Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
78
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat:
Analisis Kelemahan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang di Indonesia dalam Perspektif
Ilmu Negara
Saryono
a,1
, Herinto Sidik Iriansyah
b,2
a
STKIP Kusumanegara, Jl. Raya Bogor KM-24, Jakarta 13770, Indonesia
b
STKIP Kusumanegara, Jl. Raya Bogor KM-24, Jakarta 13770, Indonesia
1
saryono.bhumi@stkipkusumanegara.ac.id;
2
herinto_sidik@stkipkusumanegara.ac.id
*
saryono.bhumi@stkipkusumanegara.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 21 April 2025
Direvisi: 1 Mei 2025
Disetujui: 28 Mei 2025
Tersedia Daring: 1 Juni 2025
Artikel ini mengkaji kelemahan penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia melalui lensa ilmu negara
klasik dan kontemporer. Permasalahan pokoknya adalah kesenjangan
antara prinsip dasar negara seperti perlindungan, kesejahteraan, dan
keadilan dengan realitas implementasi kebijakan TPPO yang masih
sporadis dan administratif. Tujuan penelitian ialah menilai sejauh mana
negara memenuhi fungsi konstitusionalnya sebagai pemegang
kedaulatan sekaligus pelindung hak asasi manusia, serta merumuskan
rekomendasi reformasi kelembagaan. Penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode analisis normatif dan
refleksi filosofis. Data sepenuhnya bersumber dari literatur sekunder
seperti peraturan perundang-undangan, laporan lembaga negara dan
internasional khususnya Laporan Perdagangan Manusia 2024 serta
artikel jurnal dan buku teks ilmu negara. Analisis berlangsung empat
tahap: identifikasi konseptual, penggalian konteks empiris, pemaduan
teori-fakta, dan sintesis kritis. Hasil menunjukkan bahwa fungsi
perlindungan belum efektif, ditandai minimnya identifikasi korban,
dominasi sanksi administratif, dan rendahnya akses pemulihan. Fungsi
kesejahteraan melemah karena kurangnya jaminan sosial dan
pendidikan vokasional bagi kelompok rentan. Fungsi keadilan
terganggu oleh penegakan hukum simbolik, keterlibatan aparat, dan
diskriminasi terhadap pelaku berpengaruh. Lemahnya koordinasi
antarlembaga dan ketiadaan komando terpadu memperdalam
kesenjangan norma-praktik, memunculkan defisit legitimasi negara.
Simpulannya, negara hadir secara hukum tetapi absen secara substantif
dalam krisis TPPO. Diperlukan reformasi struktural: penguatan
koordinasi nasional, penerapan pendekatan berbasis hak, penegakan
rule of law tanpa diskriminasi, dan rekonstruksi kedaulatan sebagai
tanggung jawab etis melindungi martabat manusia.
Kata Kunci:
Fungsi Negara
Legitimasi
Negara Hukum
Perdagangan Orang
Reformasi Kelembagaan
ABSTRACT
Keywords:
Human Trafficking
Institutional Reform
Legitimacy
Rule of Law
This article examines the shortcomings of Indonesia’s response to
human trafficking through both classical and contemporary theories of
the state. The core issue is the gap between the state’s foundational
principles protection, welfare, and justice and the sporadic, largely
administrative implementation of anti-trafficking policies. The study
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
79
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
State Function
aims to assess how far the state fulfills its constitutional functions as
sovereign authority and human-rights guarantor, and to formulate
institutional reform recommendations. Employing a qualitative-
descriptive approach that combines normative analysis with
philosophical reflection, the research relies entirely on secondary
sources: statutes and regulations, national and international reports
especially the 2024 Trafficking in Persons Report and scholarly books
and journal articles on state theory. The analysis proceeds through four
stages: conceptual identification, empirical context exploration, theory
fact integration, and critical synthesis. Findings reveal that the
protective function remains ineffective, marked by limited victim
identification, a predominance of administrative sanctions, and poor
access to recovery services. The welfare function is weakened by
insufficient social security and vocational education for vulnerable
groups. The justice function is compromised by symbolic law
enforcement, official complicity, and preferential treatment of
influential offenders. Weak inter-agency coordination and the absence
of unified command widen the normpractice gap, creating a legitimacy
deficit for the state. In conclusion, the state is present legally yet
substantively absent in the trafficking crisis. Structural reforms are
required: stronger national coordination, a rights-based approach,
nondiscriminatory enforcement of the rule of law, and a reconstruction
of sovereignty as an ethical responsibility to safeguard human dignity.
©2025, Saryono, Herinto Sidik Iriansyah
This is an open access article under CC BY-SA license
1.
Pendahuluan
Negara, dalam pandangan klasik maupun modern, merupakan institusi yang lahir dari
kebutuhan kolektif untuk menciptakan ketertiban, melindungi hak-hak warga negara, dan
menjamin kesejahteraan bersama. Jean Bodin, salah satu pemikir politik terkemuka abad ke-
16, menekankan bahwa negara adalah pemegang kekuasaan tertinggi (sovereignty) yang tidak
dapat dibagi dan harus digunakan untuk menjamin keteraturan dan keadilan (Andrew, 2011;
Beaulac, 2003). Sementara itu, Hans Kelsen melihat negara sebagai sistem norma hukum yang
bertingkat, di mana seluruh tindakan negara harus tunduk pada prinsip negara hukum
(Rechtsstaat) (Arimba, 2024; Hadi & Michael, 2022). Pemikiran lain seperti Kranenburg
(1949), membagi fungsi negara ke dalam tiga aspek utama, yakni fungsi perlindungan, fungsi
kesejahteraan, dan fungsi keadilan. Fungsi-fungsi ini menjadi pijakan normatif sekaligus tolok
ukur keberhasilan negara dalam menjamin martabat dan hak warganya. Dalam konteks
Indonesia, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ketiga
fungsi tersebut tampaknya belum berjalan optimal (Darmayanti et al., 2022).
Laporan Perdagangan Manusia (2024), Perdagangan Manusia tahun 2024 yang dirilis
oleh Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia menyoroti berbagai
kelemahan dalam upaya perlindungan negara terhadap korban TPPO, khususnya terhadap
kelompok rentan seperti Anak Buah Kapal (ABK), pekerja migran, perempuan, dan anak-anak.
Rendahnya efektivitas sistem identifikasi korban, lemahnya penegakan hukum, dan buruknya
koordinasi antarlembaga menjadi indikasi bahwa negara belum hadir secara utuh dan
bertanggung jawab.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
80
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting dalam studi ilmu negara: sejauh mana negara
Indonesia menjalankan peran dan fungsinya sebagai pemegang kedaulatan dan pelindung
rakyat? Apakah negara telah bergeser dari prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dan hukum?
Tulisan ini akan mengkaji persoalan tersebut melalui pendekatan teoritis ilmu negara, dengan
tujuan mengidentifikasi titik-titik kelemahan institusional dan menawarkan gagasan reformasi
kebijakan serta kelembagaan sebagai bagian dari upaya memperkuat kembali kapasitas negara.
untuk menciptakan ketertiban, melindungi hak-hak warga negara, dan menjamin kesejahteraan
bersama. Namun, dalam konteks penanganan TPPO, negara Indonesia memperlihatkan
kesenjangan yang mencolok antara idealitas teori dan realitas implementatif. Tulisan ini
berupaya mengkaji ketimpangan tersebut dari sudut pandang ilmu negara, dengan menyoroti
kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab dasarnya kepada warga.
2.
Metode
Artikel ini mengusung pendekatan kualitatif-deskriptif dengan perpaduan analisis
normatif dan refleksi filosofis. Kerangka ini dipilih karena mampu mengurai relasi antara
konsep-konsep dasar ilmu negara seperti fungsi negara, legitimasi, supremasi hukum, dan
kedaulatan, dengan realitas penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di
Indonesia. Melalui analisis normatif, penulis menelaah bagaimana prinsip hukum dan
ketatanegaraan seharusnya melindungi warga dari kejahatan perdagangan manusia.
Pendekatan filosofis kemudian menggali makna terdalam konsep negara, martabat manusia,
serta tanggung jawab moral pemerintah dalam memastikan keadilan dan keamanan sosial.
Seluruh data bersumber dari literatur sekunder. Pertama, dokumen hukum dan kebijakan
meliputi Undang-Undang, peraturan pemerintah, laporan institusi negara, hingga instrumen
internasional hak asasi manusia, menyediakan kerangka normatif. Kedua, Laporan
Perdagangan Manusia 2024 dari Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia
digunakan sebagai pijakan utama untuk memetakan kelemahan struktural, memprofilkan
aktor, dan menilai efektivitas kebijakan yang telah berjalan. Laporan investigatif organisasi
non-pemerintah turut memperkaya perspektif lapangan. Ketiga, literatur akademik seperti
buku teks ilmu negara, artikel jurnal, dan kajian kebijakan TPPO, memberikan landasan
teoretis yang memadai. Proses analisis berlangsung dalam empat tahap berkesinambungan.
Tahap identifikasi konseptual mengelompokkan gagasan kunci teori negara klasik dan
kontemporer. Tahap penggalian konteks empiris memasangkan konsep tersebut dengan
kebijakan aktual serta data lapangan sekunder mengenai kasus TPPO di Indonesia.
Selanjutnya, pemaduan teori dan fakta menilai kesenjangan antara norma ideal dan praktik di
lapangan. Terakhir, sintesis kritis merumuskan argumen reflektif atas kegagalan negara
menjalankan fungsinya secara utuh.
3.
Hasil dan Pembahasan
Kerangka teori dalam artikel ini disusun berdasarkan pemikiran sejumlah tokoh sentral
dalam ilmu negara yang relevan untuk memahami secara konseptual bagaimana negara
seharusnya menjalankan perannya dalam melindungi hak-hak dasar warga negara, menjamin
keadilan, dan mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Pendekatan teoritis ini penting untuk
mengevaluasi respons negara Indonesia terhadap persoalan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO), bukan semata dari segi teknis administratif, tetapi dari dimensi normatif dan filosofis
mengenai fungsi negara modern. Kranenburg (1949), menekankan bahwa negara memiliki tiga
fungsi utama: perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan. Fungsi perlindungan menuntut
negara untuk menjamin keamanan dan keselamatan warga negara dari ancaman, baik yang
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
81
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
bersifat internal maupun eksternal. Dalam konteks TPPO, fungsi ini mencakup kewajiban
negara untuk mencegah praktik perdagangan orang, melindungi korban, serta menjamin
pemulihan mereka secara menyeluruh. Fungsi kesejahteraan berimplikasi pada kewajiban
negara dalam menciptakan sistem sosial dan ekonomi yang memadai, yang dapat mencegah
masyarakat jatuh ke dalam kondisi rentan terhadap eksploitasi. Sedangkan fungsi keadilan
mencerminkan peran negara dalam menegakkan hukum secara adil dan tidak diskriminatif.
Ketika ketiga fungsi ini tidak terpenuhi secara proporsional, maka legitimasi negara sebagai
institusi pelindung rakyat mulai dipertanyakan.
Hans Kelsen (Arimba, 2024), melalui teori negara hukum (Rechtsstaat), menyatakan
bahwa segala bentuk kekuasaan negara harus dibatasi dan dikendalikan oleh hukum. Negara
tidak boleh bertindak secara sewenang-wenang dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum
yang rasional, konsisten, dan adil. Dalam penanganan TPPO, pelanggaran terhadap prinsip ini
terlihat pada lemahnya implementasi hukum yang ada, kurangnya proses hukum yang berpihak
pada korban, dan kecenderungan aparat untuk menyelesaikan kasus melalui mekanisme
administratif, bukan pidana. Hal ini menunjukkan kemunduran dalam praktik negara hukum
di Indonesia. Max Weber (2008), memberikan kerangka untuk menilai legitimasi kekuasaan
negara melalui tiga tipologi: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam konteks negara
modern, legal-rasional menjadi dasar utama legitimasi. Ketika negara gagal menegakkan
hukum, merespons pelanggaran HAM, atau bahkan terlibat secara langsung dalam praktik
penyalahgunaan kekuasaan (seperti keterlibatan aparat dalam jaringan TPPO), maka sumber
legitimasi tersebut tergerus. Ini bukan hanya masalah citra, tetapi menandakan krisis
kepercayaan publik yang mendalam terhadap institusi negara.
A.V. Dicey menambahkan bahwa rule of law merupakan pilar utama dalam negara
demokrasi modern. Hukum harus berlaku sama bagi semua orang tanpa kecuali (Walters,
2021). Jika pelaku TPPO dari kalangan berpengaruh tidak tersentuh hukum, atau hanya
dijatuhi sanksi administratif ringan, maka terjadi pelanggaran serius terhadap prinsip
kesetaraan di hadapan hukum. Rule of law bukan sekadar norma legalistik, tetapi merupakan
dasar etis bahwa negara tidak boleh melindungi kejahatan atas nama kekuasaan. Carl Schmitt
menyumbangkan konsep kedaulatan sebagai kemampuan negara untuk mengambil keputusan
yang menentukan, terutama dalam situasi darurat (Schmitt, 2005). TPPO adalah krisis
kemanusiaan yang memerlukan respons luar biasa dari negara. Namun, ketidakhadiran negara
dalam menyusun mekanisme terpadu, lemahnya koordinasi antarinstansi, serta tidak adanya
kebijakan yang progresif dalam penanganan lintas batas, menunjukkan lemahnya realisasi
konsep kedaulatan substantif. Negara tampak hadir secara administratif, tetapi absen secara
substantif.
Pemikiran David Easton mengenai sistem politik juga relevan untuk melihat bagaimana
negara menerima dan merespons input dari Masyarakat (Hanumanthappa, 2023; Westle,
2007). TPPO merupakan fenomena sosial yang terus menekan sistem politik untuk
menghasilkan kebijakan (output) yang efektif. Namun, ketika negara tidak mampu
mengartikulasikan input tersebut ke dalam kebijakan yang bermakna dan implementatif, maka
terjadi disfungsi sistem politik. Kemandekan pada level output memperlihatkan lemahnya
feedback loop antara negara dan masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa negara
Indonesia mengalami tantangan serius dalam menjalankan ketiga fungsi dasarnya seperti
perlindungan, kesejahteraan, dan penegakan hukum dalam konteks penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO). Tantangan tersebut tidak bersifat kasuistik, melainkan sistemik,
karena mencerminkan ketidakhadiran negara secara substantif dalam menjawab persoalan
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
82
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
kemanusiaan yang kompleks seperti lembaga yang gagal menjalankan fungsinya, pelanggaran
prinsip negara hukum, korupsi dan erosi legitimasi.
Fungsi perlindungan negara belum berjalan efektif, terutama dalam kasus-kasus yang
melibatkan kelompok rentan seperti pekerja migran, Anak Buah Kapal (ABK), perempuan,
dan anak-anak. Banyak korban justru mengalami perlakuan administratif yang membatasi
kebebasan, seperti penyitaan paspor, isolasi dalam rumah perlindungan tanpa pendampingan
psikososial yang memadai, hingga kurangnya akses terhadap bantuan hukum. Perlakuan ini
menunjukkan kegagalan negara untuk mengadopsi pendekatan berbasis hak (rights-based
approach) yang menempatkan korban sebagai subjek hukum, bukan sekadar objek kebijakan.
Dari sisi kesejahteraan, negara belum memiliki sistem jaminan sosial dan ekonomi yang dapat
mengurangi kerentanan masyarakat terhadap praktik eksploitasi. Tidak adanya pelatihan
vokasional yang terintegrasi, minimnya edukasi hukum dan ketenagakerjaan, serta lemahnya
perlindungan terhadap buruh migran dan sektor informal memperburuk ketimpangan dan
meningkatkan risiko terjerat TPPO. Negara belum optimal dalam melakukan pengawasan
terhadap perusahaan perekrutan, agen tenaga kerja, maupun praktik outsourcing yang kerap
menjadi celah utama perdagangan orang.
Dalam aspek penegakan hukum, ditemukan bahwa jumlah kasus yang diproses secara
pidana sangat minim dibandingkan dengan estimasi jumlah korban yang dipublikasikan dalam
laporan resmi. Tindakan hukum terhadap pelaku TPPO cenderung bersifat simbolik, dan
banyak kasus yang berhenti pada tingkat administratif atau justru tidak diproses karena
keterlibatan aparat atau elite lokal. Bahkan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan
keterlibatan aparat dalam jaringan perdagangan orang, atau praktik pembiaran sistemik
terhadap eksploitasi di sektor perikanan, domestik, dan migrasi ilegal. Laporan Perdagangan
Manusia (2024) secara eksplisit mencatat kelemahan koordinasi antarlembaga, tumpang tindih
regulasi, dan absennya komando terpadu nasional dalam penanganan TPPO. Pemerintah
daerah sering kali tidak dilibatkan secara serius dalam program perlindungan korban, padahal
posisi mereka sangat strategis sebagai garda terdepan pelayanan publik. Kurangnya integrasi
data, buruknya sistem pelaporan, dan minimnya anggaran turut memperlemah efektivitas
penanganan kasus.
Gambar 1. Distribusi jenis data dari dokumen TPPO 2024
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
83
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa negara hadir secara formal melalui
regulasi, tetapi absen dalam tindakan substantif. Ketika sistem hukum bersifat diskriminatif,
perlindungan sosial tidak menjangkau yang paling rentan, dan tindakan penegakan hukum
tidak adil atau tidak transparan, maka negara kehilangan otoritas moralnya sebagai pelindung
rakyat. Ini menandakan krisis legitimasi negara yang mendalam dan menuntut transformasi
struktural dalam tata kelola pemerintahan yang menjunjung tinggi martabat manusia.
Selanjutnya, bagian ini menguraikan secara sistematis kelemahan struktural dalam penanganan
TPPO berdasarkan temuan dokumen dan literatur sekunder, termasuk Laporan Perdagangan
Manusia 2024. Setiap analisis disusun dalam kerangka yang menghubungkan antara teori,
norma ideal, dan kondisi faktual di lapangan. Dengan pendekatan ini, pembahasan tidak hanya
mendeskripsikan realitas, tetapi juga membangun refleksi kritis terhadap absennya negara
secara substantif dalam menjamin hak dan martabat korban TPPO.
Pertama, Fungsi Negara dan Realitas TPPO
. Berdasarkan teori Kranenburg (1949),
negara memiliki tiga fungsi fundamental: perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan.
Ketiganya menjadi tolok ukur dalam menilai kinerja negara terhadap rakyatnya, khususnya
dalam menghadapi kejahatan transnasional seperti TPPO. Sayangnya, implementasi ketiga
fungsi tersebut di Indonesia masih jauh dari ideal. Dalam aspek perlindungan, negara belum
sepenuhnya hadir untuk menjamin keamanan warganya dari risiko eksploitasi. Banyak korban
TPPO justru diperlakukan secara represif, seperti penahanan di rumah perlindungan tanpa
proses hukum yang jelas, penyitaan dokumen, dan pembatasan kebebasan bergerak.
Pendekatan ini tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga bertentangan dengan prinsip negara
sebagai pelindung hak asasi manusia. Dalam dimensi kesejahteraan, negara belum
memberikan perlindungan sosial dan ekonomi secara menyeluruh kepada kelompok rentan.
Tidak tersedia skema jaminan sosial atau akses pelatihan dan pendidikan vokasional bagi
kelompok-kelompok yang rawan menjadi korban perdagangan orang. Ketimpangan sosial dan
ketidakmerataan pembangunan juga mendorong mobilitas tenaga kerja yang tidak aman, yang
menjadi celah utama bagi jaringan perdagangan orang untuk beroperasi. Sementara dalam
aspek keadilan, banyak kasus TPPO yang tidak diselesaikan melalui proses hukum yang
tuntas. Negara terkesan lamban dan kompromistis dalam menangani pelaku dari kalangan
berpengaruh. Ini mempertegas bahwa negara belum optimal menjalankan fungsi keadilannya
secara merata, transparan, dan berorientasi pada pemulihan korban.
Kedua, Negara Hukum dan Penyimpangan Hukum
. Hans Kelsen menekankan
bahwa negara harus berdiri di atas hukum, dan setiap tindakan pemerintah harus didasarkan
pada norma hukum yang berlaku (Arimba, 2024). Namun dalam praktik penanganan TPPO di
Indonesia, banyak prosedur hukum yang tidak dijalankan secara konsisten. Laporan
menyebutkan bahwa pelaku TPPO lebih banyak dikenai sanksi administratif daripada dijatuhi
hukuman pidana, yang seharusnya diberlakukan mengingat beratnya dampak kejahatan ini.
A.V. Dicey menambahkan pentingnya prinsip kesamaan di hadapan hukum (Walters, 2021).
Namun, dalam kasus TPPO, aparat penegak hukum cenderung lebih “lunak” terhadap pelaku
yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi, menciptakan ketimpangan dan memupus
harapan korban terhadap keadilan. Lebih jauh lagi, sistem hukum Indonesia belum sepenuhnya
sensitif terhadap hak-hak korban TPPO. Prosedur hukum yang panjang, tidak ramah korban,
serta minimnya perlindungan saksi menjadi hambatan serius dalam menciptakan sistem hukum
yang adil dan manusiawi. Negara hukum seharusnya tidak hanya menjatuhkan hukuman, tetapi
juga menjadi instrumen untuk pemulihan dan pemberdayaan korban.
Ketiga, Kedaulatan dan Legitimasi Negara
. Carl Schmitt (2005), mendefinisikan
kedaulatan sebagai kemampuan negara mengambil keputusan dalam situasi darurat. TPPO
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
84
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
adalah bentuk darurat kemanusiaan yang nyata karena menghilangkan martabat dan kebebasan
manusia. Namun, negara Indonesia belum menunjukkan kapasitas tersebut secara penuh.
Ketidakhadiran komando terpadu, lemahnya sinergi antarlembaga, serta respons yang lambat
dan terfragmentasi memperlihatkan ketidakmampuan negara dalam bertindak sebagai otoritas
yang berdaulat. Kedaulatan tidak hanya dilihat dari penguasaan teritorial atau kemampuan
militer, melainkan dari kapasitas negara dalam melindungi warganya. Ketika negara gagal
memberikan perlindungan dasar, maka yang terjadi adalah krisis legitimasi. Masyarakat tidak
lagi mempercayai negara sebagai institusi yang mampu memberikan rasa aman dan keadilan.
Dalam konteks ini, negara menghadapi tantangan untuk merekonstruksi legitimasi melalui
tindakan nyata, bukan sekadar regulasi di atas kertas.
Keempat, Relasi Negara dan Warga Negara
. Teori kontrak sosial menyatakan bahwa
eksistensi negara bersumber dari konsensus warga untuk menyerahkan sebagian haknya demi
perlindungan dan kesejahteraan bersama (Economides, 2019). Namun, dalam praktik
penanganan TPPO, relasi antara negara dan warga negara tampak timpang. Korban seringkali
diposisikan sebagai beban administratif, bukan sebagai warga negara yang berhak atas
perlindungan dan pemulihan. Negara tidak cukup memberikan ruang partisipasi bagi
masyarakat dalam menyusun kebijakan perlindungan atau dalam mekanisme pengawasan
terhadap penegakan hukum. Padahal, keberhasilan penanganan TPPO sangat tergantung pada
keterlibatan aktif komunitas lokal, LSM, dan pihak swasta. Negara seharusnya memfasilitasi,
bukan memonopoli, upaya-upaya perlindungan. Ketika negara bersikap eksklusif dan tidak
responsif, maka kepercayaan publik tergerus dan kontrak sosial pun melemah.
Secara keseluruhan, pembahasan ini menunjukkan bahwa persoalan TPPO di Indonesia
bukan sekadar isu kriminalitas, tetapi merupakan gejala dari krisis yang lebih luas dalam tata
kelola negara. Kegagalan dalam menjalankan fungsi negara secara menyeluruh, penyimpangan
dari prinsip negara hukum, lemahnya praktik kedaulatan, dan terputusnya relasi etis antara
negara dan rakyat menandakan perlunya reorientasi kebijakan secara struktural dan filosofis.
Negara harus hadir kembali sebagai entitas yang menjamin martabat manusia, bukan sekadar
sebagai administrator hukum dan keamanan
4.
Kesimpulan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia mencerminkan
krisis multidimensional dalam fungsi-fungsi dasar negara. Negara belum hadir secara utuh dan
berdaya dalam menjalankan peran perlindungan, kesejahteraan, dan keadilan sebagaimana
seharusnya menurut teori-teori klasik dalam ilmu negara. Ketidakefektifan mekanisme hukum,
lemahnya koordinasi antarlembaga, keterbatasan perlindungan terhadap korban, serta
rendahnya kualitas pemulihan dan reintegrasi sosial mencerminkan defisit struktural dalam
tata kelola negara. Kegagalan negara dalam menegakkan prinsip negara hukum, di mana
hukum seharusnya menjadi landasan utama tindakan pemerintah telah membuka ruang bagi
impunitas dan diskriminasi hukum. Penegakan hukum yang tidak tegas terhadap pelaku TPPO,
terutama dari kalangan berpengaruh, memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem
hukum yang ada. Negara hukum yang ideal seharusnya memberikan perlindungan dan
keadilan yang setara, bukan justru memperkuat struktur ketimpangan.
Kedaulatan negara pun turut dipertanyakan ketika negara gagal mengambil keputusan
strategis dalam situasi darurat kemanusiaan seperti TPPO. Ketika negara tidak mampu
merespons kejahatan transnasional dengan cepat dan tepat, hal itu menandakan melemahnya
fungsi substantif kedaulatan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya berdampak pada
korban, tetapi juga terhadap reputasi dan legitimasi negara di mata warganya. Relasi antara
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
85
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
negara dan warga negara mengalami ketegangan ketika negara lebih menekankan pendekatan
administratif daripada pendekatan berbasis hak dan kemanusiaan. Negara harus menyadari
bahwa korban perdagangan orang bukan hanya objek perlindungan, melainkan subjek hukum
yang memiliki hak untuk hidup bermartabat dan memperoleh keadilan.
Oleh karena itu, rekomendasi atas hasil kajian ini adalah (1) Reformasi kelembagaan
secara menyeluruh dengan memperjelas kewenangan, memperkuat koordinasi, dan
membangun sistem respons terpadu penanganan TPPO; (2) Penguatan prinsip negara hukum
yang tidak hanya formal tetapi juga substantif, dengan pendekatan yang berpihak kepada
korban; (3) Pengembalian makna kedaulatan sebagai tanggung jawab etis negara dalam
menjamin keamanan dan martabat warganya; serta (4) Perluasan ruang partisipasi publik
dalam kebijakan perlindungan dan pemberantasan TPPO melalui kolaborasi negara,
masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Negara harus menempatkan dirinya kembali sebagai
aktor moral dan pelindung hak asasi manusia, bukan hanya sebagai pengelola birokrasi.
Kedaulatan sejati terletak bukan pada kemampuan mengontrol, tetapi pada keberanian untuk
melindungi.
5.
Daftar Pustaka
2024 Laporan Perdagangan Manusia. (2024). Kedutaan Besar Dan Konsulat AS Di Indonesia.
https://id.usembassy.gov/id/2024-laporan-perdagangan-manusia/
Andrew, E. (2011). Jean Bodin on Sovereignty. Republics of Letters: A Journal for the Study of
Knowledge, Politics, and the ArtsPolitics, and the Arts, 2(2), 7584.
https://doi.org/10.2307/2139603
Arimba, C. I. (2024). Hans Kelsen’s Nomostatics and Nomodinamics Legal Theory. Justice
Voice, 2(2), 5563. https://doi.org/10.37893/jv.v2i2.773
Beaulac, S. (2003). The Social Power of Bodin’s “Sovereignty” and International Law.
Melbourne Journal of International Law, 4(1), 128.
Darmayanti, K. N., Dantes, K. F., Ardhya, S. N., & Setianto, M. J. (2022). Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) Sebagai Transnational Crime. Ganesha Law
Review, 4(2), 3342. https://doi.org/10.23887/glr.v4i2.1425
Economides, N. (2019). The Theory of Social Contract and Legitimacy Today. Mediterranean
Journal of Social Sciences, 9(5), 1928. https://doi.org/10.2478/mjss-2018-0135
Hadi, S., & Michael, T. (2022). Hans Kelsen’s Thoughts About the Law and its Relevance to
Current Legal Developments. Technium Social Sciences Journal, 38, 220227.
https://doi.org/10.47577/tssj.v38i1.7852
Hanumanthappa, D. . (2023). An Overview of David Easton and the Political System.
International Journal of Political Science, 9(1), 1015. https://doi.org/10.20431/2454-
9452.0901002
Kranenburg, R. (1949). Algemene Staatsleer (H.D. Tjeenk Willink and Zoon N.V. (Ed.); Fifth).
Haarlem.
Schmitt, C. (2005). Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. University
of Chicago Press.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Politik (JPKP)
Vol. 3, No. 1, Juni 2025, page: 78-86
E-ISSN: 3025-9843
86
Saryono et.al (Negara, Kedaulatan, dan Perlindungan Rakyat: Analisis....)
Walters, M. D. (2021). The Spirit of Legality: A. V. Dicey and the Rule of Law. In J.
Meierhenrich & M. Loughlin (Eds.), The Cambridge Companion to the Rule of Law (pp.
153170). Cambridge University Press. https://doi.org/DOI: 10.1017/9781108600569.009
Weber, M. (2008). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, 2 Vols. In
Sociology-the Journal of The British Sociological Association - SOCIOLOGY (Vol. 3, pp.
2437). https://doi.org/10.1002/9780470755679.ch3
Westle, B. (2007). David Easton, A Systems Analysis of Political Life, Chicago/London 1965 BT
- Schlüsselwerke der Politikwissenschaft (S. Kailitz (Ed.); pp. 104109). VS Verlag für
Sozialwissenschaften. https://doi.org/10.1007/978-3-531-90400-9_29