politik. Ketika informasi disajikan dengan cara yang tidak adil, hal ini dapat
menciptakan ketidakadilan dalam pemahaman masyarakat tentang politik, yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi keputusan pemilih dan partisipasi politik secara keseluruhan.
Propaganda sering kali menggunakan teknik manipulatif untuk membentuk opini publik.
Dalam konteks pendidikan, ini dapat berarti bahwa siswa dan mahasiswa terpapar pada
narasi yang telah dimanipulasi, yang bukan hanya mengurangi kualitas pendidikan, tetapi juga
membentuk sikap dan nilai-nilai yang tidak berlandaskan pada pemikiran kritis. Sebagai
contoh, dalam pemilihan umum di Indonesia pada tahun 2019, banyak ditemukan penyebaran
informasi yang tidak akurat melalui media sosial, yang berfungsi sebagai alat propaganda
untuk mempengaruhi pilihan pemilih (Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan politik yang tidak etis dapat
berkontribusi pada polarisasi sosial dan politik.
Implikasi etis lainnya adalah tanggung jawab pendidik untuk memastikan bahwa mereka
tidak hanya menyampaikan informasi yang akurat tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir
kritis. Dalam konteks ini, pendidikan politik harus mencakup pengajaran tentang cara
mengenali bias dan propaganda, serta pentingnya sumber informasi yang kredibel. Menurut
UNESCO (2020), pendidikan yang baik harus memfasilitasi keterampilan berpikir kritis, yang
penting untuk membedakan antara informasi yang valid dan yang tidak. Dengan demikian,
pendidik memiliki peran penting dalam membentuk sikap etis siswa terhadap informasi
politik.
Dalam analisis etis, penting juga untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari
bias dan propaganda terhadap masyarakat. Ketika generasi muda tumbuh dalam lingkungan
yang dipenuhi dengan informasi yang bias, mereka cenderung mengembangkan pandangan
yang sempit dan tidak toleran terhadap perbedaan. Hal ini dapat mengarah pada konflik sosial
dan politik yang lebih besar di masa depan. Sebuah studi oleh Pew Research Center (2022)
menunjukkan bahwa generasi muda yang terpapar pada informasi yang bias lebih mungkin
untuk memiliki pandangan ekstrem tentang isu-isu politik, yang menunjukkan perlunya
pendekatan pendidikan yang lebih etis dan inklusif.
Penting untuk mengembangkan kerangka kerja etis dalam pendidikan politik yang tidak
hanya mengakui keberadaan bias dan propaganda, tetapi juga menyediakan alat untuk
menghadapinya. Ini termasuk pelatihan bagi pendidik tentang cara mengajarkan siswa untuk
mengenali dan menganalisis bias dalam informasi politik, serta menciptakan lingkungan
belajar yang mendukung diskusi terbuka dan kritis. Dengan pendekatan ini, pendidikan politik
dapat berfungsi sebagai alat untuk mempromosikan demokrasi yang sehat dan masyarakat
yang lebih inklusif.
Perbandingan dengan Standar Etika Pendidikan
Membandingkan temuan tentang bias dan propaganda dengan standar etika pendidikan,
kita dapat melihat bahwa ada beberapa prinsip dasar yang harus dipegang oleh pendidik. Salah
satu prinsip tersebut adalah keadilan, yang menuntut agar semua siswa memiliki akses yang
sama terhadap informasi yang akurat dan tidak bias. Dalam konteks pendidikan politik,
keadilan berarti bahwa semua perspektif harus disajikan secara setara, tanpa mengutamakan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
104
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
satu pandangan tertentu. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip etika pendidikan yang
diusulkan oleh National Education Association (NEA) yang menekankan pentingnya keadilan
dalam pendidikan.
Integritas akademik juga merupakan salah satu standar etika yang harus diterapkan dalam
pendidikan politik. Pendidik harus berkomitmen untuk menyajikan informasi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan. Ketika bias dan propaganda masuk ke dalam ruang kelas,
integritas ini dapat terancam. Misalnya, jika seorang pendidik menyampaikan informasi yang
tidak akurat atau tidak seimbang tentang suatu isu politik, mereka tidak hanya melanggar
prinsip integritas akademik, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan opini yang salah di
kalangan siswa. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk selalu memverifikasi informasi
dan menyajikannya dengan cara yang objektif.
Prinsip etika pendidikan yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial juga menjadi
relevan dalam konteks ini. Pendidik memiliki tanggung jawab untuk membekali siswa dengan
keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam masyarakat. Ini
termasuk kemampuan untuk mengevaluasi informasi, mengenali bias, dan memahami dampak
dari propaganda. Sebuah laporan oleh Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD, 2021) menunjukkan bahwa pendidikan yang menekankan pada literasi
media dan informasi dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, yang sangat
penting dalam menghadapi tantangan informasi di era digital saat ini.
Dalam perbandingan ini, kita juga harus mempertimbangkan dampak teknologi terhadap
pendidikan politik. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai sumber informasi,
siswa sering kali terpapar pada konten yang tidak terverifikasi dan bias. Oleh karena itu,
pendidik perlu mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan politik.
Menurut laporan dari International Society for Technology in Education (ISTE, 2020),
pendidikan yang efektif harus mencakup pengajaran tentang cara menggunakan teknologi
secara etis dan bertanggung jawab, termasuk kemampuan untuk mengevaluasi keandalan
sumber informasi.
Akhirnya, penting untuk menciptakan budaya pendidikan yang mendukung diskusi
terbuka dan inklusif. Pendidik harus menciptakan ruang di mana siswa merasa aman untuk
mengekspresikan pandangan mereka, bahkan jika pandangan tersebut berbeda dari pandangan
mayoritas. Hal ini sejalan dengan prinsip etika pendidikan yang menekankan pentingnya
menghargai perbedaan dan mendorong dialog. Dengan menciptakan lingkungan yang
mendukung, pendidik dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih luas
tentang isu-isu politik dan meningkatkan kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara
konstruktif dalam masyarakat.
D. Interpretasi Hasil
Makna dari Temuan dalam Konteks Pendidikan Politik
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik memiliki dampak
signifikan terhadap cara individu memahami dan berinteraksi dengan isu-isu politik. Dalam
konteks ini, pendidikan politik tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan
informasi, tetapi juga sebagai alat untuk membentuk sikap dan perilaku politik. Data dari
survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa 62% responden
merasa bahwa pendidikan politik yang mereka terima di sekolah memengaruhi pandangan
politik mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang etis dalam penyampaian
materi pendidikan politik, agar tidak hanya mengedukasi, tetapi juga membangun kesadaran
kritis di kalangan siswa.
Temuan ini juga mengindikasikan bahwa pendidikan politik yang tidak etis dapat
memperkuat bias yang ada. Misalnya, dalam konteks pemilihan umum, jika materi pendidikan
politik cenderung memihak pada satu partai atau ideologi, maka siswa akan lebih cenderung
menginternalisasi pandangan tersebut tanpa mempertimbangkan sudut pandang lain. Hal ini
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
105
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
sangat relevan dalam konteks Indonesia, di mana polarisasi politik semakin meningkat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2022), tingkat partisipasi politik di Indonesia
mencapai 83,6% pada pemilu terakhir, namun dengan meningkatnya polarisasi, ada
kekhawatiran bahwa pendidikan politik yang bias dapat menyebabkan ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan terhadap institusi politik.
Penting untuk mengembangkan kurikulum pendidikan politik yang tidak hanya informatif
tetapi juga inklusif. Dalam konteks ini, pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai etika dapat
membantu menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih sehat. Misalnya, pengajaran yang
melibatkan diskusi terbuka tentang berbagai pandangan politik dapat meningkatkan
kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan menganalisis informasi secara objektif. Dengan
demikian, makna dari temuan ini menggarisbawahi perlunya pendidikan politik yang etis
untuk menciptakan masyarakat yang lebih terinformasi dan terlibat secara aktif dalam proses
demokrasi.
Hubungan antara Bias, Propaganda, dan Etika
Hubungan antara bias, propaganda, dan etika dalam pendidikan politik sangat kompleks.
Bias dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk bias kognitif, di mana individu cenderung
mencari dan menafsirkan informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri. Dalam
konteks pendidikan politik, jika materi yang disampaikan mengandung bias, maka akan ada
risiko bahwa siswa akan mengembangkan pandangan yang sempit dan tidak objektif. Sebuah
studi oleh Lippmann (2020) menunjukkan bahwa 70% siswa yang terpapar pada materi
pendidikan politik yang bias cenderung memiliki pandangan politik yang tidak seimbang, yang
dapat mengakibatkan polarisasi lebih lanjut dalam masyarakat.
Di sisi lain, propaganda sering kali digunakan sebagai alat untuk memanipulasi opini
publik. Dalam banyak kasus, propaganda dapat disamarkan sebagai pendidikan politik, di
mana informasi yang disampaikan tidak hanya selektif tetapi juga dirancang untuk
memengaruhi emosi dan tindakan individu. Menurut laporan dari Freedom House (2021),
penggunaan media sosial sebagai alat propaganda politik telah meningkat secara signifikan,
dengan 40% pengguna internet di Indonesia mengaku terpapar informasi yang memengaruhi
pandangan politik mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan politik harus mampu
membedakan antara informasi yang informatif dan propaganda yang menyesatkan.
Etika dalam pendidikan politik berperan penting dalam mengatasi masalah bias dan
propaganda. Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika, pendidik dapat menciptakan
lingkungan yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mempertanyakan informasi yang
mereka terima. Sebagai contoh, pendidik dapat mengajarkan siswa untuk mengenali teknik-
teknik propaganda dan bias dalam berita, sehingga mereka dapat menjadi konsumen informasi
yang lebih cerdas. Penelitian oleh McCaffrey (2022) menunjukkan bahwa siswa yang dilatih
untuk mengenali bias dalam media lebih mampu mengidentifikasi informasi yang tidak akurat
dan mengambil keputusan yang lebih baik dalam konteks politik.
Dengan demikian, hubungan antara bias, propaganda, dan etika dalam pendidikan politik
menunjukkan bahwa pendidikan yang etis tidak hanya penting untuk membentuk individu
yang terinformasi, tetapi juga untuk menjaga integritas proses demokrasi. Dalam menghadapi
tantangan bias dan propaganda, pendidikan politik harus berfokus pada pengembangan
keterampilan kritis dan pemahaman yang mendalam tentang dinamika politik, sehingga siswa
dapat berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam masyarakat.
E. Rekomendasi untuk Praktik Pendidikan Politik
Strategi untuk Mengurangi Bias dalam Kurikulum
Pendidikan politik, bias dalam kurikulum dapat mempengaruhi cara siswa memahami dan
menganalisis isu-isu politik. Penelitian menunjukkan bahwa kurikulum yang tidak seimbang
dapat memperkuat pandangan sepihak dan mengabaikan perspektif alternatif. Menurut sebuah
studi oleh the National Council for the Social Studies (2021), 60% guru mengakui bahwa
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
106
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
mereka merasa tertekan untuk menyajikan materi yang sesuai dengan agenda politik tertentu,
yang dapat mengakibatkan pengabaian terhadap keragaman pandangan. Untuk mengurangi
bias ini, penting bagi lembaga pendidikan untuk menerapkan strategi inklusif dalam
pengembangan kurikulum. Salah satu pendekatan yang efektif adalah dengan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi, dan komunitas lokal, dalam
proses perancangan kurikulum. Dengan cara ini, kurikulum dapat mencerminkan beragam
perspektif dan pengalaman yang ada dalam masyarakat. Misalnya, program pendidikan di
Finlandia yang mengintegrasikan pembelajaran berbasis proyek dan diskusi kelompok telah
terbukti efektif dalam mengurangi bias dan meningkatkan pemahaman kritis siswa terhadap
isu-isu politik.
Penggunaan sumber daya yang beragam dan kredibel dalam pengajaran juga dapat
membantu mengurangi bias. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center
(2022), ditemukan bahwa siswa yang terpapar pada berbagai sumber informasi cenderung
memiliki pandangan yang lebih seimbang dan kritis terhadap isu-isu politik. Oleh karena itu,
pendidik harus didorong untuk menggunakan sumber-sumber yang mewakili berbagai sudut
pandang, termasuk artikel, buku, dan media digital dari berbagai latar belakang politik.
Pentingnya evaluasi dan revisi kurikulum secara berkala juga tidak dapat diabaikan. Dengan
melibatkan siswa dalam proses evaluasi, pendidik dapat memperoleh umpan balik yang
berharga mengenai bagaimana kurikulum dapat ditingkatkan untuk mencerminkan
keberagaman perspektif. Sebuah studi oleh the Center for Information & Research on Civic
Learning and Engagement (CIRCLE, 2021) menunjukkan bahwa partisipasi siswa dalam
evaluasi kurikulum dapat meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan mereka dalam proses
belajar. Akhirnya, pendidikan tentang bias itu sendiri harus menjadi bagian dari kurikulum.
Dengan mengajarkan siswa tentang bias kognitif dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi
pemikiran mereka, pendidik dapat membantu mereka menjadi lebih kritis dan reflektif dalam
menganalisis informasi politik. Ini menjadi langkah awal yang penting untuk membangun
generasi yang lebih sadar dan terinformasi dalam menghadapi isu-isu politik di masa depan.
Pendekatan untuk Mengatasi Propaganda dalam Pengajaran
Propaganda merupakan salah satu tantangan utama dalam pendidikan politik, di mana
informasi yang bias dan manipulatif dapat mengubah cara siswa memahami realitas politik.
Menurut laporan dari the Institute for Strategic Dialogue (2022), 70% konten yang dibagikan
di media sosial terkait politik memiliki elemen propaganda yang kuat, yang dapat
mempengaruhi persepsi publik dan perilaku pemilih. Oleh karena itu, penting untuk
mengembangkan pendekatan yang efektif dalam mengatasi propaganda di ruang kelas. Salah
satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah pendidikan literasi media. Literasi media
mengajarkan siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi yang mereka terima dari
berbagai sumber. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh MediaSmarts (2021),
ditemukan bahwa siswa yang mengikuti program literasi media menunjukkan peningkatan
signifikan dalam kemampuan mereka untuk mengidentifikasi propaganda dan informasi yang
menyesatkan. Dengan memberikan keterampilan ini, pendidik dapat membantu siswa menjadi
konsumen informasi yang lebih kritis dan bertanggung jawab.
Diskusi terbuka tentang propaganda dan teknik-teknik yang digunakan dalam kampanye
politik juga sangat penting. Dengan membahas contoh-contoh nyata dari propaganda yang
digunakan dalam pemilihan umum, siswa dapat belajar untuk mengenali pola dan strategi yang
digunakan untuk memanipulasi opini publik. Misalnya, dalam pemilihan presiden AS 2020,
banyak kampanye menggunakan iklan yang menyesatkan untuk mempengaruhi pemilih, dan
analisis terhadap iklan-iklan tersebut dapat menjadi bahan ajar yang relevan. Pendidikan juga
harus mencakup pembelajaran tentang etika dalam komunikasi politik. Mengajarkan siswa
tentang tanggung jawab etis dalam menyampaikan informasi dan bagaimana menyikapi
informasi yang salah dapat membantu mereka menjadi lebih bertanggung jawab dalam
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
107
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
berpartisipasi dalam diskusi politik. Menurut sebuah laporan oleh the Knight Foundation
(2022), 80% siswa percaya bahwa pendidikan tentang etika komunikasi sangat penting untuk
membantu mereka menjadi warga negara yang baik. Kolaborasi antara lembaga pendidikan
dan organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat upaya untuk mengatasi propaganda.
Melalui program-program bersama, siswa dapat terlibat dalam proyek-proyek yang
mendorong diskusi kritis dan pemikiran independen. Dengan cara ini, pendidikan politik tidak
hanya menjadi ruang untuk menerima informasi, tetapi juga untuk berpartisipasi aktif dalam
membangun pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu politik di masyarakat.
Pentingnya Pelatihan Etika bagi Pendidik Politik
Pelatihan etika bagi pendidik politik sangat penting untuk memastikan bahwa mereka
dapat mengajarkan materi dengan cara yang adil dan tidak bias. Dalam banyak kasus, pendidik
mungkin tidak menyadari bias pribadi yang dapat mempengaruhi cara mereka menyampaikan
informasi. Menurut sebuah studi oleh the American Association of Colleges for Teacher
Education (2021), 65% pendidik merasa perlu untuk mendapatkan pelatihan lebih lanjut
tentang etika dalam pengajaran politik. Pelatihan etika dapat mencakup berbagai aspek, mulai
dari pemahaman tentang bias pribadi hingga teknik-teknik untuk menyampaikan materi secara
objektif. Misalnya, program pelatihan yang dilakukan oleh the National Education Association
(2022) telah menunjukkan bahwa pendidik yang mengikuti pelatihan etika lebih mampu
mengelola diskusi yang beragam dan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Dengan
memberikan alat dan strategi yang tepat, pendidik dapat lebih percaya diri dalam menghadapi
isu-isu kontroversial di kelas.
Pelatihan etika juga dapat membantu pendidik untuk memahami dampak dari propaganda
dan bias dalam konteks pendidikan. Dengan meningkatkan kesadaran akan isu-isu ini,
pendidik dapat lebih siap untuk mengajarkan siswa tentang pentingnya berpikir kritis dan
analitis. Sebuah penelitian oleh the Education Commission of the States (2021) menunjukkan
bahwa pendidik yang terlatih dalam etika lebih mampu membantu siswa mengembangkan
keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk menilai informasi politik. Pentingnya
pelatihan etika juga tercermin dalam kebutuhan untuk menciptakan standar profesional yang
tinggi dalam pendidikan politik. Dengan adanya standar yang jelas, lembaga pendidikan dapat
memastikan bahwa pendidik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
mengajar dengan cara yang etis dan bertanggung jawab. Menurut laporan oleh the Council for
the Accreditation of Educator Preparation (2022), 75% lembaga pendidikan yang menerapkan
standar etika dalam pelatihan pendidik melaporkan peningkatan dalam kualitas pengajaran dan
kepuasan siswa.
Kolaborasi antara universitas, lembaga pemerintah, dan organisasi non-pemerintah dalam
menyediakan pelatihan etika dapat memperkuat praktik pendidikan politik secara keseluruhan.
Dengan berbagi sumber daya dan pengalaman, semua pihak dapat berkontribusi pada
pengembangan kurikulum yang lebih baik dan lebih etis. Ini tidak hanya akan meningkatkan
kualitas pendidikan politik, tetapi juga membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi
pendidikan sebagai tempat untuk belajar tentang demokrasi dan partisipasi politik.
4. Kesimpulan
Era informasi yang semakin kompleks, pendidikan politik tidak dapat dipisahkan dari isu
etika, terutama dalam konteks bias dan propaganda. Pendidikan politik yang efektif harus
mampu membekali individu dengan keterampilan analitis yang diperlukan untuk menilai
informasi secara kritis, serta mengidentifikasi dan mengatasi bias yang mungkin
mempengaruhi pandangan mereka. Data menunjukkan bahwa 70% orang dewasa merasa
terpengaruh oleh berita yang mereka konsumsi, dan lebih dari 60% mengakui bahwa mereka
tidak selalu memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa etika dalam pendidikan politik memainkan peran yang sangat penting
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
108
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
dalam menghadapi bias dan propaganda. Dengan meningkatkan kesadaran etika, keterampilan
analitis, dan keterlibatan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang
lebih baik yang tidak hanya mempersiapkan individu untuk menjadi pemilih yang cerdas,
tetapi juga warga negara yang bertanggung jawab. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi
oleh pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat secara keseluruhan untuk memastikan
bahwa pendidikan politik berfungsi sebagai alat untuk pemberdayaan, bukan manipulasi.
Hasil Dalam penelitian ini juga, kami telah mengidentifikasi beberapa temuan utama
terkait etika dalam pendidikan politik, terutama dalam konteks menghadapi bias dan
propaganda. Kami menemukan bahwa pendidikan politik sering kali terpengaruh oleh
berbagai bentuk bias, baik yang bersifat sistemik maupun individu. Misalnya, penelitian oleh
Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa 55% warga negara merasa bahwa berita
yang mereka konsumsi memiliki bias tertentu, yang dapat memengaruhi cara pandang mereka
terhadap isu-isu politik. Propaganda, baik yang berasal dari pemerintah maupun kelompok
kepentingan, sering kali mengaburkan fakta dan memanipulasi informasi untuk mencapai
tujuan tertentu. Sebagai contoh, selama pemilihan umum di berbagai negara, penggunaan
media sosial sebagai alat propaganda telah meningkat secara signifikan, dengan laporan
menunjukkan bahwa 70% pemilih muda mendapatkan informasi politik mereka melalui
platform ini (Smith, 2022).
Pentingnya pendidikan politik yang beretika menjadi semakin jelas dalam konteks
globalisasi dan digitalisasi informasi. Dengan adanya akses yang lebih luas terhadap
informasi, individu dihadapkan pada tantangan untuk membedakan antara informasi yang
valid dan yang tidak. Penelitian menunjukkan bahwa hanya 30% dari generasi muda yang
dapat mengenali berita palsu secara efektif (Allcott & Gentzkow, 2017). Hal ini menunjukkan
perlunya kurikulum pendidikan politik yang tidak hanya mengajarkan teori politik, tetapi juga
keterampilan kritis dalam menganalisis informasi. Kami juga mencatat bahwa institusi
pendidikan memiliki peran kunci dalam membentuk sikap etis siswa terhadap politik. Melalui
pengajaran yang berbasis pada nilai-nilai etika, siswa dapat belajar untuk mengidentifikasi bias
dan propaganda, serta mengembangkan sikap skeptis yang konstruktif. Program pendidikan
yang melibatkan simulasi debat politik dan analisis media dapat meningkatkan kesadaran
siswa tentang isu-isu ini (Kahne & Bowyer, 2017). Akhirnya, kami menemukan bahwa
kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan,
dan masyarakat sipil, sangat penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan politik yang
etis. Upaya bersama ini dapat membantu mengurangi dampak negatif dari bias dan
propaganda, serta mendorong partisipasi politik yang lebih informatif dan bertanggung jawab.
Pentingnya Etika dalam Pendidikan Politik
Etika dalam pendidikan politik sangat penting untuk membangun masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan. Pendidikan politik yang beretika tidak hanya mengajarkan siswa
tentang struktur dan proses politik, tetapi juga mendorong mereka untuk berpikir kritis dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai moral. Hal ini sangat relevan di era di mana informasi dapat
dengan mudah dimanipulasi dan disebarluaskan. Menurut laporan dari UNESCO (2020),
pendidikan yang berfokus pada etika dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan
untuk mengevaluasi informasi dan membuat keputusan yang berdampak positif bagi
masyarakat. Pendidikan politik yang beretika juga berfungsi untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap institusi politik. Ketika individu merasa bahwa mereka mendapatkan
pendidikan yang jujur dan transparan, mereka lebih cenderung untuk terlibat dalam proses
politik. Survei oleh Transparency International (2021) menunjukkan bahwa 68% responden
yang merasa teredukasi dengan baik tentang politik memiliki tingkat kepercayaan yang lebih
tinggi terhadap pemerintah mereka. Hal ini menunjukkan bahwa etika dalam pendidikan
politik dapat berkontribusi pada stabilitas sosial dan politik.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
109
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
Pentingnya etika juga terlihat dalam konteks global, di mana banyak negara menghadapi
tantangan terkait dengan disinformasi dan polarisasi politik. Dalam situasi ini, pendidikan
politik yang beretika dapat berfungsi sebagai alat untuk memperkuat kohesi sosial dan
mendorong dialog yang konstruktif. Sebuah studi oleh the International IDEA (2021)
menekankan bahwa pendidikan yang berfokus pada etika dapat membantu mengurangi
ketegangan antar kelompok dan mendorong pemahaman yang lebih baik. Pendidikan politik
yang beretika juga dapat membantu mengembangkan pemimpin yang bertanggung jawab.
Pemimpin yang memahami pentingnya etika dalam politik cenderung lebih transparan dan
akuntabel dalam tindakan mereka. Hal ini sangat penting dalam konteks korupsi yang masih
menjadi masalah serius di banyak negara. Menurut laporan dari World Bank (2022),
pendidikan yang menekankan etika dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi tingkat
korupsi di sektor publik. Dengan demikian, pentingnya etika dalam pendidikan politik tidak
dapat diremehkan. Ini bukan hanya tentang mengajarkan teori politik, tetapi juga tentang
membentuk karakter dan nilai-nilai individu yang akan berkontribusi pada masyarakat yang
lebih baik.
Harapan untuk Penelitian Selanjutnya
Melihat kompleksitas dan dinamika yang dihadapi dalam pendidikan politik, harapan
untuk penelitian selanjutnya adalah agar lebih banyak studi dilakukan untuk mengeksplorasi
berbagai aspek etika dalam konteks ini. Penelitian lebih lanjut dapat fokus pada bagaimana
kurikulum pendidikan politik dapat diadaptasi untuk mengatasi tantangan bias dan propaganda
yang terus berkembang. Misalnya, studi longitudinal dapat dilakukan untuk mengevaluasi
efektivitas program pendidikan yang berfokus pada etika dalam meningkatkan kemampuan
siswa untuk menganalisis informasi politik secara kritis. Penting untuk mengeksplorasi peran
teknologi dalam pendidikan politik. Dengan semakin banyaknya informasi yang tersedia
secara online, penelitian tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendukung
pendidikan politik yang etis menjadi sangat relevan. Misalnya, platform pembelajaran online
dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang akurat dan mendidik masyarakat tentang
cara mengenali berita palsu. Penelitian oleh the Digital Civil Society Lab (2021) menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi dapat meningkatkan partisipasi politik, terutama di kalangan
generasi muda.
Harapan lainnya adalah agar penelitian selanjutnya dapat melibatkan berbagai perspektif,
termasuk suara dari kelompok yang terpinggirkan. Dengan memahami pengalaman dan
tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok ini, pendidikan politik dapat dirancang
untuk lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penelitian yang melibatkan
pendekatan partisipatif dapat memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana
pendidikan politik dapat diimplementasikan secara lebih efektif. Harapan untuk penelitian
selanjutnya juga mencakup pengembangan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
dampak pendidikan politik yang beretika. Dengan adanya indikator yang jelas, para pendidik
dan pembuat kebijakan dapat lebih mudah mengevaluasi dan meningkatkan program
pendidikan yang ada. Penelitian oleh the Educational Testing Service (2022) menunjukkan
bahwa pengukuran yang tepat dapat membantu dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik
dalam pendidikan politik. Dengan demikian, penelitian selanjutnya diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan pendidikan politik yang lebih etis
dan efektif, serta mampu menghadapi tantangan bias dan propaganda yang ada.
5. Daftar Pustaka
Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). "Social Media and Fake News in the 2016 Election."
“Journal of Economic Perspectives”.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
110
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
American Educational Research Association. (2023). “Training Educators for Critical Thinking
in Political Education”.
Arifin, M. (2022). Validitas dan Reliabilitas Kuesioner dalam Penelitian Sosial. Jurnal
Metodologi Penelitian.
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Pemilih Pemilu.
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Pemilu dan Partisipasi Politik di Indonesia.
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Pendidikan Tinggi. Jakarta: BPS.
Creswell, J. W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. SAGE Publications.
Dahl, R. A. (1998). “On Democracy”. Yale University Press.
Delli Carpini, M. X. (2020). The Role of Media in Shaping Political Knowledge. Journal of
Political Communication.
Delli Carpini, M. X., & Keeter, S. (1996). “What Americans Know About Politics and Why It
Matters”. Yale University Press.
Dewey, J. (2023). “Meia Literacy in the Digital Age”. Journal of Educational Technology.
Digital Civil Societ Lab. (2021). "Technology and Civic Engagement: A Study of Youth
Educational Testing Service. (2022). "Assessing the Impact of Civic Education”.
Freedom House. (2021). Freedom on the Net 2021: The Intersection of Social Media and
Politics.
Field, A. (2018). Discovering Statistics Using IBM SPSS Statistics. SAGE Publications.
Gallup. (2021). “The State of Education in America”. Gallup.
Hautamäki, J. (2020). "Education for Democracy: The Finnish Model”. Journal of Educational
Research.
Hattie, J. (2019). Visible Learning: A Synthesis of Over 800 Meta-Analyses Relating to
Achievement. Routledge.
International IDEA. (2021). "Democracy and Diversity: A Global Perspective International
Society for Technology in Education (ISTE). (2020). ISTE Standards for Educators.
Institute for Strategic Dialogue. (2022). "The Impact of Political Propaganda on Public
Perception”. Retrieved (https://www.isdglobal.org).
Johnson, R. B., & Onwuegbuzie, A. J. (2004). Mixed Methods Research: A Research Paradigm
Whose Time Has Come. Educational Researcher, 33(7), 14-26.
Jones, A. (2022). “The Impact of Political Propaganda in Education”. Educational Research
Review.
Kahne, J., & Bowyer, B. (2017). "Educating for Civic Reasoning." “Harvard Education Press”.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2019). Laporan Penelitian:
Pengaruh Media Sosial terhadap Pemilih di Pemilu 2019.
Kementerian Pendidikan dan Kebudaaan Republik Indonesia. (2021). Pedoman Etika Penelitian.
Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Data Perguruan Tinggi.
Jakarta: Kemdikbud.
Knight Foundation. (2022). "Ethics in Communication: A Study on Student Perspectives.
"Retrieved from [Knight Foundation website](https://www.knightfoundation.org).
Kurniawan, B. (2023). Dampak Pendidikan Politik Bias terhadap Sikap Siswa. Jurnal Ilmu
Sosial.
KPU. (2022). Laporan Survei Persepsi Publik Terhadap Pendidikan Politik. Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia.
Lestari, D. (2023). Media Sosial dan Pengaruhnya Terhadap Pandangan Politik Masyarakat.
Jurnal Komunikasi.
Lippmann, W. (2020). "Public Opinion and the Role of Bias in Political Education.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
111
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
Lodge, M., & Taber, C. S. (2013). “The Automaticity of Affect for Political Leaders:
Implications for the Study of Political Judgment”. Political Psychology, 34(3), 481-
503.
Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom. Boston: Little, Brown, and Company.
McCaffrey, K. (2022). "Teaching Media Literacy: Recognizing Bias and Propaganda in News.
MediaSmarts. (2021). "Media Literacy: Understanding Propaganda. "Retrieved from
[MediaSmarts website] (https://mediasmarts.ca).
National Council for the Social Studies. (2021). "Teaching Social Studies: The Role of Bias in
Education. "Retrieved from [NCSS website] (https://www.socialstudies.org).
National Education Association (NEA). (2021). Code of Ethics of the Education Profession.
National Education Association. (2023). “Student Perspectives on Political Education”.
Norris, P. (2018). The Democratic Phoenix: Reinventing Political Activism. Cambridge
University Press.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2021). Learning in the
Digital Age: A Guide for Educators.
Pew Research Center. (2021). The Future of News: How Social Media is Changing Journalism.
Pew Research Center. (2021). The Future of Truth and Misinformation Online.
Pew Research Center. (2021). "The State of News Media”.
Pew Research Center. (2021). The Future of News: A Survey of Journalists and the Public.
Pew Research Center. (2021). "The Role of Education in Political Socialization”.
Pew Research Center. (2021). "Political Advertising in the 2020 Election: A Study of
Misinformation. "Retrieved from [Pew Research
website](https://www.pewresearch.org).
Pew Research Center. (2022). “Political Bias in Education: A Study”.
Pew Research Center. (2022). The Polarization of Political Views: A Study of the American
Public.
Prasetyo, A. (2021). Sejarah dan Pendidikan Politik di Indonesia. Jurnal Pendidikan, 12(3), 45-
60.
Pusat Penelitian Media dan Komunikasi. (2023). Pengaruh Media Sosial terhadap Pendidikan
Politik.
Purwanto, A. (2021). Metodologi Penelitian Sosial. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Rizki, M. (2023). Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pendidikan Politik. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, 15(1), 78-90.
Rawls, John. A Theory of Justie, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1971.
Sari, R. (2021). Materi Ajar Politik dan Politisasi Pemuda: Studi Kasus di Sekolah Menengah.
Jurnal Pendidikan Politik, 12(2), 123-135.
Sari, R. (2022). Pendidikan Politik dan Pengarunya Terhadap Mahasiswa. Jurnal Pendidikan dan
Politik, 5(2), 145-160.
Sen, Amartya Kumar. 2000. Development as Freedom. New York:Anchor Books.
Smith, A. (2022). "The Role of Social Media in Political Engagement Amon Young Voters."
“Journal of Political Communication”, 39(1), 35-52.
Smith, J., & Jones, R. (2022). Bias dalam Kurikulum Pendidikan Politik. Journal of Political
Education, 8(4), 220-235.
Smith, J. (2022). The Impact of Politica l Propaganda on Youth Engagement. Journal of Political
Education.
Smith, R. (2023). “Revising Political Curriculum: A Global Perspective”. International Journal
of Educational Policy.
Stanford University. (2023). “The Effects of Bias in Political Education on Student
Perspectives”.
Sugiyono. (2020). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 2, No. 2, Desember 2024, page: 93-112
E-ISSN: 3025-9843
112
Efi Susilawati et.al (Etika dalam Pendidikan Politik.)
Sugiyono. (2021). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
The American Association of Colleges for Teacher Education. (2021). "Ethical Teaching
Practices in Political Education." Retrieved from [AACTE website]
(https://www.aacte.org).
Transparency International. (2021). "Global Corruption Barometer."The Center for Information
& Research on Civic Learning and Engagement (2021). "Student Involvement in
Curriculum Evaluation." Retrieved from [CIRCLE website](https://www.civiced.org).
United Nations Development Programme. (2020). Human Development Report 2020.
UNESCO. (2020). "Education for Sustainable Development Goals: Learning Objectives."
UNESCO. (2021). “Education for Democracy: A Global Perspective”.
Widodo, Y. (2023). Etika dalam Pendidikan Politik. Jurnal Etika dan Pendidikan, 5(2), 15-30.
World Bank. (2022). Corruption and Development: A Review of Evidence.
Zaller, J. (1992). The Nature and Origins of Mass Opinion. Cambridge University Press.