TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
92
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
Model Pendidikan Berbasis Komunitas
Toni
a,1*
, Ajerin Karim
b,2
, Yohanes Bahari
c,3
Warneri
d,4
a,b,c,d
Universitas Tanjungpura, Program Studi Magister Teknologi Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Kalimantan Barat
1
f2151231018@student.untan.ac.id;
2
f2151301033@student.untan.ac.id;
3
yohanes.bahari@fkip.untan.ac.id;
4
warneri@fkip.untan.ac.id
*
f2151231018@student.untan.ac.id
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 5 Oktober 2024
Direvisi: 7 Oktober 2024
Disetujui: 11 Oktober 2024
Tersedia Daring: 20 Oktober
2024
Fenomena tingginya biaya pendidikan merupakan kenyataan yang tak
dapat disangkal. Saat ini, pendidikan sering kali dianggap sebagai
"barang mewah" yang hanya dapat diakses oleh kalangan berduit,
sementara masyarakat miskin harus menunggu keberuntungan untuk
mendapatkan pendidikan yang layak. Stigma yang berkembang di
masyarakat menyatakan bahwa pendidikan berkualitas selalu
berhubungan dengan biaya tinggi; semakin berkualitas, semakin besar
biaya yang harus dikeluarkan. Untuk menerapkan konsep pendidikan
berbasis masyarakat di sebuah kampus, penting untuk memahami
prinsip-prinsipnya, seperti pembebasan, keberpihakan, partisipasi,
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, evaluasi yang berfokus pada
peserta didik, dan kepercayaan diri. Pandangan ini berupaya
menghilangkan anggapan bahwa membangun konsep pendidikan
semacam ini harus mengabaikan kearifan lokal. Saatnya untuk
memberdayakan, mengolah, dan memanfaatkan nilai-nilai lokal dalam
dunia pendidikan. Pendidikan semacam ini dapat menjadi alternatif
untuk memberdayakan masyarakat lokal, khususnya di SMP Negeri 5
Ledo, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.
Kata Kunci:
Pendidikan
Komunitas
Alternatif
ABSTRACT
Keywords:
Education
Community
Alternatives
The phenomenon of high education costs is a reality that cannot be
denied. Currently, education is often considered a "luxury item" that can
only be accessed by the rich, while poor people have to wait for luck to
get a decent education. The stigma that has developed in society states
that quality education is always associated with high costs; The higher
the quality, the greater the costs that must be incurred. To implement the
concept of community-based education on a campus, it is important to
understand its principles, such as liberation, alignment, participation,
curriculum that suits needs, evaluation that focuses on students, and self-
confidence. This view seeks to eliminate the assumption that building this
kind of educational concept must ignore local wisdom. It's time to
empower, cultivate and utilize local values in the world of education. This
kind of education can be an alternative to empower local communities,
especially at SMP Negeri 5 Ledo, Bengkayang Regency, West Kalimantan
Province.
©2024, Toni, Ajerin karim, Yohanes bahari, Warneri
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pendidikan yang selama ini berlangsung melalui proses pembelajaran ternyata belum
mampu menjawab berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, salah satunya adalah tingginya
biaya pendidikan yang menjadi kenyataan tak terbantahkan. Saat ini, pendidikan sering kali
dianggap sebagai “barang mewah” yang hanya bisa diakses oleh kalangan berduit, sementara
masyarakat miskin harus berharap untuk mendapatkan kesempatan belajar. Biaya pendidikan
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
93
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
yang tinggi di berbagai jenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, menjadi
isu utama di lembaga-lembaga pendidikan formal. Di Sekolah, misalnya, akses pendidikan
sangat tergantung pada kemampuan finansial; jika kita memiliki uang, sekolah akan terbuka,
tetapi sebaliknya, jika tidak, akses itu akan sulit. Dengan alasan peningkatan mutu, banyak
kampus yang berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikan dan mengeksploitasi siswa,
terkadang tanpa memperhatikan kualitas pendidikan itu sendiri. Seolah-olah, mutu pendidikan
identik dengan tingginya biaya sekolah; semakin berkualitas suatu program, semakin mahal
biayanya. Akibatnya, banyak orang tua dari keluarga miskin tidak mampu menyekolahkan
anak mereka karena terhambat biaya. Di sisi lain, proses pendidikan yang hanya menjadikan
siswa dan guru sebagai pusat perhatian membuat masyarakat dan lingkungan sekitar
terpinggirkan. sekolah tampak tidak peduli terhadap masalah yang dihadapi masyarakat.
Dalam pandangan banyak orang, dunia sekolah dianggap sebagai dunia yang hebat”, tetapi
sering kali kurang memberikan manfaat bagi komunitas sekitar.
Padahal, sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mengabdi kepada masyarakat.
Misalnya, penerapan teknologi tepat guna untuk mengolah limbah ternak menjadi energi
biogas menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah tidak hanya tentang mengejar nilai” atau
“Raport”, tetapi juga tentang menyelesaikan masalah nyata yang ada di lingkungan masyarakat
sekitar. Oleh karena itu, penting bagi siswa untuk dikenalkan pada konsep pendidikan berbasis
komunitas, agar mereka lebih peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Tulisan ini diharapkan
dapat menginspirasi kita semua untuk membangun sebuah paradigma mengenai “Sekolah
harapan,” yang mampu mengakomodasi kepentingan siswa dari kalangan miskin dan
terpinggirkan secara ekonomi, peduli terhadap masyarakat sekitar, serta memanfaatkan potensi
lokal yang sesuai dengan kebutuhan komunitas setempat.
2. Kajian Konsep
Pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) adalah suatu mekanisme
yang memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk memperkaya pengetahuan dan
teknologi melalui pendidikan seumur hidup. Munculnya paradigma ini dipicu oleh gelombang
modernisasi yang mendorong terciptanya demokratisasi dalam semua aspek kehidupan
manusia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan perlu dikelola secara desentralisasi
dengan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi masyarakatDalam konteks ini, Danim
berpendapat bahwa konsep pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu solusi alternatif
untuk mengatasi masalah pendidikan. Keterpurukan metode lama yang lebih sentralistik dalam
pengelolaan pendidikan mendorong perubahan cara pandang menuju otonomi bagi kampus
dan masyarakat untuk mengelola pendidikan, dengan memperhatikan aspirasi dan kondisi
yang ada di masyarakat. Sebagai implikasi, Zubaili menyatakan bahwa pendidikan menjadi
usaha kolektif yang melibatkan partisipasi. masyarakat di dalamnya. Partisipasi dalam konteks
ini melibatkan kerja sama antara warga dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan,
memelihara, dan mengembangkan aktivitas pendidikan. Sebagai bentuk kerjasama,
masyarakat diharapkan memiliki aspirasi yang harus diakomodasi dalam proses perencanaan
dan pelaksanaan program pendidikan.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat, atau yang sering disebut sebagai
community-based education, adalah model penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan
pada prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.Artinya, masyarakat
berperan sebagai subjek atau pelaku pendidikan, bukan sebagai objek. Dalam hal ini,
masyarakat diharapkan untuk berperan aktif dan berpartisipasi dalam setiap program
pendidikan. Pendidikan untuk masyarakat berarti melibatkan masyarakat dalam semua
program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, masyarakat
perlu diberdayakan, diberikan kesempatan, dan kebebasan untuk merancang, merencanakan,
membiayai, mengelola, dan mengevaluasi apa yang mereka butuhkan secara spesifik dalam
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
94
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
konteks masyarakat mereka sendiri. Menurut Smith, yang dikutip oleh Zubaidi, pendidikan
berbasis masyarakat adalah suatu proses yang dirancang untuk memperkaya kehidupan
individu dan kelompok dengan melibatkan orang-orang dalam suatu wilayah geografis atau
berbagai kepentingan umum. Proses ini bertujuan untuk secara sukarela mengembangkan
tempat pendidikan, tindakan, dan peluang refleksi yang sesuai dengan kebutuhan pribadi,
sosial, ekonomi, dan politik mereka. Dengan demikian, inti dari pendidikan berbasis
masyarakat pada dasarnya adalah program pendidikan yang dirancang dan dilaksanakan secara
mandiri oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. untuk menggali potensi dan
kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat berperan sebagai agen
perubahan yang dapat membawa perbaikan.
Di Indonesia, model pendidikan berbasis masyarakat saat ini telah diakui keberadaannya,
seperti yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada
pasal 26 ayat 1-7. Namun, undang-undang ini tidak menggunakan istilah pendidikan berbasis
masyarakat, melainkan menyebutnya sebagai pendidikan nonformal. Esensi dari undang-
undang tersebut menyatakan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan oleh warga yang
memerlukan layanan pendidikan sebagai pengganti, pelengkap, atau tambahan bagi
pendidikan formal dalam mendukung pendidikan seumur hidup. Dalam perkembangannya,
kehadiran pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia tidak hanya bertujuan untuk
melengkapi materi pendidikan formal, tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena pendidikan formal bagi sebagian orang dianggap semakin jauh dari
realitas masyarakat. Pendidikan sering kali mengabaikan potensi lokal dengan kurikulum yang
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Seharusnya, pendidikan berfungsi
sebagai "alat" untuk memberdayakan masyarakat lokal. Dalam hal ini, keberadaan pendidikan
formal, seperti sekolah, seharusnya dapat berfungsi sebagai pusat pembaharuan sosial dan
pemberdayaan potensi lokal. Jika ini dapat direalisasikan, pendidikan di negara ini berpotensi
untuk dipenuhi dengan nilai-nilai yang berarti.Prinsip pendidikan berbasis Masyarakat.
Dari uraian di atas, ada dua hal pentng dari konsep Pendidikan berbasis Masyarakat,
pertama perlu adanya wawancara membangun sekolah Harapan” yang pada dasarnya
merupakan bentuk perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan yang semakin meluas di
daerah ini. Selain itu, kampus ini ingin menjauh dari sistem legal-formalistik yang
membelenggu masyarakat dalam proses pendidikan. Terkadang, kampus dianggap lebih fokus
pada pencapaian ijazah daripada pada pengembangan dan pemberdayaan potensi
mahasiswanya. Untuk menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat di sebuah kampus,
penting untuk memahami prinsip-prinsipnya, antara lain:
a. Pembebasan, Konsep pendidikan berbasis masyarakat menekankan prinsip pembebasan
menuju perubahan yang lebih baik. Pembebasan berarti melepaskan diri dari belenggu
legal-formalistik yang membuat pendidikan tidak kritis dan kreatif. Pada dasarnya,
manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak. Kebebasan dalam
menentukan, memilih, dan mengembangkan potensi adalah bagian dari kodrat manusia.
Mengacu pada istilah Freire, kodrat manusia yang sejati adalah menjadi pelaku atau
subjek, bukan objek atau korban. Panggilan manusia sejati adalah untuk menjadi pelaku
yang sadar, bertindak untuk mengatasi dunia dan realitas yang menindas. Dunia dan
realitas bukanlah sesuatu yang ada begitu saja dan harus diterima sebagai takdir yang
tidak dapat dihindari, melainkan harus dicerna dengan sikap kritis.
Manusia diharapkan berinteraksi dengan dunia dan realitas secara kreatif, yang
mengindikasikan perlunya sikap orientatif dalam mengembangkan kemampuan berpikir.
Pada dasarnya, manusia mampu memahami keberadaan diri dan lingkungan sekitarnya,
dan dengan berpikir serta bertindak, ia dapat mengubah dunia. Hal ini menjadikan
manusia berbeda dari binatang yang hanya bergerak berdasarkan naluri. Meskipun
manusia juga memiliki naluri, mereka dilengkapi dengan kesadaran dan identitas. Ini tidak
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
95
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
berarti manusia bebas dari keterbatasan, tetapi dengan kodrat kemanusiaannya, mereka
mampu mengatasi berbagai tantangan. seseorang harus mampu mengatasi situasi yang
membatasi dirinya. Jika seseorang menyerah atau pasrah pada keadaan tersebut, terutama
tanpa usaha dan kesadaran, maka ia kehilangan sisi kemanusiaannya. Individu yang
manusiawi seharusnya menjadi pencipta (the creator) dari sejarahnya sendiri, karena
setiap orang hidup bersama orang lain sebagai bagian dari umat manusia. Oleh karena itu,
proses pendidikan yang mengabaikan potensi manusia dapat dianggap sebagai
dehumanisasi, mengacu pada istilah yang digunakan Freire.
b. Keberpihakan Prinsip ini merupakan kritik terhadap sistem pendidikan yang dibangun
oleh pihak penguasa (pemerintah) yang sering kali tidak berpihak pada masyarakat
miskin. Program-program pendidikan yang dirancang pemerintah sering kali kurang
memperhatikan kebutuhan masyarakat yang kurang beruntung. Meskipun secara politik
program tersebut dihasilkan dari kepedihan masyarakat yang terabaikan, kenyataannya
mereka tidak pernah mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, pendidikan di masa depan
perlu lebih mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat miskin yang selama ini
tidak mendapatkan hak mereka untuk pendidikan yang layak. Pendidikan seharusnya
menjadi proses pemerdekaan yang berfokus pada realitas manusia dan secara metodologis
berlandaskan pada prinsip aksi dan refleksi total, yaitu tindakan untuk mengubah
kenyataan yang menindas, sekaligus secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran
tentang realitas tersebut dan dorongan untuk mengubahnya. Keberpihakan merupakan
ideologi pendidikan itu sendiri, di mana keluarga miskin berhak mendapatkan ilmu
pengetahuan serta pendidikan yang terjangkau dan berkualitas.
c. Keberpihakan. Prinsip ini juga mengkritik pemerintah terkait tingginya biaya pendidikan,
serta "menyindir" orang tua yang lebih memilih kampus berkualitas meskipun biayanya
mahal. Perlu dipahami bahwa kampus dengan biaya rendah tidak semestinya
diperuntukkan khusus bagi anak-anak miskin. Dengan kata lain, sekolah harus terbuka
bagi semua kalangan, terlepas dari latar belakang ekonomi, baik kaya maupun miskin
(education for all).
d. Kurikulum berbasis kebutuhan. Seharusnya, kurikulum pendidikan harus sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat setempat. Kurikulum sebagai alat dan
upaya dalam pelaksanaan pendidikan nasional merupakan kegiatan terorganisir dan
terintegrasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dengan tujuan mencapai pendidikan
nasional. Namun, pada kenyataannya, kurikulum pendidikan saat ini dinilai tidak lagi
berorientasi pada kebutuhan masyarakat. sekolah perlu berusaha menciptakan kurikulum
yang berbasis pada kebutuhan masyarakat, yang berarti kurikulum tersebut dirancang
untuk menjawab kebutuhan dalam pengelolaan serta memperkuat sumber daya yang ada
untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan kehidupan masyarakat setempat.
e. Kerjasama. Metodologi pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah sering kali
terkesan dikotomik. Hubungan antara guru dan siswa cenderung seperti hubungan antara
raja dan pelayan, di mana guru bersikap otoriter dan siswa dianggap "bodoh," sehingga
mahasiswa hanya menerima pengetahuan tanpa adanya interaksi yang memadai.
Paradigma ini perlu diubah dengan menerapkan prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama
dalam pendidikan bertujuan untuk menghapus batasan antara dosen dan mahasiswa, baik
dalam ruang maupun waktu. Dalam konteks ini, guru dan siswa adalah sebuah tim yang
berproses secara partisipatif.
f. Evaluasi Berpusat pada siswa. Pelaksanaan ujian di kampus saat ini lebih menekankan
aspek kognitif, yang merupakan salah satu kelemahan dalam dunia pendidikan saat ini.
Selain itu, prinsip-prinsip evaluasi mencakup tiga aspek penting. Pertama, prinsip
kontinuitas, di mana evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dari awal proses
belajar-mengajar hingga selesai. Kedua, prinsip komprehensif, yang mencakup berbagai
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
96
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
aspek untuk menunjukkan perkembangan dan perubahan perilaku mahasiswa sebagai
individu yang dapat berubah seiring dengan waktu dan keadaan. Ketiga, prinsip
obyektivitas, di mana evaluasi harus dilakukan seobyektif mungkin dan berdasarkan pada
kenyataan yang ada.
g. Percaya Diri. Pengakuan atas keberhasilan mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh
pencapaian selembar ijazah. Sebaliknya, pengakuan tersebut bergantung pada individu itu
sendiri. Pengakuan akan datang secara alami ketika kapasitas dan kompetensi pribadi
meningkat dan memberikan manfaat bagi orang lain. Prinsip-prinsip ini kemudian
diterapkan dalam proses pendidikan berbasis masyarakat, dengan tujuan untuk
menentukan posisi guru dalam mengelola pendidikan, memposisikan mahasiswa,
menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan, serta mengoptimalkan
partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan. Tiga pembelajaran dalam konteks
Pendidikan berbasis pada Masyarakat. Kegiatan disekolah merupakan inti dari
keseluruhan proses pendidikan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini melibatkan interaksi
antara guru dan siswa. Keduanya berinteraksi dalam suatu proses yang disebut belajar-
mengajar. Tentunya, untuk mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif dan efesien,
maka perilaku yang terlibat dalam proses tersebut perlu didinamiskan secara baik.
3. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, peneliti dapat menggali
bagaimana model ini diterapkan, apa saja manfaatnya, serta tantangan yang dihadapi.
Pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan survei memberikan wawasan mendalam
tentang pengalaman siswa, guru, dan anggota komunitas, sementara analisis data membantu
mengidentifikasi pola dan efek dari keterlibatan komunitas dalam pendidikan. Penelitian
tentang model ini bertujuan untuk memahami bagaimana keterlibatan komunitas dalam proses
pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa, membangun keterampilan sosial, dan
memperkuat hubungan antara sekolah dan masyarakat.
4. Hasil dan Pembahasan
Untuk memudahkan pemahaman dan pembacaan, hasil dan pembahasan tidak dipisah
dalam penulisannya. Hasil dan pembahasan harus menjawab permasalahan dan tujuan
penelitian. Subjudul hasil dan pembahasan disajikan terpisah. Pembahasan merupakan bagian
yang memiliki porsi paling banyak dalam badan artikel, minimum 60% dari keseluruhan
artikel. Dalam konsep pendidikan berbasis mayarakat ada beberapa hal yang perlu
digambarkan dalam proses pendidikannya, sebagai berikut. Pembahasan dapat disajikan dalam
subbab dan sub-subbab sesuai dengan tujuan dan masalah secara sistematis. Untuk
memudahkan pemahaman maka bagian yang harus ada dalam hasil dan pembahasan meliputi:
1. Kurikulum berbasis kebutuhan
2. Kedudukan guru
3. Siswa sebagai aktor yang bebas
4. Metode pengajaran yang menyenangkan?
Tidak dapat disangkal bahwa meskipun prinsip kurikulum yang diterapkan berbasis
kebutuhan, kurikulum nasional masih tetap digunakan. Namun, keberadaan kurikulum
nasional perlu dikritisi agar lebih menekankan pada kebutuhan masyarakat setempat, yaitu: 1)
Memprioritaskan masalah yang dapat dipilih secara bebas; 2) Berfokus pada kegiatan belajar
yang ditentukan secara kolaboratif; 3) Memberikan izin kepada setiap individu untuk memilih
fokus belajar mereka sendiri; 4) Menentukan kegiatan belajar secara bersama-sama; dan 5)
Memastikan setiap siswa memiliki kebebasan untuk menentukan sifat dan isi materi yang
ingin mereka pelajari. Semua hal di atas merupakan upaya untuk menekankan pentingnya
membangun basis pendidikan yang berorientasi pada komunitas. Oleh karena itu, kepentingan
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
97
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
pengetahuan perlu dikembalikan pada realitas aslinya. Pengetahuan adalah hasil abstraksi dari
kenyataan, sehingga yang paling efektif untuk dipelajari adalah pengalaman langsung dalam
realitas tersebut, karena dengan cara ini pengetahuan menjadi lebih berarti. Dalam konteks ini,
mahasiswa diberikan kebebasan untuk mencari dan mengidentifikasi apa yang ada serta apa
yang dibutuhkan di masyarakat mereka, sambil tetap menekankan bagaimana mereka sebagai
anggota masyarakat dapat memecahkan masalah yang dihadapi (Hardiyanti, 2018). Selain itu,
beberapa kurikulum juga dikembangkan secara optimal, seperti bahasa Inggris dan Arab, yang
disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan lingkungan mereka.
Menurut Freire, seperti yang dikutip oleh Fakih, pendidikan memiliki tiga elemen
fundamental: pendidik/fasilitator, mahasiswa, dan realitas dunia. Dalam proses pendidikan,
hubungan antara pendidik dan mahasiswa mirip dengan kerja sama antara "mitra" yang saling
melengkapi. Artinya, keduanya memiliki kedudukan yang setara, sehingga pendidik tidak
berperan sebagai "raja" yang memerintah secara otoriter kepada siswa. Sebaliknya, hubungan
yang terjalin antara pendidik dan mahasiswa harus bersifat harmonis, komplementer, dan
berbagi, tanpa didasari oleh struktur formal yang cenderung menghasilkan "pendidikan gaya
bank" (konsep pendidikan bank). Teori Freire ini menempatkan mahasiswa sebagai "bejana
kosong" yang diharapkan dapat diisi dengan ilmu pengetahuan, sehingga di kemudian hari
dapat menghasilkan manfaat yang berlipat ganda. Dalam konteks ini, siswa menjadi objek
investasi dan sumber potensi, di mana dosen berperan sebagai investor yang memberikan ilmu
pengetahuan sebagai "deposit." siswa diperlakukan sebagai "bejana kosong" yang akan diisi,
berfungsi sebagai tabungan atau investasi ilmu pengetahuan yang hasilnya akan dipanen di
masa depan.
Dengan demikian, guru menjadi subjek aktif, sedangkan siswa menjadi objek pasif yang
mengikuti arahan. Pendidikan pun berisiko menjadi negatif, di mana guru hanya memberikan
informasi tanpa melibatkan kesadaran siswa. yang harus diterima oleh mahasiswa, serta
diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire menyusun daftar kontras pendidikan gaya
bank” sebagai berikut: (1) Guru mengajar, siswa belajar; (2) Guru mengetahui segalanya,
siswa tidak tahu apa-apa; (3) Guru berpikir, siswa hanya dianggap; (4) Guru berbicara, siswa
mendengarkan; (5) Guru mengatur, siswa pasif; (6) Guru memilih dan memaksakan
pilihannya, siswa mengikuti; (7) Guru bertindak, siswa hanya membayangkan bagaimana
bertindak sesuai dengan tindakan guru; (8) Guru menentukan apa yang diajarkan, siswa
menyesuaikan diri; (9) Guru mengacaukan otoritas ilmu pengetahuan dengan otoritas
profesional, yang bertentangan dengan kebebasan siswa; dan (10) Guru adalah subjek dalam
proses belajar, sedangkan siswa hanya objek. Oleh karena itu, ketika dosen menjadi pusat
perhatian, wajar jika siswa kemudian mengidentifikasi diri mereka dengan guru sebagai
prototipe manusia ideal yang harus ditiru dan dicontoh dalam segala hal. Freire menyebut
pendidikan semacam ini menciptakan “nekrofili” ketimbang “biofili.” Implikasinya adalah
bahwa pada akhirnya siswa akan menjadi cerminan guru mereka, melahirkan generasi baru
penindas. Jika mereka kemudian menjadi guru atau pendidik, maka siklus penindasan akan
berulang dalam dunia pendidikan.
Dengan demikian, sistem pendidikan justru berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan
status quo, bukan sebagai kekuatan yang mendorong perubahan. Bagi Freire, sistem
pendidikan seharusnya menjadi kekuatan yang menyadarkan dan membebaskan umat manusia.
Namun, sistem pendidikan saat ini tampaknya telah menjadikan mahasiswa sebagai individu
yang terasing dan terputus dari realitas diri mereka serta lingkungan sekitar. Hal ini terjadi
karena mereka telah dididik untuk menjadi seperti orang lain, bukan untuk menjadi diri
mereka sendiri. Pendidikan gaya bank menciptakan hubungan yang dapat menimbulkan
tekanan bagi mahasiswa, baik melalui kata-kata maupun tindakan, termasuk pemberian
hukuman yang berlebihan. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya pola interaksi dialogis dan
partisipatif dalam proses belajar mengajar. Sayangnya, pola hubungan ini masih sering
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
98
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
diterapkan di berbagai lembaga pendidikan, termasuk di sekolah. Sebaliknya, pola hubungan
yang seharusnya diterapkan di kampus adalah hubungan yang tidak didasarkan pada struktur
formal, tetapi berdasarkan kemitraan seperti yang diungkapkan oleh Freire. Dalam konteks ini,
dosen seharusnya berperan sebagai sahabat yang memfasilitasi mahasiswa dalam proses
pendidikan (Karim & Bahari, 2024). Fungsi pendidik di sini adalah sebagai penggerak,
fasilitator, dan pelayan yang membantu pengembangan potensi dan kreativitas mahasiswa
secara optimal. Suasana belajar yang diharapkan adalah menciptakan kelas yang fleksibel dan
bebas dari intimidasi, karena lingkungan seperti itu tidak akan mendukung dinamika dan
kreativitas. Kreativitas dapat berkembang ketika siswa merasa aman dan percaya diri, serta
ketika guru memberikan dukungan dan kepercayaan kepada mereka.
Siswa adalah elemen krusial dalam pendidikan, karena tanpa mereka, proses pembelajaran
di kelas tidak mungkin berlangsung. Menurut Maslow, pendidikan seharusnya memberikan
kebebasan kepada siswa untuk membuat pilihan, tetapi hal ini perlu diimbangi dengan
pengajaran tentang sikap yang tepat. siswa seharusnya diberikan kebebasan yang seluas-
luasnya untuk mengembangkan potensi dan kreativitas yang merupakan bagian dari kodrat
mereka. Dengan aktif berperan dan berpikir sebagai pelaku, mahasiswa dapat terlibat langsung
dalam isu-isu nyata dalam suasana yang dialogis. Pembebasan hanya dapat tercapai jika
mahasiswa benar-benar menyadari realitas diri dan lingkungannya. Tanpa kesadaran ini,
mereka tidak akan mampu mengenali kebutuhan, mengungkapkan keinginan, atau memahami
apa yang ingin dicapai. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk menyadari bahwa
kemampuan memahami realitas tersebut adalah bagian dari kodrat kemanusiaan mereka dan
bahwa pemahaman itu penting dan mungkin untuk dicapai (Sopian, 2021). Di sekolah berbasis
masyarakat, kebebasan ini ditegaskan dengan menempatkan mahasiswa sebagai aktor yang
otonom. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban untuk mengadaptasi budaya atau peradaban
dominan menjadi bentuk yang terpaksa (Sujarwo et al., 2017).
Setiap proses penterjemahan budaya mengandung agenda tertentu yang mengharuskan
adanya kesamaan dengan budaya yang ditiru, dan hal ini sulit dicapai jika mahasiswa sudah
memiliki kesadaran budaya yang berbeda. Selain itu, penterjemahan seringkali dianggap
kurang adil bagi budaya asli. Konsep pendidikan ini sangat menghargai keberadaan siswa,
menempatkan mereka sebagai subjek yang paling berperan dalam pendidikan. siswa diberikan
kesempatan dan waktu yang luas untuk berimajinasi, mengekspresikan diri, menjelajahi, dan
mengenali potensi mereka. Mereka terus didorong untuk mengembangkan bakatnya, termasuk
dalam menggali nilai-nilai moral dan universal dalam kehidupan. Model pengajaran yang
menyenangkan. Model ini merupakan pengembangan dari pendidikan tradisional yang lebih
fokus pada tanggung jawab individu dalam proses pembelajaran. Menurut model ini,
pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pribadi, tetapi juga tanggung jawab bersama
melalui interaksi dalam kelompok. Metode kolaboratif yang melibatkan guru dan siswa
menjadi ciri khas dari setiap pendekatan yang digunakan, sehingga proses pendidikan
berlangsung dengan sinergi dan kesenangan. Dalam proses ini, dosen menyajikan materi untuk
dipertimbangkan oleh mahasiswa, sementara pertimbangan dosen juga diuji kembali melalui
masukan dari mahasiswa, dan begitu pula sebaliknya. Hubungan antara keduanya bersifat
subjek-subjek, bukan subjek-obyek. Obyek yang mereka bahas adalah realitas, yang
menciptakan suasana dialogis untuk saling memahami suatu obyek secara lebih mendalam.
5. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang berkualitas tidak
selalu harus mahal. Dengan adanya pendidikan yang berkualitas namun terjangkau, kampus
dapat menyampaikan pesan ganda bahwa kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan biaya.
Selama ini, masyarakat cenderung menganggap bahwa pendidikan berkualitas selalu identik
dengan biaya yang tinggi, di mana semakin baik kualitasnya, semakin besar biaya yang harus
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 1, No. 2, October 2024, page: 92-99
E-ISSN: 3048-3093
99
Toni et.al (Model Pendidikan berbasis....)
dibayar. Pandangan ini perlu diubah.Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan
bahwa konsep pendidikan berbasis masyarakat dapat menjadi alternatif untuk pendidikan
tinggi dalam memberdayakan masyarakat lokal. Saatnya untuk memanfaatkan, mengolah, dan
memberdayakan kaidah-kaidah lokal melalui sistem pendidikan.
6. Daftar Pustaka
Coleman, A. James. (1969). Education and the Political Development, Princeton, New
Jersey. Danim, Sudarman. (2012). Menajemen Kampus, Jakarta: Bumi Aksara.
Faqih, Mansour dkk. (2007). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta:
Insist. Fiere, Paulo. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Opressed),
Penguin Books, 1978; edisi Indonesia diterbitkan oleh LP3ES.
Fiere, Paulo. (1977). Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan (Cultural Action for
Freedom), Penguin Books.
Goble, G. Frank. (1987). Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow,
Yogyakarta: Kanisius.
Mastuhu. (20014). Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Yogyakarta: Safaria Insania Press.
Zein, Muhammad. (2001), Asas dan Pengembangan Kurikulum, Yogyakarta: Sumbangsih
Offset. Zubaedi. (2006). Pendidikan Berbasis Masyarakat; Upaya Menawarkan Solusi
Terhadap Berbagai
Problem Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Surya, Mohammad. (2009). Psikologi Pendidikan
Hardiyanti, D. (2018). Pengaruh pendidikan kesehatan berbasis komunitas terhadap
pengetahuan, sikap dan praktik pemeriksaan payudara sendiri (sadari) pada perempuan
di wilayah …. repository.unair.ac.id. https://repository.unair.ac.id/77134
Karim, A., & Bahari, Y. (2024). Model pendidikan berbasis komunitas. Tumoutou Social
Science Journal. http://kurniajurnal.com/index.php/tssj/article/view/173
Sopian, A. (2021). Model Pendidikan Karakter Di Masyarakat. Al-Hasanah: Jurnal Pendidikan
Agama Islam. https://jurnal.staip.ac.id/index.php/hasanah/article/view/34
Sujarwo, S., Tristanti, T., & Santi, F. U. (2017). Pengembangan model pemberdayaan
perempuan desa wisata melalui pendidikan berbasis komunitas. Jurnal Penelitian Ilmu
Pendidikan. https://journal.uny.ac.id/index.php/jpip/article/view/16798