Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa negara hadir secara formal melalui 
regulasi, tetapi absen dalam tindakan substantif. Ketika sistem hukum bersifat diskriminatif, 
perlindungan sosial tidak menjangkau yang paling rentan, dan tindakan penegakan hukum 
tidak adil atau tidak transparan, maka negara kehilangan otoritas moralnya sebagai pelindung 
rakyat. Ini menandakan krisis legitimasi negara yang mendalam dan menuntut transformasi 
struktural  dalam  tata  kelola  pemerintahan  yang  menjunjung  tinggi  martabat  manusia. 
Selanjutnya, bagian ini menguraikan secara sistematis kelemahan struktural dalam penanganan 
TPPO berdasarkan temuan dokumen dan literatur sekunder, termasuk Laporan Perdagangan 
Manusia 2024. Setiap analisis disusun  dalam kerangka yang  menghubungkan antara teori, 
norma ideal, dan kondisi faktual di lapangan. Dengan pendekatan ini, pembahasan tidak hanya 
mendeskripsikan  realitas,  tetapi  juga membangun  refleksi  kritis  terhadap  absennya negara 
secara substantif dalam menjamin hak dan martabat korban TPPO. 
Pertama, Fungsi Negara dan Realitas TPPO
. Berdasarkan teori Kranenburg (1949), 
negara  memiliki  tiga  fungsi  fundamental:  perlindungan,  kesejahteraan,  dan  keadilan. 
Ketiganya menjadi tolok ukur dalam menilai kinerja negara terhadap rakyatnya, khususnya 
dalam menghadapi kejahatan transnasional seperti  TPPO. Sayangnya, implementasi ketiga 
fungsi tersebut di Indonesia masih jauh dari ideal. Dalam aspek perlindungan, negara belum 
sepenuhnya hadir untuk menjamin keamanan warganya dari risiko eksploitasi. Banyak korban 
TPPO justru diperlakukan secara represif, seperti penahanan di rumah  perlindungan tanpa 
proses  hukum  yang  jelas,  penyitaan  dokumen,  dan  pembatasan  kebebasan  bergerak. 
Pendekatan ini tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga bertentangan dengan prinsip negara 
sebagai  pelindung  hak  asasi  manusia.  Dalam  dimensi  kesejahteraan,  negara  belum 
memberikan perlindungan sosial dan ekonomi secara menyeluruh kepada kelompok rentan. 
Tidak tersedia  skema jaminan  sosial atau  akses  pelatihan dan pendidikan  vokasional bagi 
kelompok-kelompok yang rawan menjadi korban perdagangan orang. Ketimpangan sosial dan 
ketidakmerataan pembangunan juga mendorong mobilitas tenaga kerja yang tidak aman, yang 
menjadi celah utama bagi jaringan perdagangan orang untuk beroperasi.  Sementara dalam 
aspek  keadilan,  banyak  kasus  TPPO  yang  tidak  diselesaikan  melalui  proses  hukum  yang 
tuntas. Negara terkesan  lamban dan  kompromistis dalam  menangani  pelaku dari kalangan 
berpengaruh. Ini mempertegas bahwa negara belum optimal menjalankan fungsi keadilannya 
secara merata, transparan, dan berorientasi pada pemulihan korban. 
Kedua,  Negara  Hukum  dan  Penyimpangan  Hukum
.  Hans  Kelsen  menekankan 
bahwa negara harus berdiri di atas hukum, dan setiap tindakan pemerintah harus didasarkan 
pada norma hukum yang berlaku (Arimba, 2024). Namun dalam praktik penanganan TPPO di 
Indonesia,  banyak  prosedur  hukum  yang  tidak  dijalankan  secara  konsisten.  Laporan 
menyebutkan bahwa pelaku TPPO lebih banyak dikenai sanksi administratif daripada dijatuhi 
hukuman pidana, yang seharusnya diberlakukan mengingat beratnya dampak kejahatan ini. 
A.V. Dicey menambahkan pentingnya prinsip kesamaan di hadapan hukum (Walters, 2021). 
Namun, dalam kasus TPPO, aparat penegak hukum cenderung lebih “lunak” terhadap pelaku 
yang  memiliki  kekuatan  politik  atau  ekonomi,  menciptakan  ketimpangan  dan  memupus 
harapan korban terhadap keadilan. Lebih jauh lagi, sistem hukum Indonesia belum sepenuhnya 
sensitif terhadap hak-hak korban TPPO. Prosedur hukum yang panjang, tidak ramah korban, 
serta minimnya perlindungan saksi menjadi hambatan serius dalam menciptakan sistem hukum 
yang adil dan manusiawi. Negara hukum seharusnya tidak hanya menjatuhkan hukuman, tetapi 
juga menjadi instrumen untuk pemulihan dan pemberdayaan korban. 
Ketiga,  Kedaulatan  dan  Legitimasi  Negara
.  Carl  Schmitt  (2005),  mendefinisikan 
kedaulatan sebagai kemampuan negara mengambil keputusan dalam situasi darurat. TPPO