1. Pendahuluan
Pertumbuhan penduduk yang pesat di berbagai wilayah, termasuk di Indonesia, membawa
dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah peningkatan
volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Seiring bertambahnya jumlah penduduk,
konsumsi barang dan jasa semakin meningkat, yang berakibat langsung pada meningkatnya
jumlah sampah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan sampah di berbagai
daerah. Selama ini, paradigma pengelolaan sampah yang masih dominan adalah dengan
menumpukan pada pembuangan akhir, di mana sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang
di tempat pembuangan akhir (TPA). Namun, model pengelolaan ini sudah tidak relevan lagi
dengan kebutuhan masa kini, di mana jumlah sampah semakin bertambah dan dampak negatif
terhadap lingkungan semakin nyata.
Paradigma lama yang menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai
ekonomis dan harus dibuang, perlu segera digantikan dengan paradigma baru yang lebih
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sampah, yang selama ini hanya dilihat sebagai limbah
yang tidak berguna, sebenarnya bisa menjadi sumber daya yang bernilai ekonomi jika dikelola
dengan baik (Ekowati, 2005). Dalam konsep ini, sampah tidak lagi dilihat sebagai akhir dari
siklus konsumsi, melainkan sebagai bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali, baik untuk
energi biogas, kompos, pupuk, maupun sebagai bahan baku untuk industri daur ulang (Wahab.
A, Solichin. 2005).
Perubahan paradigma ini memerlukan kesadaran dan partisipasi aktif dari masyarakat.
Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa sampah bisa menjadi sumber daya yang
bernilai jika dikelola dengan baik. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam mendorong perubahan ini adalah dengan mengeluarkan regulasi yang
mendukung pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Contohnya, di Kabupaten
Gunungkidul, Pemerintah Daerah telah menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten
Gunungkidul Nomor 14 Tahun 2020, yang mengatur tentang mekanisme pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga.
Peraturan ini mengamanatkan bahwa setiap Kalurahan (setara dengan desa) bertanggung
jawab untuk menyediakan lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengumpulan
sampah atau Tempat Pengolahan Sampah dengan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle),
sekretariat Bank Sampah, atau rumah kompos. Konsep 3R ini merupakan pendekatan yang
lebih modern dan berkelanjutan dalam pengelolaan sampah. Melalui konsep ini, diharapkan
terjadi pengurangan sampah sejak dari sumbernya, pengurangan pencemaran lingkungan, serta
peningkatan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Konsep 3R, yang terdiri dari Reduce, Reuse, dan Recycle, merupakan salah satu strategi
yang diadopsi untuk mengatasi masalah sampah dengan lebih berkelanjutan. Reduce atau
pengurangan sampah menekankan pada upaya untuk mengurangi volume sampah yang
dihasilkan oleh masyarakat sejak dari sumbernya (Agustino, 2008). Langkah ini dapat
dilakukan melalui berbagai cara, seperti membatasi penggunaan barang-barang sekali pakai,
mengurangi konsumsi yang tidak perlu, serta memilih produk yang lebih ramah lingkungan.
Dengan mengurangi sampah dari sumbernya, beban yang harus ditangani di tahap pengolahan
sampah berikutnya akan berkurang secara signifikan (Adisasmita, Rahardjo, 2011).
Reuse atau pemanfaatan kembali sampah merupakan upaya untuk memanfaatkan barang-
barang yang masih bisa digunakan sebelum membuangnya. Barang-barang yang sering
dianggap sebagai sampah, seperti botol plastik, kertas, atau pakaian yang sudah tidak
digunakan, sebenarnya masih bisa memiliki fungsi jika dikelola dengan tepat. Misalnya, botol
plastik bisa digunakan kembali sebagai wadah atau dijadikan bahan kerajinan tangan yang
bernilai ekonomi. Dengan memperpanjang siklus hidup barang-barang ini, jumlah sampah
yang harus dibuang dapat berkurang secara signifikan.