pengetahuan perlu dikembalikan pada realitas aslinya. Pengetahuan adalah hasil abstraksi dari
kenyataan, sehingga yang paling efektif untuk dipelajari adalah pengalaman langsung dalam
realitas tersebut, karena dengan cara ini pengetahuan menjadi lebih berarti. Dalam konteks ini,
mahasiswa diberikan kebebasan untuk mencari dan mengidentifikasi apa yang ada serta apa
yang dibutuhkan di masyarakat mereka, sambil tetap menekankan bagaimana mereka sebagai
anggota masyarakat dapat memecahkan masalah yang dihadapi (Hardiyanti, 2018). Selain itu,
beberapa kurikulum juga dikembangkan secara optimal, seperti bahasa Inggris dan Arab, yang
disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan lingkungan mereka.
Menurut Freire, seperti yang dikutip oleh Fakih, pendidikan memiliki tiga elemen
fundamental: pendidik/fasilitator, mahasiswa, dan realitas dunia. Dalam proses pendidikan,
hubungan antara pendidik dan mahasiswa mirip dengan kerja sama antara "mitra" yang saling
melengkapi. Artinya, keduanya memiliki kedudukan yang setara, sehingga pendidik tidak
berperan sebagai "raja" yang memerintah secara otoriter kepada siswa. Sebaliknya, hubungan
yang terjalin antara pendidik dan mahasiswa harus bersifat harmonis, komplementer, dan
berbagi, tanpa didasari oleh struktur formal yang cenderung menghasilkan "pendidikan gaya
bank" (konsep pendidikan bank). Teori Freire ini menempatkan mahasiswa sebagai "bejana
kosong" yang diharapkan dapat diisi dengan ilmu pengetahuan, sehingga di kemudian hari
dapat menghasilkan manfaat yang berlipat ganda. Dalam konteks ini, siswa menjadi objek
investasi dan sumber potensi, di mana dosen berperan sebagai investor yang memberikan ilmu
pengetahuan sebagai "deposit." siswa diperlakukan sebagai "bejana kosong" yang akan diisi,
berfungsi sebagai tabungan atau investasi ilmu pengetahuan yang hasilnya akan dipanen di
masa depan.
Dengan demikian, guru menjadi subjek aktif, sedangkan siswa menjadi objek pasif yang
mengikuti arahan. Pendidikan pun berisiko menjadi negatif, di mana guru hanya memberikan
informasi tanpa melibatkan kesadaran siswa. yang harus diterima oleh mahasiswa, serta
diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire menyusun daftar kontras pendidikan “gaya
bank” sebagai berikut: (1) Guru mengajar, siswa belajar; (2) Guru mengetahui segalanya,
siswa tidak tahu apa-apa; (3) Guru berpikir, siswa hanya dianggap; (4) Guru berbicara, siswa
mendengarkan; (5) Guru mengatur, siswa pasif; (6) Guru memilih dan memaksakan
pilihannya, siswa mengikuti; (7) Guru bertindak, siswa hanya membayangkan bagaimana
bertindak sesuai dengan tindakan guru; (8) Guru menentukan apa yang diajarkan, siswa
menyesuaikan diri; (9) Guru mengacaukan otoritas ilmu pengetahuan dengan otoritas
profesional, yang bertentangan dengan kebebasan siswa; dan (10) Guru adalah subjek dalam
proses belajar, sedangkan siswa hanya objek. Oleh karena itu, ketika dosen menjadi pusat
perhatian, wajar jika siswa kemudian mengidentifikasi diri mereka dengan guru sebagai
prototipe manusia ideal yang harus ditiru dan dicontoh dalam segala hal. Freire menyebut
pendidikan semacam ini menciptakan “nekrofili” ketimbang “biofili.” Implikasinya adalah
bahwa pada akhirnya siswa akan menjadi cerminan guru mereka, melahirkan generasi baru
penindas. Jika mereka kemudian menjadi guru atau pendidik, maka siklus penindasan akan
berulang dalam dunia pendidikan.
Dengan demikian, sistem pendidikan justru berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan
status quo, bukan sebagai kekuatan yang mendorong perubahan. Bagi Freire, sistem
pendidikan seharusnya menjadi kekuatan yang menyadarkan dan membebaskan umat manusia.
Namun, sistem pendidikan saat ini tampaknya telah menjadikan mahasiswa sebagai individu
yang terasing dan terputus dari realitas diri mereka serta lingkungan sekitar. Hal ini terjadi
karena mereka telah dididik untuk menjadi seperti orang lain, bukan untuk menjadi diri
mereka sendiri. Pendidikan gaya bank menciptakan hubungan yang dapat menimbulkan
tekanan bagi mahasiswa, baik melalui kata-kata maupun tindakan, termasuk pemberian
hukuman yang berlebihan. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya pola interaksi dialogis dan
partisipatif dalam proses belajar mengajar. Sayangnya, pola hubungan ini masih sering