TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
42
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam
Sentra Gakkumdu Perspektif Sosiologi Fungsionalis
Diyah Nur Widowati
a,1*
, Miranda Inko Sherly
b,2
a
Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
b
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta
1
mamdiah77@gmail.com;
2
mirandainkosherly@gmail.com
*
mamdiah77@gmail.com
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Sejarah Artikel:
Diterima: 10 Oktober 2024
Direvisi: 15 November 2024
Disetujui: 23 Desember 2024
Tersedia Daring: 1 Januari 2025
Terjadinya penegakan tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh
Bawaslu adalah realita yang terjadi bahwa tidak selamanya pemilu
dapat berjalan dengan langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Berdasarkan analisa kondisi yang utamanya dikaji melalui realitas yang
terjadi, kendala yang sering terjadi adalah perbedaan persepsi antar
anggota Sentra Gakkumdu, hilangnya bukti dugaan, waktu yang
terbatas, dan SDM Bawaslu yang terbatas. Melalui UU No. 22 Tahun
2007, keberadaan Bawaslu sudah tidak lagi subordinat dengan KPU.
Kondisi di atas yang kemudian menginisiasi lahirnya penelitian
pengembangan dalam rangka claiming novelty, mengurai peran
masing-masing lembaga dalam Sentra Gakkumdu melalui sudut
pandang baru, yaitu sosiologi fungsionalis. Fungsi Sentra Gakkumdu
adalah sebagai forum koordinasi dalam proses penanganan setiap
pelanggaran tindak pidana pemilu, pelaksanaan pola pidana pemilu itu
sendiri, pusat data, peningkatan kompetensi, monitoring evaluasi. Oleh
karenanya perlu koordinasi dan kolaborasi yang saling membangun
antara anggota penegak hukum dalam Sentra Gakkumdu.
Kata Kunci:
Bawaslu
Sentra Gakkumdu
Sosiologi Fungsionalis
ABSTRACT
Keywords:
Bawaslu
Sentra Gakkumdu
Sociology functionist
The enforcement of election crimes committed by Bawaslu is the reality
that occurs that not always elections can run directly, freely,
confidentially, honestly, and fairly. Based on the analysis of conditions
that are mainly studied through the reality that occurs, the obstacles that
often occur are differences in perception between members of the
Gakkumdu Center, loss of evidence of conjecture, limited time, and limited
Bawaslu human resources. Through Law No. 22 of 2007, the existence of
Bawaslu is no longer subordinate to the KPU. The above conditions then
initiated the birth of development research in the framework of claiming
novelty, parsing the role of each institution in the Gakkumdu Center
through a new point of view, namely functionalist sociology. The function
of Sentra Gakkumdu is as a coordination forum in the process of handling
every violation of election crimes, implementation of the election criminal
pattern itself, data centers, competency improvement, evaluation
monitoring. Therefore, it is necessary to coordinate and collaborate to
build between law enforcement members in the Gakkumdu Center.
©2025, Diyah Nur Widowati, Miranda Inko Sherly
This is an open access article under CC BY-SA license
1. Pendahuluan
Pemberian hak dan akses publik dalam mengawal dan mengontrol kebijakan negara
adalah salah satu dari karakteristik negara demokrasi. Secara instrumental, demokrasi adalah
menempatkan posisi publik (rakyat) dalam menjalankan kehidupan bernegara. Pemerintah
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
43
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
dituntut untuk mengedapankan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Dalam beberapa
literatur kenegaraan, menurut Lyphard, negara dapat diatribusikan demokrasi jika memenuhi
beberapa unsur-unsur, di antaranya adalah adanya pemilihan yang bebas dan jujur’ dan
‘adanya hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara’. Unsur-unsur di atas
dimanifestasikan dalam teknis dan cara kerja kelembagaan yang memuat sejumlah cita dan
nilai demokrasi yang kemudian kerap disebut dengan demokrasi prosedural. Melalui teknis
dan cara kerja seperti itu, publik dihadapkan dalam sebuah wadah yang memiliki fungsi
penghubung peran aktif masyarakat dengan negara, begitu sebaliknya. Demikian juga
diungkapkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Unesco pada tahun 1950-an yang
menyatakan bahwa tidak ada satu pun tanggapan yang menolak demokrasi sebagai landasan
dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern.
Abstraksi di atas yang kemudian dikonkritkan dalam wujud nyata melalui adanya
pemilihan umum. Pemilu merupakan cara untuk melaksanakan demokrasi. Pemilu, bagi
sejumlah negara yang mengadopsi teknis demokrasi, dianggap sebagai trademark sekaligus
tolak ukur utama demokrasi. Berdasar pada pernyataan Internasional Commision of Jurist,
Bangkok 1965 yang mengatakan bahwa ‘penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas
merupakan salah satu syarat dari enam syarat dasar bagi negara demokrasi perwakilan di
bawah rule of law’. Selanjutnya, pemilihan umum (pemilu) tidak bisa berjalan dengan
sendirinya tanpa ada kaki-tangan yang menfasilitasi. Jika ditelaah secara konteks normatif
melalui paradigma positivistik, pemilu dapat diselenggarakan setidaknya melalui lembaga
yang menaungi. Di Indonesia, lembaga itu terwujud melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Secara konteks kelembagaan, lembaga penyelenggara
pemilihan umum merupakan lembaga yang didesain memiliki fungsi check and balances yang
paling efektif dibandingkan dengan lembaga negara lainnya.
Pemilu merupakan cermin suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Karena dalam
teknis tersebut, publik diberikan ruang partisipasi secara langsung dalam kehidupan bernegara.
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, menyebutkan tujuan
penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) ada empat, yaitu; pertama, untuk memungkinkan
terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; kedua, untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di
lembaga perwakilan; ketiga, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan; keempat, untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Dalam lingkup hukum normatif Indonesia,
dasar hukum penyelenggaraan pemilu disandarkan pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar
1945. Poin yang termuat dalam pasal tersebut tidak hanya selesai membicarakan pelaksanaan
pemilu setiap lima tahun sekali dalam rangka memilih wakilnya atau sebaliknya. Merupakan
sarana kompetesi yang adil bagi partai politik, untuk sejauh mana telah melaksanakan fungsi
dan peran serta tanggung jawab atas kinerjanya kepada rakyat yang memilihnya.
Sebagai trademark negara demokrasi, pemilu baiknya haruslah berjalan secara baik pula.
Penyelenggaraan pemilu yang demokratis tidak hanya berhenti tentang bagaimana lembaga
pelaksana pemilu dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat
mengupayakan berjalannya pemilu dengan lancar dan sukses sampai tahap akhir, namun
terdapat beberapa hal setelahnya yang tidak kalah penting untuk dikawal. Selain KPU, terdapat
lembaga pengawas yang independen dan otonom dalam mengawal dan menidak segala bentuk
potensi pelanggaran yang terjadi selama pemilu berlangsung. Di sinilah peran penting Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menindak tindak pidana pemilu. Sebagai lembaga yang
independen dan otonom, tentu Bawaslu memiliki karakter-karakter khusus, di antaranya
adalah; pertama, dibentuk berdasarkan perintah konstitusi atau undang-undang; kedua, tidak
mudah diintervensi oleh kepentingan politik tertentu; ketiga, bertanggungjawab kepada
parlemen; keempat, menjalankan tugas sesuai dengan tahapan pemilu; kelima, memiliki
integritas dan moralitas yang baik dan; keenam, memahami tata cara penyelenggaraan pemilu.
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
44
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
Terjadinya penegakan tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu adalah realita
yang terjadi bahwa tidak selamanya pemilu dapat berjalan dengan langsung, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Terlepas dari kepentingan kelompok tertentu atau ego sektoral yang menciderai
nilai luhur pemilu, justru demikian adalah wujud menjaga marwah dan martabat esensi pemilu
sebagai distribusi kekuasaan secara kebersamaan dalam bingkai demokrasi. Permasalahan
yang kerap muncul dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia menghambat terwujudnya
pemilu yang demokratis. Setidaknya, menurut Ratna Sholiha, beberapa permasalahan yang
kerap muncul tersebut antara lain, money politics dan black campaign, profesionalitas
penyelenggara pemilu, politisasi birokrasi, kualitas dan kapabilitas peserta pemilu atau partai
politik, apatisme dan pragmatisme dalam partisipasi politik masyarakat, serta konflik
horizontal. Selain persoalan tersebut, literatur lain menyebutkan adanya hambatan
penyelenggaraan pemilu yang demokratis disebabkan pada konteks demokrasi. Lembaga
penyelenggara pemilu kerap mendapat rintangan tidak hanya ketika proses pemilu, tetapi juga
perselisihan hasil pemilu. Belum lagi diperparah dengan adanya dua rezim pemilihan, yakni
pemilu dan pilkada yang diatur oleh undang-undang yang berbeda.
Batu sandungan yang sering dijumpai oleh lembaga penyelenggara pemilu (Bawaslu) kian
besar ketika sudah memasuki arena Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu). Peran
dan fungsi Bawaslu dalam Sentra Gakkumdu sering mendapati kelemahan dan kesenjangan
ketika berhadapan dengan lembaga lainnya, yaitu Kejaksaan dan Kepolisian. Selain dissenting
opinion (perbedaan pendapat), temuan dan laporan Bawaslu dalam mengawasi dan mengawal
jalannya penyelenggaraan pemilu hanya ditempatkan sebagai catatan dalam keputusan, bukan
sebagai rekomendasi. Mudahnya, dari sini dapat ditegaskan bahwa keputusan masukan
Bawaslu dikesampingkan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Berpijak pada uraian komprehensif di atas, penulis mencoba menelanjangi kesenjangan
yang lumrah terjadi dalam proses perayaan demokrasi yang terwujud melalui pemilu. Dengan
menguliti akar permasalahan yang terjadi, setidaknya kita dapat dihadapkan dengan muara
problematika menahun yang sering berputar dalam lingkaran Sentra Gakkumdu. Agar
penelitian lebih mantap, penulis juga mencoba menguraikan peran masing-masing lembaga
penegak dan penyelenggara pemilu melalui kacamata sosiologi fungsionalisme. Dengan jujur,
penelitian ini hanya melengkapi dari penelitian sebelum-sebelumnya yang sudah dahulu dan
banyak mengkaji tentang penegakan hukum di pemilu. Hanya saja mungkin terdapat claiming
novelty (klaim pembaruan) perspektif sosiologi.
Permasalahan
Berdasarkan analisa kondisi di atas yang utamanya dikaji melalui realitas yang terjadi,
maka perlu dilakukan kajian secara komprehensif terkait sejauh mana problematika yang
sering ditemui oleh Bawaslu dalam lingkup Sentra Gakkumdu sehingga proses
penyelenggaraan pemilu terkesan mencederai nilai luhur demokratis. Di samping mengurai
permasalahan itu, tulisan ini mencoba menjabarkan peran masing-masing lembaga Sentra
Gakkumdu dan hubungan yang melingkupinya melalui sudut pandang sosiologi
fungsionalisme.
2. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah pendekatan penelitian dan
pengembangan (research and development). Jenis metode ini adalah untuk menghasilkan
laporan tertentu serta menguji kredibel tidaknya laporan tersebut. Metode penelitian ini adalah
sebuah cara untuk mengembangkan dan menyempurnakan suatu laporan sebelumnya. Metode
penelitian juga dituliskan secara deskriptif terlebih dahulu pada tahap awal tulisan. Dalam
konteks tulisan ini hendak menyempurnakan laporan dan temuan tulisan sebelumnya yang
menguraikan pembatasan peran Bawaslu dalam arena Sentra Gakkumdu. Selanjutnya, untuk
menyempurnakan metode pertama, maka dibutuhkan ruang eksperimental dalam rangka
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
45
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
development. Dalam tulisan berikut, usai mengurai permasalahan Bawaslu dalam Sentra
Gakkumdu dilanjutkan dengan analisis peran masing-masing lembaga melalui sudut pandang
fungsionalisme sosiologi.
Data primer sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah menggunakan kajian
kepustakaan. Studi kepustakaan ini adalah mencari bahan hukum atau data dengan mengkaji
dokumen hukum, berupa konsep-konsep, teori, pendapat atau penemuan-penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan dalam berbagai literatur buku-buku hukum,
jurnal hukum dan ketentuan perundang-undangan. Bahan data primer berasal dari penelitian-
penelitian sebelumnya yang sama membahas tentang pembatasan peran Bawaslu melalui
Sentra Gakkumdu dalam menangani tindak pidana pemilu.
3. Kerangka Teori
Melalui UU No. 22 Tahun 2007, keberadaan Bawaslu sudah tidak lagi subordinat dengan
KPU. Itu artinya, posisi Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu sudah sejajar dengan
KPU. Hal ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa untuk mewujudkan pengawasan yang
efektif dan sarat nilai demokratis, lembaga pengawasan harus dipisahkan dari lembaga yang
diawasinya. Kesetaraan posisi antara KPU dan Bawaslu ditujukan untuk terciptanya check and
balances. Dengan demikian Bawaslu dapat dikatakan sebagai lembaga yang independen.
Selain pertimbangan tersebut, Bawaslu juga diberikan porsi dan wewenang untuk turut andil
dalam penegakan tindak pidana pemilu yang terbentuk melalui Sentra Gakkumdu (Penegakan
Hukum Terpadu) bersama dua lembaga independen dan otonom lainnya, yaitu Kejaksanaan
dan Kepolisian. Fungsi Sentra Gakkumdu adalah sebagai forum koordinasi dalam proses
penanganan setiap pelanggaran tindak pidana pemilu, pelaksanaan pola tindak pidana pemilu
itu sendiri, pusat data, peningkatan kompetensi, monitoring evaluasi. Selain itu, Sentra
Gakkumdu menjelma sebagai ruang sidang penindakan dan penyelesaian laporan dan temuan
tindak pidana yang terjadi selama dan setelah penyelenggaraan pemilu. Meski demikian, kerap
kali Bawaslu mengalami kendala dalam penanganan tindak pidana pemilu. Penelitian Michael
Richard Siahaan, Isnaini, dan Mirza Nasution menyebutkan, kendala itu di antaranya adalah:
perbedaan persepsi dalam Sentra Gakkumdu, barang bukti hilang, tersangka tidak kooperatif,
dan petugas Bawaslu yang terbatas.
Kondisi di atas yang kemudian menginisiasi lahirnya penelitian pengembangan dalam
rangka claiming novelty, mengurai peran masing-masing lembaga dalam Sentra Gakkumdu
melalui sudut pandang baru, yaitu sosiologi fungsionalisme. Secara harfiah, fungsionalisme
berakar dari kata ‘fungsi’, yang memiliki definisi sederhana adalah peran, kegunaan, atau
jabatan (pekerjaan) yang dilakukan. Analogi mudahnya adalah organ tubuh yang memiliki
peran dan fungsi masing-masing dan berjalan tidak bisa tergantikan. Apabila salah satu organ
gagal berfungsi, maka manusia dapat berpotensi mengalami sakit. Jika analogi itu
diaplikasikan dalam sebuah lembaga, sesuai dengan contoh kasus dalam Sentra Gakkumdu,
maka akan mengalami kesenjangan juga kecacatan yang saling berlawanan. Bagi fungsionalis,
kegagalan suatu institusi atau lembaga dalam berfungsi disebut dengan malfungsi. Seperti
analogi organ tubuh di atas yang saling mengisi peran, antara Bawaslu, Kejaksaan, dan
Kepolisian seyogyanya harus saling memiliki persamaan perspektif dan cita luhur dalam
menuntaskan tindak pidana pemilu untuk menegakkan nilai demokrasi.
4. Hasil dan Pembahasan
Bawaslu sebagai lembaga yang independen dan otonom, tidak subordinat dan sejajar
dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perbuatan Bawaslu dalam menangani tindak pidana
pemilu disandarkan pada Peraturan Bawaslu No. 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan
dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum dan Peraturan Bawaslu N0. 31 Tahun 2018
tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Selanjutnya, pada Pasal 1 angka 26 PerBawaslu
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
46
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
No. 7 Tahun 2018 mengatur definisi dari laporan. Laporan dalam pandangan Bawaslu adalah
laporan langsung dari Warga Ngara Indonesia yang mempunyai hak pilih, peserta pemilu, atau
pemantau pemilu kepada Bawaslu dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan,
Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu. Dan beberapa peraturan lainnya yang mengungkap sensitivitas
Bawaslu dalam melakukan tindak pidana pemilu, termasuk Perbawaslu No. 31 Tahun 2018
Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Gakkumdu adalah pusat aktivitas penegakan
hukum tindak pidana Pemilu yang terdiri dari unsur Badan Pengawas Pemilihan Umum,
Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi, dan/atau Badan Pengawas Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah, dan/atau
Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi dan/atau
Kejaksaan Negeri. Melalui Sentra Gakkumdu, institusi yang disebut berkedudukan sama
sebagai tempat untuk menyamakan pandangan antar institusi yang terlibat dalam menangani
tindak pidana pemilu.
Idealnya, cara kerja dalam Sentra Gakkumdu seperti uraian di atas. Namun, jika ditelusuri
secara teknis dan praktiknya, Gakkumdu justru hanya ditempatkan sebagai institusi yang
bertugas menyelenggarakan penanganan tindak pidana pemilu secara terpadu. Pada saat yang
sama, juga memberi penilaian terhadap apakah bukti-bukti, laporan, dan temuan dugaan tindak
yang diserahkan oleh Bawaslu beserta jajarannya sudah terpenuhi atau tidak. Bahkan, dalam
konteks ini dan dalam keadaan tertentu, pihak penyidik kepolisian justru hanya memosisikan
diri sebagai pihak yang menerima laporan secara bersih, tanpa melakukan tindak lanjut
penyedikan lagi. Padahal, sesuai amanat UU Pemilu, penyidik kepolisian yang semestinya
melakukan penyidikan atas telah terjadinya dugaan tindak pidana pemilu. Oleh karena itu,
dalam proses penegakan penanganan tindak pidana pemilu banyak mengalami hambatan yang
menyebabkan proses hukum menjadi lebih panjang dan tidak kunjung usai.
Pembatasan Peran Bawaslu dalam Sentra Gakkumdu
Fungsi Sentra Gakkumdu adalah sebagai forum koordinasi dalam proses penanganan
setiap pelanggaran tindak pidana pemilu, pelaksanaan pola pidana pemilu itu sendiri, pusat
data, peningkatan kompetensi, monitoring evaluasi. Sementara itu, PerBawaslu No. 31 Tahun
2018 juga mengatur mengenai pola penanganan tindak pidana pemilu dalam Standar
Operasional dan Prosedur (SOP). Berikut akan diuraikan sistem penanganan tindak pidana
pemilu yang jauh lebih rumit dibandingkan tindak pidana biasa yang hanya melibatkan polisi,
jaksa dan pengadilan. Sementara tindak pidana pemilu juga melibatkan pengawasan pemilu.
Sehingga, dalam kondisi bagaimanapun dinilai lumrah sebagai salah satu alasan kenapa
penanganan tindak pidana pemilu menjadi tidak efektif.
Menurut SOP Sentra Gakkumdu, penanganan tindak pidana pemilu dilaksanakan melalui
3 (tiga) tahap yaitu: 1) Penerimaan, pengkajian dan penyampaian laporan/temuan dugaan
tindak pidana pemilu kepada Pengawas Pemilu; dalam tahap ini Pengawas Pemilu berwenang
menerima laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu yang diduga mengandung unsur
tindak pidana pemilu, selanjutnya dugaan pelanggaran itu dituangkan dalam Formulir
Pengaduan. Setelah menerima laporan atau temuan adanya dugaan tindak pidana pemilu,
Pengawas Pemilu segera berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu dan menyampaikan laporan
atau temuan tersebut kepada Sentra Gakkumdu dalam jangka waktu paling lama 24 Jam sejak
diterimanya laporan atau temuan. 2) Tindak lanjut Sentra Gakkumdu terhadap laporan atau
temuan dugaan tindak pidana pemilu; dalam tahap ini dilakukan pembahasan oleh Sentra
Gakkumdu dengan dipimpin oleh anggota Sentra Gakkumdu yang berasal dari unsure
Pengawas Pemilu. 3) Tindak lanjut Pengawas Pemilu terhadap rekomendasi Sentra
Gakkumdu, Dalam tahap ini disusun rekomendasi Sentra Gakkumdu, yang menentukan
apakah suatu laporan atau temuan merupakan dugaan tindak pidana pemilu atau bukan, atau
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
47
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
apakah laporan atau temuan tersebut perlu dilengkapi dengan syarat formil atau syarat
materiil.
Sebagai bagian dari hukum pidana, tentu peradilan pidana pemilu juga mengikuti sistem
peradilan pidana secara umum. Dalam kerangka itu, semua unsur dan elemen penegakan
hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatakan
terlibat dalam satu jaringan kerja yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam tindak pidana
pemilu, cara kerja seperti itu juga digunakan. Hanya saja terdapat karakter khusus yang
terdapat dalam hukum pidana pemilu. Selain dari segi formil yang berbeda, segi materiil pun
juga banyak terdapat perbedaan yang tidak jarang mengakibatkan adanya penanganan tindak
pidana pemilu yang tidak sempurna. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya, terdapat banyak
hal yang menjadi kendala dalam penanganan perkara pidana pemilu, seperti kuatnya
perbedaan persepsi antara penegak hukum yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu,
kurangnya komitmen unsur-unsur penegak hukum, jumlah petugas Bawaslu yang terbatas dan
lain sebagainya.
Dissenting Opinion (Perbedaan Persepsi dalam Sentra Gakkumdu)
Sentra Gakkumdi diatribusikan sebagai institusi penegakan hukum terpadu dalam
penanganan tindak pidana pemilu dengan komposisi Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Meski demikian, secara realita tujuan itu belum mencapai taraf sempurna atau diselesaikan
dengan cepat dan tepat karena perbedaan persepsi atau pendapat antara ketiga unsur penegak
hukum. Perbedaan persepsi justru menjadi penghambat penanganan tindak pemilu, karena
pada dasarnya ketiga unsur dalam Gakkumdu mempunyai keterlibatan dalam kelanjutan
penanganan pidana yang dilaporkan, sehingga tidak ada dari satu unsur pun dengan begitu
mudah dapat diabaikan. Dalam prosesnya, jika Bawaslu mengabaikan persepsi Kepolisian
maka besar kemungkinan laporan Bawaslu sulit untuk menindaklanjuti di Kepolisian. Itu
artinya, terdapat kemungkinan Kepolisian terpaksa hanya mengabaikan rekomendasi tersebut.
Belum lagi, perbedaan persepsi itu diperparah dengan lemahnya koordinasi antara ketiga unsur
penegak hukum. Untuk mengatasi demikian, ketiga unsur penagak hukum yang tergabung
dalam Sentra Gakkumdu seyogyanya melakukan koordinasi yang aktif dan efektif, sehingga
permasalahan tindak pidana pemilu bisa dihadapi dengan satu pendapat dan ditindaklanjuti
secara bersama.
Sejajarnya Posisi Bawaslu dalam Sentra Gakkumdu
Peran dan kewenangan Bawaslu yang harusnya mempunyai posisi sentral menjadi sejajar
dengan lembaga lain (Kepolisian dan Kejaksaan) yang secara harkat harusnya nyata
independensi secara kelembagaan. Acapkali Bawaslu yang sebagai pihak eksekutif sendiri
merupakan kontestan dalam pelaksanaan pemilihan umum dari sumber partai politik.
Pemandangan itu yang kemudian berujung pada sulitnya penanganan tindak pidana pemilu
dalam ruang Sentra Gakkumdu. Pada saat yang sama, hal ini menjadi pertanyaan besar akan
integritas pelaksanaan pemilu secara demokratis yang sesuai asas, juga berpengaruh pada
pemilu selanjutnya. Idealnya, Sentra Gakkumdu adalah institusi bersih dari kepentingan
sektoral yang diatribusikan sebagai penegak hukum terpadu menangani tindak pidana pemilu.
Oleh karenanya dalih pembentukan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan
tindak pidana pemilu oleh Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Sulitnya Pembuktian Tindak Pidana Pemilu
Kehilangan barang bukti menjadi faktor yang sering terjadi dalam tindak pidana pemilu.
Hal ini terjadi karena terdapat kesempatan dan unsur kesengajaan dari pihak terkait untuk
menghilangkan barang bukti atau jejak setelah adanya laporan pihak yang dirugikan ke
Bawaslu. Secara normatif hukum, setiap perkara tidak dapat dilanjutkan ke pemeriksaan jika
barang bukti tidak ada. Artinya, bahwa terdakwa pelanggaran pidana pemilu jarang ditahan
oleh Kepolisian karena tidak adanya barang bukti yang bisa menjadi rekam otentik yang
bisa berujung kepada terganggunya penanganan tindak pidana pemilu. Jika ditelusuri secara
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
48
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
formil, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tidak mengatur secara khusus ikhwal pembuktian
dalam perkara tindak pidana pemilu. Dalam arti, tidak terdapat ketentuan yang memberikan
karakter tersendiri dalam pembuktian tindak pidana pemilu. Ketiadaan pengaturan pembuktian
tindak pidana pemilu melahirkan konsekuensi harus tunduknya cara kerja pembuktian pidana
pemilu pada sistem pembuktian dalam KUHAP. Hal ini jauh berbeda misalnya dengan
penanganan tindak pidana korupsi yang memiliki kondisi dan ruang lebih luas dari apa yang
termuat dalam KUHAP. Untuk proses pembuktian tindak pidana pemilu, ketentuan
sepenuhnya tunduk mengikuti apa yang diatur dalam KUHAP.
Tidak Ada Upaya Paksa
Merujuk pada Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum No. 7 Tahun 2018 tentang
Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum, tidak memberikan
kewenangan kepada lembaga pengawas yaitu Bawaslu sebagai lembaga yang independen dan
otonom dalam menjalankan peran dan tugasnya untuk mengawasi serta menindaklanjuti
adanya dugaan pelanggaran maupun laporan pelanggaran untuk melakukan ‘upaya paksa.’
Pun, bukti yang dibawa Bawaslu kepada pihak Kepolisian untuk dibahas dan ditindaklanjuti
tidak berikan wewenang upaya paksa semakin menyulitkan Bawaslu dalam menyelesaikan
pelanggaran tindak pidana pemilu. Pada saat yang sama, dalam konteks ini, tidak adanya
upaya paksa yang dapat diajukan untuk dengan segera menyelesaikan penanganan tindak
pidana pemilu semakin disulitkan dengan keterbatasan waktu yang diberikan kepada Bawaslu
atau pengawas yaitu 3 (tiga) hari ditambah dengan 2 (dua) hari serta pihak yang diduga
sebagai pelaku pelanggaran tidak bersedia atau mangkir untuk memberikan klarifikasi.
Uraian kendala yang disebut di atas adalah selalu berputar setiap pelaksanaan penanganan
tindak pidana pemilu. Selama proses pemilihan umum berlangsung, tidak menutup
kemungkinan banyak laporan yang masuk ke Bawaslu dari masyarakat atau pihak yang merasa
dirugikan, namun karena berbagai alasan dan kendala di atas akhirnya tidak dapat diproses
hingga tuntas. Bagaimana pun dan dalam kondisi dan situasi apapun, sistem penanganan
tindak pidana pemilu masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan
efektif untuk menjadi instrumen penegakan hukum yang demokratis dan perwujudan pemilu
yang jujur dan adil.
Bawaslu dalam Sentra Gakkumdu Perspektif Sosiologi Fungsionalis
Pembahasan sebelumnya, dituliskan idealnya cara kerja dan wewenang yang ada dalam
tubuh unsur penegak hukum, dari Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian yang tergabung dalam
Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Namun ternyata, dalam teknis dan praktiknya banyak
mengalami kendala. Dalam beberapa literatur penelitian sebelumnya, Bawaslu sebagai
lembaga independen dan otonom yang menangani tindak pidana pemilu mendapati kendala itu
berasal internal dan eksternal. Kendala internal seperti halnya petugas Bawaslu yang terbatas,
minimnya integritas petugas Bawaslu yang harusnya lembaga penyelenggara justru turut serta
menjadi kontestan. Sedangkan kendala eksternal Bawaslu di antaranya adalah dissenting
opinion (perbedaan pendapat) antara penegak hukum yang ada dalam Sentra Gakkumdu,
sulitnya pembuktian tindak pidana pemilu atau bukti yang kerap dihilangkan secara sengaja,
dan tidak ada kewenangan ‘upaya paksa’ dari Bawaslu untuk segera mentutaskan penanganan
tindak pidana pemilu.
Kendala yang terjadi itu bukan semata muncul secara tiba-tiba, atau dibiarkan dengan
sengaja sehingga menjadi fenomena wajar di kancah pesta politik dan demokrasi Indonesia,
justru menjadi cerminan untuk digali bagaimana jalan keluarnya. Berikut ini akan ditampilkan
salah satu format yang bisa dibuat dalam melihat problematika yang terjadi antara penegak
hukum yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu. Format cara pandang ini ditinjau melalui
‘Sosiologi Fungsionalisme.’ Dalam istilah lengkapnya, dikaitkan dengan pembahasan
struktural-fungsionalisme. Merupakan salah satu cara untuk menyisir pengalaman publik
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
49
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
melalui pengajian terhadap pola-pola dan hubungan yang berfungsi antara organ atau individu
dalam institusi sosial masyarakat, pada suatu kurun masa tertentu.
Asumsi dasar teori struktural-fungsionalis terletak pada konsep tatanan sosial. Teori ini
mengungkapkan bahwa keadaan masyarakat itu dasarnya adalah statis atau seimbang, dengan
masing-masing elemen dari masyarakat saling menjaga stabilitas. Secara konteks makro, teori
tersebut membicarakan perilaku manusia dalam konteks organisasi dan bagaimana perilaku
tersebut saling berkelindan untuk saling menjaga keseimbangan organisasi atau masyarakat.
Dalam pembahasan penelitian di sini, maka struktural-fungsional secara gari besar
mengupayakan peran dan wewenang masing-masing unsur penegak hukum untuk menjaga
keharmonisan sikap dan persepsi dalam sebuah institusi.
Meskipun eksplanasi lebih panjang dan komprehensif telah terlihat dalam karya Spencer
dan Comte, namun oleh Emile Durkheim yang menjadi peletak dasar secara tegas dan jelas.
Emiel Durkheim adalah pelopor terpenting dalam pengembangan teori fungsional ini. Menurut
Durkheim, fenomena sosial dalam organisasi atau masyarakat dapat dijelaskan dalam dua
pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan historis dan pendekatan fungsional. Analisa
fungsional berusaha menjawab pertanyaan mengapa suatu sistem sosial tertentu memiliki
tanggungjawab dan konsekuensi terhadap operasi keseluruhan sistem sosial. Sementara itu
analisa historis berusaha menjawab mengapa item sosial tersebut, bukan item-item sosial yang
lain, yang secara historis mempunyai fungsi tersebut.
Dalam studi sains, teori ini banyak membantu dalam menganalisa serangkain fakta dan
hubungannya dengan sesuatu yang lain. Teori utama sosiologi ini juga akan membantu untuk
lebih mudah memahami fenomena sosial yang terjadi di masyarakat atau organisasi (dalam
skala makro) dan antar individu (dalam skala mikro) dan hubungannya dengan hal-hal lain.
Dalam konteks sosiologi, perspektif ini digunakan sebagai dasar evaluasi serangkaian asumsi
dan gagasan yang muncul dalam proses sosial. Dalam realitanya, Durkheim mencontohkan
dengan kondisi masyarakat modern yang dapat dilihat dengan segala kebutuhannya dalam
berbagai aspek, termasuk aspek teknologi informasi dan komunikasi.
Durkheim dalam teori struktural-fungsionalisnya menuliskan bahwa masyarakat adalah
suatu kesatuan yang berupa sistem-sistem yang di dalamnya terdapat bagian dan fungsi yang
berbeda. Untuk menuju keseimbangan dan kestabilan dalam sebuah masyarakat, dapat
dibangun dan dipelihara dengan setiap bagian menjalankan fungsinya masing-masing. Masing-
masing bagian saling berhubungan dan bergantung, sehingga jika salah satu bagian tidak
berfungsi maka akan lahir patologis di mana keseimbangan sistem terganggu. Seperti yang
dijelaskan di pembahasan di atas, keseimbangan itu diibaratkan dengan organ tubuh. Jika salah
satu bagian tubuh tidak berjalan sesuai fungsinya, maka akan muncul penyakit. Begitu juga
dengan institusi atau masyarakat yang akan menyebabkan malfungsi.
Selain Durkheim, kontributor terbesar dalam teori struktur-fungsionalis adalah Max
Weber. Menurutnya, teori tersebut kaitannya dengan keberadaan visi substansial tindakan
sosial, serta analisis strategis sosial. Sehingga, pernyataan ini diadopsi dan dikembangkan oleh
Talcott Parsons yang membuahkan empat komponen dasar dalam teori struktural fungsional
yang dapat digunakan untuk membantu menjelaskan tindakan aktor dalam intrepretasi situasi.
Empat komponen tersebut adalah; pertama, adaption: sistem sosial atau masyarakat selalu
mengalami perubahan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
terjadi, secara internal maupun eksternal; kedua, goal attainmen: setiap sistem sosial atau
masyarakat akan senantiasa terdapat berbaga tujuan yang hendak dicapai sisstem sosial
tersebut; ketiga, integration: setiap bagian dari sistem sosial terintegrasi satu sama lain serta
cendeung bertahan pada equilibrium (keseimbangan) dan; keempat, latency: sistem sosial
senantiasa berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap atau statis,
sehingga setiap perilaku yang menyimpang diakomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan
yang terus menerus diperbaharui.
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
50
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
Selanjutnya, menyoal instituasi yang lahir dan berkembang dalam tatanan masyarakat
yang tidak menutup kemungkinan diliputi dengan ragam kendala dan fenomena, dapat dijawab
melalui model birokrasi yang dijelaskan oleh Robert K. Merton. Melalui Merton, paradigma
analisa fungsional dalam melihat birokrasi modern dirangkum dalam tiga hipotesis. Hipotesis
pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang menunjukkan bahwa kesatuan
fungsional masyarakat memiliki bagian-bagian yang saling bekerja sama dalam tingkat
konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan tidak teratasi.
Hipotesis kedua adalah fungsioalisme universal, beranggapan bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang telah baku memiliki fungsi-fungsinya sendiri yang positif, yang pada
akhirnya dapat menetapkan keseimbangan dalam sistem sosial. Hipotesis ketiga melengkapi
hipotesis fungsionalisme, berupa hipotesis indispensability, yakni dalam setiap tipe peradaban,
setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan, seluruhnya memenuhi beberapa fungsi
serta tugas penting yang harus dijalankan, sehingga tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan
sistem sebagai keseluruhan.
Layaknya mata uang, karakter produk filsafat atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dua
wajah yang saling memberi nilai positif dan negatif. Meski teori ini banyak menerima kritikan
dan dianggap memiliki kelemahan seperti mengabaikan aspek konflik yang merupakan
keniscayaan dalam masyarakat atau terlalu kaku terhadap perubahan terutama yang berasal
dari luar namun tetap saja sah secara akademik untuk dijadikan kerangka teori dalam
menganalisis fenomena sosial, salah satunya peran dan kedudukan Bawaslu dalam Sentra
Gakkumdu karena memiliki kata kunci yang sama, yaitu pola dan hubungan antara item-item
yang terkait. Teori struktur-fungsionalis dari perspektif Durkheim, Talcott Parsons dan Robert
K. Merton yang banyak membicarakan pola hubungan antara individu atau organisasi dalam
fenomena sosial, dalam konteks pembahasan ini akan digunakan sebagai medium analisis
dalam melihat peran dan wewenang masing-masing penegak hukum yang ada dalam Sentra
Gakkumudu. Jika di atas dijelaskan hanya sekedar idealnya cara kerja dan teknisnya, dalam
kacamata struktur-fungsional peran itu dituliskan secara ketat dan disiplin dan demikian
harusnya.
Melihat kendala yang banyak menghambat proses penanganan tindak pidana pemilu,
maka upaya penguatan Sentra Gakkumdu tentunya tidak dapat dielakkan. Selama ini, evaluasi
Sentra Gakkumdu tentunya harus dilihat secara objektif dan menyeluruh dalam kerangka
menerapkan sistem penyelenggaraan pemilu yang bermartabat. Aspek terpenting yang harus
diperbaiki tidak hanya mengantar pada pembentukan sistem penegakan hukum yang jelas dan
memiliki filosofis, akan tetapi sistem penegakan hukum terkait pidana pemilu yang sifatnya
harus khusus sebagaimana kekhususan peraturan perundang-undangannya. Sebelum masuk
peran masing-masing unsur penegak hukum, hal ini yang menjadi tantangan adalah
mengingat faktor perundang-undangan yang kontradiktif antara UU Pemilihan (Les Specialist)
dengan aturan limitasi waktu dan KUHP (Lex Generalis) yang dibatasi KUHAP.
Untuk melakukan evaluasi menyeluruh pada pelaksanaan pemilihan umum, maka
Ketentuan dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2018 Tentang Sentra Gakkumdu tentunya sangat perlu untuk diseleraskan terlebih pada
pola koordinasi. Hal ini menjadi bagian utama dalam menjamin kepastian regulasi. Pada saat
yang sama, dalam menjamin kualitas dan integritas pemilu, Sentra Gakkumdu harus diarahkan
mewujudkan filosofis kewenangan Bawaslu secara sentral, dengan begitu lembaga lainnya
(Kejaksaan dan Kepolisian) turut serta tentunya mengarah pada koordinasi utama yang
dilakukan kepada Bawaslu, bukan malah setiap lembaga punya kewanangan sendiri-sendiri.
Termasuk kewenangan dalam menyelesaikan sengketa melalui peradilan yang proses
penyelesaian perkara pemilu salah satunya memang hingga saat ini masih diselesaikan di
Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaan Sentra Gakkumdu memang diperlukan sebuah
kesepakatan dan kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan dan hakikat penindakan tindak
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
51
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
pidana pemilu. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kolaborasi yang saling membangun
antara ketiga lembaga penegak hukum yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu untuk
mewujudkan kerjasama yang baik. Namun, karena Bawaslu sebagai eksekutif sekaligus
lembaga yang menerima laporan dan dugaan tindak pidana pemilu, maka tetap dalam hal ini
koordinat keputusan harusnya berada pada kuasa Bawaslu. Dalam upaya untuk memusatkan
posisi Bawaslu, Lembaga Bawaslu digunakan sebagai penentu proses pengeditan awal
(penyidikan), dimulai dengan pengumpulan laporan atau temuan, penjelasan, alat bukti, dan
banyak lagi.
Model alternatif demikian tentunya bertujuan untuk menghadirkan sistem
penyelenggaraan pemilu yang sesuai harkat dan martabat dengan mengedepankan aspek
kepastian hukum atas pelanggaran pemilu yang terjadi. Dalam konteks ini, pada saat yang
sama, sinergi kelembagaan menjadi salah satu instrumen penting dalam mengatasi masalah itu
semua. Selain upaya administratif dalam masalah pembuktian yang masih terlebit
perundangan-udangan yang seharusnya dikeluarkan dari koridor KUHAP, kolaborasi dan
koordinasi yang saling membangun adalah fokus utama yang dapat dijalankan untuk
menyelenggarakan penanganan tindak pidana pemilu yang tegas. Sehingga dalam pelaksanaan
tugas di Sentra Gakkumdu wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronasi baik
dalam pelaksaan tugas yang bersifat internal dan eksternal, sesuai dengan asas Integrated
Criminal Justice System.
Adanya upaya administratif melalui perundang-undangan dan koordinasi yang
membangun antara penegak hukum Sentra Gakkumdu, sifat rekomendasi yang harus
ditindaklanjuti Bawaslu kepada penyidik polisi dan kejaksaan adalah semata setara hanya
sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga kepada Bawaslu
dengan mempertimbangkan Bawaslu sebagai lembaga dengan kemampuan yang lebih
independen dari institusi lain. Dengan demikian, hal tersebut tidak menutup Bawaslu juga
untuk melakukan terobosan hukum salah satunya adalah dengan penemuan hukum
menggunakan metode interpretasi teologis-sosiologis, tujuan utamanya adalah untuk
mewujudkan keadilan pemilu serta tercapainya kesejahteraan rakyat sebagaimana tujuan
Negara, untuk mendapatkan progresivitas keadilan.
Dengan demikian, peran setiap unsur penegak hukum dalam Sentra Gakkumdu bisa
melaksanakan sesuai fungsinya. Seperti halnya organ tubuh, masing-masing memiliki fungsi
untuk menjaga kestabilan dan keseimbangan organisasi atau masyarakat dalam fenomena
sosial. Jika salah satu dari ketiga unsur penegak hukum yang terdapat dalam Sentra Gakkumdu
tidak bisa menjalankan sesuai peran dan wewenangnya, maka kendala dan hambatan seperti
yang sudah diurai di atas akan terus menyelimuti penanganan tindak pidana pemilu.
5. Kesimpulan
Bawaslu memiliki kewenangan yang besar dalam menindak pelanggaran pemilu sehingga
disebut sebagai lembaga quasi peradilan, sehingga Bawaslu harus mempersiapkan SDM yang
berkualitas dan berkompeten untuk menunjang kewenangan yang sangat penting dalam
pengawasan kepemiluan. Unsur penegak hukum yang ada dalam Sentra Gakkumdu harus bisa
bersinergi dalam menciptakan koordinasi dan kolaborasi yang seimbang dan membangun
untuk mewujudkan kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana pemilu dan
menghadirkan sistem demokrasi yang berintegritas dan berkualitas. Dalam konteks ini,
sosiologi fungsionalis memiliki peran besar dalam menyelusuri posisi Bawaslu, Kejaksaan dan
Kepolisian dalam peran dan fungsinya secara ideal. Layaknya organ tubuh yang saling
melengkapi secara fungsi, dalam fenomena sosial institusi harus membangun koordinasi yang
saling membangun untuk mewujudkan tatanan sosial yang bermartabat juga menghindari
malfungsi dalam sebuah instrumen institusi.
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
52
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
6. Daftar Pustaka
Budiono, Budiono. “Menggagas Sistem Pemilihan Umum Yang Sesuai Dengan Sistem
Demokrasi Indonesia.” Jurnal Ilmiah Dunia Hukum, 2017.
Fajjari, Sahida Ayu. “Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum Dalam Melakukan
Pengawasan Terhadap Pemilihan Umum.” Medan: Fakultas Sosial Sains, Program Studi
Ilmu Hukum, Universitas Pembangunan Panca Budi, 2020.
Hananto Widodo, Dicky Eko Prasetio. “Penataan Kewenangan KPU Dan Bawaslu Dalam
Melakukan Pengawasan Dan Menangani Sengketa Proses Pemilu.” Perspektif Hukum,
2021.
Hisyam, Ciek Julyati. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Makassar: Bumi Aksara, n.d.
Huda, Ni’matul. Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Isnaini, Nikmah. “Kedudukan, Tugas Dan Kewenangan Bawaslu Menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.” Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 2018.
Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Jones, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009.
Junaidi, Muhammad. “Tindak Pidana Pemilu Dan Pilkada Oleh Sentra Penegakan Hukum
Terpadu.” Jurnal Ius Constituendum, 2020.
Marzali, Amri. “Struktural-Fungsionalisme.” Antropologi Indonesia, 2014.
Nugroho, Ari Cahyo. Teori Utama Sosiologi (Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik,
Interaksi Simbolik).” Portal-Ilmu.Com, 2021.
Saputra, Heru. “Peran Penegak Hukum Terpadu Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
‘Money Politics’ Terhadap Sistem Pemilu Kepala Daerah.” Ponorogo: Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, 2021.
Saragih, Andre Dosdy Ananta. “Tinjauan Yuridis Pentingnya Pembentukan Peradilan Khusus
Dalam Pemilu Serentak Menurut Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.” Lex Et
Societatis, 2017.
Sarah Bambang, Sri Setyadji, and Aref Darmawan. “Penanganan Tindak Pidana Pemilu Dalam
Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu).” Jurnal Indonesia Sosial Teknologi,
2021.
Siahaan, Michael Richard, Isnaini Isnaini, and Mirza Nasution. “Peran Badan Pengawas
Pemilu Dalam Penanganan Tindak Pidana Pemilu Di Kabupaten Simalungun.” Journal
of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 2021.
Solihah, Ratnia, and Siti Witianti. “Permasalahan Dan Upaya Mewujudkan Pemilu
Demokratis Di Indonesia Pasca Reformasi.” Jurnal Bawaslu, 2017.
Sulistyoningsih, Dewi Permatasari. “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana
Pemilu (Studi Terhadap Pelanggaran Pemilu Di Indonesia).” Mimbar Keadilan, 2015.
Supriono, Didik. “Menggagas Sistem Pemilu Di Indonesia.” Jurnal Konstitusi II, no. I (2019).
TUMOUTOU SOCIAL SCIENCE JOURNAL (TSSJ)
Vol. 2, No. 1, January 2025, page: 42-53
E-ISSN: 3048-3093
53
Diyah Nur Widowati et.al (Analisis Pembatasan Kewenangan Bawaslu dalam...)
Sutarno, Litya Surisdani Anggraeniko dan. “Rekomendasi Bawaslu Sebagai Bentuk
Progresivitas Dalam Mewujudkan Keadilan Pemilu.” Komunikasi Yustisia 5, no. 1
(2022).
Wahyu, Risa Nur Sa’adah dan. Metode Penelitian R&D (Research and Development) Kajian
Teoretis Dan Aplikatif. Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2021.
Widodo, Hananto, Dicky Eko Prasetio, and Fradhana Putra Disantara. “Relasi Kekuasaan
Antar Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.”
Pandecta Research Law Journal, 2020.